Sunday, 5 December 2010

Tan Boen Kim dan Tragedi Sang Pelacur

Tan Boen Kim dan Tragedi Sang Pelacur


Jumat, 17 Mei 1912. Batavia gempar. Sesosok mayat wanita muda ditemukan membusuk.

Tubuh si mayat berada di dalam karung beras yang mengambang. Kedua tangannya terikat. Melihat keadaannya, tidak diragukan lagi bahwa wanita muda yang telah menjadi mayat itu adalah korban pembunuhan.

Pada bulan-bulan berikutnya, diketahui bahwa mayat itu bernama Fientje de Feniks. Seorang wanita Indo berumur sekitar dua puluh tahun yang berprofesi sebagai "nona goela-goela" alias pelacur. Ia tercatat sebagai anggota dari "roemah plesiran" yang dikelola oleh mantan pelacur kelas atas bernama Jeanne Oort.

Setelah dilakukan penyelidikan oleh polisi, pembunuhnya diketahui adalah seorang pria Belanda. Namanya Willem Frederik Gemser Brinkman. Pria ini dikenal sebagai seorang hartawan yang berstatus sebagai pegawai Gouvernement Bedrijven. Ia adalah pelanggan sang pelacur.

Brinkman membunuh Fientje karena cemburu. Asal mula permasalahannya muncul, ketika ia menggundik wanita itu dan menyuruhnya untuk tidak melacurkan diri lagi. Namun, Fientje tetap melakukan profesinya. Brinkman lalu memergoki nyai-nya bersama pria lain. Ia menjadi panas hati dan pembunuhan yang terencana pun terjadi.

Kasus ini kemudian dibawa ke Raad van Justitie. Proses peradilannya memakan waktu dua tahun. Brinkman dan puluhan saksi dihadirkan dalam persidangan. Sang tersangka dibela oleh pengacara terkenal Mr. Hoorweg. Dengan didampingi pembela yang piawai, Brinkman dinyatakan tidak bersalah.

Kasus yang menggemparkan ini terus menjadi pembicaraan masyarakat Batavia. Koran-koran terus memuatnya sebagai berita utama. Raad van Justitie pun mencatat proses persidangannya secara cermat dan teliti. Dengan data yang berlimpah, tak heran apabila kematian Fientje de Feniks ini menjadi satu di antara banyak kejadian nyata yang dibukukan sebagai novel pada dekade awal abad ke-20.

Memang, sastra Melayu-Rendah mulai membangun tradisi sejak munculnya Hikayat Nyai Dasima pada 1896. Kejadian nyata yang sensasional sering diangkat menjadi tema cerita dalam novel.

Umumnya, kejadian nyata itu berupa kasus-kasus pembunuhan. Hal ini berlangsung setidaknya hingga 1930-an. Tak aneh apabila novel-novel pada masa itu lazim mengidentifikasikan diri sebagai "satoe tjerita jang betoel soeda terdjadi".

Pembunuhan Fienjte de Feniks yang sensasional itu dibukukan menjadi novel berjudul Nona Fientje de Feniks, atawa djadi korban dari tjemboeroean. Edisi pertama novel ini diterbitkan tahun 1915. Penulisnya adalah seorang Tionghoa peranakan bernama Tan Boen Kim (TBK).

Di dalam buku Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a Provisional Annotated Bibliography (1981), Claudine Salmon mengatakan bahwa TBK dilahirkan pada 1887. Tidak diketahui apakah TBK mendapat pendidikan formal atau tidak. Namun yang pasti, ia adalah seorang jurnalis yang berpengalaman.

Pria ini pernah menjadi direktur harian Tionghoa peranakan Thjioen Thjioe di Surabaya 1916. Setahun kemudian, ia bekerja sebagai editor mingguan Ien Po di Batavia. Tahun 1926, TBK hijrah ke Palembang selama beberapa bulan dan bekerja untuk mingguan Kiao Po.

Tulisan-tulisan TBK terkenal sangat tajam dan kritis. Ia sering keluar masuk penjara karena buah penanya. Tak jarang, ia dianiaya oleh orang-orang yang tidak meyukai tulisan-tulisannya. Oleh karena itu, TBK menjadi terkenal sebagai orang yang kenjang dibatjok dan keloear masoek pendjara.

