Sunday, 20 February 2011

Angin yang Bersiul di Tingkap

Angin yang Bersiul di Tingkap



Tahukah kau tentang kisah seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang putri Puri Kanginan yang cantik bagai bidadari usai mandi di telaga yang tepinya ditumbuhi bunga pancawarna? Puluhan pohon bunga itu menggoyangkan dahan-dahannya sampai kembang wangi berjatuhan masuk ke dalam air telaga dan membuatnya harum mewangi lalu tak henti-hentinya meluruhkan daki para bidadari yang turun dari langit, menari-nari tanpa peduli pakaian dan selendang mereka ada yang dicuri. Bunga kenanga, cempaka, bunga kantil dan melati, bahkan semak mawar pun ditiup angin sampai kelopak-kelopak bunganya mengorbankan keindahannya, namun wanginya dicelupkan ke dalam air telaga.

Putri itu bagaikan bidadari yang kehilangan kain, baju, dan selendangnya lalu dengan malu-malu bersembunyi di dalam semak menutup sekujur tubuhnya dengan dedaunan dan kedua belah tangannya.

“Janganlah takut tuan putri, aku takkan memerkosamu. Kenakanlah pakaian ini dan engkau bisa menjadi seorang putri cantik jelita yang benar-benar ada di dunia ini.”

Dan, menjelmalah bidadari menjadi putri yang diam di puri, disayang oleh para dayang, oleh biyang danaji, olehtu pekakdan tunini. Tapi, setiap saat Tuan Putri merindukan seperangkat pakaian dan selendangnya yang bisa membawanya kembali terbang ke surga, bergabung dengan sesama bidadari dan penghuni surga lainnya, tidak seperti sekarang, terkurung di dalam sebuah puri bersama keluarga para ksatria, namun mustahil dapat menggenggam kebebasan sebagaimana saat dia menjadi penghuni surga.

Tahukah kau lelaki itu selalu merindukan Tuan Putri, namun keluarga puri tidak mengizinkannya bebas berkeliaran ke luar puri tanpa keperluan yang berarti? Berhari-hari lelaki itu berjalan hilir mudik di depan puri dengan harapan sedetik atau semenit tuan putri akan menampakkan wajahnya di pintu gerbang, tersenyum menyiramkan kesejukan yang menenteramkan hatinya sekaligus mengobarkan semangatnya untuk memetik sekuntum mawar dari istana raja-raja.

Tuan putri dari hari ke hari merasa kesepian dan merindukan Rajapala yang menyembunyikan pakaiannya dan membawa pulang dirinya ke rumahnya yang sederhana, lalu memberinya seorang anak, dan suatu saat akan menemukan kembali pakaiannya di bawah tumpukan padi yang habis dikuras dari lumbung, dan dia pun bisa mengucapkan selamat tinggal pada suami, anak, dan dunia ini, terbang kembali ke surga dan bergabung dengan para bidadari lain sebagai penghuni surga.

Tuan putri merindukan Sang Rajapala yang akan menjemputnya di gerbang puri, membawanya pergi jauh ke tepi hutan, membangun rumah di sana, membuka lahan pertanian, dan mereka dapat hidup sebagai petani yang mencintai tanahnya, sekaligus mencintai langit yang berkisah tentang datangnya hujan dan musim kemarau, tentang datangnya angin puting beliung dan tentang masa-masa yang tenang. Rahasia langit membimbing mereka menapaki hari-hari saat harus menggarap sawah, saat harus menuai.

