Thursday, 27 January 2011

AGAM WISPI, SANG PENYAIR ITUPUN SAMPAI DI UJUNG PERJALANANNYA

AGAM WISPI, SANG PENYAIR ITUPUN SAMPAI DI UJUNG PERJALANANNYA

Ucapan Selamat Jalan Kepada Seorang Penyair

Oleh JJ.Kusni


Penyair dan penulis cerita pendek, Soeprijadi Tomodihardjo pada 31 Desember 2002
menyuratiku setelah hampir sepuluh tahun tak saling bertemu dan berkabar. Dalam
surat singkatnya itu Suprijadi antara lain menulis:

"Sementara itu saya kemarin mendapat berita tentang Bung Agam. Keadaannya kian
parah. Dokter bilang tinggal sedikit sekali harapan sejak kena radang paru
akhir-akhir ini. Semoga masih tersisa sejemput mikjijat agar Bung Agam kembali
sehat".

Pagi ini (01 01 2003), Suprijadi, yang pernah bersama-sama bekerja di sebuah
kantor berita, kembali mengirimku berita yang menyatakan:

"Bung Agam meninggal dunia tadi malam jam 01.00 di verplichthuis -- rumah jompo
tempat tinggalnya di Amsterdam selama ini".

Berita ini dikonfirmasikan oleh surat Mas Hersri Setiawan yang bersama-sama Bung
Sulardjo sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pengurusan jenazah Agam
Wispi. Kak Setiawan mengatakan dalam surat pandaknya bahwa jenazah Bung Agam
akan dikremasi -- hanya tanggalnya belum bisa mereka tetapkan. Agam Wispi
meninggal "pada jam 12.00 tengah malam tadi -- justru pada saat ganti tahun",
tulis Hersri (01 Januari 2003).

Berita dari kedua kawan ini mengingatkan aku kata-kata Agam Wispi yang dalam
pergaulan sehari-hari biasa dipanggil Bung Agam, disingkat Gam atau Wispi,
disingkat Wis. Hanya yang paling sering digunakan oleh teman-temannya adalah
Agam atau Gam. Kata-kata Agam berikut ini, ia tulis dalam sebuah sanjak "Ode
Untuk Pak Tuo" alias M.Husein seorang sahabat dari Minang yang juga telah lama
meninggal juga di negeri Belanda:

"bintang-bintang pudar di langit pagi musim panas
ah, mari berjalan dan berjalan sampai usia lemas"

Agam telah menepati ajakannya "mari berjalan dan berjalan sampai usia lemas"
ketika tadi malam pada pergantian tahun, ia yang dalam kata-katanya sendiri:

".........................
kau menutup mata
mati
sederhana begitu saja"

("Terzina Maut In Memoriam Yubadi Tarmidi"di dalam: "Di Negeri Orang, Puisi
Indonesia Eksil", Amanah Lontar & Yayasan Sejarah Budaya Indonesia, Amsterdam,
April 2002, hlm.37).

Kemarin malam Agam telah "menutup mata/mati/sederhana begitu saja" dengan "badan
sebatang di rantau orang"(dari sanjak A.Wispi: "Keluarga"). Agam sang penyair
itupun sampai sudah di ujung perjalanannya, dan perjalanannya berakhir di
"rantau orang" jauh dari tanahair dan pepohonan hijau tanahairnya yang inipun
juga sudah berada dalam ramalan Agam beberapa tahun dahulu:

"di mana kau
pohonku hijau?
dalam puisimu, wahai perantau
dalam cintamu jauh di pulau"

(dari sanjak: "Pulang")

Agam mengakhir perjalanannya dalam keadaan:

"indonesia! hanya tinggal kenangan"

(dari, Agam Wispi, "Ode Untuk Pak Tuo")

Jenazah Agam pun diurus oleh teman-temannya seperti halnya dengan teman-teman
se"eksil" Agam seperti halnya dengan pengurusan mereka yang telah meninggal di
berbagai negeri sebelumnya.

Mati seorang diri begini sebagai keadaan yang akan ia hadapi, sudah sejak lama
Agam lukiskan sendiri dalam sanjaknya:

"dan suatu hari: kau mati
dalam sunyi
tentu! sendirian: sendiri"

(dari:"Terzina Maut, In Memoriam Yubadi Tarmidi").

