Sunday, 20 February 2011

Kesaksian Ganja Kering, Basah Air Mata

Kesaksian Ganja Kering, Basah Air Mata


Seperti diterjang angin puyuh, aku tercabik dari rangkaian utuh jari daunku. Tak terlihat oleh siapa pun di dalam ruangan itu, aku yang hanya sebesar biji saga melayang dan tersuruk di belakang kaki kursi dari orang yang dengan bengis membanting gumpalan badanku bersama ratusan, atau mungkin ribuan, daun sekaumku.

Dari balik kaki kursinya yang terletak di bagian belakang, kulihat orang itu kembali menghardik, “Kalau bukan untuk membiayai orang-orang Aceh yang hatinya berbulu, para pemberontak yang berkeliaran di Jawa ini, untuk apa lagi daun haram ini? Katakan, untuk apa? Kalau ini diuangkan, kau tau, dia jauh lebih dari cukup untuk membiayai seribu orang seperti kau ini jadi doktor. Omong kosong ayahmu mengirimkannya untuk membiayai kuliahmu. Jangan berbohong! Katanya mahasiswa, mengapa tak mau belajar jujur?! Katakanlah, kepada siapa daun laknat ini akan kau berikan?! Siapa kontakmu di sini?”

Dari balik kaki kursi di mana aku tergeletak tak berharga, kulihat orang itu menahan napas. Coba menenteramkan hantaman jantungnya. Tetapi, nyata sekali matanya tetap melotot pada gadis yang duduk seperti tunggul yang dipacakkan di kursi, di seberang meja. “Ayo! Katakan…!”

Hanya beberapa menit yang lalu, aku padat berimpitan dengan kaumku dalam bungkusan karton tipis yang terletak di atas meja itu. Sekarang, tangan orang yang begitu durjana memisahkan aku dari kaumku, mengangkat bungkusan berisi daun ganja kering yang sedarah serumpun sepersemaian denganku. Dengan tiba-tiba dia kembali membantingkan kaumku itu ke daun meja, walau sudah tak sekeras bantingan pertama, yang membuat diriku tercabik dan tercampak dari indukku. Yang menestapakan aku di lantai, di belakang kaki kursi ini. Orang itu tidak melihat aku. Barangkali lantaran amarahnya sudah begitu memuncak sehingga dia sudah tak menghiraukan aku lagi. Ya, memang, apalah aku ini, selinting pun tak sampai. Aku hanya secabik kecil dari satu kesatuan daun yang kering. Daun terkutuk lagi. Yang membuat gadis Aceh yang manis di depanku ini begitu hinanya.

“Akuilah!”

“Apa yang harus aku akui?”

“Kalau memang perempuan Aceh, kau jangan berlagak pilon!”

“Sudah saya katakan, si pengirim adalah ayah saya. Bapak bisa baca di pojok parsel itu di mana dengan jelas tertulis nama ayah saya; dia yang mengirimkannya. Dan saya persilakan Bapak membaca lagi surat yang terselip di situ. Kalau semua baris kalimatnya yang begitu sederhana, dan juga begitu kaku, Bapak anggap sebagai sandi bagi perjuangan kaum pemberontak di perantauan, maka itu terpulanglah kepada kesimpulan Bapak. Saya tak bisa berkata apa-apa, saya hanya pesakitan.”

“Akh….” Orang itu tersentak bangkit dari kursinya. Kalau dia menggeser kursinya, pastilah aku tercampak lebih jauh lagi. Tapi, tidak. Dan, dari balik kaki kursinya bisa kulihat wajahnya yang penuh dengki dan permusuhan yang disemburkannya ke arah gadis yang berada di bawah penaklukannya.

“Sudah seminggu aku memeriksamu. Aku tak sudi terus-menerus mengurusmu, terus-menerus menelan kebohonganmu. Jangan bikin aku marah. Aku ini juga jantan, bisa naik pitam! Atau kau baru mau mengaku kalau kaki meja ini sudah melumatkan jari-jari kakimu?! Pipimu yang menawan ini sudah saya totolin dengan bara rokok sampai melentung gosong. He… orang Aceh tidak hanya pencari keadilan, mereka juga pemuja keberanian dan pengagum kecantikan. Pikirkanlah apa yang akan terjadi kalau dirimu penuh cacat. Sekarang, aku masih kasih kau kesempatan untuk berpikir, berdamai dengan apa yang kau rahasiakan di dalam hatimu.”