Tetapi, Rajapala hanyalah dalam impian, sementara kenyataan membawanya dalam kancah kasih sayang keluarganya, kedua orangtuanya dan kakek neneknya. Dia adalah putri satu-satunya dalam keluarga puri ini, tercantik, terlembut, teranggun, dan paling penuh pesona. Siapa lagi yang memancarkan sinar kemolekan selain dirinya, yang akan mengundang para pangeran untuk berebut dalam sebuah sayembara mengangkat anak panah dan membentangkan busurnya untuk melesatkan anak panah ke udara mengenai sasaran yang ditentukan. Siapakah ksatria digdaya yang akan berhasil menyunting dirinya? Apakah dia lelaki yang belum lagi beristri atau justru lelaki yang sudah banyak istrinya karena kedigdayaannya tanpa tanding dapat menaklukkan wibawa lelaki-lelaki lain dalam menyunting putri cantik dari penjuru negeri, sebagaimana Raden Arjuna yang tak melewatkan setapak tanah negeri tanpa meninggalkan seorang istri?

Lelaki itu hanyalah lelaki kalangan rakyat biasa, namun santun dan halus budi bahasanya, tiada pula buruk rupa. Dia sadar kedudukan burung pungguk merindukan purnama yang diembannya, namun saat purnama tiba dia selalu duduk bersila mengatur napasnya dan menyambung jiwanya dengan Yang Maha Suci membisikkan kerinduannya pada bulan. Tidakkah aku punya hak untuk menjangkaumu, ya Yang Bercahaya? Tidakkah Kau perkenankan aku mengulurkan tanganku yang kasar ini kepada kelembutan tangan tuan putri?

Lalu, dalam diamnya dia berkelana ke alam jauh, ke sudut-sudut hatinya sendiri yang paling dalam bagai masuk ke dalam goa tak bertepi, dalam kegelapan yang pekat. Tiba-tiba dilihatnya cahaya warna-warni yang menyilaukan, namun dia tetap berkelana tak hendak berhenti terpukau oleh kilau yang sesaat sampai tiba-tiba dia hanya melihat cahaya dan tidak ada apa-apa lagi. Alangkah tenteram, alangkah damai malam atau siang dia tak lagi tahu, hanya cahaya bundar bagai pintu keluar dari goa. Tiba-tiba dilihatnya cahaya itu berpusar dan seorang lelaki duduk bersila berada di pusatnya, berpakaian serta putih bersih, dengan ikat kepala putih, dengan pandangan mata yang memancarkan cahaya putih pula.

“Siapakah engkau, wahai lelaki yang berwajah bersih?”

Terdengar gaung bagai suara dari dalam rongga dadanya sendiri:

“Aku adalah engkau, tidakkah kau tahu, wahai lelakiku?”

Dia tak tahu, tidak perlu tahu, sebab rasa tenteram dan damai menguasai dirinya, menguasai seluruh senyap yang merongga.

“Dengarkanlah pesan ini, wahai lelakiku, bilamana kau benar-benar berniat untuk mendengar.”

Lalu didengarnya suara itu, bagaikan memberi petunjuk akan apa yang harus dilakukannya, semuanya langsung dapat dipahaminya tanpa perantara kata-kata.

Bagaimana mungkin dia melakukannya? Begitu keraguan yang menerpa pikirannya ketika goa pun lenyap dan cahaya rembulan sudah mulai redup di langit barat. Mustahil aku mampu melaksanakannya, begitu protesnya. Tetapi, siapakah yang patut didengar, suara pikirannya atau bisikan hatinya?

Lelaki itu enggan berbagi masalah dengan sesama lelaki lain. Dia tidak yakin bahwa mereka bisa dipercaya memegang rahasia, sebab upah dari kegagalan hanyalah maut. Maut yang menghadang yang seharusnya tak dipersoalkan, sebab maut adalah keniscayaan dan kedatangannya haruslah disambut dengan suka cita. Tetapi, tuan putri adalah idamannya, satu langkah lagi yang harus diisi setelah kelahiran sebelum kematian.

Rencana harus disusun dan bisikan hati haruslah dilaksanakan. Lelaki itu yakin takdirnya adalah yang telah dibisikkan padanya kala sunyi menyelimuti tubuhnya, kala purnama menerangi hatinya.

Maka, sehari-hari dia berusaha tetap dekat dengan gapura puri mengintip kehadiran tuan putri dan menyiapkan langkah yang haru diambil.