Rasa sendirian ini juga diungkapkan oleh Agam dalam kumpulan sanjaknya "Sahabat"
yang ia tulis sepulang dari Republik Demokrasi Djerman, serta dalam sanjaknya
"Pulang" yang ia tulis sebagai tanda terimakasih kepada Goenawan Mohamad yang
telah mengundangnya ke Indonesia:

"puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang"

Kalau sekarang jenazahnya diurus oleh kawan-kawannya seeksilan, hal inipun
sudah berada dalam perhitungan kesadaran Agam ketika ia menulis tentang arti
seorang sahabat baginya:

"ketemu sahabat lama mahabagia daripada
di surga mana pun!"

(dari: "Dua Sahabat Lama").


PERANAN PENYAIR DI MATA AGAM WISPI:

Agam memang lebih dikenal sebagai penyair karena karya yang lahir dari tangannya
terutama puisi dan sebuah karya drama berjudul: Gerbong. Artikel atau esei
sangat sedikit dia tulis untuk tidak mengatakan tidak pernah ia tulis. Pikiran
dan perasaannya lebih banyak ia tuangkan melalui media puisi.

Apa arti puisi dan peranan penyair dalam kehidupan bagi Agam? Hal inipun kita
dapatkan melalui puisi-puisinya, antara lain:

"asahan, penyair adalah pendahulu semangat zaman
tak ada tokoh politik berani minta maaf
kepada mendelstam
karena serangkum sajaknya mati disiksa
di siberia buangan"

(dari: Agam Wispi, "Kepada Penyair Asahan").

Sebagai "pendahulu semangat zaman" ini, Agam sebagai penyair selalu
memperhatikan dan menaruh harapan pada generasi muda sebagai pelanjut dan
pelaksana mimpi-mimpi manusiawi yang belum tunai, tentang mana antara lain ia
berkata:

"gugur bunga dari tampuknya
di musim nanti
berkembang lagi"

(dari: Agam Wispi, "Gugur Bunga")

Sanjak ini oleh komponis Utomo (bukan nama benar dan komponis Jakarta inipun
juga telah meninggal di Jerman Barat) telah dibuatkan lagu.

Hanya, bunga yang gugur dari tampuknya itu akan bisa berkembang lagi di musim
nanti apabila manusia dari generasi yang diharapkan Agam ini mampu:

"menziarahi dirinya sendiri
membangkitkan dalam diri apa-apa yang sudah mati"

(dari: Agam Wispi, "Ziarah")

Menurut Agam hanya dengan syarat demikianlah kita bisa menjadi satu sosok atau
generasi yang selalu menyala bagaikan matahari kedinginan sekalipun di tengah
salju berkilauan.

"matahari kedinginan
di atas salju berkilauan"

(dari: Agam Wispi, "Untuk Sitor")

Memang kedinginan karena suasana di luar yang mengitarinya tapi ia tetap
matahari yang memancarkan sinar dan:

"......................
njalanya
tak terpadamkan
hingga kini
nanti
dan kapanpun
njalanya panas menempa
badja kemerdekaan
badja kehidupan
ketika kita tidak lagi bertanja
pilih njala atau pilih badjanya?
dan kita merebut kedua-duanja"
..............................

(dari: Agam Wispi, "Surabaja", 1965).
..................

Boleh jadi lukisan ini juga menggambarkan wajah jiwa Agam hingga akhir
perjalanannya ketika "usianya lemas" dan "menutup mata/mati/dalam sunyi?"

Menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengutip apa yang ia tulis di rembang petang
usianya melalui sanjak "Ode Untuk Pak Tuo":

"di musim semi yang akan datang
taburkan bunga cinta persahabatan"

Sebagai penyair yang digambarkannya sebagai pejalan yang melangkah mendahului
zamannya, Wispi kembali dan lagi-lagi berkata bahwa matahari itu tetap ada
sekalipun nampak kedinginan di tengah salju. Musim semi akan tiba sekalipun
sekarang kita berada di puncak musim dingin. Keyakinan ini didasarkan pada
pengamatan betapa banyaknya "bintang-bintang berjatuhan di langit malam/fajar
merekah...", betapa banyaknya "bintang-bintang pudar di langit pagi musim panas"
karena itu bersama T. S. Eliot yang dikutip oleh Agam dalam sebuah sanjaknya,
menawarkan sebuah jalan keluar sesuai peranan penyair "mari berjalan dan
berjalan sampai usia lemas". Untuk menjadi "matahari yang selalu menyala" dan
mencapai "fajar merekah" dituntut ketahanan menghadapi dan mengalahkan dingin.
Tanpa ketahanan dan kesanggupan ini kita tidak bakal mampu menempuh jalan yang
juga oleh Arief Budiman disebut sebagai "jalan sunyi".

