Tuesday, 25 January 2011

Perdebatan Kausalitas Gerakan Samin

Perdebatan Kausalitas Gerakan Samin

Oleh: Agus Budi Purwanto



Pada akhir bulan November 1885, seorang Kontrolir di Pulung, Karesidenan Madiun terselamatkan dari amuk masa. Hanya saja, rumahnya hancur lebur. Pemerintah telah menaikan pajak tanah sebesar 10 persen dan akan naik lagi untuk tahun-tahun sesudahnya. Masyarakat desa marah, kemudian mengadu ke Carik (sekretaris) desa Patik. Selanjutnya Carik dijadikan Ratu baru oleh penduduk desa dengan gelar "Pangeran Lelono". Bersama pangeran Lelono, massa mengamuk. Huru-hara tersebut hanya berlangsung sehari saja kemudian berhenti. Pengamanan berhasil dilakukan, dan tidak ada korban se-nyawa pun.
Hari senin bersejarah di Cilegon. Tiga tahun setelah peristiwa di Pulung, tepatnya 9 Juli 1888, Haji Tubagus Ismail dan Haji Wasid memimpin murid dan petani menyerang punggawa kolonial. Cilegon, sebagai ibu kota afdeling Anyer menjadi sentra kediaman para pejabat Eropa dan pribumi yang meliputi asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, dan ajun kolektor. Haji Ismail dan Haji Wasid sepakat, pemberontakan dimulai di Cilegon. Rumah Dumas (seorang juru tulis) digedor empat orang, Dumas lari bersembunyi di rumah jaksa tetangganya, kemudian dini hari (senin) pindah ke Tan Keng Hok, ditempat itu Dumas tewas bersama sang tuan rumah. Patih juga kena sasaran, ia dikenal acuh terhadap kegiatan keagamanan serta keras dalam menjalankan aturan kolonial, namun ia sedang pergi ke serang. Wedono juga didatangi pemberontak, demikian halnya jaksa dan ajun kolektor. Asisten residen juga, semuanya terjadi pada hari itu, hari bersejarah, hari senin.
Setahun sesudahnya, tanggal 7 Februari 1889, di Blora, perkampungan di tengah hutan, seorang tokoh desa bernama Samin berpidato di depan masyarakat. Isi pidatonnya cuma seringkas ini: “tanah ini milik kalian, karena sudah di wariskan Pandawa lalu ke raja-raja Jawa. Belanda tidak punya se-nyari-pun (seujung kuku) tanah di sini.” Ia hanya berpidato.
Untuk kasus di Pulung, Onghokham bilang: tidak faktor milenarisme, apa lagi tidak ada mesias dalam pandangan hidup orang Jawa (Subangun). Onghokham meyimpulkan ini soal beban pajak yang tinggi. Menurut Sartono Kartodirdjo, faktor-faktor kausalitas pemberontakan "senin" itu berkisar pada tradisi berontak, ketersingkiran politis, penetrasi agama, pemimpin revolusioner, alat organaisasi (nativisme Kasultanan Banten). Menurut Benda & Castles, Samin berpidato juga karena pajak dan akses tanah serta kayu (hutan). Akhir abad XIX, pedesaan jawa kisruh karena Pajak, puncak penderitaan (Kerja wajib, tanam paksa, liberalisasi perkebunan), serta ramalan joyoboyo ratu adil. Kisruhnya karena hal sama yakni kebencian pada polah tingkah negara kolonial. Mereka pingin merubah keadaan, dengan senjata, dengan pidato. Kita dapat melakukan hal yang sama, setidaknya dengan cara kedua atau dengan cara ketiga: menulis pidato!
Pada masanya (1880-an), perlawanan pedesaan terjadi di dua tempat yakni Cilegon dan Pulung. Keduanya memperlihatkan perlawanan fisik yang menimbulkan korban jiwa di antara kedua belah pihak yakni pejabat kolonial Belanda dan pribumi. Bagaimana menjelaskan perlawanan tanpa kekerasan yang dilakukan Samin Surosentiko beserta pengikutnya? Pertanyaan inilah yang menimbulkan banyak spekulasi. Pertama, jika ditilik dari jumlah pengikut yang pada tahun 1905 berjumlah 3000 orang, maka perlawanan fisik sangat dimungkinkan, namun ternyata tidak terjadi. Kedua, jika runutan sejarah perlawanan masyarakat di sekitar Blora, cenderung menggunakan kekuatan fisik berupa perlawanan bersenjata, misalnya: noyo gimbal, dan maling kentiri. Namun Samin Surosentiko tidak melakukan perlawanan bersenjata seperti halnya pendahulunya.