Matahari belum lagi tinggi ketika tiba-tiba tuan putri menampakkan wajahnya di gerbang, menebarkan pandang ke jalan yang sepi, seolah merasa ada yang menanti. Memang, semalam dalam mimpinya dia melihat dirinya berada di pintu gerbang puri, disambut oleh lelaki Rajapala, lelakinya yang selalu berkunjung dalam mimpi, dan kemudian mereka saling mengulurkan tangan dan berlarian di atas jalan tanah, lalu tubuh mereka terangkat ke langit, melayang-layang ke sana kemari. Dengan saling berpegangan tangan mereka menikmati pemandangan rumah-rumah dan persawahan, sementara burung-burung gereja mengikuti mereka dengan suaranya yang bercericit.

Dia begitu percaya mimpi itu akan terwujud, dan ketika Matahari mulai memanjat tebing langit, diam-diam diayunkan langkahnya berahasia ke pintu gerbang puri dan benar, lelaki itu telah menunggunya di sana.

Diulurkannya tangannya dan secepat anak panah lelaki itu melompat, menyambut tangannya dan mereka berlarian di jalan tanah ke arah laut. Mereka berlari, tetapi tubuh mereka tak terangkat dari atas tanah. Kaki tuan putri terantuk batu, kaki lelaki menginjak padas, namun mereka tak peduli, sementara dari kejauhan terlihat ayah tuan putri digerbang dan mulai berteriak-teriak. Lalu, terdengar suara kulkul dipukul bertalu tanda bahaya tiba, dan mendadak dari segala arah lelaki menyerbu dengan golok dan parang di tangan.

“Tidak! Aku telah melakukan yang dibisikkan, telah kulakukan melegandang sesuai dengan tuntutan adat. Kenapa jadi begini?” kata lelaki itu pada dirinya sendiri.

Lelaki itu dan tuan putri sekejap sudah berada di kepungan para lelaki desa itu yang bersenjata parang dan kelewang.

“Bunuh saja dia!” tiba-tiba terdengar suara.

Lelaki itu dan tuan putri sekejap sudah berada di kepungan para lelaki desa itu yang bersenjata parang dan kelewang.

“Bunuh saja dia!” tiba-tiba terdengar suara.

“Tunggu!” teriaknya.

Namun, tak seorang pun berniat menyurutkan langkah dan menunggu. Tiba-tiba saja golok sudah terayun dan parang ditebaskan. Lelaki itu tersungkur ke tanah, tubuhnya bersimbah darah, namun tiba-tiba tubuhnya terangkat dari tanah, melayang di udara. Orang-orang hanya memandang dengan mulut menganga, menyaksikan adegan yang sama sekali tak mereka duga. Golok dan parang terjatuh dari tangan mereka, kaki mereka terpaku di tanah, dan mereka bahkan tak mampu menarik napas.

Jasad lelaki itu terus melayang-layang di udara, langsungmemanjat tebinglangit, sementaraterdengar nyanyian merdu darip erempuan-perempuan yang melantunkan ayat-ayat suci mengantar kepergiannya.

Tuan putri bersimpuh di tanah, memandang ke langit, dan ingat akan mimpinya sendiri. Kenapa bukan dia yang diterbangkan ke langit, kembali ke surga, berkumpul kembali dengan para bidadari? Dia menjerit memprotes ke langit seolah hendak bertanya kenapa hal itu bisa terjadi. Kenapa hukuman itu harus dia jalani?

“Wahai Tuan Putri. Kau terlalu banyak bermimpi tentang Rajapala, kisah sedih yang diwariskan oleh leluhurmu kepada Tu Ninimu, kepada Biyang Ayumu. Kau terlalu membayangkan dirimu sebagai bidadari yang terbuang ke dunia dan akhirnya harus terbang kembali ke surga meninggalkan suami dan anak yang mencintaimu.”