SELINTAS PERJALANAN HIDUP AGAM WISPI:

Agam lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Aceh. Memulai kariernya sebagai
wartawan dan redaktur kebudayaan di "Harian Kerakyatan" dan "Pendorong"
Medan dari tahun 1952 sampai 1957. Sewaktu pindah ke Jakarta tahun 1957, Agam
menduduki kedudukan yang sama sebagai redaktur kebudayaan di "Harian Rakjat"
sampai tahun 1962 (terseling antara 1958-1959, Agam belajar jurnalistik terutama
masalah percetakan, di Berlin). Sepulang dari Jerman Timur ia menulis kusanjak
"Sahabat". Antara tahun 1962 sampai 1965, Agam Wispi tercatat sebagai perwira
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) sekaligus dikenal sebagai wartawan dan
penyair dengan sanjak yang paling banyak dibacakan di mana-mana: "Demokrasi!"
yang antara lain berbunyi :

"jenderal
telah kupasang bintang-bintang di dada kalian
dari rejam tuan tanah dan lintah
kutuntut bintangmu: mana tanah!"

Pada bulan Mei 1965, Agam Wispi diundang ke Vietnam selama beberapa bulan dan
sempat bertemu dengan Ho Chi Minh dan karena terjadinya Tragedi Nasional
September 1965, sejak itu sampai Agam mengakhiri perjalanan hidupnya kemarin
malam, Agam tak bisa kembali ke Indonesia dan menjadi orang "klayaban" di luar
negeri.

Dari 1965 sampai Desember 1970, Agam bermukim di Republik Rakyat Tiongkok. Lalu
pada 1973 melalui Uni Soviet, sampai 1978 Agam bermukim di Leipzig, Jerman
Timur. Di kota ini -- kota yang tidak asing baginya, Agam menggunakan kesempatan
untuk belajar sastra di Institut für Literatur dan bekerja di perpustakaan
sebagai pustakawan di Deutsche Bucheret. Selama berada di kota ini pula , Agam
menulis kusanjaknya "Eksil" yang belum diterbitkan sampai sekarang dan
menyelesaikan terjemahan Faust karya W. Goethe serta sudah diterbitkan di
Indonesia.

Pada tahun 1988 Agam bermukim di Amsterdam sampai ia meninggal. Atas undangan
Goenawan Mohamad, Agam berkesempatan pulang (berkunjung sebentar) ke Indonesia
dan dari perjalanan ini ia menulis sanjak "PULANG" yang ia dedikasikan kepada
Goenawan Mohamad.

Sanjak Agam yang paling sering dibacakan di mana-mana sampai pada tahun 1965
sebelum Tragedi Nasional September 1965 adalah: "Demokrasi", "Matinya Seorang
Petani" dan "Latini" sama populernya dengan sanjak S.W. Koentjahyo: "Aku Anak
Tionghoa", "Tak Seorang Berniat Pulang" karya HR Bandaharo atau "Yang
Bertanahair Tapi Tak Bertanah", karya Sabarsantoso Anantaguna.

BEBERAPA KARYA-KARYA AGAM WISPI:

Seperti kukatakan di atas, Wispi terutama banyak menulis syair daripada
bentuk-bentuk sastra lainnya. Waktu di Medan, ia telah menulis sebuah drama
Gerbong yang agaknya merupakan karya drama tunggalnya karena setelah itu Agam
memusatkan perhatian pada penulisan puisi. Sanjak-sanjak ini terkumpul baik
dalam bentuk antologi bersama maupun dalam bentuk antologi tunggal alias
perorangan.

Yang dalam bentuk antologi puisi bersama antara lain: "Matinya Seorang Petani"
Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakjat, Jakarta, 1961); "Kepada Partai"
(Jajasan Pembaruan, Djakarta,1965); "Viva Cuba!",(Jajasan Pembaruan, Jakarta,
1963); "Nasi dan Melati" (tidak ingat penerbit dan tahunnya); "Di Negeri Orang,
Puisi Penyair Indonesia Eksil", (Amanah Lontar Jakarta dan Yayasan Sejarah
Budaya Indonesia, Amsterdam, April 2002); "Berdua Sejalan" (bersama Asahan Aidit
-- belum terbit).

