PARA PELAKU DRAMA
1. Wanabaya, Ki Ageng Mangir, pemuda, + 23 tahun, prajurit, pendekar, panglima Mangir, tua Perdikan Mangir, tampan, tinggi, perkasa dan gagah.
2. Baru Klinting, tetua Perdikan Mangir, pemuda, + 26 tahun, prajurit, ahli siasat, pemikir, organisator.
3. Pambayun, Putri, putri pertama Panembahan Senapati dengan permaisuri, + 16 tahun, telik Mataram, berpikiran masak.
4. Suriwang, pandai tombak, + 50 tahun, pengikut fanatik Baru Klinting.
5. Kimong, telik Mataram, + 30 tahun.
6. Tumenggung Mandaraka, pujangga dan penasihat kerajaan Mataram, + 92 tahun, kepala rombongan telik Mataram.
7. Ki Ageng Pamanahan, ayah Panembahan Senapati, + 90 tahun.
8. Pangeran Purbaya, anak pertama Panembahan Senapati, + 20 tahun.
9. Tumenggung Jagaraga, anggota rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 35 tahun.
10. Tumenggung Pringgalaya, anggota rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 45 tahun.
11. Panembahan Senapati. Raja Pertama Mataram, + 45 tahun.
12. Demang Pajang, + 42 tahun.
13. Demang Patalan, + 35 tahun.
14. Demang Pandak, + 46 tahun.
15. Demang Jodog, + 55 tahun
16. Pencerita (troubadour).
BABAK PERTAMA
PENCERITA (Troubadour) bercerita dengan iringan gendang kecil sebelum layar diangkat: Siapa belum pernah dengar Cerita lama tentang Perdikan Mangir Sebelah barat daya Mataram?
Dengar, dengar, dengar: aku punya cerita.
Tersebut Ki Ageng Mangir Tua, Tua Perdikan Wibawa ada dalam dadanya Bijaksana ada pada lidahnya Rakyat Mangir hanya tahu bersuka dan bekerja
NASKAH DRAMA
BABAK PERTAMA Drama Mangir.
Tinggal sejengkal lidah
Dijadikannya tombak pusaka
Itulah konon tombak pusaka
Si Baru Klinting….
Layar – terbuka pelan-pelan dalam tingkahan gendang pencerita, mengangakan panggung yang gelap gulita.
Pencerita – berjalan mundur memasuki panggung gelap dengan pukulan gendang semakin lemah, kemudian hilang dari panggung.
Setting – Sebuah ruang pendopo di bawah sokosoko guru terukir berwarna (polichromed), dilengkapi dengan sebuah meja kayu dan beberapa bangku kayu.
Di atas meja berdiri sebuah gendi bercucuk berwarna kehitaman. Dekat pada sebuah soko guru berdiri sebuah jagang tombak dengan tujuh bilah tombak berdiri padanya. Latar – belakang adalah dinding rumah- dalam, sebagian tertutup dengan rana kayu berukir dan sebuah ambin kayu bertilam tikar mendong.
BARU KLINTING : (duduk di sebuah bangku pada ujung meja, menoleh pada penonton). Hmm!
(Dengan perbukuan jari-jari tangan memukul pojokan meja, dalam keadaan masih menoleh pada penonton). Sini, kau Suriwang!
SURIWANG: (memasuki panggung membawa seikat mata tombak tak bertangkai, berhenti; dengan satu tangan berpegang pada sebuah sokoguru).
Inilah Suriwang, pandai tombak terpercaya Baru Klinting. (menghampiri Baru Klinting, meletakkan ikatan tombak di atas meja). Pilih mana saja, Klinting, tak bakal kau dapat mencela.
BARU KLINTING : (mencabut sebilah, melempar-tancapkan pada daun meja, mengangkat dagu): Setiap mata bikinan Suriwang sebelas prajurit Mataram tebusan.
SURIWANG : Ai-ai-ai tak bisa lain. Segala apa yang baik untuk Suriwang, lebih baik lagi untuk Klinting, laksana kebajikan menghias wanita jelita, laksana bintang menghias langit-lebih, lebih baik lagi untuk Wanabaya, Ki Ageng Mangir.
BARU KLINTING : (memberi isyarat dengan kepala). Tinggalkan yang tertancap ini. Singkirkan selebihnya di ambin sana.
SURIWANG : (mengambil ikatan mata tombak, mendekatkan mulut pada Baru Klinting).
Semua usaha kembang, bumi ditanami jadi.
Datanglah hari setelah setahun menanti
Pesta awal Sura
Ronggeng, wayang, persabungan, gelut, lomba tombak,
Dekat-jauh, tua-muda, bujang-perawan, semua datang
Di dapur Ki Ageng Mangir Tua
Habis pisau perajang terpakai.
Datang perawan Mendes mohon pada Ki Ageng:
- Pinjami si Mendes ini pisau sebilah
- Hanya tinggal belati pusaka boleh kau menggunakan, tapi jangan kau lupa
Dipangku dia jadi bahala.
Perawan Mendes terlupa belati pusaka dipangkunya
Ah, ah, bayi mendadak terkandung dalam rahimnya
Lahir ke atas bumi berwujud ular sanca
- Inilah aku, ampuni, Bunda, jasadku begini rupa
Malu pada perdikannya
Malu pada sanak tetangga
Ki Ageng lari seorang diri
Jauh ke gunung Merapi
Mohon ampun pada Yang Maha Kuasa
Ki Ageng Mangir Tua bertapa. Dia bertapa!
Datang seekor ular padanya
Melingkar mengangkat sembah – Inilah Baru Klinting sendiri.
Datang untuk berbakti
Biar menjijikkan begini
Adalah putramu sendiri.
Ki Ageng mengangkat muka
Kecewa melihat sang putra - Tiada aku berputra seekor ular
Kecuali bila berbukti
Dengan kepala sampai ekor
Dapat lingkari Gunung Merapi.
Tepat di hadapan Ki Ageng Mangir Tua
Baru Klinting lingkari Gunung Merapi
Tinggal hanya sejengkal
Lidah dijelirkan untuk penyambung
Ki Ageng memenggalnya dengan keris pusaka.
Ular lari menghilang
Mengapa tak kau perintahkan balatentara
Mangir menusuk masuk ke benteng Matarammelindas raja dan semua calonnya?
BARU KLINTING : (pergi menghindar).
SURIWANG: (membawa ikatan mata tombak, bicara pada diri sendiri). Baru Klinting! Seperti dewa turun ke bumi dari ketiadaan. (menganggukangguk).
Anak desa ahli siasat – dengan Ronggeng
Jaya Manggilingan digilingnya balatentara
Mataram, pulang ke desa membawa kemenangan.
(pada Baru Klinting). Masih kau biarkan
Panembahan Senapati berpongah dengan tahta dan mahkota?
BARU KLINTING : (bersilang tangan). Mataram takkan lagi mampu melangkah ke selatan. Kepungan Mangir sama tajam dengan mata pedang pada lehernya. Pada akhirnya bakal datang dia merangkak pada kaki kita, minta hidup dan nasi.
SURIWANG : (meletakkan ikatan tombak di atas Iantai, menghampiri Baru Klinting). Bakal datang dia merangkak pada kaki kita, minta hidup dan nasi.
BARU KLINTING : Belum mampu pandangmu menembus hari dekat mendatang? Dia akan datang – hari penghinaan itu. Kan meruap hilang impian Panembahan, jadi raja tunggal menggagahi Pulau Jawa. Bakal telanjang diri dia dalam kekalahan dan kehinaan.
