Tuesday, 15 February 2011

"NYANYIAN DALAM KELAM"

ASAHAN:

Komentar Sastra(singkat)


Kumpulan Puisi Sutikno WS :"NYANYIAN DALAM KELAM"



Penerbit: ULTIMUS Bandung; Januari 2010

Ketika bung Bilven meminta saya memberikan komentar untuk cover belakang buku
ini, saya langsung membaca beberapa sajak dalam att.ment secara sepintas lalu
namun perlahan-lahan perhatian saya jadi terpusat dan terus membacanya satu
persatu hingga habis. Pengalaman demikian belum pernah saya alami dalam membaca
buku puisi kecuali novel-novel dari para pengarang dunia yang sangat terkenal
yang biasa saya lalap terus menerus selama beberapa hari hingga tamat, bila
buku itu memang menarik dan enak dibaca.
Tapi buku-buku puisi sangat jarang saya baca hingga tamat kecuali jika saya
dimintai untuk memberikan kata pengantar atau komentar. Meskipun saya juga
penulis puisi tapi sekaligus saya juga pembenci puisi karena suka bikin
teka-teki sedangkan saya paling benci teka-teki dalam puisi meskipun juga puisi
yang terang benderang tapi tanpa estetika, juga tidak saya sukai.

Namun ketika membaca kumpulan Puisi Sutikno WS, kesan dan selera puisi saya
menjadi berubah seketika. Dengan spontan otak saya mengatakan: Ini barulah
keindahan sebuah puisi. Terkadang saya membacanya dengan dada terasa sesak,
kadang saya tidak bisa menahan keluarnya air mata kekaguman. Mengapa puisi bisa
memukau perasaan manusia begitu hebatnya, begitu menggetarkannya. Saya tidak
sanggup menjawab pertanyaan saya sendiri, mungkin orang lain yang akan
menjawabnya bila juga sempat membaca sajak-sajak Sutikno ini.

Sebagaiman kebiasaan saya, saya kurang suka memberikan contoh-contoh atau
petikan panjang dari prosa ataupuh puisi yang saya bicarakan. Saya bukan
seorang penulis resensi, bukan seorang essayist tapi mungkin sekedar seorang
pengagum dan pencela. Dari bangku sekolah saya mendapat sebutan sebagai
kritikus sastra atau filolog, tapi saya belum pernah menulis sebuah kritik
sastra yang memadai atau sebuah resensi yang bernilai dan saya tidak merasa
rerganggu dan menyibukkan diri untuk mendapat pengakuan demikan dari siapapun
dan saya tetap suka mengomentari karya-karya sastra yang saya rasa patut dan
menimbulkan hasrat untuk dikomentari karenanya saya mengabaikan semua sistim
penulisan dengan menggunakan metode analisa yang berbelit-belit, memamerkan
teori-teori sastra yang bertebaran di berbagai buku dan majalah, mengulangkaji
criteria sastra klassik maupun moderen, kebiasaan demikian tidak akan saya
lakukan. Saya lebih suka mengajak banyak orang yang awam maupun yang ahli untuk
memberikan komentar sastra tanpa dibebani oleh otoriter intelektuil atau
terhalang karena bukan pakar professional. Sastra itu sederhana: indah, kurang
indah, atau jelek atau sangat jelek. Sudah tentu sastra juga bisa didalami,
diselami dan diteliti dan itu kewajiban para pakar sastra yang orang awam
sebaiknya tidak terlalu banyak campur tangan agar tidak tergelincir ke dalam
awamisme dalam sastra. Jadi di seginya yang lain, sastra itu memang ada
ilmunya, yaitu ilmu sastra yang bisa dipelajari di Universitas maupun di luar
Universitas.

Kembali ke kumpulan puisi Sutikna WS. Membaca kumpulan puisi Sutikno, serasa
menikmati sebuah symphoni puisi: kaya irama, melodius tapi juga membawa arus
tragis, getir dalam aliran keindahan puisi dan ungkapan atau kalimat-kalimat
puitis yang menggetarkan, memabukkan dan sekaligus membikin waras kembali. Saya
menjumpai banyak sekali pelukisan alam beserta isinya seperti bunga-bunga
beraneka warna, di mana terdapat juga warna "ungu" yang begitu sedap terletak
pada tempatnya yang menambah selera puitis secara amat berkesan. Sutikno
menurut saya adalah juga seorang pelukis yang menggunakan kata dan terciptalah
sebuah lukisan alam dan hati manusia yang berirama yang terkadang gemuruh,
terkadang sayu, terkadang merayu, terkadang mengiris nurani yang menimbulkan
derita nikmat pada pembacanya. Sitikno tidak menawarkan sedu sedan pada
pembacanya meskipun nasib manusia yang terampas kebebasannya dan tidak berdaya
hampir beserakan di seluruh sajak-sajaknya. Tidak ada dendam yang ber-api-api
tapi juga tidak ada maksud untuk mengubur dendam yang tak terbalas itu bagi
membebaskan diri dari ketidak berdayaan. Tapi toh, kalau dendam yang
ber-api-api itu tidak ingin diluapkan, namun sesungguhnya ia terbungkus baik,
terbungkus rapi dan begitu etisnya cuma dalam beberpa kata: SETIA PADA
CITA-CITA dan tanpa penyesalan. Dan itulah sesungguhnya benang merah besar
pesan Sutikno dalam puisi-puisinya. Tanpa sebuah makian terhadap musuh tapi
juga tanpa secuil penyesalan terhadap penderitaan dan siksaan dalam penjara.
Puisi-puisi Sutikno tidak pernah menghapus hari depan yang pernah
dicita-citakan semula olehnya dan rakyatnya tanpa terdapat satu kata yang banal
atau teriakan histeris dan memang di sini juga terletak kekuatan puisi-puisi
Sutikno dan dia secara alamiah atau begitu saja membedakan dirinya dari
puisi-puisi sebagian dari penyair Lekra sebelumnya (jaman sebelum dibabat).
Saya ambil satu contoh sajak yang tidak saya kutip di sini tapi hanya
memberikan judulnya saja: KUBURAN DI ATAS BUKUT. Dalam sajak ini antara alam,
warna, drama dan kepiluan menjadi satu dan berpadu begitu indahnya, begitu
mempesona yang mungkin diciptakan seorang penyair genial seperti Sutikno. Saya
teringat akan sajak-sajak Lermontov yang sangat saya sukai.

Membicarkan atau mengomentari puisi-puisi Sutiknao bagi saya tidak akan
habis-habisnya. Tapi saya tidak akan lebih berpanjang-panjang dan mengahiri
komentar ini dengan kata penutup: Kumpulan pusi Sutikno WS "NYANIAN DALAM
KELAM" adalah sebuah kumpulan puisi yang sukses dan nikmat untuk dibaca, patut
dimiliki setiap orang terutama penggemar sastra teristimewanya puisi, tidak
pandang ideologi apa yang dimiliki seseorang, anti Lekra maupun penggemar
Lekra. Dan siapapun Sutikno, dia telah mempersembahkan hati dan kata dalam
bentuk puisi kepada setiap orang. Dan itu untuk saya, luar biasa indahnya.
Hoofddorp, 16 Desember 2009
asahan.
Penggemar sastra.


http://www.mail-archive.com/artculture-indonesia@yahoogroups.com/msg04618.html

No comments:

Post a Comment