Wednesday, 19 January 2011

DENGAR KELUHAN POHON MANGGA

DENGAR KELUHAN POHON MANGGA

Maria Amin




Dari tangan manusia aku diletakkan ke dalam lubang dan ditimbun dengan tanah. Setelah terpendam dalam tempat yang kelam itu aku ingin melihat ke luar, kalau ada tempat yang lain, kuharapkan sinar terang. Aku ingin, hasrat melihat di luar tempat kediamanku yang sempit ini. Dalam hati selalu berharap dan bertanya mungkinkah ada yang lain, selain dari dunia ini? Sebulan kuterpekur dalam tempat yang gelap itu.

Sebulan sebenamya lama benar aku menunggu hasrat hati yang hendakkan sinar matahari. Sebulan aku terpekur, mundur maju hatiku, melihat kesangsian yang akan kupastikan kelak. Jika ada dunia yang baik, di balik dunia ini, memang itu yang kuharapkan. Jika di balik dunia ini celaka juga yang kuderitakan sebagai sekarang ini... akh... nasibku benar rupanya yang menjadi suratan badan. Dari sehari ke sehari bertambah ingin aku melihat cahaya matahari dan merasakan ni'mat sinar.

Dua minggu badan setinggijengkal. Dengan batangku yang kaku dan masih muda itu, kulihat ke kiri ke kanan dengan congkak, kalau-kalau ada yang melebihiku. Dalam hatiku timbul takbur.

Matahari itu akan kucapai dan kuserang. Aduh... aku hampir kecewa sebab di sebelahku batang pinang yang ramping, melambai daunnya diembus angin mengorakkan daun. Daun yang rampak itu mengejekkan daku, bertepuk-tepuk ke sana kemari hina rendah memandangku. la, tentu ia... akan dahulu mencapai langit dan memberi salam kepada matahari si Ratu Sinar itu. Aku, ... tentu kecewa. Malu aku, rasakan ta' mau berdampingan dengan pohon pinang itu. Tetapi ya..., akan masuk ke dalam lagi, ke tempat yang lama aku ta sanggup lagi. Batang dan daun yang lembut ini ta dapat mencocokkan diri ke dalam tempat yang lama itu; hidupku yang baru ini ta' dapat sesuai lagi di lubang sempit gelap kelam itu.

Akan tumbuh melebihi pohon pinang... ? akh, rasanya ta mungkin, awak yang tinggi sejengkal kawan telah beratus kali lebih tinggi dariku. Jangan saja dating angin keparat meniup batangnya, yang ramping itu Pohon pinang musuh hidupku itu selalu melempar dengan buahnya yang telah busuk mengancam hidupku. Sekali,... hampir benar kena pucukku yang muda itu,... untung masih ada nasib akan hidup panjang Dengan kemalu-maluan kucoba juga membabarkan dua helai daunku, tetapi tentu ta' setanding dengan daun pinang itu. Setahun... dua tahun... ke enam tahunnya.


Pohon pinang yang ramping permai melenggang lenggok dengan daunnya, bersorak-sorai menimbulkan in hatiku. Sombong nian pohon itu congkak-melagak. Melenggang sepanjang hari. Riang girang bersorak-sorai selama waktu. Ta' tentu alam kelam dan panas tenk, hujan petir guruh-gemuruh. Dalam hati terbit ingin bertalu-talu iri cemburu melihat teman digantungi bola emas meluyut di bahu. Beberapa seluk anggotaku terpaksa kutanggalkan. Kutolak hidupnya. Jatuh ke bumi. Kering kuning, daun yang hijau berserak di bawah. Gundul aku oleh nasib yang dibikin-bikin ini.

Merangai* tabi'atku memaksa hidup seperti ini. Batangku seakan-akan ta' sudi menerima air hujan Kupilih hidup begini dalam musim kehausan. Lesu letih sekujur tubuhku. Pada pohon pinang tadi jangan dikatakan lagi maluku, ta' dapat dibandingkan. Sebab padanya tidak dia semerangai ini. Beberapa kali aku menanggung hidup yang diayun, diempas, berjuang sengsara.

Sejak dari tangan manusia sampai ke dalam tanah dan terus pula menjadikan buah. Napas sebuah-sebuah, hampir ta' sanggup menderita tiap-tiap perubahan hidupku ini. Merana hidupku.

Pada beberapa ranting kecil-kecil menjulur putik. Inikah yang dikatakan menjadi buah, sebagai pohon pinang dengan pinangnya? Beginikah yang dirasai oleh pohon pinang itu sebagai kurasai sekarang ini?

O Tuhan, kalau pohon mangga pandai berbicara tentu dia akan bercerita apa yang telah dideritanya waktu tumbuhnya. Ahli filsafat dan orang pandai-pandai hanya dapat mengetahui hidupnya itu dan mengerti keluhan pohon mangga tadi.
• Keluhan orang tua yang sudah seperti anak kecil.

No comments:

Post a Comment