Sunday, 5 December 2010

Tentang Manusia dalam Bumi Manusia

Tentang Manusia dalam Bumi Manusia

Vincent Christian Liong




“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.”(2002:135)


Pengantar

Studi mengenai manusia telah menjadi studi yang tidak ada habisnya. Ia terus menjadi topik yang menarik di muka bumi. Sepanjang segala abad, manusia diajak untuk bertanya mengenai siapakah dirinya. Filsafatlah yang sering menjadi jembatan atas pertanyaan itu. Namun hal ini pun tidak pernah memuaskan. Antara aliran satu dengan yang lain seringkali tidak pernah melengkapi, bahkan punya kecenderungan untuk saling mereduksi. Manusia menurut Nietszche tidaklah sama dengan manusia menurut Sartre atau Foucault, sebagai contoh. Meskipun begitu, hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak pernah dapat dipahami.

Salah satu medium yang dapat memberikan alternatif untuk memahami manusia adalah karya sastra. Mengapa karya sastra? Secara de facto, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial yang bersifat historis. Ia berbicara tentang manusia dan waktu. Tentu saja, perihal waktu demikian mengacu pada masa lalu. Masa lalu yang bagaimana? Apa hubungan antara masa lalu dengan kehidupan manusia sekarang? Apakah karya sastra mampu memberikan perspektif yang lebih jelas tentang gerak manusia dan waktu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam tulisan kecil ini, saya menyajikan beberapa panorama yang berhubungan dengan eksistensi manusia melalui Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.



1. Minke: Figur Si Manusia Bumi

Cerita si manusia bumi diawali dengan perkenalannya kepada kita para pembaca dengan,”Orang memanggil aku: Minke!”(2002:1). Kata Minke(dibaca Mingke) merupakan plesetan dari kata monkey yang berarti monyet. Di awal cerita ini, tokoh Minke telah dipersamakan dengan arti monyet, dan ia menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Minke sebagai seorang berdarah jawa, berkulit cokelat yang bersekolah di sekolah dengan guru dan murid yang berkulit putih. Bahkan, untuk menatap wajah seorang bule Jawa pun ia belum berani. Menggunakan atau belajar ilmu dan tehknologi barat pun ia merasakannya sebagai sebuah kelainan, menyalahi wujud sebagai orang Jawa. Hingga pada suatu saat ia pun berinisiatif mencatatnya sebagai hal-hal baru yang menarik hati. Begitulah, berpikir seperti monyet yang menonton manusia. Ironis dan sangat menyakitkan memang. Dari sini, tampak ketidakpuasan dan keputusasaan yang telah ditanamkan penjajah pada pri-Bumi di Bumi nya sendiri, Bumi Manusia.

Pemandangan di Bumi Manusia dalam kacamata Minke yang masih merasa monkey diawali dari berbagai peristiwa. Minke mulai membuka diri, untuk mulai berdamai dengan lingkungan yang baru mulai ia tonton. Karena ini Bumi Manusia, tentu saja pemandangan itu terdiri dari struktur manusia, baik komunitas maupun individu. Dalam proses membuat kesimpulan mengenai sebuah manusia, Minke sebagai seorang manusia memiliki kesempatan untuk menyimpulkannya melalui beberapa tahap.



Tahap Pertama, saya sebut sebagai konsep Sinecdoce totem pro parte, Sinecdoce pars pro toto.(Sebagian melambangkan keseluruhan, keseluruhan melambangkan sebagian) yang saya lihat ada di diri seorang Minke di bagian awal cerita. Tahap ini sangat penting dalam memandang bagaimana Minke mengenal identitasnya. Sama seperti manusia pada umumnya, tahap ini dilalui Minke ketika pertama kali ia berada di lingkungan sekolah yang mayoritas, atau bahkan keseluruhan dari populasi adalah kelompok yang sama yaitu bangsa Eropa, sedangkan ia sendiri adalah seorang Jawa, ia sendiri dan kesepian. Sehingga jika terjadi suatu konflik kecil saja, seorang Minke sebagai seorang individu akan menyamaratakan semuanya dalam persepsinya bahwa semuanya adalah sama. Trauma kesendirian ini akan melekat terus selama ia merasa sendirian.

