Lonceng
Oleh: Motinggo Busye
Jam dengan merk Junghun itu belakangan ini menyengsarakanku. Istriku menjadi perempuan yang bawel. Ini karena ulah jam itu. Padahal barang itu kami beli untuk menambah kebahagiaan istriku dan aku. Tinggi jam itu setinggi tubuhku. Bila loncengnya berbunyi, maka terdengarlah sebuah nyanyi. Nyanyian ini mengisi kalbu istriku dan kalbuku sendiri.
Walaupun akhirnya mengesalkan, tetap saja aku mencoba memetik kenangan lama yang indah setelah jam Junghun itu mengisi ruang tengah rumah kami. Kami dulu mempertimbangkannya cukup lama untuk memutuskan di mana harus diletakkan jam yang sebesar itu. Jika ditaruh di ruang tamu, kelak tamuku akan cepat pulang, sebab kehadirannya merasa dikontrol oleh jam. Sedangkan kami berdua membutuhkan tamu.
“Sebentar lagi kita akan merayakan ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh lima, ya Sam?” ujar istriku suatu sore. Sore itu, aku dan Ina sedang duduk-duduk berdua sembari minum teh dan makan jeruk. “Hari itu ulang tahun perkawinan perak kita.”
“Kamu tentu ingat tanggalnya, Ina,” kataku.
“Betul, Sam. Kita menikah pada 10 November dua puluh lima tahun yang lalu.”
“Kalau begitu tinggal 4 hari lagi.”
“Ingat enggak, siapa yang datang pada pesta kita itu?”
“Mantan pacarmu,” kataku.
“Juga mantan pacarmu,” katanya.
Kami ketawa bersama. Kami suka mengulangi lelucon yang sama itu setiap ada bekas teman sekelas hadir. Tentu lelucon ini menambah semarak suami-istri. Orang yang kurang rasa humor mungkin heran. Mereka harus diberitahu, bahwa mantan pacar istriku adalah aku, dan mantan pacarku adalah istriku Ina.
Kuingat sekali, hanya untuk perkawinan perak itu saja kami berdua sangat sibuk.
Kami telah pergi ke Pasar Glodok untuk mencari sebuah barang yang bisa dipajang di rumah dan punya kesan abadi. Setelah dua tiga toko kami masuki, tak ada satu pun benda yang berkenan di hati kami berdua. Ketika kami lewati beberapa toko, secara mendadak dan serentak langkah kami berhenti. Terdengar satu nada indah mirip lagu yang menyentuh perasaan kami. Aku dan istriku saling menatap.
“Kita menemukan pilihan jam antik,” ujar istriku.
“Ini benar-benar abadi,” kataku.
“Tanyakan harganya, Sam,” kata istriku. Makin larut perkawinan kami, makin sering aku disuruh istriku dengan nada setengah memerintah. Apa suami-suami yang lain di dunia ini juga seperti itu, aku tak tahu dan tak perlu tahu.
Istriku melotot setelah aku sebutkan harga yang diberitahukan pemilik toko jam itu.
“Merknya Junghun,” ujar sang pemilik toko. "Merk ini nomor satu. Di toko saya cuma tinggal satu ini.”
“Ya kurangilah separohnya,” ujar istriku.
Kebiasaan istriku adalah sama dengan kebiasaan banyak perempuan di jagat ini: menawar terlalu rendah dan berlama-lama untuk jenis satu barang. Kadang sudah pergi kembali lagi ke toko sebagaimana terjadi pada hari itu.
“Coba Nyonya cari di seluruh Glodok ini. Cuma saya yang jual merk Junghun ini, dan ini juga satu-satunya.”
Istriku telah dikunci tanpa alternatif. Lalu, ketika uang dihitung, kurang sedikit. Sebagaimana biasa, aku menggenapi kekurangan itu. Ketika setiba di rumah, istriku bilang, “Sebenarnya aku menguji apakah kau masih kikir. Maka kutinggalkan beberapa lembar di tasku agar kamu ikut membayar juga, Sam.”
