Friday 25 February 2011

Ombak Berdansa di Liquisa

Ombak Berdansa di Liquisa



Ombak berdansa di Pantai Liquisa. Lidah-lidahnya menari dalam gemuruh hujan yang mengguyur pepohonan di sepanjang pesisir. Dan, dalam cuaca dingin malam Minggu berkabut, di dalam sebuah gedung sederhana di tepi pantai, orang-orang berdansa dalam hentakan musik disko.

Ayo! Kalau tidak berdansa kau belum ke Liquisa,” seorang lelaki berkata sambil menarik tangan perempuan yang duduk di depan bar. Kota pantai di barat daya Dili, Timor Timur, ini memang dikenal dengan masyarakatnya yang suka berpesta, dan inilah sisa budaya yang ditinggalkan penjajah Portugis.

Perempuan itu bergeming di tempat duduknya. Ia menggeleng di keremangan. Lelaki itu melotot. Matanya menyala dalam remang cahaya lampu. Rambutnya yang berombak seperti berdirian tiba-tiba. Perempuan yang dipanggil Armila itu balas melotot. Matanya juga menyala. Dan…, tiba-tiba terdengar suara tembakan, berkali-kali. Mereka tegang dan gelisah. Tapi, orang-orang yang berdansa seperti tak peduli.

“Itu Victor!” Seorang lelaki, tinggi kurus, dengan tubuh basah kuyup air hujan, tiba-tiba menyelinap masuk ke ruang dansa. Armila langsung memberi isyarat dengan tangan padanya.

Victor menangkap isyarat itu dan tergopoh-gopoh menuju depan bar. “Rumahku disergap. Alves dan kawan-kawan masih di sana,” kata lelaki kurus itu. “Cepat kita lari. Dua tentara memburuku.”

Dua sosok bayangan berkelebat menerobos pintu. Jao langsung melompat dari tempat duduknya, dan menerobos keluar lewat pintu belakang. Tapi, dua letusan pistol menyongsongnya. Armila tak jadi ikut menerobos keluar. Ia menyusup ke tengah orang-orang yang berubah panik oleh keributan itu. Mereka berlarian ke sana kemari. Victor mencoba memanfaatkan situasi untuk kabur. Tapi, tentara lebih cepat. Ia ditangkap persis di mulut pintu.

Pelan-pelan suasana kembali tenang. Orang-orang kembali berdansa. Armila pura-pura ikut larut ke dalamnya. Tapi, ketika semua orang telah menemukan pasangan masing-masing, ia jadi merasa aneh, berjoget sendiri di tengah-tengah mereka. Akhirnya ia memutuskan kembali duduk di depan bar, dengan dada yang masih bergemuruh.

“Armila!” Suara perempuan tiba-tiba mengejutkannya. Ia menoleh ke arah suara itu. Matanya memandang penuh selidik pada perempuan muda yang tiba-tiba muncul di depannya.

“Lupa, ya? Aku Mariana. Dulu kita pernah berkenalan di rumah Victor.”

“Oh ya. Kami tadi menunggumu di sini.”

“Maaf, aku agak terlambat. Pas ada keributan tadi aku datang. Aku sempat melihat Jao melompat lari ke belakang.”

“Bagaimana nasibnya?”

Mariana hanya menggeleng. Armila merasa menemukan kawan senasib. Gemuruh dadanya sedikit reda. Tapi hujan tetap menggemuruh di luar, mengguyur ombak yang terus berdansa dengan angin dan pasir pantai.

“Kau ikut ke hutan?” tanya Mariana.

“Tidak. Aku masih kuliah di Universitas Dili.”

“Jao cerita apa saja tentang aku?” Mariana bertanya lagi.

“Tidak banyak. Cuma berkata kau kawan sekelasnya di SMA.”

Mariana menarik napas panjang, seperti tiba-tiba ada sesuatu yang membebani perasaannya. “Kau nginap di rumahku saja. Malam-malam begini tidak mungkin balik ke Dili,” katanya sambil mencoba menekan gejolak perasaannya.

“Kupikir begitu. Aku tadi sempat bingung mau nginap di mana. Rencananya tadi mau di losmen sebelah. Tapi aku tak bawa duit. Jao yang janji membayariku.”

“Jangan kuatir. Aku akan menanggungmu sampai kau bisa kembali ke Dili. Sebentar lagi kita pulang jalan kaki. Aku cuma bertugas sampai pukul dua belas.”

Lewat pukul 12.00 hujan reda. Armila dan Mariana melangkah setengah menggigil dalam udara dingin, menyusur jalan beraspal yang mendaki bukit. Udara malam Liquisa memang terasa dingin sekali karena hujan. Awan hitam di langit bergerak cepat. Sesekali cahaya bulan menerobos dari celah-celah mendung tebal, mengusap pohon-pohonan. Butir-butir air hujan di ujung dedaunan gemerlapan beberapa saat tertimpa cahaya itu, seperti butir-butir kaca kristal, lalu padam setelah jatuh ke bumi.