Orang itu meninggalkan pesakitannya. Aku cuma cabikan daun. Tetapi, melihat bagaimana gadis itu disemprot hardik dan ancaman sekasar itu, simpatiku tumpah ruah kepadanya.

Gadis itu tak bergerak di kursinya. Ketika orang yang berhati durjana itu menghilang di balik pintu, perlahan dia merundukkan kepalanya, seperti mau menyembunyikan matanya yang memerah menahan amarah. Melihat dia seperti itu aku berbisik di dalam hati: kalau kau memang mau menahan tangis, karena keteguhan hatimu, lantaran air mata buatmu barangkali adalah lambang kelemahan, maka bendunglah air matamu supaya jangan sampai membasahi pipimu. Biarkanlah aku yang berderai air kesedihan. Walau aku hanya secabik daun ganja yang kering, yang hina dina. Aku berurai air mata melihat bagaimana kau diperlakukan. Aku tahu persis kau bukanlah pendusta. Dan orang itu harus tahu bahwa Aceh itu tak hanya seperti yang dia kenal. Aceh adalah juga hati yang mulia. Orang yang durjana, seperti dia, tentu tak bisa memahaminya.

Kau tinggal jauh di Jawa sini, kawanku. Tak kau lihat bagaimana ayahmu memperlakukan aku dalam onggokan daun kering yang membuatmu jadi susah begini. Pahitnya masa di bawah kekuasaan tangan besi, manakala pemerintah memutuskan Aceh di bawah kungkungan daerah operasi militer dulu, telah memberikan pelajaran kepadanya tentang bagaimana menghadapi masa-masa sulit di kemudian hari. Entah siapa yang memberitahukan kepadanya, pergilah dia mencari daun ganja kering barang sebungkah, di mana aku turut terbalut. Dengan hati-hati sekali, seperti meletakkan intan di atas tatakannya yang terbuat dari beledru berlapis sutra halus, yang tak boleh terusik jangat yang kasar, maka disembunyikanlah kami di para-para, di atas tungku dapur keluargamu, jauh di kampung tempat kau dilahirkan.

Aku siap menjadi saksi betapa gelisahnya ayahmu menerima surat yang kau tulis tempo hari, yang mengabarkan bahwa kau sedang bersiap-siap untuk menyelesaikan kuliahmu. Bahwa kau memerlukan ongkos untuk bolak-balik naik kereta api, karena kau akan melakukan penelitian di perpustakaan kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta. Dan dari situ kau akan mengakses homepage Dag Hammarskjold Library di New York. Kau katakan di dalam suratmu itu dengan seloroh yang manis, yang membuat senyum tersungging di bibir ayahmu, bahwa kalau kantongnya sedang subur-suburnya kirimkanlah peng lebih banyak. Karena kau harus membayar ongkos tik komputer, fotokopi, penjilidan, sewa toga, dan lain-lain.

Bukan main gundahnya perasaan ayahmu. Bisa dimaklumi. Cobalah kau merenung barang sedetik. Tempatkan dirimu di posisinya. Dia harus menyediakan uang, padahal suasana perekonomian belum pulih benar setelah masa daerah operasi militer disudahi. Dia jadi gamang. Memang, kau tak menyebutkan jumlah. Tetapi, dia tahu kau memerlukan uang yang lebih besar dari biasanya. Terkadang wajah ayahmu kusut masai kalau perasaannya sudah suntuk memikirkan uang yang sangat kau butuhkan. Tapi, jangan terlalu bersedih, dan jangan lupa, suratmu itu juga membawa kebahagiaan yang amat sangat bagi ayahmu. Pagi-pagi, begitu matahari baru saja terapung di kaki langit, sambil duduk mencangkung di pematang, terkadang paras wajah ayahmu bersimbah kebahagiaan. Karena dia tahu, jerih payahnya menyekolahkanmu jauh-jauh ke daratan yang terletak di ujung selatan sana tidak sia-sia. Benih yang ditabur akhirnya sudah mulai berkecambah. Tercapailah cita-cita anakku, ya Tuhan, katanya perlahan mengusipkan doa yang bersambut derai embun pagi.

