Friday 25 February 2011

Belatung

Belatung



Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Ya seperti ulat. Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Tidak, belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu. Kenapa tidak bisa, Ibu? Entahlah, Ibu tak tahu. Kasihan ya, Bu? Aku ingin melihat ia jadi kupu-kupu. Tetapi kita tidak bisa. Tapi aku ingin.

Tidak bisa. Aku ingin.

“Tidak bisa…,” dan Warni melihat ratusan belatung, ribuan belatung, merayap melata ke arah mereka. Melata? Tidak, makhluk kecil basah menjijikkan itu lebih tampak seperti melayang (atau terbang?) dalam satu barisan teratur mirip selendang. Saat selendang itu bergerak sentak bagai dikibaskan, belatung-belatung itu berhamburan bersama percikan lendir. Dan Warni gelagapan. Tangannya sibuk: membersihkan lendir, mungkin juga belatung, yang menempel di wajah dan tubuhnya.

Aku ingin.

“Tidak!” dan Warni tersentak. Sadar. Dibukanya mata, nanar. Tak ada belatung. Tak ada percikan lendir. Ditolehkannya kepala ke samping dan menemukan tubuh kecil itu, Suci, anaknya, bergelung nyenyak dengan satu tangan menyelusup ke ketiak. Warni mengembuskan napas, lega. Tetapi, kalimat Suci itu, aku ingin, aku ingin, bagai masih menggema….

“Kupu-kupu itu indah ya, Bu?”

“Ya, indah.”

“Maukah Ibu menangkapkannya untukku?”

“Tidak. Tidak boleh.”

“Kenapa tidak boleh, Ibu?”

“Kau lihatlah tubuhnya, sayapnya. Tipis dan rapuh. Ia bisa mati di tangan kita.”

Suci terdiam. Sejenak. Mata bocah perempuan lima tahunan itu mengerjap- ngerjap bagai berusaha memahami kalimat Warni. “Kenapa di tempat kita sangat banyak, Bu?”

“Apa yang sangat banyak?”

“Kupu-kupu.”

Warni-lah yang kemudian balas terdiam. Memang mengherankan. Kenapa di tempat seperti ini, di tempat yang sama sekali tak indah, di perumahan kumuh yang bagai terperosok ke rawa-rawa, bisa dilalulalangi begitu banyak kupu-kupu? Ataukah justru karena adanya rawa-rawa itu? Entah, Warni tak pernah memikirkannya. Atau lebih tepat: Warni tak sempat memikirkannya. Hal itu terlalu sepele. Terlalu sepele bagi hidupnya yang….

“Padahal, ulat jelek ya Bu?”

“Apa?”

“Ulat. Jelek. Kenapa bisa berubah jadi kupu-kupu yang indah?”

“Eh,” Warni tertegun, “siapa yang memberitahumu?”

“Memberitahu apa, Bu?”

“Kupu-kupu, dari ulat.”

“Bukankah Ibu?”

“Oh…,” begitulah, Warni sering lupa. Ya, begitulah aku selalu lupa. Kenapa aku bisa melupakan banyak hal tentang dirimu, anakku? Sungguh tak ada niatku untuk begitu. Semua semata karena jejalan persoalan di kepalaku. O kalau saja kau mengerti. Kalau saja kau tahu. Apa yang terbayang olehmu, apa yang akan terjadi pada dirimu, kalau kau tahu beberapa waktu lagi kita mungkin bakal tak punya tempat tinggal?

Kau lihatlah truk-truk sampah itu. Truk-truk sampah yang telah beberapa minggu ini tak henti datang membuang sampah ke rawa-rawa. Tahukah kau sampah itu sampah seluruh pelosok kota? Beratus-ratus ton, beribu-ribu ton setiap hari. Lihatlah, sampah itu menggunung, dan gunungan itu akan menjalar sampai ke mari. Tetapi konon kita takkan sempat melihat gunungan sampah itu menimbun rumah kita. Karena kata orang, saat itu, rumah kita telah digusur.

Kau memang takkan mengerti. Dan memang tak perlu tahu. Bahkan, apa yang kau dapatkan dariku (malam-malam sunyimu, malam-malam saat kau kutinggalkan) adalah perlakuan tak pantas dari seorang ibu. Bermainlah, anakku. Bermainlah saja. Dan kupu-kupu… mungkin kupu-kupu itu memang diutus tangan-tangan suci menemanimu. Tetapi ah, truk-truk itu, sampah-sampah itu telah membawa air lindi, larva lalat hijau, dan belatung-belatung ke rumah kita. Dan semua makhluk menjijikkan itu telah mengusir makhluk indahmu: kupu-kupu.

Maafkan aku yang tak segera menyadari itu. Maafkan aku yang lebih peduli pada air lindi yang menggenangi dapur, pada belatung-belatung yang merayapi lantai dan dinding, dibanding wajah sedihmu kehilangan kupu-kupu. Dan betapa, betapa aku baru terkejut ketika suatu hari, kemudian, bibirmu yang mungil menanyakan itu: Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Betapa aku….