Nona Fientje de Feniks adalah novel TBK yang paling sukses. Karyanya ini adalah perpaduan antara keakuratan data dan kelincahan bercerita. Kesuksesan novel tersebut telah membuat TBK menulis kelanjutan ceritanya: Njai Aisah atawa djadi korban dari rasia dan G. Brinkman atawa djadi korban perboeatannja. Kedua novel ini juga diterbitkan pada 1915.

Seperti halnya novel pertama, kedua sekuel ini pun diangkat dari kisah nyata yang merupakan kelanjutan kasus Fientje de Feniks. Ceritanya seputar kisah hidup Brinkman yang menjadi buronan polisi setelah dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan pembunuhan Fientje.

Setelah sekian lama menjadi pelarian karena melakukan perampokan-perampokan dan pembunuhan terhadap Aisah, istri dari salah satu anggota komplotannya, Brinkman akhirnya tertangkap dan diadili. Ia divonis hukuman mati. Di ujung cerita, ia dikisahkan melakukan bunuh diri di penjara. Kematian Brinkman mengakhiri cerita berantai Fientje de Feniks.

Kedua novel lanjutan ini juga terbilang sukses. Dengan latar belakang kesuksesan itu, pada 1916 TBK menggabungkan trilogi Fientje de Feniks-nya ke dalam satu buku. Akan tetapi, ceritanya tidaklah lagi berbentuk prosa melainkan dalam bentuk syair. Buku itu berjudul Sair Nona Fientje de Feniks dan sekalian ia poenja korban jang bener terdjadi di Betawi antara taon 1912-1915.

Cerita Fientje de Feniks yang ditulis oleh TBK memang fenomenal dan menginspirasi banyak penulis. Salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Ia mengadaptasi kisah nyata kematian pelacur Indo kelas atas yang legendaris ini ke dalam alur cerita Rumah Kaca (1988).

Dalam novel terakhir dari tetralogi Pulau Buru itu, nama Fientje de Feniks diubah menjadi Rientje de Roo. Wanita ini juga dikisahkan menjadi seorang pelacur yang dibunuh. Bedanya, Pram mengisahkan Rientje de Roo memiliki seorang pelanggan bernama Jacques Pangemanann yang menjadi tokoh utama cerita.

Ketika Rientje dipanggil untuk "dipakai", Pangemanann mendengar kabar bahwa bahwa sang pelacur telah mati. Tidak diceritakan siapa pembunuhnya dan bagaimana kelanjutan kasusnya. Cerita Rientje hanya dipaparkan sebatas hubungannya dengan tokoh utama. Akan tetapi, kisah kematian yang diselipkan ini turut membangun cerita utama Rumah Kaca secara keseluruhan.

Selain Pram, penulis lain yang tampaknya terinspirasi oleh karya TBK ini adalah seorang pria berkebangsaan Belanda bernama Peter van Zonneveld. Ia menulis buku De Moord op Fientje de Feniks (Pembunuhan Fientje de Feniks) yang diterbitkan pada 1992.

Kesuksesan trilogi Fientje de Feniks dan buku syairnya ternyata tidak berbanding lurus dengan kehidupan sang penulis. TBK menjalani tahun-tahun terakhir kehidupannya dalam kemelaratan. Ia diketahui tinggal menumpang dalam sepetak ruangan Jinde Yuan, salah satu kelenteng tertua di Jakarta hingga akhir hayatnya. Sungguh sangat ironis.

Untungnya, satu perhargaan tak terhingga diberikan kepada TBK oleh Leo Suryadinata. Sinolog terkemuka ini mengabadikan riwayat hidup TBK di dalam bukunya Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (1995).

Lewat buku yang berisi biografi orang-orang Tionghoa peranakan terkemuka ini, Leo menyatakan bahwa TBK adalah seorang Tionghoa peranakan yang unggul di bidangnya. Penilaian ini bukan tanpa alasan.

Kesuksesan menulis trilogi Fientje de Feniks menjadi salah satu pertimbangannya. Selain itu, produktivitas TBK dalam menulis juga menjadi nilai tambah. Ia tercatat telah menghasilkan lebih dari 20 karya selama periode 1912-1933. Umumnya, karyanya berupa novel yang diangkat dari kisah nyata.

TBK memang telah meninggal pada 1959. Namun, kisah tentang tragedi sang pelacurnya tetap hidup dan menginspirasi banyak orang.

IRAWAN SANTOSO S.B.

Tulisan ini pernah dimuat di rubrik ”Khazanah” Harian Umum Pikiran Rakyat edisi 9 Juni 2007

No comments:

Post a Comment