SURIWANG : Ai-ai-ai tak bisa lain, Klinting. Perdikan Mangir sudah lima turunan berdiri. Lapanglah jalan bagi Sri Maharatu Dewi Suhita Majapahit.
Demak tak berani raba, Pajang tak pernah jamah. Ai-ai-ai, Panembahan Senapati, anak ingusan kemarin, kini mau coba-coba kuasai Mangir.
BARU KLINTING : Apa pula hendak kau katakan, Suriwang?
SURIWANG: Mataram bernafsu mengangkang di atas Mangir! Ai-ai-ai. Mengangkat diri jadi raja, kirimkan patihnya Singaranu – ke Mangir, Klinting, – menuntut takluk dan upeti, barang gubal dan barang jadi. Perdikan Mangir hendak
dicoba! Pulang tangan hampa, balik kembali dengan balatentara. Kau telah bikin panglima Mataram, Takih Susetya, berantakan dengan supit-urangnya. Ai-ai-ai tak bisa lain, tak bisa lain. Klinting, kau benar-benar dewa turun ke bumi – tumpas mereka dengan Ronggeng Jaya Manggilinganmu. Ke mana panglima Mataram itu kini menghilang larikan malunya?
BARU KLINTING : Bikin kau tombak tambahan – delapan ratus mata senilai ini (menuding pada mata tombak tertancap di atas meja).
SURIWANG : Delapan ratus lagi – bukan cuma Mataram, Ki Ageng Mangir Muda.
BARU KLINTING : (memperingatkan). Mangir akan tetap jadi Perdikan, tak bakal jadi kerajaan.
Semua orang boleh bersumbang suara, semua berhak atas segala, yang satu tak perlu menyembah yang lain, yang lain sama dengan semua.
SURIWANG: (mencari muka Baru Klinting). Dan tom- (a) (b) (c)
(a) Karakter tokoh Baru Klinting; (b) Karakter tokoh Putri Pambayun; (c) Karakter tokoh Wanabaya atau Ki Ageng Mangir.
bak yang delapan ratus lagi?
BARU KLINTING : Masih belum kenal kau apa itu raja? Raja jaman sekarang? Masih belum kenal kau siapa Panembahan Senapati? Mula-mula membangkang pada Sultan Pajang, ayahangkat yang mendidik-membesarkannya, kemudian membunuhnya untuk bisa marak jadi raja Mataram? Adakah kau lupa bagaimana Trenggono naik takhta, hanya melalui bangkai abangnya? Apakah kau sudah pikun tak ingat bagaimana Patah memahkotai diri dengan dusta, mengaku putra Sri Baginda Bhre Wijaya?
SURIWANG : Ai-ai-ai memang tak bisa lain, dengan modal dusta berlaku durjana… hanya untuk bisa jadi raja.
BARU KLINTING : Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, tak bakal jadi raja.
SURIWANG : Tak bakal jadi raja! Buat apa pula tombak tambahan?
BARU KLINTING : Bukan buat naikkan Wanabaya ke takhta, buat tumpas semua raja dengan nafsu besar dalam hatinya, ingin berkangkang jadi yang dipertuan. Mangir tak boleh dijamah.
SURIWANG : Mangir tak boleh dijamah! Ai-ai-ai, tak bisa lain.
BARU KLINTING : Semakin banyak tombak kau tempa, semakin banyak kau bicara. Panggil sini orang baru pembikin tangkai tombak itu.
SURIWANG : (berpaling dan melambat). Sini kau, orang baru!
KIMONG : (masuk ke panggung, membungkuk-bungkuk, kemudian mengangkat sembah). Kimong, inilah sahaya.
BARU KLINTING dan SURIWANG : (mengangkat dagu dan mata membelalak).
SURIWANG: Dia bersahaya dan bersembah, Klinting.
BARU KLINTING : (meninggalkan Suriwang, pergi ke meja, mecabut mata tombak tertancap dan mengamat-amati).
SURIWANG : (menggertak). Kudengar suaramu seperti keluar dari kerongkongan orang Perdikan, bungkuk dan sembahmu benar-benar Mataram.
KIMONG : (menunduk mengapurancang). Ya, inilah Kimong, datang untuk mengabdi pada Wanabaya Ki Ageng Mangir Muda, juru tangkai tombak pekerjaan sahaya.
SURIWANG: Bicaramu panjang-panjang, lambat dan malas. Bukan tempatmu kau di Perdikan, dari kedemangan tetangga pun kau bukan!
KIMONG : Juru tangkai tombak (menyembah), ahli kayu sono keling jarang bandingan, perawat senjata pusaka lima bupati, demang dan semua nakaya….
SURIWANG : Dari mana kau?
KIMONG : Parangtritis desa sahaya.
BARU KLINTING : (memperdengarkan ketukan perbukuan jari-jari pada meja).
SURIWANG : Kau anggap gampang menipu Perdikan? (mendengus menghinakan). Berapa lama kau membudak di istana Mataram.
KIMONG : Sahaya hanya orang desa.
SURIWANG : Mengaku hanya orang desa! Kalau benar kau dari Parangtritis, berapakah jarak dari Mangir ke Laut-Kidul?
KIMONG : Tujuh ribu lima ratus langkah (menyembah).
SURIWANG : Dari Mangir ke Mataram?
KIMONG : Lima belas ribu langkah.
SURIWANG : Kau takkan balik ke Mataram, karena Laut Kidul lebih dekat untukmu.
KIMONG: Ampuni sahaya, dengar Ki Ageng butuhkan juru tangkai, bergesa sahaya datang untuk mengabdi. Inilah sahaya, tinggal si juru tangkai tombak.
SURIWANG:(mendengus).
BARU KLINTING :(setelah memeriksa tombak-tombak di jagang menghampiri Kimong dengan bersilang tangan, menggeleng-geleng, mengangkat dagu membuang pandang, tersenyum menggigit).
SURIWANG: Datang menghadap arena dengar warta. Dari mana kau dengar Ki Ageng Muda ada di Mangir?
KIMONG : Warta tertiup lalu dari desa ke desa.
SURIWANG: Tak ada mulut Mataram bisa dipercaya.
KIMONG : Orang Parangtritis sahaya, bukan mulut Mataram.
SURIWANG : Bicara kau, Minting. Bukankah tepat kata-kataku?
BARU KLINTING : Apakah kau sudah lupa pada dusta orang yang berbagi kasih pengecer cinta? Sama dustanya dengan pengabdi pada dua majikan.
SURIWANG : Pengabdi pada dua majikan. Ini dia orangnya! (menuding pada Kimong).
BARU KLINTING : Dengan mulutnya yang berdusta, hatinya setia mengabdi hanya pada diri sendiri.
SURIWANG : Ai-ai-ai tak bisa lain.
KIMONG: (bingung menatap mereka berganti-ganti).
Ah-ah.
SURIWANG : Kau mulut yang berdusta, hati hanya mengabdi pada diri sendiri, arah semua gerakan hanya harta.
BARU KLINTING : Hati dalam dadanya compangcamping, Suriwang, seperti sayap elang tua.
SURIWANG : Sedang dadanya bolong seperti tahang kosong. Di mana tempat orang berdada bolong berhati compang-camping, Klinting?
BARU KLINTING : Setidak-setidak bukan di tempat di mana tombak diberi bertangkai.
KIMONG : Sahaya ada ipar di sini, setiap waktu bisa jadi saksi.
SURIWANG : Ipar? Di antara kau dan istrimu ada ipar. Di antara kau dengan Mangir hanya ada Ma-taram. Terkutuk kau, budak raja. (pada Baru Klinting) Bukankah aku benar Klinting?
BARU KLINTING : (bersilang tangan, menganggukangguk).