Memang begitu. Dari masa berpacaran dulu, kami menganut aliran navy-navy. Kami meniru para pelaut yang suka bayar masing-masing bila makan di restoran. Kebiasaan ini bukan selalu buruk. Kami justru menciptakan humor baru ketika harus ber-navy-navy.
Jam Junghun telah kami taruh di ruang tengah. Dia selama tiga hari kami tunggu berbunyi. Saat itu adalah pukul 00.00 pada hari 10 November.
Ketika loncengnya berbunyi menyanyikan irama indah itu, aku meremas jari tangan istriku. Ketika loncengnya berbunyi 1 kali, remasanku lebih kuat lagi. Dan ketika gema 12 kali masih mendengung, aku dan istriku berpelukan.
Lonceng jam itu memberikan zat rohaniah pada diri kami. Kebetulan kami berdua menyukai musik klasik. Tapi irama lagu lonceng jam ini melebihi seluruh musik klasik kesukaan kami.
Bertahun-tahun kami menikmati duduk berdua menunggu lonceng jam itu bernyanyi setiap seperempat jam. Ketika pada seperempat jam, dia menyanyikan satu bait saja. Ketika setengah jam, dia menyanyikan dua bait. Ketika tiba tiga perempat jam, tiga bait, dan pada waktu satu jam, empat bait komplit.
“Kita tak pernah merasa tua oleh lonceng jam ini ya, Sam?” kata istriku.
“Ya. Padahal jam ini sudah 15 tahun di rumah kita,” kataku.
“Mungkin kamu betah di rumah karena lonceng ini,” kata istriku lagi.
“Tapi aku betah di rumah bukan karena lonceng jam ini. Aku betah di rumah karena sudah memasuki pensiun, dan terutama karena adanya kamu.”
“Sudah gaek masih gombal,” kata istriku.
Pernah juga istriku bertanya, “Kenapa kamu tidak kawin lagi saja, Sam?”
Makin tua dia masih pencemburu seperti dulu. Tetapi pertanyaan itu agak aneh di telingaku.
“Aku tahu, ketika aku harus berhenti sewaktu kita menikah sudah pasti ada seorang gadis yang senang,” katanya.
”Si Aimah,“ sambungnya.
Peraturan kantor memang, jika ada dua orang menikah di satu ruang kerja, yang perempuan harus diberhentikan dengan hormat. Jadi Ina cuma berdinas 1 tahun kerja saja.
Orang yang sama sekelas di SMA, sama pula di perguruan tinggi, dan sama pula selesainya, akan sama nasibnya jika melamar di kantor yang sama di bidang yang sama pula: jika menikah, yang perempuan harus mengalah menjadi penunggu rumah.
“Kalau aku bicara soal si Aimah, kamu suka membisu. Padahal dia amat mencintaimu, Sam.”
Aku memilih diam. Akhirnya aku bertengkar juga karena dia lagi-lagi menyebut nama Aimah.
“Kalau kamu kawin sama Aimah, mungkin kamu sudah punya anak dan cucu. Perkawinan kita 40 tahun tanpa anak dan cucu,” ucapnya. Dan inilah yang bikin aku marah dan kami bertengkar.
Ketika pertengkaran itu terjadi, lonceng jam menyanyikan lagu itu. Sebelum empat bait lagu itu bergetar, aku dan Ina sudah berpelukan.
“Kita tak perlu bertengkar lagi. Yang ada di sini adalah aku, kamu dan jam dengan loncengnya itu.”
Tetapi, ajaib sekali. Biasanya kalau jam itu mati, aku bisa memperbaikinya. Yaitu menaikkan kerekan rantai tiga bandulan itu, lalu menyetel jarum panjang dan jarum pendeknya untuk menyesuaikan waktu. Kali ini loncengnya berbunyi tidak cocok lagi dengan waktu. Dia tidak berbunyi 12 kali pada waktu pukul 12.