Ketika trauma kesendirian itu telah melekat dalam diri Minke, event apapun yang memungkinkan terjadinya keadaan kesendirian itu akan dianggapnya sebagai suatu hal yang akan menindasnya. Seperti kalimat yang ada di pikiran Minke, ketika pertama kali mengunjungi rumah tuan Mallema,”Sekarang aku semakin mengerti: memang sudah jadi maksudnya untuk menghinakan aku di rumah orang. Dan sekarang aku hanya dapat mengunggu meledaknya pengusiran.”(2002: 15). Bukan hanya sampai di situ. Ketika Minke pertama kali bertemu dengan Annelies, anak Herman Mallema. Saat itu Minke masih belum berani menatap wajah Annelies hanya karena Annelies yang berkulit putih, halus dan berwajah Eropa. Yang ada di kepalanya hanya,”Tidakkah dia jijik padaku sudah tanpa nama keluarga dan pribumi pula?”(2002:14). Dalam kepalanya Minke sudah menyamaratakan bahwa semua orang Eropa akan merendahkannya. Pada bagian ini dapat dikatakan bahwa sebagai seorang individu, ia belum menyadari Bumi Manusia sebagai kumpulan yang terdiri dari individu-individu yang memiliki perbedaan satu sama lain.



Tahap Kedua lebih mengacu pada proses pencarian jati diri Minke sebagai seorang pribadi. Ini yang paling seru! Sebagian besar halaman dari buku ini mengangkat proses pencarian jati diri Minke, bukan kesimpulan, bukan pula ending dari perjalanan itu. Disadari atau tidak, dalam tahap ini seorang Minke mengalami bagaimana ia mudah menjadi kagum pada satu hal baru. Setelah itu, kekaguman itu dapat pindah ke hal lain. Ia selalu berpikir untuk mencoba-coba untuk mengenal dunia yang ia hadapi dan sekaligus mencari identitas sebenarnya. Di dalam proses ini beruntunglah Minke karena memiliki orang-orang yang mendukungnya, membuatnya memiliki konsep yang benar untuk dapat berhasil, sehingga ia tidak mudah pasang dan surut terlalu ekstrim pada konsep yang ia buat sendiri. Semua mengarah pada peningkatan kemampuannya untuk menghargai orang berdasarkan individu itu sendiri. Meskipun demikian, di buku ini belum diceritakan hingga tuntas akhir dari perjalanan mencari jati diri yang dilakukan Minke.





2. Bumi Manusia: Sebuah Narasi Pribadi Kolektif

Perasaan merasa dibutuhkan tampaknya menjadi manipulasi manusia pada umumnya. Minke secara khusus pun perlu untuk merasa dibutuhkan agar ia dapat menjalankan kehidupannya dengan optimis. Sebut saja Annelies berperan sebagai seorang kekasih yang amat membutuhkannya, yang akan sakit jika tidak bersamanya, yang bersedia mendengarkan dongengnya atau mungkin hanya sekedar berpura-pura mendengar untuk membuatnya senang. Peran Nyai Ontosoroh sebagai mama angkat yang melebihi peran ibunya sendiri. Juffrouw Magda Peters yang suka memberikan pujian akan tulisannya, satu-satunya teman yang tidak menjauhinya ketika ia dijauhi. Jean Marais mantan serdadu yang cacat dan kini tekun melukis bersama puterinya May, yang mengharapkan kunjungannya untuk bertamu ke rumah mereka.

Pengalaman orang lain yang diadopsi menjadi pengalaman sendiri sehingga membangun konsep yang benar mengenai manusia dan manusia lain. Yang ia dapat dari Annelies saat mempekenalkannya akan hubungan manusia dan binatang peliharaan, seperti kuda misalnya. Annelies sempat mengatakan,”Kau harus berterimakasih pada segala yang memberimu kehidupan, kata Mama, sekalipun dia hanya seekor kuda.”(2002: 32). Sketsa karya Jean Marais yang melukiskan seorang serdadu kompeni sedang menginjakan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet pada korbannya. Hendak membunuh dan hendak dibunuh.(bdk.2002: 53) Konsep berpikir Maiko seorang pelacur Jepang masa itu untuk mengumpulkan uang di negeri orang dan akan pulang untuk menikahi kekasihnya Nakatani.(bdk. 2002:188). Yang tidak kalah penting cerita Nyai Ontosoroh mengenai bagaimana Herman Mallema dengan sabar mengubah Nyai Ontosoroh hingga menjadi Nyai yang berpendidikan tanpa melalui bangku sekolah.