Mereka nyaris sampai ke rumah Mariana ketika tiba-tiba hujan mengguyur bumi Liquisa kembali. Dengan setengah berlari, mereka pun tiba di depan pintu sebuah rumah sederhana separuh tembok. Baju dan rambut mereka agak kuyup.

“Kau tinggal dengan siapa?”

“Dengan mami dan anakku.”

Mariana langsung membawa Armila masuk kamar, lantas membuka almari kayu, mengambil sepotong daster dan menyodorkannya pada perempuan itu. “Pakailah ini untuk tidur.”

“Mana anakmu?” tanya Armila sambil melepas kaus oblongnya.

“Di kamar sebelah bersama ibu.”

“Suamimu?”

Mariana tidak langsung menjawab. Ia pura-pura suntuk merapikan rambutnya. “Aku tak punya suami,” katanya lirih.

“Oh, maaf…. Lalu… anak itu…..?”

“Anak itu bagian dari masa laluku. Juga masa lalu Jao.”

“Masa lalu Jao?” Armila tampak terkejut.

“Ah, sudahlah. Besok saja kita bicarakan. Kau pasti lelah dan ngantuk. Tidurlah. Dipannya cuma cukup untuk satu orang. Aku akan tidur di kamar sebelah bersama anakku. Selamat tidur.”

Armila ditinggalkan begitu saja di sebuah kamar sempit yang hanya diterangi listrik 10 watt. Ia hanya sempat melongo ketika Mariana melangkah pergi. Ia sempat menangkap sesuatu yang berat untuk diucapkan oleh perempuan penjaga bar itu tentang anaknya dan Jao. Sesuatu yang mungkin panjang untuk diceritakan sehingga harus ditunda.

Dada Armila yang tinggal bergemuruh sendiri oleh pertanyaan-pertanyaan dan dugaannya sendiri. Apa hubungan anak itu dengan Jao? Apa hubungan Mariana dengan Jao? Apakah Jao pernah menikahi Mariana?

Ingat Jao, Armila ingat janji dan impian-impian lelaki jangkung itu, “Percayalah, Armila. Kalau Timor merdeka, aku akan langsung melamarmu jadi istriku. Kita akan sama-sama menikmati kemerdekaan. Ha-ha-ha….” Tawa lelaki itu mengoyak udara sore, suatu hari, ketika mereka berjalan menyusuri sungai kering yang tinggal berisi pasir dan batu-batu, di tepi hutan di kawasan Ermera.

Armila tidak dapat memejamkan matanya. Dadanya tetap bergemuruh. Kepalanya kacau oleh pertanyaan-pertanyaan dan pikiran-pikiran aneh. Kadang-kadang ia teringat kuliahnya yang kacau akibat pergerakan Clandestine yang diikuti dan menyeretnya cukup jauh ke masalah-masalah politik yang tak sepenuhnya ia pahami. Apalagi setelah Jao sering mengajaknya keluar masuk hutan, atau mengunjungi desa-desa di malam gelap tempat para forsa bertemu. Bayang-bayang lelaki jangkung berambut keriting itu pun muncul di benaknya, menyeringai, tertawa, lalu lenyap begitu saja begai ditelan rimba gelap.

Armila kadang-kadang merasa amat benci pada lelaki itu, lelaki yang sering berbuat sesukanya: jarang mandi, tidur mendengkur seenaknya di mana saja, minum anggur sampai tubuhnya oleng, suka mencaci maki dan menempeleng anak buahnya-bahkan pernah menembak seorang anak buahnya tanpa sebab yang jelas.

Namun, ada kekuatan aneh yang tak dapat dibendung oleh apa pun, getaran yang juga tak sepenuhnya ia pahami: cinta. Kekuatan ini seperti gerakan subversif, terus merongrong hatinya.

“Engkaulah satu-satunya wanita yang berhasil menundukkan hatiku, Armila. Aku mencintaimu,” kata Jao dengan bibir bergetar dalam sorot cahaya api unggun di dalam goa tersembunyi di balik bukit, pada suatu malam.

Armila hanya menunduk. Perasaan aneh tiba-tiba menyergap hatinya. Dan, seperti api unggun yang membakar kayu-kayu kering, cinta pun lantas membakar berahi mereka sampai hangus, sebelum perempuan itu benar-benar menyadari arti cinta dan kehadirannya.

Hanya mereka berdua di dalam goa itu. Sebagian forsa yang lain sedang turun ke Liquisa untuk menjemput kiriman dari Dili. Udara malam tiba-tiba mati. Hening sekali. Hanya suara jangkrik dan burung hantu di kejauhan, serta kemeretek kayu-kayu kering yang terus terbakar api unggun. Armila tertidur setelah merebahkan kepalanya, seperti kapal menemukan pelabuhan, di pangkuan Jao.