SURIWANG : Antara Mangir dan Laut Kidul hanya tujuh ribu lima ratus langkah. Antara Mangir Mataram lima belas. Kau tak kembali ke Mataram, tidak berhenti di Mangir.
KIMONG : Ampuni sahaya, jangan beri sahaya Laut Kidul. Beri sahaya kayu sono keling. Empat puluh batang tangkai dalam sehari inilah tangan sahaya, sanggup kerjakan tanpa dusta.
BARU KLINTING : Hmm.
SURIWANG : (menuding pada Kimong) Keluar!
KIMONG: (keluar meninggalkan panggung disambut oleh tangan-tangan yang menangkap. Di atas tangan-tangan itu nampak beberapa tombak telanjang). Ampun! Ampuni sahaya.
BARU KLINTING : (menghampiri Suriwang, dengan isyarat mengajak kembali ke meja): Berapa saja telik dalam seminggu!
SURIWANG: Berapa kiranya yang telah kena tangkap?
BARU KLINTING : Takkan habis-habis, sebelum Mataram batal jadi kerajaan.
SURIWANG : Takkan aku lupakan, Klinting, raja dan telik laksana celeng dengan penciumannya.
BARU KLINTING :(mengambil mata tombak dari atas meja dan mempermain-mainkannya). Mataram telah mengubah diri jadi kerajaan, Suriwang, setiap kerajaan adalah negeri telik.
Panembahan Senapati bunuh ayah-angkatnya, Sultan Pajang, bukankah juga dengan telikteliknya?
Luka parah, dibawa pulang dan mati di bilik sendiri.
SURIWANG : Mangir bukan Pajang, Klinting.
Wanabaya bukan Hadiwijaya. Tua Perdikan bukan Sultan bukan raja. Telik Mataram takkan bisa kiprah di Mangir. Lolos dua empat kena!
Semua akan masuk perangkap. Huh-huh, budak raja bukan orang mardika. Seribu telik
Mataram, tak bakal bikin Mangir merangkak, seperti keong memi-kul upeti persembahan.
Klinting, bukankah tak ada orang Perdikan butuhkan raja?
BARU KLINTING : Bahkan kambing-kambingnya tak butuhkan.
SURIWANG : Baru Klinting yang jenaka.
BARU KLINTING : Di mana pun jua, Suriwang, raja jadi beban semua.
SURIWANG: Ai-ai-ai tak bisa lain, jadi beban semua.
BARU KLINTING : Seorang di atas kepala sekian laksa! Tombakmu jua yang menjungkirkannya.
SURIWANG : Ai-ai-ai tak bisa lain.
Kepala seseorang – (menongol pada tepian seben).
Baru Klinting! Para demang pemimpin rata, Demang
Patalan, Demang Jodog, Demang Pajangan dan
Demang Pandak! (Kepala seseorang itu meninggalkan panggung).
SURIWANG : Kalau para gegeduk rata berdatangan begini, Klinting, tiba saatnya buat Suriwang ini untuk minta diri. (meletakkan ikatan tombak di atas ambin. Mengusapkan telapak tangan pada dada Baru Klinting. Keluar panggung).
DEMANG PATALAN dan DEMANG JODOG :(masuk ke panggung).
DEMANG PATALAN : Kau telah lebih dulu di sini Klinting!
DEMANG JODOG : Aku lihat mata tombak di atas meja.
BARU KLINTING :(memungut mata tombak itu dan melempar-tancapkan pada daun meja): Delapan ratus lagi, harus jadi dalam sepuluh hari.
DEMANG JODOG : Kita menang, pulang, buat mengasoh dari perang. Masih juga tanganmu gerayangan bikin pekerjaan.
BARU KLINTING : Kau masih seperti di medan-perang, masih merah seperti kepiting panggang.
DEMANG JODOG : Ah, kau, Klinting, yang pandai berolok.
BARU KLINTING : Tak mengkerut kehijauan seperti sebelum bertarung lawan Mataram.
DEMANG PATALAN : (tertawa). Pada gelagat pertama, siapa tidak takut pada Mataram. Semua mengkerut kehijauan. Kalau bukan karena kau, kau goncang bangunkan untuk melawan, dan Wanabaya gemilang memimpin serang, semua kami telah ditelan Senapati.
BARU KLINTING : (tertawa terkulum).
DEMANG JODOG : Sekarang bocah angon pun bangkit melawan.
BARU KLINTING : Mana Demang Pajang dan Demang Pandak?
DEMANG JODOG : Masih di luar sana selesaikan pertengkaran.
BARU KLINTING : Kalian berdua, apakah sudah selesai?
DEMANG PATALAN : Kaulah yang selesaikan, Baru Klinting. Aku tarik pergi Demang Jodog, tinggalkan
Ki Ageng Mangir Muda di sana sendiri.
BARU KLINTING : Masih kudengar gamelan berlagu.
DEMANG JODOG : Dan masih menari dia di sana seperti gila, laksana merak jantan, kembangkan bulu kejantanan dan ketampanan; mengigal menggereki si Adisaroh penari. Patalan tidak setuju.
DEMANG PATALAN : Istilah perang bukan mestinya berganti dengan gila menari, biar pun Adisaroh secantik dewi.
DEMANG JODOG : Beri dia kesempatan – seorang perjaka tampan, berani-tangkas di medanperang, lincah di medan tari, baru lepas dari brahmacarya karena kemenangan. Beri dia kesempatan.
BARU KLINTING : Inikah pertengkaran kalian? Juga Demang Pajangan dan Pandak?
DEMANG JODOG : Demang Pajangan berpihak pada Jodog. Demang Pandak berpihak pada Patalan.
DEMANG PATALAN : Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda tidak semestinya terlambat datang.
Hanya karena Adisaroh penari, juga Pajangan dan Pandak terlambat datang.
DEMANG PAJANGAN dan DEMANG PANDAK : (memasuki panggung).
DEMANG PAJANGAN : Apa guna jadi pria kalau bukan untuk mendapatkan wanita?
DEMANG PANDAK : Tidak bisa. Untuk sekarang ini, tidak bisa.
DEMANG PAJANGAN : Apa guna ketampanan pada Wanabaya? Apa guna kecantikan pada Adisaroh?
DEMANG PANDAK : Tidak bisa! Tidak bisa!
DEMANG PAJANGAN : Seperti kau sendiri tak pernah jadi pria.
DEMANG PANDAK : Tak bisa! Tidak bisa!
DEMANG PATALAN : Kau lihat sendiri, Klinting, Pandak sama dengan Patalan – tak bisa terima Ki Wanabaya.
DEMANG PAJANGAN : Baru Klinting, apa warta?
BARU KLINTING : Inilah aku. Bangku-bangku telah menunggu.
DEMANG PANDAK : (pergi ke meja, mengambil gendi dan minum). Panas badan melihat Ki Wanabaya lupa daratan.
DEMANG PAJANGAN : (pergi ke meja, mengambil gendi dari tangan Pandak). Panas kepala ini, melihat Adisaroh hanya mau layani Ki Wanabaya.
DEMANG PATALAN : (mengambil alih gendi dari tangan Pajangan). Panas juga perut ini mesti menung-gu kalian begini lama.
DEMANG JODOG : (tertawa meringis mendudukkan diri di atas bangku). Semua demam panas, yang kepala, yang badan, yang perut. Hanya Jodog ini tinggal tenang, setuju Ki Wanabaya tegak habis istirah-perang, menari gila kitari si Adisaroh. Bagi yang bijaksana hanya ada tawa dan anggukan kepala. (tertawa, kemudian mengambil gendi dan minum juga).