Pengalamannya bersama the others membuat Minke menyadari bahwa problem setiap manusia itu sama. Ia tidak lagi menjadi orang Jawa yang gumunan atas teknologi Eropa. Di Bumi Manusia, juga ada Annelies yang bercita-cita menjadi bangsa ibunya, kaum bumiputera. Robert Mallema yang ingin menjadi bangsa Eropa murni, bukan Indo. Maurits Mallema yang dendam pada keluarga ibu tirinya, karena merasa ditelantarkan ayahnya. Iri pada keluarga bumiputera yang dipandangnya rendah.(bdk. 2002: 373, 384). Semua itu membuat cara berpikir Minke menjadi matang untuk ukuran jaman itu.

Apa yang dipaparkan ini adalah bentuk yang saya sebut sebagai Narasi Pribadi Kolektif. Narasi ini menjadi bentuk pengalaman pribadi yang dipergunakan sebagai pertemuan dari pengalaman bersama. Dengan begitu, pengalaman-pengalaman itu membuat orang semakin kuat tanpa harus melalui semua pengalaman itu dalam hidupnya sendiri. Hal ini menjadi alasan mengapa Minke tidak perlu mengalami semua peristiwa yang dialami orang-orang di luar dirinya. Melalui pertemuan-pertemuannya dengan beberapa tokoh yang singgah dalam hidupnya, ia justru diisi sehingga eksistensinya semakin berisi. Bahkan hal ini pun tidak terjadi secara sepihak saja. Kita tahu bahwa Annelies pun misalnya, memiliki harapan akan masa depan melalui pertemuannya dengan Minke. Kedua-duanya saling mengisi dan menjadi sebuah narasi yang tidak dapat terbelah begitu saja.





3. Refleksi Bumi Manusia dan Pertanyaan tentang Manusia

Kepada saya, Bumi Manusia berbicara tentang sebuah ajakan untuk menjadi Minke. Bagaimanakah dalam dunia Minke kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di Bumi Manusia yang sesungguhnya. Hal demikian dapat dipahami karena bagaimanapun juga karya sastra yang bersifat fiktif selalu menjadi nyata ketika proses kehidupan mulai direnungkan. Tentu saja dalam hal ini akan berbeda cara mengapresiasikannya antara pribadi satu dengan yang lain. Pertanyaan terbesar dari sang Bumi Manusia yang dapat saya tangkap adalah, “Bagaimanakah hubungan antara Manusia dan Manusia lain yang sama-sama anak Bumi ketika salah satu dari mereka harus disudutkan oleh batas-batas yang seringkali tidak dapat ditoleransi oleh kemanusiaan itu sendiri?” Bukankah, telah disabdakan bahwa pada dasarnya setiap manusia ingin menjadi baik dan semakin baik?. Apabila dalam perannya seseorang merasa bersalah, ia benar-benar berniat kembali melakukan hal baik, diberi kesempatan, dan belum tentu ia menjadi baik. Namun, bila seseorang berpikir bahwa dirinya mempunyai konsep sendiri untuk menjadi baik, beri ia kesempatan. Yang ada hanya kemungkinan keberhasilan yang lebih. Tetapi tidak ada yang tahu apakah ia akan berhasil.

Setelah mendapatkan konsep yang benar, hal berikutnya yang dibutuhkan manusia adalah faktor lingkungan. Setiap manusia hanya berharap lingkungannya bersedia menerima perubahannya secara perlahan. Tidak ada manusia yang sengaja menyembunyikan perbuatannya. Seperti saat kita malu, tidak ingin orang lain tahu masalah keluarga kita. Setiap manusia hanya melindungi dirinya sendiri dengan tidak mengatakannya kepada orang lain. Pertanyaan bagi kita? ”Apakah kita akan mentoleransi batas-batas kebenaran yang dimiliki orang lain?” Sebuah arti yang sama dengan berpikir positif bahwa dalam diri orang lain juga ada kemungkinan bahwa ia akan mentoleransi batas-batas kebenaran kita. Mungkinkah di Bumi Manusia saat ini,”Masa depan alternatiflah yang telah menjadi sejarah sebenarnya.” Apakah masa depan merupakan sebuah jalan cerita yang dimana selalu terdapat jalan cerita alternatif, yang sebenarnya adalah sejarah yang sesungguhnya? Apakah sejarah sesungguhnya yang lebih baik, impian akan baik yang kita buang sendiri?

