Kisah Seputar Hutan JAWA
Hutan Jawa seringkali luput dari pembicaraan ketika orangorang
ramai membicarakan hutan Indonesia
Setidaknya ada tiga p e n y e b a b n y a .
P e r t a m a ,
mungkin karena hutan Jawa,
dibandingkan hutan di pulau besar lain,
tidaklah luas. Sebab kedua, barangkali,
karena sebagian besar hutan Jawa tidak
bisa dianggap hutan karena wujudnya
yang lebih mirip kebun kayu homogen.
Bisa disamakan dengan hutan tanaman,
dan ada sementara orang yang
berpendapat bahwa hutan tanaman—
apalagi yang homogen—bukanlah hutan.
Sebab ketiga, ada anggapan bahwa hutan
di Jawa tidak banyak melindungi spesies
langka dan unik.
Ketiga ‘prasangka’ tersebut ada benarnya.
Dua dugaan pertama memang bisa
dibenarkan oleh fakta, dan justru itu yang
menjadi alasan mengapa hutan Jawa
sangat krusial untuk dibicarakan, terutama
dalam kon.teks demografi pulau Jawa
sebagai pulau berpenduduk sangat padat.
Lebih dari separo penduduk Indonesia
tinggal di pulau sekecil Jawa1.
Hutan Jawa itu Tidak Luas
Betul bahwa hutan Jawa sangatlah sempit.
Luas hutan Jawa keseluruhan, menurut
perkiraan GFW, pada tahun 1997 seluas
1,9 juta hektare. Luasan ini berada di
bawah angka luasan hutan di Maluku (5,8
juta ha), Sulawesi (hampir 8 juta ha), dan
jauh di bawah Papua dengan luasan 33 juta
hektare lebih. Tabel 1 menjelaskan tipe
hutan yang terdapat di Pulau Jawa2.
Lebih jauh lagi, persentase hutan di Pulau
Jawa sangat rendah, yaitu hanya 14% dari
total luas daratannya. Sementara di pulau
besar lainnya masih terdapat 35-81%
hutan. Dari angka ini terlihat bahwa jika
hutan di pulau lain masuk dalam kategori
‘rusak parah’, maka hutan Jawa masuk
dalam kategori ‘telanjur dibiarkan rusak
parah terlalu lama’.
Justru karena hutan Jawa sangat sempit
dan langka itulah pelestariannya menjadi
sangat relevan untuk dibicarakan. Kembali
mengingat penduduk Jawa yang sangat
padat, maka ada dua hal yang perlu
dikaitkan dengan persoalan hutan ini.
Pertama, hutan Jawa mengalami tekanan
yang besar dan terus menerus didesak oleh
kebutuhan akan lahan pertanian. Yang
kedua, kerusakan hutan yang kemudian
menyebabkan banjir dan longsor selalu
menimbulkan penderitaan bagi banyak
orang karena—dimanapun bencana itu
terjadi—selalu terjadi di daerah padat
penduduk. Banjir rutin di Jakarta,
misalnya, adalah contoh yang paling
klasik.
1 Tepatnya, penduduk Jawa pada tahun
1999 adalah 116.324.536 jiwa. Luas
pulau Jawa adalah 131.412 km2.
Kepadatan penduduk Jawa adalah 887
jiwa/km2. Ada 6.381 desa di Jawa yang
bertampalan dengan hutan atau berada
di tengah hutan sepenuhnya. Jumlah
desa hutan ini adalah seperempat
jumlah desa di Jawa.
Ada beberapa peringatan yang harus
saya sampaikan dalam membaca tabeltabel
dalam tulisan ini. Angka ini adalah
hasil rata-rata beberapa peta yang
memiliki cara perhitungan yang
berbeda. Angka ini kemudian di
proyeksikan dengan luas hutan pada
tahun 2000.