“Apa salahku punya mimpi tentang bidadari yang turun ke bumi?”

“Tidakkah kau sadar bahwa dari awal kamu sudah berjanji untuk tidak bersetia kepada suaminya, hanya lantaran kau temukan kembali pakaian dan selendangmu, dan kau impikan kembali kehidupan yang sudah kau tinggalkan dan seharusnya tak lagi kau inginkan? Tidakkah ini suatu dosa yang amat besar dan sekarang kau harus menanggungnya?”

“Duh Gusti, lalu kenapa lelakiku kau terbangkan ke langit?”

“Tidakkah kau lihat wajahnya yang sederhana, wajah seorang petani desa yang mengenal hanya satu kata, yakni kerja. Kerja adalah apa yang dapat dilakukan untuk bersyukur pada Yang Maha Pemberi, dan di masa dongeng, dia telah mencuri seperangkat pakaian seorang bidadari yang turun ke bumi, tetapi kemudian melarikan diri kembali ke langit.”

“Lalu, kenapa dia?”

“Tidakkah kau lihat darah Rajapala mengalir di tubuhnya? Sekarang saat yang tepat baginya bergabung kembali dengan bidadarinyadi surgasetelah beratustahun berpisah.Inilah buah dari ketekunan pada tanah yang digarapnya.”

“Jadi, aku tak bermimpi tentang Rajapala?”

“Tidak. Tetapi kau bukan bidadari. Leluhurmu terlalu sering bercerita tentang bidadari yang turun ke bumi dan tanpa merasa bersalah terbang kembali ke surga meninggalkan suami dan anaknya, dan kau telah teraliri darah bidadari di uratmu, dan segala dosa-dosanya adalah hadiah buatmu. Kelak, kalau kau sudah menyadari apa yang telah kau impikan dan kau dapat memperbaiki diri, maka kau pun mungkin akan terangkat ke langit dan tak kembali lagi ke muka bumi. Kaulah makhluk utama yang layak untuk duduk di singgasana langit, di sana, jauh di sana, dan mungkin kau akan bertemu dengan Rajapalamu.”

Tuan Putri menundukkan mukanya, tangannya meraba tanah, digenggamnya debu, dan kemudian diangkatnya tangannya, debu diterbangkan angin kesana kemari, mungkin memanjat langit menyiapkan tangga ke surga.

Dan angin yang selalu bersiul di tingkap yang terbuat dari kayu berukir motif daun dan bunga di rumah tua yang tak lagi berupa puri dengan para putri dan pangeran yang tinggal di dalamnya, siapakah yang sebenarnya bersiul-siul sepanjang hari sepanjang tahun? Puri ini sudah menjadi tempat tinggal biasa, suasana anggunnya sudah lenyap, dan pintu gerbang yang dulu kelihatan angker sekarang hanyalah seonggok batu merah yang tersusun rapi tanpa jiwa.

Itulah siul tuan putri yang setiap hari pulang kembali ke puri, berharap kelak menjadi bidadari dan terbang kembali ke langit bergabung dengan penghuni surga yang lain, bergabung dengan Rajapalanya yang telah lebih dahulu memasukinya? Mungkinkah? Bukankah lelakiku sudah bergabung dengan bidadari istrinya dan dia mustahil akan berbagi hati denganku?

Dengan demikian, Tuan Putri hanya mampu bersiul di tingkap, ingin masuk kembali ke dalam kamarnya di puri dan bermimpi tentang bidadari yang turun ke bumi dan mandi di telaga wangi.

Singaraja, 5 Agustus 2003

1. Ibu, Ayah, Kakek dan Nenek dari keluarga berkasta.
2. Rajapala, di Jawa dikenal sebagai Jaka Tarub.
3. Kulkul = kentongan.
4. Melegandang, kawin lari dengan cara paksa.
5. Di Bali, pada upacara kematian, para perempuan yang melantunkan ayat-ayat suci.


Sunaryono Basuki Ks

No comments:

Post a Comment