Ketika kita memperkirakan sebuah penilaian mengenai benar atau salah, bukankah yang diuji sebenarnya adalah bagimana cara pandang kita terhadap batas-batas kebenaran orang lain. Pertanyaan yang terus timbul,”Mungkin saja dalam tindakan yang dilakukan orang lain tersebut, batas-batas kita akan dilecehkan, dilanggar.” Pertanyaan ini menghantui kita dan menghasilkan jawaban,"Pasti" di dalam kepala kita. Ketika mencapai posisi demikian, lupalah kita bahwa komposisi pikiran di Bumi Manusia itu sama, di dalam diri orang yang kita anggap sebagai musuh kita, orang tersebut pun akan berpikir,"Apakah dia akan menghargai batas-batas yang saya anut, atau ia akan melanggar, menghancurkannya." Minke sendiri pun mencoba untuk memahami dan mentoleransi batas-batas di luar dirinya. Dengan cara seperti itu ia menjadi tidak eksklusif. Ia membuka dirinya pada dunia. Ini juga berarti bahwa ia mau menerima segala konsekuensi atas eksistensi dirinya dan menghargai eksistensi yang lain.

Memang, ada istilah,”Menyerang adalah pertahanan terbaik” ini memang berlaku di semua mahkluk di Bumi Manusia, tetapi bukankah kitalah sebenarnya yang melanggar batas-batas orang lain, kitalah yang menjadi penjahat yang melakukan kejahatan di diri orang lain. Sekarang, bagaimanakah jika kita mencoba berpikir sebagai pihak yang melakukan kejahatan? Dalam proses melakukan sesuatu selalu proses yang sama yang berawal dari konflik di dalam diri si manusia, lahirnya niat, lalu perencanaan (baik jangka panjang maupun jangka pendek), lalu ada moment sebelum melakukan hal yang dapat dianggap kejahatan tersebut, sampai akhirnya event dimana kejahatan tersebut terjadi. Bukankah dalam setiap bagian proses mulai dari konflik di dalam dirinya sendiri, niat, perencanaan, hingga moment sebelum terjadi, manusia selalu memiliki pilihan untuk memilih?

Kembali ke saat kita mengkhayalkan sebuah kemungkinan yang dapat saja merugikan kita di masa mendatang. Kita melakukan sebuah tindakan pencegahan. Bisa saja ada kemungkinan bahwa kejahatan itu terjadi karena kejahatan baru yang sebenarnya kita lakukan untuk melindungi diri kita. Dimana tanpa adanya tindakan pencegahan yang kita lakukan, kejahatan yang merugikan kita sebenarnya tidak perlu terjadi. Siapa tahu masa depan yang sebenarnya adalah apa yang kita impikan saat ini. Masa depan yang menjadi tempat bagi manusia untuk tidak sulit berbuat baik.

Mari bertoleransi, sebagai Sang Manusia di Bumi Manusia. Tak peduli, baik menang atau kalah dalam sejarah yang memiliki daya menggilas, melindas. Paling tidak kita telah mampu bertahan untuk tetap menolak pada penggusuran batas-batas yang kita anut. Bukankah kemenangan yang sesungguhnya adalah kemenangan untuk mengalahkan kekalahan kita sendiri? Rendah hati, mengatasi ketakutan, ketidakpuasan, kesombongan untuk tidak menang seperti Minke yang merasa dirinya bukan monyet.. Selamat menjadi Minke.





Jakarta, 2 Oktober 2003

Vincent C. Liong



(Tulisan ini pernah memenangkan Juara 1 lomba analisa Karya Sastra tingkat SMU Pekan Bahasa , 28 Oktober 2003 Sekolah Pelita Harapan dan sudah pernah dipublikasikan melalui majalah SINERGI INDONESIA)

No comments:

Post a Comment