Hal yang mirip dilakukan oleh Samin Surosentiko adalah perlawanan yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi di India. Narasi yang kita terima saat ini tentang perlawanan Mahatma Gandhi, selalu di dominasi oleh nilai-nilai yang diperjuangkan Mahatma Gandhi dalam perlawanannya. Namun, penjelasan perihal sejarah perlawanan Samin Surosentiko tidak
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page2
banyak yang menyinggung soal nilai-nilai yang diperjuangkan, melainkan soal obyek sengketa serta deskripsi pihak yang bersengketa. Narasi ini juga mendominasi dalam penjelasan kausalitas gerakan Samin.
Geger Samin atau gerakan Samin dimulai pada 7 Februari tahun 1889 ketika Samin Surosentiko pertama kali berbicara di depan pengikutnya di oro-oro ii dusun Bapangan, kabupaten Blora. Pada malam hari, dengan diterangi obor, Samin Surosentiko mengumpulkan pengikutnya di sekitar Bapangan dan mengkampanyekan gerakan berdirinya kerajaan Jawa. Setahun setelah pidatonya di Bapangan, pada tahun 1889, Samin Surosentiko mendirikan perguruan Adam atau Paguron Adam di desa Klopoduwur, kabupaten Blora. Orang-orang desa di sekitarnya banyak yang datang berguru kepadanya. Pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda belum tertarik pada ajaran Samin, sebab ajaran itu masih dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang tidak mengganggu keamanan.
Menurut Suripan Sadi Hutomo, Samin dan para pengikutnya mengidentifikasikan diri sebagai penganut Agama Adam atau The Religion of Adam, sebuah agama kawitan (baca: permulaan) yang mengutamakan hubungan baik dengan Alam dan hubungan bagi antar sesama manusia. Kitab sebagai pedoman agama ini adalah Jamuskalimasada yang terdiri dari 5 buku: Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip (Hutomo, 1996: 11-40). Pada lima serat inilah perjalanan spiritualitas Samin dan pengikutnya disandarkan. Manifestasi agama Adam terlihat dalam prinsip hidup sehari-hari. Dalam hubungan sosialnya, Samin menganggap semua orang adalah saudara, sinten mawon kulo aku sedulur (Nurudin dkk, 2003: 55-60). Sedangkan terhadap alam, mereka memiliki prinsip lemah podo duwe, banyu podo duwe, kayu podo duwe, artinya tanah, air, dan kayu menjadi milik bersama.
Perdebatan Kausalitas
Secara umum, pengertian kausalitas dalam kajian sejarah dapat disejajarkan dengan istilah “sebab”. Kata “sebab” lazimnya diperuntukkan untuk menjawab pertanyaan mengapa sebuah peristiwa sejarah terjadi. Selanjutnya, menjelaskan penyebab juga mensyaratkan “keterangan” atas peristiwa sejarah. Maka dalam menjelaskan sebab, maka dapat dipergunakan “keterangan” historis. Oleh karena itu, menurut Ankersmit, pengertian “sebab” dapat dipahami menurut dua macam arti yakni menurut metode eksplanasi sejarah Coverage Law Models (CLM) dan metode eksplanasi sejarah Hermeneutic (Ankersmit, 1987: 191-192).
Pertama, eksplanasi sejarah CLM melihat kausalitas sebuah peristiwa tertentu serta memperbandingkannya dengan kausalitas peristiwa yang lain, sehingga ditemukan konsekuensi-konsekuensi yang sama dengan pola-pola umum yang telah tercipta. Atau dengan analisa kausalitas kedua peristiwa sejarah, kemudian membuat kausalitas umum yang baru. Ataupun analisa lebih kronologis, misalnya: sebab sebuah peristiwa P ialah sebuah peristiwa lain, O, dan ini demikian rupa, sehingga deskripsi mengenai kedua peristiwa itu dapat dikaitkan oleh sebuah pola hukum umum pula.
Kedua, eksplanasi sejarah Hermeneutic. Penyebab suatu peristiwa ialah intensi atau motif seorang pelaku historis yang mengakibatkan peristiwa itu terjadi. Kecenderungan eksplanasi sejarah yang kedua ini cukup mengakomodasi keunikan sebuah peristiwa sejarah, bahwa waktu dan tempat atau dimensi temporal dan spasial sebuah peristiwa sejarah sama sekali unik dan sekali terjadi. Eksplanasi model ini menghindari semaksimal mungkin pengandaian pola-pola umum dalam perilaku menyejarah manusia. Hal ini didasarkan pada keunikan manusia sebagai makhluk yang dinamis, berkembang, berubah, serta memiliki pertimbangan-pertimbangan yang terkadang tidak terduga.
