Agam Wispi
AGAM WISPI (1930-2003) Wartawan dan penyair Indonesia yang amat berpengaruh di era 1950-an dan awal 1960-an, namun pengaruhnya berusaha dihilangkan oleh para penyair muda sezamannya. Bentuk puisi Agam mengandung bahasa dan ungkapan yang khas dan sarat emosi, dan dia terkenal karena lincah dalam mengulas kata. Sejak gagalnya kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) 30 September 1965 Agam terpaksa tinggal di pengasingan karena dia terkait dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. Nama Agam pada masa Orde Baru tak pernah disebut-sebut dalam buku-buku pelajaran sastra dan bahkan namanya hampir terlupakan di tanah airnya sendiri.
Puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang / Puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang
Agam Wispi lahir di Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara, pada 31 Desember 1930. Dia dibesarkan di Medan dan sempat mengenyam pendidikan di Perguruan Kita Muhamadiyah hingga SMA Pembaruan Medan. Agam kemudian menjadi wartawan di harian Pendorong Medan. Setelah meliput “Peristiwa Tanjung Morawa” – di mana salah seorang demonstran petani yang menuntut hak menggarap tanah tertembak mati – Agam Wispi menulis puisi, yang selalu dia sebut sendiri sebagai “titik bakar puitisnya” sebagai penyair, yang diberi judul ‘Matinja Seorang Petani.’ Selama menjadi wartawan ini dia berkawan dengan penulis terkenal seperti Sitor Situmorang, Bakri Siregar dan Hr Bandaharo. Bakri dan Bandaharo inilah yang memperkenalkannya pada lingkaran pergaulan Lekra Sumatera Utara.
Pada 1957 Agam pergi ke Jakarta dan menjadi redaktur budaya Harian Rakjat yang merupakan organ PKI. Pada periode ini dia banyak dipengaruhi oleh Njoto, tokoh komunis terkemuka, yang membawanya ke bidang sejarah sastra. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris I Lekra, Sekretaris Direksi Drama/Sastra Lekra dan Sekretaris Seksi Sastra Lekra. Agam berusaha meninggalkan propaganda verbal dan mengusahakan mensejajarkan antara isi dan bentuk agar tercapai perpaduan mutu ideologis dan estetis. Sajak panjangnya yang berjudul ‘Jakarta O Jakarta’ dimuat memenuhi satu halaman koran. Tentang sajaknya yang panjang Agam mengatakan, “Saya ingin membikin sebuah sajak yang merupakan satu simfoni. Jadi bukan hanya satu keping, satu keping; satu keping sajak itu saya katakan hanya satu lagu. Ini saya katakan satu simfoni” (Koran Tempo 5 Januari 2003).
Pada 1960-an dia menjauhi lingkaran sastrawan kiri karena tak sepakat dengan sloganisme yang mereka usung, dan kemudian masuk ke Angkatan Laut, sembari tetap menjadi koresponden Harian Rakjat. Pada 7 Mei 1965 Agam dikirim ke Vietnam untuk meliput perang dan sempat mewawancarai Ho Chi Minh. Sebelum ke Vietnam Selatan dia mampir ke Peking untuk bergabung dengan delegasi Indonesia yang diundang mengikuti perayaan hari nasional Tiongkok tanggal 1 Oktober. Karena terdengar kabar simpang-siur tentang situasi di Indonesia pasca kudeta yang gagal, Agam bersama orang-orang yang ikut delegasi tak bisa pulang Sejak itu Agam menjadi imigran politik dan hidup berpindah-pindah di Belanda, Perancis, Jerman, Rusia dan Swedia, sebelum akhirnya menetap kembali di Amsterdam sejak 1988. Agam kembali mengunjungi tanah airnya pada tahun 1999 dan kembali lagi pada 2000 untuk bercerai dengan istrinya.
Agam tak pernah pulang kembali ke Indonesia. Dia meninggal dunia pada 1 Januari 2003 di Verpleeghuis – sebuah rumah jompo – dan dikremasi pada 7 Januari di Westgaarde, Amsterdam. Karya-karyanya masih ada yang belum diterbitkan dan ada yang diterbitkan dalam jumlah terbatas. Karya-karyanya itu antara lain Yang Tak Terbungkamkan (1960); Puisi Perang (1970); Di Atas Puing (1971); Eksil (1988) dan Berdua Sejalan (1996, bersama Asahan Alham). Sebelum meninggal dia sempat menyusun jejak langkahnya sendiri lewat puisi Kronologi in Memoriam (1953-1994).
No comments:
Post a Comment