Tabel 1. Luas Hutan Berdasarkan Tipe Hutan
Tipe Hutan Luas
(hektare)
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Sekunder
Hutan Mangrove Primer
Hutan Mangrove Sekunder
Hutan Tanaman Industri
TOTAL
394.750
556.662
8.863
11.866
903.359
1.875.500
Sumber: Peta penutupan hutan, Pemerintah RI/Bank Dunia, 1997; Peta
penutupan lahan, NFI/World Bank 2000; Data penutupan hutan, UNEP/
WCMC, 2000 (berdasarkan data REPPPROT)
Foto: Bob/FWI
2 intip hutan | maret 2003
Jadi inilah inti persoalannya. Sudah
hutannya sedikit, digerogoti oleh
kebutuhan lahan, sekali hutan itu rusak
membawa banyak korban pula. Sesudah
kerusakan hutan sepanjang sejarah
kolonial, hutan Jawa kini sedang
mengalami perusakannya yang paling
parah dan cepat, baik di hutan produksi
maupun di kawasan lindung dan areal
konservasi. Penyebabnya, tak lain adalah
penjarahan besar-besaran sejak 1998.
Kekritisan Jawa semakin gawat saja ketika
dalam waktu hanya 3 tahun Pulau Jawa
telah kehilangan lebih dari seperempat
hutannya (lihat tabel 2 berikut3).
Ada sebuah energi yang sangat kuat dalam
menggerakkan mesin-mesin perusak
hutan itu di seluruh Jawa. Energi uang,
itu satu. Tetapi energi uang ini tidaklah
akan bisa bergerak leluasa jika tidak
dibarengi dengan energi yang jauh lebih
besar. Energi dari masyarakat yang
kecewa dan marah. Seorang antropolog
menyebut penjarahan hutan ini sebagai
perlawanan sosial atas ketidakadilan
sistem produksi hutan4. Ya, sebagian besar
hutan di Pulau Jawa adalah hutan
tanaman.
Sebagian Besar Hutan Jawa
adalah HTI
Lagi-lagi, prasangka ke dua benar adanya.
Dan sekali lagi, justru inilah persoalannya.
Sebagian besar kawasan hutan di Jawa
adalah hutan produksi, terutama jati, yang
dikelola oleh Perhutani, satu-satunya
HPH(TI) yang beroperasi di Jawa.
Apa yang salah dengan pengelolaan HTI
di Jawa. Pertama, ada pendapat yang
mengatakan bahwa hutan tanaman,
apalagi yang homogen, tidaklah dapat
disebut sebagai hutan. Tetapi ada masalah
yang lain yang lebih mendesak untuk
diselesaikan, yaitu sistem produksi
hutannya. Hutan produksi di Jawa tidak
pernah membawa kemanfaatan bagi
masyarakat luas. Lebih dari itu sistem
pengelolaan ini justru meciptakan
kemiskinan struktural warga sekitarnya
karena akses mereka terhadap sumber
daya alam ini sangat terbatas.
Sistem pengupahan petani yang
dikembangkan dari periode ‘pengelolaan
hutan ilmiah’ abad 19 sangat tidak adil dan
merugikan para petani. Hanya
keterpaksaan dan kebutuhan akan lahan
sajalah yang membuat mereka tetap ‘setia’
membantu pengelolaan hutan jati. Tabel
3 adalah hasil penelitian beberapa desa di
sekitar KPH Randublatung yang
menjelaskan ketidakadilan sistem tarif
upah Perhutani.
Tabel ini menunjukkan bahwa petani
mensubsidi Perhutani sekitar 590 ribu
rupiah dari setiap hektar proyek
penanamannya. Tidak kurang, petani pun
selalu disuluhkan untuk ikut bertanggung
jawab atas kemanan jati, sementara pada
setiap tebangan tidak secuil pun kayu
dibagi-hasilkan kepadanya. Pembiaran
Tabel 3. Subsidi Petani kepada Perhutani melalui
pekerjaan tanam
Pengeluaran Petani per hektare
Babat/Resik
Gebrus I
Gebrus II
Bahan Baku
Buat Acir
pasang Acir
Langsir bibit
Tanam Bibit
Alat Pertanian
JUMLAH
Sumber: Laporan Bulanan ARuPA: Studi Kasus Sembilan Desa di BH