Harry J. Benda dan Lance Castles, Victor King, serta Pieter Korver telah meneliti kausalitas gerakan Samin. Hasil penelitian mereka dapat dilihat dalam jurnal KITLV edisi 125, 129, 132, dan 133. Eksplanasi sejarah Gerakan Samin dalam rangkaian seri jurnal
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page3
tersebut kendati memperhatikan dengan sungguh-sungguh keunikan gerakan Samin di beberapa wilayah, namun semuanya mengarah pada penyimpulan hukum-hukum umum atas kausalitas Gerakan Samin. Berikut beberapa ringkasan dari pendapat mereka sekaligus perdebatan di antaranya.
Harry J. Benda dan Lance Castles menyatakan bahwa kausalitas gerakan Samin adalah berlatarbelakang faktor ekonomi. Demikian, sehingga penyebab pertama dan utama atas gerakan Samin awal yakni beban pajak serta intervensi pemerintah kolonial dalam bidang kehutanan melalui peraturan kehutanan (Benda & Castles, 1969: 219). Mereka menggunakan Laporan J.E. Jasper sebagai referensi utama. iii1 Berdasarkan laporan dari Jasper, pada tahun 1916 pengikut Samin sudah berjumlah 2.305 kepala keluarga, tersebar di beberapa daerah, meliputi: 1.701 kepala keluarga di Blora, 283 kepala keluarga di Bojonegoro, dan selebihnya tersebar di Pati, Rembang, Grobogan, Ngawi, dan Kudus.
Melihat tempat kelahiran Samin di wilayah Randublatung, Blora yang memiliki konstruksi tanah batu berkapur, serta penyebaran ajaran Samin di sekitarnya wilayah tersebut yang memiliki kondisi alam relatif sama, maka hal tersebut mencirikan tingkat kesejahteraan petani yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain.
Beberapa fakta tentang semakin beratnya beban ekonomi masyarakat Samin disebutkan misalnya ketika pemerintah Hindia Belanda mendatangkan kerbau dari Bengal atau Bangladesh, masyarakat Samin diharuskan menyerahkan uang 5 sampai 10 gulden. Dan sering kali masyarakat Samin masih diminta untuk menyerahkan tenaga untuk bekerja bagi pemeliharan kerbau tersebut, tanpa dibayar. Hal ini mengurangi waktu bekerja masyarakat Samin dalam kehidupan bertani sehari-hari di sawahnya masing-masing. Selain itu, di beberapa desa dilakukan pengurangan luasan terhadap tanah-tanah komunal yang dikerjakan bergilir oleh para petani. Perngurangan tersebut tidak termasuk tanah bengkok milik pejabat desa.
Sementara dalam sektor kehutanan, pembatasan akses masyarakat terhadap hutan dimulai sejak Daendels berkuasa di Jawa. Sejak saat itu, hutan menjadi milik Negara Kolonial. Pengelelolaan hutan dilakukan oleh negara melalui sebuah lembaga yang bernama Boschwezen. Masyarakat sudah mulai dibatasi aksesnya terhadap hutan dengan harus mengurus ijin ketika akan menebang pohon. Kemudian pada tahap selanjutnya, pembatasan tersebut semakin jelas ketika muncul peraturan kehutanan pertama tahun 1865 serta disusul oleh Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang memisahkan secara tegas, di mana lahan masyarakat berakhir dan kawasan hutan di mulai.
Peraturan-peraturan kehutanan tersebut telah membatasi hubungan antara masyarakat dengan hutannya. Samin dan pengikutnya tidak terkecuali terkena dampak tersebut. Mengingat Samin dan pengikutnya menyandarkan hidup pada pertanian dan kehidupan berhutan. Wilayah yang paling dipengaruhi oleh sistem baru ini, pertama-tama adalah wilayah Blora dan Grobogan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Benda dan Castles berikut ini:
“Tidak ada wilayah yang lebih dipengaruhi oleh inovasi kehutanan ini melainkan wilayah Blora dan Grobogan. Hingga pada tahun 1918, hampir semua hutan di kedua wilayah ini telah menjadi Houtvesterijen (Houtvesterij). Inovasi pengelolaan hutan tersebut menjadi pusat sumber pendapatan bagi pemerintah kolonial Belanda.”(Ibid: 222)
Benda dan Castles menyimpulkan bahwa kausalitas Gerakan Samin adalah konflik antara Kaum Samin dengan otoritas di atasnya (struktural kepemerintahan) yang merupakan perwujudan resistensi dari tekanan ekonomi yang dialami, terutama terkait dengan kenaikan pajak, tanah, air, dan akses kayu jati. Menurut Benda dan Castles, meski tidak menjadi kausalitas tunggal, namun faktor ekonomi menjadi kausalitas utama dalam Gerakan Samin (Ibid: 219).