“Kau bilang dulu kamu menguasai ilmu listrik. Tapi kenapa betulin jam saja sudah salah. Bahkan ngawur. Pukul 12 bunyinya 6 kali.”
“Sudahlah. Jangan jadi nenek sihir lagi, Ina,” kataku.
“Itu logis saja, Sam. Aku kan tidak bilang kamu tolol.”
“Sudah, diam kamu. Kamu makin tua makin cerewet.”
“Kamu makin tua makin tolol.”
“Aku mau keluar.”
“Mau cari Aimah?”
“Bawel kamu.”
Aku mencari ahli jam. Menurut pemilik toko di Glodok itu, ada orang Arab di Tanah Abang, namanya Mahboub Assegaf, ahli pembetulan jam dan piano. Ketika aku tiba di rumah Arab itu, orang di rumah itu mengatakan, bahwa “Ami Assegaf” sudah wafat. Kalau mau beli buah kurma dan kismis, ada dijual di sini.
“Aku tak bertemu dengan orang Arab itu,” kataku pada Ina.
“Oh si Aimah itu turunan Arab ya?”
“Coba tenang, Ina. Kita jual saja jam Junghun ini. Kita beli yang baru,” kataku.
Dia marah. Bahkan mencak-mencak. Dia katakan, "Jam ini penuh kenangan. Bertahun-tahun dia membuat kita berdua menikmati irama loncengnya yang pernah bernyanyi merdu. Jangan, Sam, kita tak boleh merusak kenangan yang diberikannya.”
Aku mengalah. Tapi itu tidak berarti aku tak 'kan bertengkar lagi dengan Ina. Dan aku gigih terus memperbaikinya. Dan istriku terus pula menertawakan kegagalanku walau tanpa perkataan “tolol”.
Dua tahun menjelang ulang tahun perkawinan emas kami, aku terus berusaha agar jam Junghun itu bisa menyanyi lagi, dan bunyinya harus tepat 12 kali pada pukul 00.00 tengah malam 10 November. Dimulai dengan cekcok mulut lagi, aku pergi ke Jatinegara. Seorang tukang arloji kubawa ke rumahku. Istriku senyum mencemoohinya.
“Tenang dulu, Ina. Dia ini ahli jam generasi penerus ayahnya. Bahkan dia mengenal Ami Mahboub Assegaf,” kataku ketika memperkenalkan tukang arloji itu kepada Ina.
Istriku mendehem. Anak muda itu bekerja keras. Keringat membasahi bajunya, sekaligus menyebarkan bau ketiaknya di ruang tengah kami yang nyaman. Akhirnya dia berkata putus asa: “Maaf, jam ini berbunyi 36 kali."
“Cukup, Nak. Memang dia gila,” kata istriku.
Yang mulai menjadi korban jam Junghun adalah Ina. Dia mulai berlangganan dokter spesialis penyakit dalam. Ia menderita tekanan darah tinggi. Suatu malam dia menjerit karena satu mimpi buruk. Katanya, jam gila itu berbunyi 120 kali.
“Sabar, Ina. Kita jangan panik. Manusia tidak boleh ditaklukkan oleh benda yang bermerk Junghun. Aku akan coba perbaiki sendiri. Manusia harus mengalahkan benda mati ini,” kataku yakin.
Istriku menyebut lagi perkataan “tolol” itu. Ini menambah semangatku, sampai aku berhasil! Aku merayakan pesta emas 50 tahun perkawinan kami. Tengah malam pukul 00.00 jam itu bernyanyi empat bait komplit, lalu mendentingkan loncengnya 12 kali. Sayang, saat itu istriku tidak mendengarnya, dan tak 'kan pernah mendengarnya.
Ya, kurayakan pesta emas perkawinan itu seorang diri, diiringi kemerduan lonceng jam Junghun yang amat sangat indah.***
(Dimuat dalam Horison, September 1999)
No comments:
Post a Comment