Kenapa ya? Kenapa belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu? Huh! Coba kalau bisa. Tentu kupu-kupu yang kata Ibu telah pindah ke tempat jauh itu kembali ada. Huh, inginnya aku. Bukankah belatung itu seperti ulat? Kalau betul kata Ibu kupu-kupu dari ulat, tentu belatung juga bisa berubah jadi kupu-kupu. Ataukah Ibu bohong? Ataukah Ibu tak tahu?

Mungkin sebenarnya Ibu tak tahu. Bukankah Ibu pernah berkata: banyak hal yang kita tak tahu. Ataukah mungkin Ibu lupa? Huh, Ibu memang pelupa. Bahkan, Ibu sering lupa pada apa yang dikatakan kepadaku. Kenapa ya? Apakah karena sudah tua? Ibu pernah berkata orang akan pelupa kalau tambah tua. Tapi Ibu belum tua. Tapi kadang Ibu memang tampak tua, kalau siang. Kalau senja, kalau Ibu sudah tukar pakaian, pakai lip dan bedak mau pergi kerja, Ibu tampak muda. Cantik. Bahkan, Oya pernah bilang padaku Ibu kupu-kupu. Bukankah itu karena Oya melihat Ibu indah? Tapi Oya memang baik, tidak seperti orang-orang tua dan ibu-ibu lain yang sering kasar kepadaku. Aku benci, aku tak suka pada mereka. Bagaimana kalau tak ada Oya ya?

“Oya di sebelah. Teriak kalau ada apa-apa,” begitu selalu kata Ibu sebelum berangkat kerja. “Kau takut?”

Aku menggeleng. “Tidak.” Aku tak takut, ada Oya. Ya, ada Oya, Warni menguatkan hati dan menutup pintu. Dipasangnya gembok, memastikan telah terkunci, lalu melangkah ke sebelah. Di rumah serupa-mirip gubuk juga-yang dibatasi hanya selapis tripleks, di situlah Oya: perempuan tua 70-an tahun, dengan kompor gorengan (kadang pisang, kadang ketela, ada saja) bagai terjulur dari jendela yang lebar dan rendah. “Titip ya Oya?” kata Warni menyerahkan anak kunci. Seperti biasa, titipan anak kunci itu juga berarti “menitipkan” Suci.

Tanpa menoleh, seperti biasa pula, Warni melangkah jinjit di gang yang kini (air lindi itu!) selalu becek. Di mulut gang ia masih harus jalan kaki kira-kira empat ratus meter ke simpang jalan aspal tempat ia biasa naik ojek. Ia menepi, dan lebih menepi ketika iring-iringan truk itu lewat, memenuhi nyaris seluruh badan jalan yang sempit. Ia berdesah, iring-iringan truk sampah ini muncul hampir tiap sepuluh menit….

Telah siang. Warni turun dari ojek bagai melompat, membayar cepat-cepat, lalu melangkah tergopoh-gopoh ke pintu rumah. Sial! Seharusnya kuturuti nasihat Asih, jangan sekali-kali melayani mahasiswa. Mereka suka aneh-aneh, tak ada uang, dan banyak maunya. Beginilah jadinya. Warni disekap semalaman dan baru dilepas ketika pagi. Padahal, biasanya, ia sudah pulang pukul tiga dini hari dan masih bisa tidur di sebelah Suci. Bagaimanakah reaksi Suci, ketika bangun, mendapatkanku tidak ada?

Tetapi semua tenang-tenang saja. Bagai tak ada apa-apa. Apakah Suci belum bangun? Berkali-kali kunci cadangan Warni gagal membuka gembok karena terburu-buru. Ketika gembok berhasil lepas dan daun pintu ia dorong, Warni terkejut, terlompat surut. Kupu-kupu? Ya, kupu-kupu! Putih, kecil-kecil, belasan (o, bukan, puluhan!), keluar bagai menghambur dari dalam rumah….

Ada beberapa detik Warni terpana. Ketika perlahan kakinya ia langkahkan masuk, Warni lebih terkejut lagi. Kupu-kupu itu bukan puluhan, tetapi ratusan (atau mungkin ribuan!), memenuhi ruangan! “Suci…?” Buru-buru Warni melangkah ke bilik. Tetapi, di pintu bilik, ia kembali tertegun.

Di situ, di lantai di pintu bilik itu, walau pandangannya terhalang oleh silang-selimpat kelebat kupu-kupu, Warni melihat ratusan (atau mungkin juga ribuan!) belatung bagai berbaris melata ke dalam bilik. Dan, di dalam bilik, barisan belatung itu… satu demi satu, langsung, tidak dari kepompong, berubah jadi kupu-kupu!

“Betul kan, Bu? Lihatlah belatung bisa berubah jadi kupu-kupu.”

Suara Suci itu…. Dengan kaki jinjit menguak belatung, dengan tangan menepis mengibas kupu-kupu, Warni melangkah mendekati tempat tidur. Dan, di situ, di atas tempat tidur, dalam keremangan bilik yang jendelanya masih tertutup, Warni melihat anaknya, Suci, tersenyum, menatapnya: dengan kedua bola mata merah, mencorong, menyala… bagai mata iblis dari neraka…. *

Payakumbuh, 2004


Gus tf Sakai

No comments:

Post a Comment