DEMANG PATALAN : Heran aku, Klinting, belum setengah hari kau tinggalkan garis depan, pesta panen telah selesai kau persiapkan.
BARU KLINTING : Mereka yang telah teteskan keringat pada bumi ini, berhak berpesta syukur untuk Sri Dewi. Tak pernah ada tahun lewat sejak leluhur pertama buka Perdikan ini.
DEMANG JODOG : Diawali pesta ini dengan tandak di Balai Perdikan. Luar biasa, tak pernah terjadi sebelumnya.
DEMANG PATALAN : (menghampiri Demang Jodog, menariknya berdiri dari duduknya). Kau beranikan dia datangkan rombongan tandak entah dari mana asalnya, kau biarkan dia mabok kepayang, lupa darat lupa laut, lupa mula lupa wasana.
DEMANG JODOG : (menghindari menghampiri Baru Klinting).
DEMANG PATALAN : (mengikuti Demang Jodog dan menyalahkan). Lupa perang belum selesai, kemenangan mutlak belum lagi di tangan!
DEMANG JODOG : Klinting! – Seorang perjaka tampan dan bergaya, menang perang berlepas
brah-macarya, lelah perang baru pulang dari medan – apakah dia tidak berhak bersuka?
DEMANG PATALAN : Adakah kau hendak lupakan Klinting?
DEMANG PANDAK : Betul. Dia belum lagi melepas brahmacarya. Dia juga perjaka, hanya sayang tak tampan rupa. Tidak bisa, tak ada yang berhak untuk bergila, juga Wanabaya Ki Ageng Mangir Muda tidak. Tidak bisa! Tidak bisa!
DEMANG JODOG : Semua berhak bersuka, tepat pada giliran dan waktunya, juga semua prajurit di garis-depan sana.
DEMANG PATALAN : Jodog dalam hatimu ada pamrih pribadi. Kau sendiri hendak melompat pada kesempatan pertama.
DEMANG PATALAN : Semua kita telah perang. Semua punya hak untuk bersuka. Juga kau, Klinting.
DEMANG PATALAN : Kau, Klinting sang bijaksana, kaulah sekarang yang bicara.
DEMANG JODOG : Sudah lelah kami bertengkar, bicara kau, Klinting.
BARU KLINTING : Boleh saja bertengkar, hanya jangan berkelahi.
DEMANG PAJANGAN : Ada juga harganya bertengkar bertarik urat, membela Wanabaya tampan dan Adisaroh rupawan.
DEMANG PATALAN : Klinting, bukankah dalam lelah perang kita berjumpa, guna rundingkan, langsung masuk Mataram atau tidak? Mestikah acara berkisah jadi Wanabaya dengan si tandak?
BARU KLINTING : Kau Patalan, yang tinggal berbatasan langsung dengan garis depan Mataram, semua prihatin dengan kedemanganmu…
DEMANG PATALAN : Langsung masuk Mataram atau tidak?
BARU KLINTING : Akan datang masanya masuki Mataram dengan tangan berlenggang. Tidak sekarang. Senapati masih terjaga oleh berlapis- lapis balatentara, benteng batu-bata, dusun-dusun bersenjata sekitar benteng, seberangi Code, Gajah Wong sebelum sampai ke istana. Biar dulu Mataram terpagari dari selatannya…
DEMANG PATALAN : Siapa tidak percaya? Di medan perang Klinting perwira, di Perdikan Klinting bijaksana, Ronggeng Jaya Manggilingan dengan dua puluh gegeduk bikin porak-poranda Mataram. Tapi hari Mataram belum dapat dihitung dengan jari. Bukan waktunya untuk bersuka. Kerahkan balatentara Mangir, biar bersuka dalam benteng Mataram, berjoged ronggeng dalam asrama.
DEMANG PANDAK : Jangan bicara lagi tentang si tandak. Wanabaya juga hidup dari semua, tak berhak bersuka sendiri.
DEMANG JODOG : Biar betapa pun Mataram akan jatuh. Jangan biarkan Patalan dan Pandak tidak mengerti, Klinting. Biar Mataram tak bisa dihitung dengan jari, bisa dibilang dengan beberapa kali tenggelamnya matari. Bodoh nian bila tidak sembari berpesta bersukaria.
DEMANG PAJANGAN : Kau kehilangan lidahmu, Klinting.
DEMANG JODOG : Bukan kehilangan lidahnya, Klinting benar kan Wanabaya.
DEMANG PANDAK : Benarkan Wanabaya? Tidak bisa! Tidak bisa!
DEMANG JODOG : Klinting tak benarkan berhati panas serbu Mataram.
DEMANG PATALAN : Diam!
BARU KLINTING : Adakah kalian timbang, dengan menggereki si tandak, Wanabaya belah dua hatinya?
DEMANG PATALAN : Pasti belah dua, untuk perang dan untuk Adisaroh si tandak.
DEMANG PANDAK : Tidak bisa, tidak bisa, Wanabaya tetap panglima terbaik satu-satunya, hanya…
DEMANG PAJANGAN : Kau akui hak Wanabaya, Klinting? Dengan bersuka, dia akan lekang di medan-perang
DEMANG PANDAK : Tidak bi…
BARU KLINTING : Belum selesai kalian bertengkar?
DEMANG PATALAN : Baik, memang tepat pada waktunya kau bicara.
BARU KLINTING : Dengarkan sekarang. Memang Patalan di tempat terdekat dengan Mataram. Dia berhak dapatkan perhatian lebih banyak.
Mangir dan Pajangan berbentengkan sungai Bedog. Itu bukan berarti untuk Patalan semua harus pukul Mataram tanpa perhitungan.
DEMANG PATALAN : Aku mengerti, kau tak setuju itu. Tapi Ki Wanabaya bermain berahi, dalam keadaan belum selesai.
BARU KLINTING : Untuk bersuka sekedarnya tak ada celanya. Dia berhak sebagai panglima, telah selamatkan kalian semua, kedemangan dan semua rakyatnya.
DEMANG PAJANGAN : Jodog, Klinting benarkan kita.
BARU KLINTING : Aku tidak benarkan Wanabaya, selama dia hanya bersuka sekedarnya.
DEMANG PATALAN : Dia bukan sekedar bersuka. Katakan itu, Pandak.
DEMANG PANDAK : Betul dia bukan sekedar bersuka.
Nafasnya terdengar berat, matanya berpandangan jalang.
BARU KLINTING : Benarkah itu, Jodog dan Pajangan?
DEMANG JODOG : Siapa tidak terengah-engah di dekat si jelita semacam itu? Tapi sungguh mati, hati Wanabaya takkan terbelah dua.
DEMANG PANDAK : Siapa tahu hati orang? Nyatanya
nafasnya berat pandangnya jalang.
BARU KLINTING : Kalian semua sudah dengar katakataku. Kenyataan tinggal pada Wanabaya sendiri. Panggil dia kemari.
DEMANG PATALAN : Takkan beranjak dari tempat dia sebelum gong terakhir berhenti.
BARU KLINTING : Panggil dia kemari!
DEMANG JODOG : (pergi ke seben memberi perintah kemudian kembali menghampiri Baru Klinting).
Orang sudah lari memanggilnya.
DEMANG PATALAN : Mari kita periksa hatinya.
DEMANG PANDAK : Aku dengar gamelan telah berhenti.
DEMANG PATALAN : Dengarkan sebelum Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, tiba. Patalan belum akan diam. Dengarkan. Dalam setiapkarya pen ting dan bahaya, Klinting, kau selalu ada di muka. Dalam setiap suka kau menghilangentah ke mana. Sekarang Wanabaya dipuncak suka, kau ragu termangu-mangu. Kaujuga perjaka, sayang tak setampan Wanabaya.
