Di Atas Bukit Di Bawah Langit
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Anak manusia, lelaki, tapi dasar dia adalah seorang Lelaki Pendosa. Dia memang lelaki, namun tubuhnya tidak sekuat jiwanya dalam menempuhi hari. Lelaki kurus yang diberati timbangan dosa. Sepertinya dia tidak pernah perduli akan itu. Dia terus mengembara, menempuhi perjalanan yang terasa semakin semakin memukau semenjak kedatangan Perempuan Pendoa di dalam langkah perjalanan sunyi. Kakinya berkelana, tangannya yang lentik bermain kata menyeret seorang perempuan yang telah memenjara jiwanya. Perjalanan Lelaki Pendosa harus ada Perempuan Pendoa di sana, sebab jiwa sang lelaki telah terlumpuhkan begitu saja. Terlumpuhkan tanpa peperangan. Menyerah tanpa pemberontakan.
Pada keheningan sore, ketika hujan rintik untuk sejenak, jalan-jalan padat kota mereka tinggalkan. Ada angin dari selatan yang menantang. Langit di atas telah berwarna jingga, dengan gumpalan-gumpalan hitam di beberapa sudut. Pada sudut-sudut jalan yang lain, sisa-sisa kelopak mawar yang mulai layu masih tertinggal. Tidak hanyut dibawa hujan. Tidak juga berhamburan ketika angin meluncur tanpa penghalang.
Lelaki Pendosa menyeret langkah bersama Perempuan Pendoa. Melaju di dalam satu irama yang hening.
“Tentang apa?” Tanya orang-orang yang memandang sinis, memandang penuh curiga akan Pendoa dan Pendosa.
“Cinta!” begitu jawab Pendoa dan Pendosa di dalam hati dalam senyuman kecil.
“Cinta apa antara doa dan dosa?” orang-orang kembali menanyakan namun Perempuan Pendoa menggelengkan kepala dalam senyuman. Ia memandangi sang Pendosa yang menatap teduh dan tenang.
“Kesatuan!” jawab Lelaki Pendosa dan Perempuan Pendosa bersamaan.
“Satu antara doa dan dosa.” Sang Pendosa menegaskan dalam senyuman lebar dan menantang dunia.
Tidak ada lagi yang bertanya. Mereka berdua melaju ke selatan, menanjaki bukit karang yang terjal namun dibelai air dan hancur. Pendoa dan Pendosa berdiri, di atas bukit memandangi ke bawah. Ombak yang memutih, berbuat bercampur kecoklatan yang entah datang dari mana. Berlarian seperti anak kecil, atau lelaki kasmaran yang melihat pantai bak perempuan terkasih yang telanjang. Lalu keduanya bergumul dalam irama yang pasti. Ombak ditarik lagi, seperti hasrat yang telah terpuaskan setelah mencumbui pantai yang hangat setelah dibelai matahari. Lalu sesaat kemudian, hasrat itu pun kembali lagi, ombak datang dan membelai pantai.
Kegelapan tiba-tiba membungkus. Tidak ada yang terlihat. Bahkan Pendoa dan Pendosa tidak mampu melihat diri mereka sendiri. Kegelapan begitu pekat, hanya gemuruh ombak yang terus memacu hasrat tak tertahankan. Bergemuruh di dalam kegelapan yang pekat.
Perempuan Pendoa menggelengkan kepala, “Ini tidak benar!” ucapnya dengan penuh kepastian. “Ini bukan saatnya!” ucapnya kembali sementara Lelaki Pendosa telah tenggelam di dalam kegelapan.
Walau telah terbungkus dalam kegelapan, sang Pendosa masih bisa mendengar kata-kata kekasihnya yang membisik di telinga. Sang Pendosa menarik nafas, menarik diri dari kegelapan lalu melihat dua bola mata yang memancar indah. Dia rasa sedang melihat bintang. Lalu bibir yang tersenyum, basah seperti telaga yang dapat memberikan penawar atas racun kehidupan. Telaga yang manis, merubah penderitaan menjadi kebahagiaan dan hiasan yang penuh makna dengan rekahan panjang.
“Semua belum terlafalkan dengan baik, Sayang!” ucap sang Pendosa sambil menggenggam erat tangan kekasihnya, suaminya.
Sang Pendosa memandangi mata bening yang memancar indah. Ia menganggukkan kepala dan menarik diri. Matahari tumbuh dari timur. Ia merayapi gunung yang dingin. Perlahan-lahan anak panah sinarnya melesat jauh dan jatuh berpendar di bumi. Lelaki Pendosa dan Perempuan Pendosa berdiri di atas bukit. Keduanya sedang bermandikan cahaya matahari yang hangat. Keduanya bernaung di bawah langit yang terhampar pucat
Perempuan Pendoa kembali tersenyum. Telaga itu merekah semakin lebar ketika pandangannya tergantung pada garis putih yang berada di depannya.
“Langit dan Bumi seperti bersatu. Tapi selalu ada garis putih yang menjadi jarak antara keduanya.” Ucap Perempuan Pendoa dalam senyuman. “Begitu luas.”
“Yah, luas.” Sahut sang Pendosa yang terlihat tidak tertarik dengan alam yang ada di depannya.
“Volume air itu tetap, tapi daratan terdesak ke belakang.” Ucap Perempuan Pendoa.
“Daratan juga akan tetap sama. Ada yang terdesak ke belakang. Ada yang terdesak ke depan.” Ucap Lelaki Pendosa dalam senyuman.
“Ah, Sayang,” Perempuan Pendoa mencoba mengalihkan pandangan sang Pendosa yang terpaku kepadanya, “di depan ada pemandangan yang indah, Sayang. Garis putih yang lurus, cakrawala.”
“Kaki ini telah melangkah begitu jauh, memandang ke seluruh penjuru namun di sana tidak ada yang indah. Masih ada yang keindahan yang memancar dengan tulus dalam pengertian dan penerimaan atas seorang pendosa. Kalau di sampingku ada keindahan yang lebih indah, apa aku masih bisa menikmati selain menikmati keindahanmu?” ucap Lelaki Pendosa dalam senyuman.
“Jangan menggodaku, Mas!” ungkap Perempuan Pendoa dalam senyuman dan tatapan mata yang berbinar.
“Dalam pandangan manusia, ada garis putih yang lurus, batas pandangan kita.” Lelaki Pendosa mengucapkannya dengan masih memandangi dua bola mata Perempuan Pendoa sedangkan telunjuk kanannya mengarah ke tengah lautan. “Batasan pandangan, namun sebenarnya wilayah tanpa batas. Cakrawala, wilayah indah yang dipenuhi makna. Tiada terbatas. Dan saat ini, aku sedang melihat cakrawala itu. Batas pandanganku atas wilayah tanpa batas, atas makna hidupku!” ucap Lelaki Pendosa dengan masih memandangi dua bola sang kekasih yang semakin berbinar.
Perempuan Pendoa tersenyum lalu dengan tanggannya yang lembut mengusap wajah sang Pendosa. “Dalam dosa dan doa, ada yang membatasi. Garis putih yang lurus. Wilayah tanpa batas, penuh dengan semangat. Wilayah itu bernama harapan. Dan aku baru menyaksikannya. Batasan pandanganku. Harapanku.” Ucap Perempuan Pendoa pada Lelaki Pendosa yang kini menundukkan kepala sambil tersenyum malu.
Bantul – Studio Semangat Desa Sejahtera Fictionbooks
Sabtu, 17 Juli 2010
No comments:
Post a Comment