Randublatung, 2001
46
133.71
38
2
4
14.81
31.15
414.000
1.203.390
342.000
9.000
18.000
36.000
133.290
280.350
33.333
2.463.363
Pekerjaan HOK/ha Rupiah
Pemasukan dari Perhutani
Rupiah Tarif Upah
24.000
100.000
11.110
11.110
11.110
1.722.800
1.880.130
Uang Kontrak
Uang Pengolahan
Buat & Pasang Acir
Langsir Bibit
Tanam Bibit
Hasil Tumpangsari
sebagai upah
Tabel 2. Kehilangan Hutan Jawa antara Tahun 1997-2000
Propinsi
BANTEN
JAWA BARAT + DKI
JAWA TENGAH + DIY
JAWA TIMUR
TOTAL
109.321
373.902
193.537
656.053
1.332.803
Sumber: Peta penutupan hutan, Pemerintah RI/Bank Dunia, 1997; Peta penutupan lahan, NFI/World
Bank 2000; Data penutupan hutan, UNEP/WCMC, 2000 (berdasarkan data REPPPROT)
Tutupan Hutan Tutupan Hutan Kehilangan
1997 (Ha) 2000 (Ha) Hutan (Ha)
98.957
256.153
123.789
564.903
1.043.702
30.983
224.450
93.051
136.469
484.953
22.08
37.51
32.47
17.22
26.68
Persentase
Kehilangan
intip hutan | maret 2003 3
Tabel 4. Kerugian Akibat Gangguan Keamanan hutan Perhutani (1995-1999)
Pencurian pohon
Pencurian Kayu PTK
Pencurian Kayu BKR
Pencurian lain
Bibrikan hutan
Babad liar tanaman
Kebakaran hutan
Penggembalaan liar
JUMLAH
Bencana alam
TOTAL
phn
x Rp. 1000
m3
x Rp. 1000
sm
x Rp. 1000
x Rp. 1000
ha
x Rp. 1000
ha
x Rp. 1000
ha
x Rp. 1000
ha
x Rp. 1000
x Rp. 1000
ha
phn
x Rp. 1000
x Rp. 1000
200.273
3.525.140
5
--
--
629
39.044
10.172
9.530
8.663
111.886
148
2.931
3.688.531
119
116.481
550.921
4.239.452
202.192
3.369.919
36
4.042
--
--
715
10.126
109.263
66.110
5.686
49.070
137
4.200
3.503.467
33
68.040
320.016
3.823.483
202.947
2.960.537
11
854
--
--
1.849
24.531
16.662
12.993
373.782
452.886
91
3.080
3.454.881
240
145.677
480.908
3.935.789
1.097.716
49.243.567
155.246
71.550
--
18.002
15.104
236.958
110.827
2.040.242
7.063
54.841
53
4.030
51.651.188
1.207
96.984
962.500
52.613.688
3.179.973
55.851.084
285
16.222
46
103
35.467
15.378
223.700
336.168
1.847.798
374.944
194.345
843
13.587
58.182.306
1.239
108.089
212.708
58.395.014
1
2
3
4
5
6
7
8
9
No Uraian Satuan 1995 1996 1997 1998 1999
Sumber: DKP/Biro Kamagra dan Humas Perhutani, 2000
petani atas setiap kejadian penjarahan
hutan sebetulnya dapat menjadi indikasi
adanya sebuah konflik terpendam antara
petani dengan Perhutani.
Konflik, Produk Hutan Jawa
yang Lestari
Masyarakat Jawa—kecuali pada masa
pra-kerajaan—praktis tak pernah
mengalami kebebasan dalam mengelola
sumber daya alamnya sendiri, termasuk
dalam mengelola hutan. Pada zaman
kerajaan, kekuasaan sudah mengatur tatacara
eksploitasi hutan, dan sedikitnya
membatasi keleluasan warga untuk
menikmati sumber daya alam di
kampungnya sendiri. Kemudian bertubitubi
datang sistem produksi hutan kolonial
mulai Belanda sampai Jepang. Lalu sistem
pengelolaan ala Indonesia merdeka sampai
dibentuknya BPU Perhutani tahun 1966,
diubah menjadi Perum Perhutani pada
1972, menjadi PT pada tahun 2001, dan
kembali lagi menjadi perum menurut
keputusan MA tahun 2002.
Pengelolaan hutan di Jawa selalu dipenuhi
dengan konflik. Ada pula yang
berpendapat bahwa satu-satunya produk
yang berhasil dilestarikan dalam
pengelolaan hutan Jawa adalah
konfliknya. Ada berbagai macam konflik,
yang paling sering terjadi adalah akibat
pencurian kayu, masalah agraria, dan
tindakan represif dari pengelola hutan.