Lihat ini buktinya… (menuding ke arah jalanan).
Semua – (terdiam mengikuti arah tudingan).
BARU KLINTING danDEMANG PANDAK :(terbelalak).
DEMANG PANDAK : Nah kau lihat sendiri, Pajangan.
DEMANG JODOG : Benar ini keliru. Yang begitu tak dapat ditenggang.
DEMANG PAJANGAN : (menepuk Demang Jodog).
Bagaimana bisa jadi begitu?
Kepala seorang – (menongol dari seben): Baru
Klinting, Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, datang.
(meninggalkan.panggung).
DEMANG PATALAN : Apa kau bilang sekarang, Klinting?
BARU KLINTING : (bersilang tangan memperhatikan jalanan) . Jangan sambut dia.
DEMANG PANDAK : Adakah dia dibawa kemari diajak berunding tentang perang?
DEMANG JODOG : Memang tidak patut untuk seorang panglima…
BARU KLINTING : Memang tidak patut, yang pandai berperang tapi tak pandai pimpin diri sendiri.
Diam semua sekarang, Wanabaya sudah mulai naiki tangga.
WANABAYA dan PUTRI PAMBAYUN : (memasuki panggung, bergenggaman tangan, teracukan secara demonstratif ke depan untuk dilihat semua orang).
WANABAYA : Inilah Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya, datang menggandeng tandak tanpa tandingan. (menatap mereka seorang demi seorang). Tak ada yang menyambut Ki Wanabaya? Baik Adisaroh yang jaya, berilah hormat pada para tetua Perdikan.
PUTRl PAMBAYUN : (tetap dalam gandengan Wanabaya). Inilah Adisaroh Waranggana bayaran, mengembara dari desa ke desa mencari penghidupan.
(memberi hormat dengan gerak badan).
Di belakang menyusul rombongan wiyaga.
TUMENGGUNG MANDARAKA, PANGERAN
PURBAYA, TUMENGGUNG JAGARAGA, dan
TUMENGGUNG PRINGGALAYA : (masuk ke panggung dalam pakaian samaran orang desa, berdiri di belakang Putri Pambayun, memberi hormat secara Perdikan pada tetua Perdikan).
BARU KLINTING : Dirgahayu kalian semua, Mangir selalu sambut tamu-tamunya, dengan gembira dan tulus hati. Dirgahayu Adisaroh, waranggana tanpa tara dan rombongan. (mengangkat dagu menatap Wanabaya). Dan kau, wajahmu merah seperti masih di medan-perang, menggandeng putri cantik di hadapan kami. Katakan kandungan hati, sebelum salah terka kami menebak isi dadamu.
DEMANG PATALAN, DEMANG JODOG, DEMANG PAJANGAN, dan DEMANG PANDAK : (bergerak mengelilingi Wanabaya dan Putri Pambayun, menaksir dan menimbang-nimbang).
WANABAYA : (masih tetap menggandeng Putri Pam-bayun). Kalian terlongok-longok seperti melihat naga. Mata kalian pancarkan curiga dan hati tak suka. Katakan, siapa tak suka Wanabaya datang menggandeng perawan jelita.
Katakan, ayoh katakan siapa tidak suka.
DEMANG PATALAN : (menghampiri Wanabaya).
Sungguh tidak patut, seakan Perdikan tak bisa berikan untukmu lagi.
WANABAYA : Siapa lagi akan katakan tidak patut?
DEMANG PANDAK : Tidak patut untuk seorang panglima.
DEMANG JODOG : Semula kukira sekedar bersuka.
DEMANG PAJANGAN : Benar Patalan, kalau berkembang begini rupa.
WANABAYA : Juga akan kau katakan tidak patut?
DEMANG PANDAK : Juga tidak patut untuk seorang Tua Perdikan.
DEMANG PAJANGAN : Waranggana masyhur, lenggangnya membelah bumi, lenggoknya menyesak dada, senyumnya menawan hati, tariannya menggemaskan, sekarang tingkahnya bikin susah semua orang.
WANABAYA : Siapa yang jadi susah karena dia?
DEMANG JODOG : Jantannya tampan, gagah-berani di medan-perang. Klinting, bukankah sayang kalau dia tak bisa pimpin diri sendiri.
BARU KLINTING : Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, bukan hanya perkara suka atau tidak, patut atau tidak, bisa pimpin diri sendiri atau tidak, kau sendiri yang lebih tahu! Perdikan ini milik semua orang, bukan hanya Wanabaya Muda si Tua Perdikan Mangir.
WANABAYA : Kalau bukan aku yang pimpin perang, sudah kemarin dulu kalian terkapar di bawah rumput hijau.
BARU KLINTING : (tertawa, membalik badan punggungi Wanabaya).
DEMANG PATALAN : Dia lupa, semua membikin dia jadi Tua Perdikan dan panglima perang. Sendiri, Wanabaya tak ada arti, sebutir pasir berkelap- kelip sepi di bawah matari.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Adisaroh, mari kita pergi. Mereka bertengkar karena kita.
WANABAYA : (menoleh pada Tumenggung Mandaraka).
Tak ada yang bisa larang Wanabaya di rumah ini, menggandeng Adisaroh jaya.
Adisaroh, adakah takut kau hadapi para tetua desa ini?
PUTRI PAMBAYUN : Dalam gandengan tangan Ki Wanabaya Muda, bahkan di bawah bayangbayangnya, semut pun tiada kan gentar.
WANABAYA : Benar sekali, semut pun tiada kan kecut. (mengangkat gandengan tinggi-tinggi).
Inilah Adisaroh, perawan waranggana kubawa kemari akan kuambil untuk diriku sendiri.
BARU KLINTING :(melangkah maju menghampiri Putri Pambayun). Dari mana asalmu, kau, perawan?
TUMENGGUNG MANDARAKA : Anakku dia, penari tanpa tandingan dari berpuluh desa.
BARU KLINTING : Penari tanpa tandingan dari
berpuluh desa. Siapa tak percaya? Bicara dengan
mulut-mu sendiri, kau, perawan jelita!
PUTRI PAMBAYUN : Adapun diri ini, dari sebuah
dukuh sebelah timur, seberang tujuh sungai.
WANABAYA : (menggerutu). Dia periksa Adisaroh seperti pada anaknya sendiri.
BARU KLINTING : Mengapa ikut naik ke pendopo ini?
WANABAYA : Apa guna bertanya-tanya? Ki Wanabaya sudah suka.
PUTRI PAMBAYUN : Digandeng Ki Ageng Mangir Muda begini, siapa dapat lepaskan diri?
DEMANG JODOG : (mengejek). Datang dengan Ki Ageng Mangir Muda dengan semau sendiri.
DEMANG PANDAK : Siapa yang dulu suka? Wanabaya ataukah kau?
DEMANG PAJANGAN : (pada Baru Klinting). Nampaknya dua-duanya.
DEMANG PATALAN : Memang tak ada salahnya perjaka dan perawan saling kasmaran, (menghampiri Wanabaya), tetapi Perdikan bukan milikmu pribadi.
DEMANG PANDAK : Membawa wanita milik semua pria…
TUMENGGUNG MANDARAKA : Anakku bukan tandak sembarang waranggana, dididik baik tahu adab, terlatih tahu sopan setiap waktu, setiap saat.
DEMANG PATALAN : Seperti bukan prajurit perang, tak dapat kendalikan diri lihat kecantikan, jatuh kasmaran lupa daratan.
WANABAYA : (tersenyum). Ayoh, katakan semua. Juga kau, Klinting, apa guna sembunyi di belakang lidah yang lain?