Sejak di sekolah menengah atas kau memang bercita-cita ingin mempelajari ilmu politik, khususnya hubungan internasional. Karena kau ingin tahu dan ingin memberikan jawaban mengapa bangsamu ini begitu hinanya di mata dunia. Apa saja yang dilakukan Indonesia, terutama setelah pembantaian yang terjadi tahun 1965-1966, pembunuhan di Tanjung Priok dan Lampung, penyirnaan nyawa manusia secara misterius, apalagi soal Timor Timur, malunya bangsa ini di mata dunia bukan kepalang. Dulu, katamu, kau yang senang belajar sejarah, presiden republik yang pertama berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih dan menggeledek di podium Perserikatan Bangsa-Bangsa, di New York, karena dia mau merombak dunia. Asia, Afrika, Amerika Latin menyimak dan mendukung kata-katanya. Tetapi, presiden yang menjatuhkannya, yang berbicara di podium yang sama juga, menggunakan bahasa yang belum diakui sebagai bahasa pergaulan internasional. Sudah begitu, lafal bahasa Indonesianya begitu buruk sehingga jadi bahan ledekan bagi mereka yang sinis dan para punakawan.

Hai gadis yang duduk terpaku di kursi. Kau kulihat bukannya menahan tangis karena harus berhadapan dengan kelaliman seorang interogator. Aku tahu hatimu tercabik-cabik, tak tahan mengenang ratusan, mungkin ribuan, ibu dan anak-anak mereka yang sedang mengusung tikar, kasur, dan belanga menyeberangi hutan dan sungai menuju pengungsian, menghindari ancaman perang. Janganlah terus merunduk seperti itu. Liriklah aku. Akan kuceritakan kepadamu bagaimana ayahmu begitu gelisah menunggu datangnya hari kiamat kedua setelah dinyatakannya Aceh berada di bawah daerah operasi militer, hari dikobarkannya api peperangan di seluruh gampong tanah tumpah darahmu. Begitulah wajah kekerasan yang hendak memadamkan pemberontakan yang diciptakan oleh kekuasaan itu sendiri.

Pagi itu aku lihat ayahmu mencangkung lagi di pematang. Maaf, wajahnya murung. Sebentar-sebentar dia coba menantang bersit sinar matahari. Sebentar-sebentar jari- jarinya menari membelai bulir padi yang masih hijau. Kemudian, seperti embun yang menggumpal, air mata menyeruak di pojok matanya. Orangtua itu menangis, menyesali diri, karena dia tak punya kekuatan untuk memecut lajunya pertumbuhan padi di sawahnya yang hijau melaut, sehingga dalam hitungan empat puluh dia sudah bisa panen, menjualnya, dan mengirimkan uang kepadamu. Dia menghapus hidungnya yang menggelegak karena menahan emosi dengan menggunakan bahu bajunya.

Tiba-tiba saja, dia bangkit dan berlari-lari kecil sepanjang pematang. Memanjat tangga rumahmu dan langsung menuju para-para. Pelan-pelan diturunkannyalah kami dari situ. Ya, kami, bongkahan ganja yang padat kering. Rupanya, kamilah yang menjadi tumpuannya yang terakhir. Bukan siapa-siapa. Dia sudah tak melihat pintu kesempatan yang lain. Baginya, jalan sudah buntu mencekik. Sejauh lima kilometer dia berjalan dengan langkah tergesa-gesa, menuju kota terdekat. Di kantor pos, dengan rapi kami dia masukkan ke dalam amplop. Jari-jarinya gemetar menuliskan alamat rumah kosmu, di jalan ini, di nomor itu, di kota anu.

Ketika pegawai kantor pos menanyakan apa isi parsel itu, dengan tenang dan pasti dia jawab, “Buku, sajadah.”