Sedangkan antologi perorangan antara lain: "Sahabat" , "Yang Tak Terbungkamkan"
(Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakjat, Jakarta, 1965), Kronologi In
Memoriam 19853-1994, Eksil (belum terbit) dan karya-karya terpencar lainnya di
berbagai majalah dan suratkabar baik di tanahair maupun di luar negeri. Sejak
bermukim di Belanda, Agam turut serta menangani dan menyumbang majalah
kebudayaan :Arah dan Kreasi.

BEBERAPA PUISI AGAM WISPI:

Untuk lebih mengenal Agam sebagai penyair di bawah ini, aku sertakan beberapa
puisi almarhum:

LATINI

latini, ah latini
gugur sebagai ibu
anak ketjil dalam gendongan

latini, ah latini
gugur diberondong peluru
baji mungil dalam kandungan

tanah dirampas
suami dipendjara
tengkulak mana akan beruntung?

desa ditumpas
traktor meremuk palawidja
pembesar mana akan berkabung?
gugur latini sedang masjumi berganti baju
gugur pak tani dan dadanya diberondong peluru
gugur djenderal, mulutnya manis hatinya palsu

beri aku air, aku haus
dengan lapar tubuh lemas
aku datang pada mereka
aku pulang padamu
sedang tanah kering dikulit
kita makan samasama
kudian muram
latini, ah latini
tapi, ah, kaum tani
kita yang berkabung akan mebajarnya suatu hari

(Dari antologi:"Matinya Seorang Petani", Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan
Rakjat", Jakarta ...)



MATINJA SEORANG PETANI

(buat L. Darman Tambunan)

1.

depan kantor tuan bupati
tersungkur seorang petani
karena tanah
karena tanah

dalam kantor barisan tani
silapar marah
karena darah
karena darah

tanah dan darah
memutar sedjarah
dari sini njala api
dari sini damai abadi

2.

dia djatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala

ingatannya melajang
didakap siksa
tapi siksa tjuma
dapat bangkainja

ingatannja kedjaman-muda
dan anaknja jang djadi tentera
-- ah, siapa kasi makan mereka? --
isteriku, siangi padi
biar mengamuk pada tangkainja
kasihi mereka
kasihi mereka
kawan-kawan kita
suram
padam
dan hitam
seperti malam

3.

mereka berkata
jang berkuasa
tapi membunuh rakjatnja
mesti turun tahta

4.

padi bunting bertahan
dalam angin
suara loliok disajup gubuk

menghirup hidup
padi bunting
menuai dengan angin

ala, wanita berani djalan telandjang
di sitjanggang, di sitjanggang
dimana tjangkol dan padi dimusnahkan

mereka jang berumah apendjara
baji digendongan
djuga tahu arti siksa

mereka berkata
jang berkuasa
tapi merampas rakjatnja
mesti turun tahta
sebelum dipaksa

djika datang traktor
bikin gubuk hantjur
tiap pintu kita gedor
kita gedor.

-----------
Keterangan:
+ Loliok ialah suling dari batang padi dalam sebutan kanak-kanak

(Sumber: Antologi Bersama, "Matinya Seorang Petani").

Kedua puisi Agam tersebut berlatarbelakangkan sejarah perlawanan kaum tani dalam
mempertahankan tanahnya dari penggusuran. "Latini" mengambil latarbelakang kasus
konflik di Kediri sedangkan "Matinja Seorang Petani" berlatarbelakangkan konflik
di Tanjung Morawa, Sumatera Utara.

Adapun sanjak dua baris berikut adalah kesimpulan Agam terhadap kehidupan
"klayaban"nya di luar negeri.

Untuk Sitor

matahari kedinginan
di atas salju berkilauan

(Sumber: Antologi Bersama, "Di Negeri Orang. Puisi Penyair Indonesia Eksil",
Amanah Lontar Jakarta & Yayasan Sejarah Budaya Indonesia, Amsterdam, April
2002).

Selamat jalan Bung Agam. Tahun Baru 2003 diawali dengan Indonesia kehilangan
seorang penyairnya. Cinta kita kepada tanahair dan mimpi manusiawi tidak
memerlukan pengakuan resmi.Mereka adalah pilihan dan janji pada diri kita
sendiri. Cinta dan mimpi manusiawi ini telah membuat kita jadi "klayaban" dan
cinta serta mimpi manusiawi ini seperti "matahari" sekalipun "kedinginan" oleh
kilauan salju musim dingin, tetap memancarkan sinar. Kau sudah membuktikannya
sampai di ujung perjalananmu yang sepi.

Perjalanan 2003.

No comments:

Post a Comment