1 J.E. Jasper adalah seorang asisten residen di Tuban. Pada tahun 1917, Jasper menyelidiki latar belakang ekonomi Gerakan Samin.
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page4
Victor King menyatakan bahwa Benda dan Castles tidak terlalu banyak memberikan penjelasan mengenai status dan posisi individu-individu yang bergabung dalam masyarakat Samin. Faktor kemiskinan ditempatkan sebagai salah satu faktor penyebab mengapa Samin melakukan gerakan tersebut. Dan secara umum “keluhan” ekonomi menjadi kausalitas utama terutama faktor ekonomi dalam aspek kehidupan agraria masyarakat Samin. Victor King berpendapat bahwa faktor materi bukanlah menjadi kausalitas utama. Karena banyak petani miskin yang tidak bergabung dalam gerakan ini. King berpendapat bahwa kausalitas gerakan ini adalah faktor sosial melalui teori keresahan/kerusuhan pedesaan “rural unrest” (King, 1973: 461).
Faktor ekonomi yang mendorong meletusnya gerakan Samin harus ditempatkan dalam konteks struktur sosial masyarakat Jawa, khususnya soal diferensiasi status kehidupan masyarakat pedesaan pada saat itu. Terdapat semacam pergantian poros kekuasaan/pengaruh sosial politik. Para pemilik tanah yang sebelumnya mendapati posisi penting dalam kebijakan desa, pada gilirannya status sosial politik tersebut berkurang seiring peraturan pemerintah tahun 1906 yang menempatkan kepala desa sebagai satu-satunya pejabat yang mengambil keputusan. Tokoh yang tidak masuk dalam pejabat birokrasi desa merasa ada “perongrongan status” atas diri mereka.
Nampaknya, pendapat Victor King disepakati oleh Emmanuel Subangun. Subangun sepakat bahwa pajak yang terlalu menekan, dan perampasan tanah milik rakyat menjadi tanah pemerintah Hindia Belanda yang dijadikan hutan jati ikut mempengaruhi keadaan. Tapi gerakan itu sendiri bisa pecah akan lebih ditentukan oleh kelompok petani kaya pemilik tanah, seperti Samin Surosentiko yang merasa nilai kehormatannya terganggu. Subangun berpendapat bahwa persaingan dan perongrongan status (status deprivation) inilah yang merupakan casus belli, dan masalah pajak dan masalah perampasan tanah rakyat yang kemudian menjadi dasar ikatan rakyat petani yang lebih miskin.
“Gerakan itu tidak muncul dari kepahitan pengalaman bersama, tapi adalah dimulai dari kekecewaan elit dalam masyarakat petani, dan rakyat banyak kemudian menjadi pengikut gerakan” (Subangun,1997:26-7)
Sementara Pieter Korver menyatakan bahwa Benda & Castles serta Victor King sama-sama menggunakan pendekatan mono-kausal. Menurut Korver, gerakan Samin merupakan gerakan mileniarisme. Untuk mencari kausalitasnya, maka perlu untuk mengkomparasikan dengan gerakan-gerakan mileniarisme yang lain. Komparasi tersebut untuk menghindari kemandegan analisa kausalitas gerakan Samin yang acapkali berhenti pada kesimpulan kausalitas tunggal. Korver meyakini bahwa kausalitas gerakan Samin sangat beragam. Gerakan milinearisme selalu disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang berbeda-beda serta keterkaitan diantaranya (Korver, 1976: 249-266).
Kausalitas selalu berhubungan dengan implikasi yang ditimbulkan. Sebelum membicarakan kausalitas lebih lanjut, mari kita lihat implikasi-implikasi atau manifestasi-manifestasi gerakan pembangkangan yang dilakukan dibidang kehutanan, perpajakan, serta bidang-bidang yang lain. Dalam bidang kehutanan masyarkat pengikut Samin menolak untuk tidak masuk ke hutan, kendati alasan ekonomi dan tekanan kebutuhan akan hutan, layaknya tidaklah arif jika mengabaikan landasan berfikir seperti apa yang dijadikan pijakan masyarakat pengikut Samin dalam konteks penolakan tersebut. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, bagi Samin dan pengikutnya, hutan adalah warisan nenek moyang dan anak cucu berhak atas pemakaiannya: lemah podo duwe, banyu podo duwe, kayu podo duwe, artinya tanah, air, kayu menjadi milik orang banyak. Masyarakat Samin menghormati tanah dan peran manusia dalam mengolahnya. Mereka berpandangan bahwa peran mereka dalam mengubah alam menjadi pangan, yakni hakekat kehidupan, menyebabkan mereka memiliki status yang setara dengan pihak-pihak yang mengklaim hak mengatur dan menguasai akses hutan.