Aku tak tahu pasti, apa yang terjadi ketika ayahmu kembali ke rumah. Dan, oh gadis kawanku, maka datanglah hari yang dia tunggu dengan penuh kecemasan itu, Senin, 19 Mei 2003. Sungguh aku tak tahu apakah sawahnya turut menjadi medan di mana kendaraan-kendaraan baja yang menjadi mesin peperangan juga melindas dengan deru deram rodanya yang melumatkan padi yang belum bunting. Aku tak tahu. Karena aku dan seluruh kaum yang terhina di dalam parsel itu berada dalam perjalanan menuju Jawa. Yang aku tahu pasti, ketika sudah sampai di satu kantor pos, ada anjing yang sengaja didekatkan kepada kami yang terbungkus rapi di dalam kardus. Ketajaman penciuman dan kesetiaan anjing itu jangan kau persalahkan. Itu adalah kodrat yang diberikan kepada mereka. Memang, kedengarannya tak adil, mengapa kami, yang adalah juga makhluk, di ujung yang lain, dikodratkan untuk menanggung malu dan kutukan, walau kami tahu itu adalah kesalahan manusia yang menyalahgunakan kami. Kalaupun kau ikut kecewa, namun janganlah terlalu kau perturutkan perasaanmu. Biarlah kami memikul nasib ini tanpa harus membebani orang lain. Juga tidak, sekalipun itu adalah engkau.

Malang, untuk jasanya, anjing itu tak dapat persen. Bungkusan langsung dirobek. Dan begitu terbuka, siapa lagi, tentu kamilah itu, daun- daun kering yang dimasukkan ke dalam kategori barang haram, yang bisa menyeret orang yang terlibat ke depan regu tembak, seperti kau ini, gadis manisku. Kemudian, kau sendiri sudah tahu apa kejadian yang datang menyusul. Mereka menemukan alamatmu. Tengah malam kau disergap orang-orang yang berpakaian yang saru di tengah kegelapan. Lenganmu yang halus, yang dirayakan bulu-bulumu yang sensual, mereka perkosa dengan lilitan borgol. Kau digiring dengan bentakan ketika kau berbalik hendak menutup Al Quran yang masih ternganga di rehal. Masih untung kekerasan dan penghinaan itu berhenti di situ. Dan kau dijadikan pesakitan seperti ini. Mereka memaksamu untuk mengakui apa yang tidak ada dalam goresan niatmu. Terus terang, sakit hatiku. Namun, apa mau dikata, aku hanya seupil ganja. Di balik kaki kursi bagian belakang, persis di bawah bokong orang yang begitu jahat membentak dan mengancammu aku hanya bisa meratap.

Interogator itu masuk lagi ke dalam ruang pemeriksaan. Begitu kerasnya daun pintu dibantingkannya sehingga angin yang dikibaskannya menyeret tubuhku, dan aku teringsut ke samping. Dia lakukan itu, apalagi kalau bukan hendak meruntuhkan mental gadis yang mau dia taklukkan. Tapi, ah, manisnya kau. Bukannya takut, kau malahan tampak lebih anggun dalam mempertahankan dirimu.

“Katakan, siapa saja kontakmu!” Orang itu menghampiri si gadis, dan dia mengeluarkan selembar foto dari sakunya. “Kenal ini? Di mana, dan kapan kau bertemu dengan dia.”

“Tidak.”

Interogator itu mundur mengikuti kesebalan hatinya. Dia menyandarkan bokongnya di bibir meja. “Baik, kalau memang begitu maumu, mari kita kuat-kuatan. Sampai kau menyerah dan menyebutkan kepada siapa saja ganja ini mau kau berikan. Ingat, kesabaran tetap ada batasnya.”

Dia tegak, dan ketika dia mau meletakkan bokongnya di kursi, persis di atas kepalaku, tampaklah olehnya serpihan daun ganja sebesar kelingking, merana di kaki kursinya. Dia julurkan tangannya memungutku. Kemudian dia sumpalkan diriku ke dalam jejalan kaumku yang tergolek di meja. Lantas dia keluar menenteng kami. Akan ke manakah kami dibawa? Aku yakin, kalau sudah tak dibutuhkan lagi untuk menghukummu secara palsu, kami akan dibakar, atau oleh tangan- tangan yang jauh lebih jahat dari interogator itu, kami diedarkan ke pasar gelap.

Kalau boleh, aku ingin dibakar saja. Mati hanya sekali. Dan buat kami kematian datang dengan cepat. Sekelebat api. Tidak seperti kau yang disiksa berlama-lama. Doaku cuma satu, gadis manisku, semoga perjalanan waktu akan membebaskanmu. Manusia-manusia tak berperasaan seperti orang yang menginterogasimu ini begitu mudah lupa. Karena yang mereka pikirkan adalah bagaimana membuat dosa yang baru supaya yang lama dilupakan. Mudah-mudahan saat itu akan datang, dan kau bebas, karena kau memang suci tak bersalah.

Martin Aleida

No comments:

Post a Comment