Konflik paling mendasar adalah persoalan
tenurial. Tepatnya pada pertanyaan
pokok, “Atas hak apa dan mandat siapa
orang-orang ini menguasai hutan yang
sebetulnya bisa kami kelola demi
kesejahteraan kami? Mengapa kami tak
pernah diajak bicara soal pengelolaan
hutan ini?”
Pengelolaan hutan yang memisahkan
warga desa dari hutan selalu mendapatkan
perlawanannya dari petani yang tinggal di
sekitarnya. Perlawanan ini biasanya
berupa—apa yang disebut oleh James C.
Scott sebagai—perlawanan hari demi hari
(day to day resistance). Perlawanan ini
adalah strategi yang dipilih petani untuk
melawan struktur kekuasaan yang masif
dan bersenjata. Bentuk pilihan strateginya,
misalnya, penebangan dan pencurian
kayu, sabotase tanaman, perusakan
tanaman muda, pembibrikan (penggerogotan)
hutan untuk lahan pertanian,
pembakaran hutan, perusakan kantor dan
rumah dinas, atau penggembalaan sapi di
dalam hutan.
Perlawanan gerilya ini cukup merepotkan
perhutani. Dari sembilan kriteria penyebab
kerugian, delapan di antaranya disebabkan
oleh ulah manusia. ‘Gangguan’ ini tidak
pernah surut dan menahun, seolah-olah
menjadi takdir. Ketika ‘gangguan’ ini
melonjak naik 15 kali lipat pada tahun
1998, Perhutani menargetkan untuk
menurunkan tingkat pencurian sampai
mendekati angka tahun-tahun
sebelumnya. Sama sekali tidak pernah
berpikir untuk menanggulangi persoalan
konflik ini dari akarnya dan bercita-cita
untuk membuat gangguan ini turun ke titik
nol. Angka 200 ribu-an pohon yang hilang
dicuri dianggap bukan masalah—atau
semacam takdir yang tak bisa diingkari.
Sama sekali bukan indikasi terhadap
ketidakberesan apapun.
4 intip hutan | maret 2003
Bentuk-bentuk perlawanan seperti tabel
4 di atas sudah ada sejak zaman kolonial
Belanda sebagai bentuk protes kepada
‘penguasa’ hutan. Bahkan sekelompok
blandong (penebang kayu) pernah
menyerbu benteng Belanda di Juwana
(Jawa Tengah) akibat ketidakpuasan
terhadap upah5.
Perlawanan dari masyarakat bukannya
tanpa balas. Perhutani sering bertindak
tidak manusiawi dalam menangani kasus
pencurian kayu. Penembakan warga desa
tak bersenjata6, misalnya, tidak jarang
menimbulkan korban tewas. Kasus paling
hangat adalah penganiayaan atas Wiji
karena kedapatan membawa kayu tanpa
surat yang baru dibelinya dari desa lain.
Wiji yang hanya membawa satu balok
kayu jati dengan sepedanya itu tewas di
rumah sakit setelah mengalami koma
selama empat hari. Pada akhirnya
masyarakat dan Perhutani masuk ke dalam
siklus balas dendam yang tak
berkesudahan. Dan konflik semakin
mengeras.
Namun bentuk perlawanan tanpa
kekerasan juga dikembangkan dalam
bentuk aksi non-kooperatif, misalnya,
dengan menolak semua perintah penguasa
hutan—waktu itu Boschwezen7—
termasuk menolak untuk membayar pajak
kepala dan pajak tanah. Perlawanan pada
awal abad 20 ini dipimpin oleh Samin
Surosentiko yang menjadi pelopor ajaran
saminisme. Ajaran sosialisme tradisional
ini kemudian dikenal secara luas sebagai
ajaran ndableg8. Samin juga
memproklamasikan statutanya, “Tanah,
air, dan kayu adalah milik semua orang.
Tanah, air, dan kayu untuk semua orang.”
Segala bentuk perlawanan ini tidak serta
merta berhenti karena punahnya
kolonialisme dari bumi nusantara,
melainkan semakin mengeras dan
terstruktur dalam lembaga sosial pada
masa pemerintah Orde Baru. Perlawanan
sosial ini kemudian mendapatkan
dorongan besar dari pedagang besar kayu
sehingga lambat laun pencurian kayu
kehilangan gaung keadilannya dan
tereduksi menjadi persoalan ekonomi
biasa. Perlawanan sosial ini kemudian
berubah menjadi perbanditan kapital yang
tergorganisasi dengan baik. Pada mulanya
adalah protes kini menjadi bagian dari
mesin besar kapitalisme yang serakah9.