BARU KLINTING : Bicaralah kau sepuas hati.
DEMANG PATALAN : Biar kami tahu apa di hatimu, bisa kami kaji dan uji-Oh, perang belum lagi selesai,
kemenangan belum lagi terakhir… Kasmaran tandak lupa daratan, Mataram masih jaya berdiri.
WANABAYA : Mataram? Apa daya Panembahan
Senapati di hadapan Wanabaya Muda? Supit
Urangnya telah buyar tertadahi Ronggeng Jaya
Manggilingan. Hendak mengepung ganti terkepung.
Dilepaskannya Dirada Keta, gajah yang mengamuk tumpas masuk dalam perut Ronggeng.
Bila dusun-dusun luar benteng kita pukul hari ini…
TUMENGGUNG MANDARAKA : (tertawa terkekeh).
Mataram? Apa arti Mataram? Dijentik dengan kelingking kiri, akan runtuh dia seperti seungguk nasi basi.
DEMANG PANDAK : Diam kau, Pak Tua tak tahu diri.
Padamu belum ada orang tanyakan perkara.
(pada Wanabaya) Wanabaya Muda, Ki Ageng Mangir Muda, bukankah kau datang untuk dapatkan anggukan dari Baru Klinting? Tak patut kau sekasar itu padanya. Pergi kau padanya, tahu diri kalau butuh anggukan.
DEMANG PATALAN : (menggerutu). Perang pun belum diselesaikannya…
WANABAYA : (menggandeng Putri Pambayun meng-hampiri Baru Klinting): Lihatlah ini, Klinting, Ki Ageng Mangir Muda datang padamu menggandeng dara waranggana, untuk dapatkan anggukan kepala darimu, dari Baru Klinting sang bijaksana.
BARU KLINTING : Seperti Mataram miskin putri rupawan. Bedah dulu kratonnya dan kau boleh pondong semua perawannya.
WANABAYA : Yang seorang dalam gandengan tangan ini, Klinting, berlaksa lebih berharga dari semua putri, dari semua jenis wanita, di seluruh Mataram, di seluruh bumi. Wanabaya Ki Ageng Mangir Muda hanya hendaki yang ini.
DEMANG PATALAN : (menghampiri Wanabaya, menyerang). Belum lagi kau injakkan kaki di kraton Mataram – putri-putrinya tak pernah menggarap bumi, dibesarkan hanya untuk kepuasan pria, halus tak pernah kerja, tak kena sinar surya.
BARU KLINTING : Dengarkan kata Demang Patalan.
WANABAYA : Ki Ageng Mangir Muda telah dengarkan semua. Hanya yang ini di atas segala-galanya. Tak pernah Wanabaya sukai wanita. Sekali diperolehnya, tak ada yang mampu kisarkan kemauannya.
BARU KLINTING :(meninggalkan Wanabaya dan Putri Pambayun). Hanya mata buta dan hati batu tak tergiur cair lihat Adisaroh waranggana.
DEMANG PATALAN : (mengikuti Baru Klinting, menegur) Klinting!
BARU KLINTING : Apa pula kau, Patalan. Lihat, menang atas Mataram masih dalam impian, kecantikan dan kemudaan telah tergandeng di tangan.
DEMANG PATALAN : Apa kau akan berikan anggukan?
DEMANG PANDAK : (menghampiri Baru Klinting dari samping). Siapa pun takkan rela wanita sejelita itu tergenggam pria selain Wanabaya. Apakah Mataram akan jadi petaruh?
WANABAYA : Klinting, kau belum lagi memberikan anggukan kepala.
BARU KLINTING : (mendekati Putri Pambayun). Di hadapan tetua dan gegeduk rata Mangir kau gandeng Ki Wanabaya Muda. Kau, perawan dari tujuh sungai seberang timur, berapa pria telah kau remas dalam tanganmu?
PUTRI PAMBAYUN : Ini yang pertama.
BARU KLINTING : Tak patut berbohong di hadapan para tetua. Bukankah semua lihat, bukan kau, hanya Wanabaya gemetar tanpa daya dalam gandengan?
TUMENGGUNG MANDARAKA : Ki Ageng Mangir Muda yang pertama dan satu-satunya. Orang setua aku berani sumpah sampai mati. (menoleh pada rombongannya). Katakan, temanteman wiyaga.
PANGERAN PURBAYA : Sejak bayi dalam penjagaanku, sampai besar tak pernah lepas dari mataku.
TUMENGGUNG JAGARAGA : Semua pengganggu tunggang-langgang oleh lidah, oleh tanganku.
TUMENGGUNG PRINGGALAYA : Pontang-panting, lintang-pukang oleh sepakan kakiku.
DEMANG PANDAK : Bersahut-sahut seperti burung di pagi-hari.
BARU KLINTING : (bersilang tangan menghampiri rombongan wiyaga, menatap mereka seorangdemi seorang. Pada Demang Jodog). Laku mereka seperti pedagang ikan, berjual bangkai berbunga puji.
DEMANG JODOG : (berisik dengan tangan tercorong pada mulut pada Baru Klinting). Aku pun jadi curiga.
WANABAYA : Anggukanmu belum kulihat, Klinting.
Juga kalian, Pantalan, Jodog, Pandak, dan Pajangan.
Keliru kalau kalian anggap, aku datang menggandeng perawan ini, untuk mengemis sepotong kemurahan. Dara Adisaroh hanya untukku seorang. Bumi dan langit tak kan bisa ingkari. (pada Putri Pambayun). Sejak detik ini
kau tinggal di sini, jadi rembulan bagi hidupku, jadi matari untuk rumahku.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya, siapa tidak gembira jadi mertua, dapatkan menantu panglima perang masyhur gagah-berani, tua Perdikan Mangir?
Hanya saja belum tepat caranya. Adisaroh anakku bukan anak burung, bisa diambil dari sarang di atas pohon.
PANGERAN PURBAYA : (meninggalkan rombongan, menghampiri Wanabaya) Sungguh tidak tepat caranya. Adisaroh bukan selembar daun kering, tertiup angin jatuh di mana saja. (pada Tumenggung Jagaraga). Aku belum bisa terima, anak momongan direnggut seperti rumput.
TUMENGGUNG JAGARAGA : Tanpa Adisaroh waranggana, nasib rombongan akan berantakan, buyar, masing-masing akan terpaksa pergi terbungkuk membawa lapar.
WANABAYA: Takkan kubiarkan kalian lapar. Seluruh rombongan jadi tanggungan di tangan Ki Ageng. Harap jangan kalian anggap rendah Wanabaya Muda. Biar bukan raja, aku masih jaya berlumbung daya.
TUMENGGUNG MANDARAKA : (berunding dengan isyarat dengan rombongangannya; terbatukbatuk minta perhatian).
WANABAYA : (pada Tumenggung Mandaraka). Bapak tua, kau lihat sendiri, Adisaroh sambut tanganku dengan suka sendiri. (memperlihatkan gandengan tangan). Wanabaya tidak lepaskan, Adisaroh mengukuhi.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Kapan dimulai sebuah adat, orang tua disisihkan tanpa diajak damai?
DEMANG PATALAN : Lihat Klinting, mereka anggap para tetua ini angin belaka.
DEMANG PANDAK : Dan kau belum atau tidak berikan anggukan kepala.
WANABAYA : (sekali lagi mengangkat tinggi gandengan). Lihatlah ini, aku genggam tangannya, dia genggam tanganku. (memperlihatkan pada setiap orang). Siapa ingkari kenyataan ini?