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page5
Dalam bidang perpajakan, penolakan atas berbagai tekanan pajak tidak juga dimotivasikan semata-mata karena rongrongan status Samin dan pengikutnya yang memiliki lahan milik wajib pajak, namun prinsip keikhlasan serta proporsionalitas dalam pemanfaatan uang pajaklah yang menjadi perhatian utama. Bagi Samin dan para pengikutnya, pemberian pajak kepada pemerintah Hindia Belanda adalah salah alamat. Negara yang diinginkan Samin dan pengikutnya tidak terdapat dalam negara kolonial Belanda. Negara yang melindungi rakyatnya serta negara yang berkeadilan, tidak ada pajak yang harus dibayar kepada negara serta dapat mengambil kayu jati di hutan ketika membutuhkan. Sebuah negara yang dapat menjadi tempat berlindung rakyatnya, sebuah negara beserta rakyatnya yang memperhatikan keutamaan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.
Jika gerakan Samin dikategorikan sebagai gerakan milenarisme (negara berkeadilan) dan mesianisme (ratu adil), Samin sendiri telah membantahnya (Benda & Castles, 1969: 212).
Interogator
:
Ajaran anda mengatakan bahwa akan datang jaman baru yang dipimpin oleh Ratu Adil atau Heru Tjokro?
Samin
:
Saya tidak tahu sama sekali soal itu dan saya tidak pernah mengatakan hal itu!
Interogator
:
Ajaran anda mengatakan bahwa anda akan menjadi Raja atau Ratu?
Samin
:
Tidak!
Figure 1. Alur Kausalitas Gerakan Samin
Epilog
Patut diakui bahwa kausalitas gerakan Samin di berbagai wilayah beragam (multikausal), namun nilai-nilai kehidupan Samin dalam hubugannya dengan alam, Tuhan, negara, dan sesama manusia tidakkah mempunyai peran yang kuat bahkan dominan? bagaimana menjelaskan pilihan gerakan tanpa kekerasan ditengah-tengah perlawanan pedesaan yang mayoritas menggunakan perlawanan fisik? Nilai-nilai kehidupan yang dipegang Samin Surosentiko dan pengikutnya mengajarkan bahwa berbuat baik, jujur, dan tidak menggunakan kekerasan nyaris diabaikan dalam menjelaskan perlawanan tanpa kekerasan tersebut.
Muara dari semua itu adalah pertanyaan awal, jika segala faktor menjadi kausalitas yakni faktor ekonomi, status sosial (perongrongan status), serta milenarisme, manakah kausalitas yang dapat tergantikan dengan yang lain, dan mana kausalitas yang determinan harus ada? Yang menjadi kausalitas yang tidak tergantikan dan merupakan kausalitas determinan adalah Samin Surosentiko beserta pengikutnya yang menyandarkan diri pada nilai-nilai kehidupan pada agama Adam.
HTTP://AGUSBUDIPURWANTO.WORDPRESS.COM/2010/09/22/KAUSALITAS-GERAKANSAMIN/
Page6
Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.
Benda, Harry J. dan Lance Castles. 1969. The Samin Movement. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 125.
Hutomo, Suripan Sadi. 1996. Tradisi dari Blora. Penerbit Citra Almamater. Semarang.
King, Victor T. 1973. Some Observations on the Samin Movement of North-Central Java: Suggestions for the Theoretical Analysis of the Dynamics of Rural Unrest. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 129.
Korver, A. Pieter E. 1976. The Samin Movement and Millenarisme. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 132., hlm. 249-266.
Nurudin dkk (Ed). 2003. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. LKIS bekerjasama dengan FISIP UMM Malang. Yogyakarta.
Subangun, Emmanuel, “Tidak ada Mesias dalam Pandangan Hidup Jawa”, dalam Prisma, Januari 1997, no. 1, Jakarta.
i Alumni Jurusan Sejarah Universitas Sanata Dharma. Saat ini aktif di Citralekha, Komunitas Penggemar Sejarah USD.
ii Tanah lapang tanpa pepohonan
iii J.E. Jasper adalah seorang asisten residen di Tuban. Pada tahun 1917, Jasper menyelidiki latar belakang ekonomi Gerakan Samin.

No comments:

Post a Comment