Mesin Serakah Bernama Illegal
Logging
Kejadiannya bisa sama. Orang desa, tanpa
izin resmi, masuk ke hutan lalu menebang
pohon dan membawanya pulang. Tapi
ketika niatnya berbeda, maka namanya
pun seharusnya berbeda. Kalau
motivasinya memenuhi kebutuhan kayu
untuk rumahnya yang reot, dan yang
ditebang adalah pohon yang ditanam
kakek buyutnya, perbuatan ini disebut
nyamin atau berlaku mengikuti statuta
Samin. Jika yang ditebang adalah pohonpohon
muda dan bekas tebangannya
ditinggalkan begitu saja, ini disebut
kemarahan sosial. Kalau memang sekadar
mencari sejumlah uang, dan biasanya
dihabiskan untuk kebiasaan konsumtif
seperti minuman keras dan berjudi, nah,
ini yang namanya njarah10.
Begitulah kira-kira ‘filsafat’ ngemek
kayu11 yang begitu polos dan lugu. Definisi
yang ambigu—khas Jawa—barangkali
cukup menyulitkan melihat dengan jelas
peristiwa illegal logging itu. Siapa
penjahat, siapa pahlawan. Siapa penjahat
tapi kelihatan seperti pahlawan. Kesulitan
definisi ini yang terutama adalah: siapa
yang bisa mengadili niat?
Terlepas dari itu, kita ketahui bahwa jauh
sebelum meledaknya penjarahan hutan tak
lama sesudah kejatuhan Soeharto pada
Mei 1998, Perhutani secara terus-menerus
dihantui oleh pencurian kayu dan sejumlah
gangguan lainnya. Pada tahun 1999
Perhutani kehilangan 3,1 juta pohon.
Gangguan ini tentunya memukul basis
perekonomian Perhutani. Bagaimana
tidak, pada tahun itu Perhutani kehilangan
1,2 juta meter kubik kayu, lebih dari dua
kali lipat dari panen resmi yang berhasil
dikumpulkan Perhutani (lihat tabel 5
berikut12).
Merugikah Perhutani akibat penjarahan
hutan jati ini? Ternyata tidak. Perusahan
ini selalu mampu membukukan
keuntungan hampir 200 milyard rupiah
pada tahun 1999.
3 Baca catatan kaki nomor 1.
4 Santoso, Herry. 2001. “Sengketa
Pengelolaan Sumber Daya Hutan Jati
Perum Perhutani”. Tesis S-2. Fakultas
Kehutanan UGM. Yogyakarta.
5 Menurut buku Sejarah Kehutanan Indonesia upah
tersebut ternyata dipotong oleh pembesar Jawa,
bukan oleh pihak VOC.
6 Juga oleh kesatuan polisi Brigade Mobil yang
sering ‘disewa’ Perhutani untuk mengamankan
hutan.
7 Boschwezen adalah Jawatan Kehutanan bentukan
pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
8 Ndableg sukar ditemukan padanannya dalam
bahasa Indonesia. Kurang lebih artinya: keras
kepala. Dalam bahasa Inggris padanannya adalah
persistent.
9 Secara umum dapat disebut begitu karena para
pencuri kayu tidak lagi menghormati petani di
sekitarnya. Tidak jarang kayu gelondongan itu
diangkut dengan merusak tanaman pertanian. Di
beberapa tempat bahkan para pencuri kayu itu
juga mencuri buah-buahan dan hasil pertanian
sepanjang perjalanan.
10 Njarah = menjarah.
Tabel 5. Mempertahankan Panen dengan Overcutting
Neraca Sumber Daya Hutan (NSDH) Tegakan Jati tahun 1999
No Uraian
NSDH (m3)
1998 1999
Standing stock awal
Riap (y)
Riap tanaman
Riap tegakan
Jumlah
Tebangan/kerusakan (x)
Tebangan
Pencurian
Kerusakan
Jumlah
Overcutting (x-y)
Standing stock akhir
12
3
45
37.260.806
36.244
1.019.288
1.055.532
402.999
1.119.318
17.345
1.539.662
484.130
35.468.493
35.468.493
45.498
1.002.596
1.048.094
406.040
1.172.758
39.441
1.618.239
570.145
34.263.885
Sumber: Perum Perhutani, 2000
intip hutan | maret 2003 5
Bagaimana mungkin ada sebuah
perusahaan yang kerugiannya meningkat
tajam tetapi pada saat yang sama
keuntungannya juga terus bertambah?