BARU KLINTING : Biarkan Wanabaya curahkan isi hatinya.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Apapun terjadi, bumi dan langit memang tak bisa ingkari, tali hubungan telah terjadi. Hanya caranya belum terpuji. (pada Putri Pambayun) Bicaralah kau, perawan, biar terdengar oleh semua tetua Perdikan.
PUTRI PAMBAYUN : (tanpa ragu-ragu). Inilah diri, dalam gandengan Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Telah diulurkan tangannya kepadaku, dan aku menyambutnya. Apalagi masih harus dikatakan? Hendak diambilnya aku untuk dirinya sendiri semata.
DEMANG PANDAK : Bukan begitu cara bicara perempuan desa.
PUTRI PAMBAYUN : Inilah diri, dari dukuh seberang tujuh sungai sebelah timur.
PANGERAN PURBAYA : Tak cukup hanya diambil untuk dirinya sendiri semata.
DEMANG PATALAN : Hendak diambilnya untuk dirinya sendiri semata, seakan seorang tandak pernah hanya untuk seorang saja.
PANGERAN PURBAYA : Jangan menghina! Belum lagi kami setujui maksud Ki Wanabaya Muda.
WANABAYA : (pada Tumenggung Mandaraka) Begini cara di Perdikan Mangir: semua tergantung pada yang muda, orang tua hanya setuju mengiyakan. Katakan padanya, Klinting, di sini tak ada cara lebih terpuji daripada begini.
DEMANG PATALAN : Kita semua bicara tentang nasib Mangir, nasib Mataram, hanya Wanabaya dan rombongan waranggana sibuk tawar-menawar. (pada Baru Klinting) Kau hanya punya kata-putus, putuskan sekarang juga, sebelum berlarut menjadi bencana.
BARU KLINTING : Juga Wanabaya punya hak bicara, tak semestinya kita lindas hasrat dalam hatinya.
Apa jadinya sungai yang tak boleh mengalir?
Dia akan mengamuk melandakan banjir.
DEMANG PATALAN : Tak bisa aku tunggu begini lama.
BARU KLINTING : Patalan takkan dilanda Mataram dalam sebulan ini. Lakumu seperti tertimpa kebakaran.
WANABAYA : Klinting, patutkah seorang tua Perdikan dan panglima dibiarkan menunggu begini lama?
DEMANG PANDAK : Jangan berikan anggukan.
DEMANG PATALAN : Biar Mataram lebih dulu dibereskan.
DEMANG JODOG : Kau sendiri Wanabaya Muda, mulaikah perang kau lupakan?
WANABAYA : Tak patut panglima diuji seperti itu.
DEMANG PATALAN : Menjawab pun kau tidak sudi.
Berat mana Mataram atau Adisaroh waranggana?
WANABAYA : Pertanyaan-pertanyaan ini, apakah berarti Wanabaya bukan panglima lagi?
DEMANG PATALAN : Benar kata Pajangan, menjawab pun kau tidak sudi. Kau lihat itu sendiri, Klinting.
WANABAYA : (melepas gandengan, maju menantang para demang seorang demi seorang).
Dengarkan kalian, orang-orang nyinyir, tak mengerti perkara perang. Setajam-tajamnya senjata, bila digeletakkan takkan ada sesuatu terjadi. Sebagus-bagusnya panglima perang, bila ditinggalkan senjata dan balatentara sebesar- besar pasukan akan binasa. Apakah belum mengerti ini?
BARU KLINTING : Wanabaya Muda, kau mulai memeras untuk dibenarkan, untuk dapat anggukan.
Kau yang diasuh oleh Perdikan sejak pertama kali melihat matari, hatimu mulai terbelah hanya karena waranggana.
WANABAYA: Aku datang bukan untuk dituduh diselidiki.
Aku butuhkan anggukan, bukan gelengan.
Kalau gelengan aku dapatkan jangan sesali Ki Wanabaya Muda ini.
BARU KLINTING : Ingat kalian apa aku katakan tadi?
DEMANG PANDAK : Benar, seorang panglima yang tak dapat pimpin diri sendiri…
WANABAYA : Diam kau, Pandak, Wanabaya Muda tak butuhkan suaramu.
DEMANG PATALAN : Benar hatinya telah belah dua.
DEMANG JODOG : Menyesal aku telah biarkan dia bersuka…
BARU KLINTING : Lebih berat bagimu Adisaroh waranggana.
PANGERAN PURBAYA : Adisaroh adinda, mari tinggalkan rumah sengketa ini.
WANABAYA: Diam kalian rombongan wiyaga! Kalau tak mampu bantu Adisaroh dan aku, jangan melintang di tengah jalan Ki Wanabaya Muda.
BARU KLINTING : Melihat ini, bagimu Adisaroh waranggana sama bobot dalam timbangan dengan perang. Kalau bukan berhati belah, hatimu ti-dak satu lagi.
DEMANG PATALAN : Satu hati dengan satu kesenangan.
BARU KLINTING : (menuding Wanabaya) Bagi dia perang dan Adisaroh memang kesenangan.
WANABAYA : (melepaskan gandengan pada Putri Pambayun, menghadap Baru Klinting; tapi tak keluar suara dari mulutnya).
BARU KLINTING : Demang Pajangan, bawa Adisaroh dan rombongan ke belakang, biar kita selesaikan perkara Ki Wanabaya Muda ini.
DEMANG PAJANGAN : (mengiringkan).
PUTRI PAMBAYUN, TUMENGGUNG MANDARAKA, PANGERAN PURBAYA, TUMENGGUNG JAGARAGA, dan TUMENGGUNG PRINGGALAYA : (meninggalkan panggung).
BARU KLINTING : Memalukan – seorang panglima, karena kecantikan perawan telah relakan perpecahan.
Berapa banyak perawan cantik di atas bumi ini? Setiap kali kau tergila-gila seperti seekor ayam jantan, tahu sarang tapi tak kenal kandang.
WANABAYA : Telah kalian cemarkan kewibawaan Wa-nabaya Muda di hadapan orang luar. Kalian sendiri yang relakan perpecahan.
BARU KLINTING : Jawab keangkuhannya itu Patalan!
DEMANG PATALAN : Kau kira kewibawaan datang padamu dari leluhur dan dewa-dewa? Dia datang padamu berupa pinjaman dari Perdikan Mangir, desamu.
BARU KLINTING : Tanpa Mangir desamu kau juga selembar daun yang akan luruh di mana saja.
Jatuh di Mataram kau akan ikut perangi kami.
Kebetulan di Mangir kau perangi Mataram.
DEMANG PATALAN : Dia belum mengerti, kepanglimaan bisa batal dari dirinya. Tidak percuma orang tua-tua tak boleh diabaikan pengalamannya.
DEMANG PANDAK : Kalau kita benarkan tingkahnya, semua perjaka Mangir dan desa-desa tetangga akan tiru contohnya. Semua perawan akan tinggalkan desa, mengamen cari lelaki siapa saja.
DEMANG PAJANGAN : (masuk ke panggung) Telah kutempatkan mereka di gandok sana. Adisaroh dalam bilik dalam, rawatan nenek tua.
BARU KLINTING : Perang belum lagi selesai, kau beri semua tambahan kerja. Apakah itu patut untuk seorang panglima?
WANABAYA : Sudah kudengar semua suara keluar dari mulut kalian. Juga dalam perkara ini aku seorang panglima. Jangan dikira kalian bisa belokkan Wanabaya. Sekali Wanabaya Muda hendaki sesuatu, dia akan dapatkan untuk sampai selesai.
DEMANG PATALAN : Kau tak lagi pikirkan perang.