Perusahaan apa yang bisa mengambil
keuntungan dari sebuah kerugian?
Jawabannya dapat dilihat pada tabel
“Mempertahankan Panen dengan
Overcutting”. Keuntungan yang diraih
tidak lain dilakukan dengan memaksakan
target tebangan. Target tebangan
Perhutani yang dihitung berdasarkan tabel
buatan tahun 1912 itu sudah ditetapkan
dan harus dipenuhi, sekalipun itu berarti
harus menebang lebih dari kemampuan
hutan untuk meregenerasi diri.
Keuntungan yang dibukukan oleh
Perhutani hanyalah merupakan
pendapatan dari penjualan produk kayu
jati dikurangi pengeluaran dan kerugian.
Kerugian akibat pencurian tidaklah besar,
hanya 55 milyard rupiah akibat 3,1 juta
batang pohon yang dicuri. Ada tipu
muslihat lagi di sini. Kalau kita perhatikan
lagi, tarif kerugian Perhutani14 hanya
menghargai satu batang pohon rata-rata
sebesar 17.600 rupiah. Dengan
menggunakan tabel tarif, yang bisa
dipastikan kuno ini, angka nominal
kerugian Perhutani bisa diredam.
Tipu muslihat yang paling gawat adalah
bahwa neraca tegakan Perhutani—yaitu
neraca yang menggambarkan penambahan
dan pengurangan volume pohon di
hutan—tidak pernah diikutsertakan dalam
perhitungan rugi-laba perusahaan.
Padahal justru perhitungan ini menjadi
pokok pengelolaan hutan. Tegakan jati di
hutan harus dihitung sebagai asset yang
tidak boleh berkurang, baik dari segi
jumlah, maupun umur rata-ratanya.
Jika pengusahaan hutan dilakukan dengan
fokus keuntungan nominal belaka dan itu
dicapai dengan mengorbankan hutan yang
ada, maka tidak mengherankan jika
struktur hutan jati di Jawa semakin lama
semakin berstruktur muda, ditandai
dengan luasnya hutan berumur belia (KU
I dan II15), sebagaimana bisa dilihat dalam
tabel berikut:
Kesimpulan cepatnya: Perhutani bisa
tetap meraup keuntungan selama
keuntungan itu masih bisa dibiayai oleh
sumber daya hutan dan sumber daya
sosial di sekitarnya.
Rasanya cukup sudah pembicaraan
tentang Perhutani. Hutan Jawa bukan
semata-mata HTI Perhutani. Ada
banyak hutan lainnya di kawasan
lindung dan konservasi yang menyimpan
berbagai spesies dan ekositem khas
Jawa. Sayangnya, hutan non-HTI ini
juga tidak selamat dari penjarahan dan
kerusakan.
Hanya Ada di Jawa16, Kini Tak
Ada Lagi di Jawa
Prasangka ketiga mengenai hutan Jawa
lagi-lagi betul. Tidak banyak spesies khas
yang hidup di hutan Jawa. Kebanyakan
hutan alam tempat satwa hidup dan
berkembang biak kini sudah musnah,
entah akibat pembukaan hutan sejak
zaman purbakala, atau terkena traktor
pembangunan. Sekalipun tidak banyak
jumlahnya, ada beberapa spesies khas
yang hanya dapat ditemukan di Pulau
Jawa, dan tidak di tempat lain di penjuru
dunia manapun. Spesies tersebut,
misalnya saja, Harimau Jawa, Badak
Jawa, Elang Jawa dan pelalar.
Sumber: Buku Statistik Perhutani, 1998
I II III IV V VI VII VIII
Sumber: Perhutani, 1998
1995 1996 1997 1998 1999
Laba Usaha Perhutani (1995-1999)
Milyard rupiah
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
Distribusi Kelas Umur Tegakan Jati
140
120
100
80
60
40
20
0
ribu hektare
No comments:
Post a Comment