WANABAYA : Sudah kalian lupa apa kata Wanabaya ini? Hanya setelah Wanabaya rebah di tanah dia takkan bela Perdikan lagi? Lihat, Wanabaya masih tegak berdiri.
DEMANG PANDAK : Biasanya kau rendah-hati, sehari dengan Adisaroh, kau berubah jadi pongah, tekebur bermulut nyaring, berjantung kembung.
WANABAYA : Diam, kau yang di bawah perintahku di medan perang, tidak percuma Wanabaya disebut Ki Ageng Mangir Muda, tidak sia-sia Mangir angkat dia jadi tua Perdikan dan panglima.
DEMANG JODOG : Benar, dia sudah berubah, Patalan.
WANABAYA : Suaranya yang berubah, hati dalam dadanya tetap utuh seperti Laut Kidul.
BARU KLINTING : Suaranya berubah sesuai dengan hatinya.
WANABAYA : (bergerak ke arah jagang tombak).
DEMANG PAJANGAN : (mengambill mata tombak dari atas meja dan diselitkan pada tentang perutnya).
BARU KLINTING : Apa guna kau coba dekati jagang tombak? Hanya karena wanita hendak robohkan teman sebarisan? Tidakkah kau tahu, dengan jatuhnya semua temanmu kau akan diburu-buru Mataram seperti babi hutan?
DEMANG JODOG : Tenang kau, Wanabaya. Buka hatimu, biar semua selesai sebagaimana dikehendaki.
Memang perjaka berhak dapatkan perawan, tapi bukan cara berandalan macam itu, apa pula bagi seorang panglima. Bukankah aku tidak keliru, Klinting sang bijaksana.
BARU KLINTING : (bersilang tangan, menganggukangguk).
DEMANG PANDAK : Aku masih belum bisa terima, Ki Ageng Mangir Muda mengajak bertengkar di depan orang luar hanya untuk tunjukkan wibawa, di depan Adisaroh dan rombongannya.
BARU KLINTING : Karena mudanya dia ingin berlagak kuasa, memalukan seluruh Perdikan. Tiadakah kau merasa bersalah pada teman-temanmu sendiri, kau, Ki Ageng Mangir Muda. Wanabaya?
Semua – (datang melingkari Wanabaya).
BARU KLINTING : Jawab: apakah artinya Wanabaya tanpa Perdikan tanpa balatentara? Tanpa teman- temanmu sendiri, tanpa kewibawaan yang dipinjamkan?
WANABAYA: Di atas kuda dengan tombak di tangan, bisa pimpin balatentara, menang atas Mataram, Perdikan harus berikan segala kepadaku.
BARU KLINTING : Tuntut semua untukmu di tempat lain! Ludah akan kau dapatinya pada mukamu.
Kau boleh pergi dan coba sekarang juga.
WANABAYA : (menatap para tetua seorang demi seorang). Kalian hinakan Wanabaya Muda.
BARU KLINTING : Tanpa semua yang ada, kau, jawab sendiri. Kau, Wanabaya, apa kemudian arti dirimu?
WANABAYA : (membuang muka, merenung, bicara pada diri sendiri). Sekarang mereka pun dapat usir aku. Apakah kemudian aku jadi anggota waranggana? Berjual suara dari desa ke desa?
Dari panglima jadi tertawaan setiap muka?
Adisaroh pun boleh jadi tolak diriku pula?
BARU KLINTING : Jawab, kau, kepala angin! Kau anggap semua ini bayang-bayang semata?
WANABAYA : (berendah hati). Apakah Wanabaya tak berhak punya istri?
BARU KLINTING : Hanya untuk bertanya seperti itu lagakmu seperti dunia sudah milikmu sendiri.
Jawab, kalian, pertanyaan bocah ingusan ini.
DEMANG JODOG : Tak ada yang sangkal hak setiap perjaka.
DEMANG PAJANGAN : Aku pun tak rela Adisaroh jatuh tidak di tangan kau.
DEMANG PATALAN : Juga menjadi hakmu leburkan Mataram.
WANABAYA : Dengar kalian semua: terhadap Mataram sikap Wanabaya tak berkisar barang sejari. Izinkan aku kini memperistri Adisaroh.
Tanpa mendapatkannya aku rela kalian tumpas di sini juga. Jangan usir aku, terlepas dari Perdikan ini. Beri aku anggukan, Klinting, dan kalian para tetua, gegeduk rata Mangir yang perwira. (berlutut dengan tangan terkembang ke atas pada orang-orang di hadapannya). Aku lihat tujuh tombak berdiri di jagang sana. Tembuskanlah dalam diriku, bila anggukan tiada kudapat. Dunia jadi tak berarti tanpa Adisaroh dampingi hidup ini.
BARU KLINTING : Terlalu banyak kau bicara tentang Adisaroh. Kurang tentang Mangir dan Mataram.
Siapkan tombak-tombak! Lepaskan dari sarungnya.
Para demang – mengambil tombak dari jagang, mengepung Wanabaya dengan mata tombak diacukan padanya.
BARU KLINTING : Tombak-tombak ini akan tumpas kau, bila nyata kau punggungi leluhur, berbelah hati pada Perdikan, khianati teman-teman dan semua. Bicara kau!
WANABAYA: (menatap ujung tombak satu per satu, dan mereka seorang demi seorang). Dengarkan leluhur suara darahmu di atas bumi ini, darahmu sendiri yang masih berdebar dalam tubuhku, Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Darah ini tetap murni, ya leluhur di alam abadi, seperti yang lain-lain, lebih dari yang lain-lain dia sedia mati untuk desa yang dahulu kau buka sendiri, untuk semua yang setia, karena dalam hati ini hanya ada satu kesetiaan. Tombak-tombak biar tumpas diri, kalau tubuh ini tak layak didiami darahmu lagi.
DEMANG PATALAN : (melemparkan tombak ke dekat rana, menolong Wanabaya berdiri).
Katakan, Adisaroh takkan bikin kau ingkar pada Perdikan.
WANABAYA : Adisaroh takkan bikin Wanabaya ingkar pada Perdikan.
BARU KLINTING : Kau akan tetap melawan Mataram.
WANABAYA : Leluhur dan siapa saja yang dengar, inilah Wanabaya, akan tetap melawan Mataram.
DEMANG PATALAN : Membela semua kedemangan sahabat Mangir.
WANABAYA: Membela semua kedemangan sahabat Mangir.
DEMANG JODOG : Dengan atau tanpa Adisaroh kau tetap setiawan.
WANABAYA : Dengan atau tanpa Adisaroh Wanabaya tetap setiawan.
DEMANG PAJANGAN : Setiawan sampai mati.
WANABAYA : Setiawan sampai mati.
DEMANG PANDAK : Baru Klinting, bukankah patut sudah dia dapat anggukan? Tunjukan matamu pada Klinting, kau, Wanabaya.
BARU KLINTING: Lihatlah betapa semua temanmu ikut pikirkan kepentinganmu.
WANABAYA : Aku telah bersalah, Baru Klinting yang bijaksana!
BARU KLINTING : Lihatlah aku. (mengangguk perlahan- lahan). Para demang – (merangkul Wanabaya)
BARU KLINTING : Pergi kau dapatkan pengantimu.
WANABAYA: (ragu meninggalkan panggung dalam iringan mata semua yang ditinggalkan).
BARU KLINTING : Kita semua masih curiga siapa waranggana dan rombongannya. Kalau ada Suriwang, dia akan bilang: Ai-ai-ai memang tak bisa lain. Tanpa Wanabaya cerita akan mengambil suara lain. Dilarang dia pun akan berkembang lain. Pukul tengara, pertanda pesta panen boleh dibuka.
Sumber: Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer
No comments:
Post a Comment