Armila tidak ingat benar sejak pukul berapa ia tertidur di kamar sempit rumah Mariana. Ketika membuka mata, hari sudah agak siang. Berkas-berkas cahaya matahari menerobos masuk lewat celah-celah atap genteng. Kepalanya terasa agak berat.

“Mandilah biar segar. Kamar mandi di belakang. Sudah ada handuk di sana.” Mariana melongokkan kepalanya lewat mulut pintu kamar yang setengah terbuka, sambil tersenyum pada Armila yang masih terbaring di balik selimut bergaris-garis hitam.

“Thank’s.” Armila bangkit dan melompat turun, melangkah agak gontai ke kamar mandi. Selesai mandi dan merapikan diri, ia langsung ke ruang tamu. Ada ganjalan pertanyaan yang mesti dipuaskan oleh jawaban Mariana.

“Ini anakku. Yasso, ayo berkenalan dengan Tante Mila.” Mariana sudah menunggu di ruang tamu bersama anaknya-seorang bocah lelaki berusia sekitar enam tahun.

Anak itu berdiri menyongsong Armila sambil mengulurkan tangannya. Ia menyambut tangan itu dengan hangat. Ada getaran aneh ketika ia menatap wajah anak itu. Wajah itu mirip sekali dengan wajah lelaki yang sangat dikenalnya: Jao Alvino. Armila terlongong beberapa saat sampai suara Mariana menyadarkannya.

“Yasso, sana makan dulu bersama nenek di belakang.”

Anak itu menurut saja.

“Wajahnya mirip Jao kan?” Mariana agaknya menangkap apa yang sedang bergejolak di hati Armila.

“Jadi… itu anak Jao?”

“Ya.”

Wajah Armila mendadak berubah kemerahan. Ada arus listrik yang tiba-tiba menyengat hatinya. “Jadi… kau istri Jao?”

“Ceritanya panjang. Kami bergaul cukup lama ketika sama-sama di SMA. Dia mau menikahiku selesai ujian, tapi dengan syarat aku mau ikut dia ke Lisabon. Aku tidak keberatan asal boleh membawa mamiku. Kau tahu, aku anak satu-satunya. Papiku sudah lama meninggal. Sedang mamiku tak punya saudara dan sering sakit-sakitan. Tentu aku tak tega meninggalkannya dalam keadaan begitu. Lalu Jao nekat berangkat sendiri. Katanya, masa depannya ada di sana. Empat bulan setelah kepergiannya, Yasso lahir. Tahu-tahu, tahun lalu dia muncul lagi. Katanya, ada yang harus dia perjuangkan di sini.”

Mendengar cerita itu, hati Armila seperti diberangus api. Bumi dirasakannya seperti jungkir balik tiba-tiba. Tapi ia berusaha keras menguatkan diri, mencoba mendengarkan cerita itu dengan dingin. Namun, pertahanannya jebol juga. “Bajingan! Lelaki itu telah membohongiku!” teriaknya setengah histeris.

“Maafkan aku, Mila, aku telah mengganggu perasaanmu. Aku tahu kau mencintai Jao. Tapi, kurasa, kau perlu tahu ini semua agar tak ikut menjadi korbannya.”

Dada Armila bergemuruh keras, seperti mau meledak. Ia ingin menjerit keras-keras, atau mengumpat Jao sambil berteriak kuat-kuat. Tapi ini tidak ia lakukan. Lelaki itu toh tidak ada di depannya. Bahkan nasibnya pun tidak jelas, tertembak mati, ditangkap tentara, atau lolos kembali ke hutan. Yang dapat dia lakukan hanyalah menangis sambil mendekap Mariana. “Maafkan aku, Mariana. Aku sungguh tak bermaksud merebut Jao dari tanganmu. Dia yang telah membohongiku,” katanya dengan agak terbata, setelah tangisnya reda.

“Kau tidak bersalah, Armila. Itulah Jao, kalau kau mau tahu. Dan, jangan kaget, ada korban lain yang bernasib lebih malang daripada kita. Kira-kira tiga bulan setelah muncul kembali, Jao mengajak seorang gadis ke barku. Isabela namanya. Ia bilang gadis itu keponakannya. Kira-kira lima bulan kemudian, gadis itu datang sendiri sambil menangis. Ia bilang, telah mengandung anak Jao. Kulihat perutnya memang sedikit membuncit. Ia minta tolong agar aku mendesak Jao untuk menikahinya. Ia bahkan mengancam, kalau Jao tidak menikahinya, ia akan melaporkan persembunyiannya pada tentara. Malamnya Jao datang ke barku. Maka, semua keinginan gadis itu kusampaikan kepadanya. Seminggu setelah itu, gadis itu ditemukan mati terbunuh di tepi hutan.”

“Ya, ampun…” Armila terperangah. “Apa Jao yang membunuhnya?”

“Tidak ada bukti yang jelas. Tapi, ada yang melihat, sehari sebelumnya gadis itu pergi bersama Jao.”

Menuju pebukitan lereng menyusur meliuk-liuk yang bus dalam di hati, berkali-kali umpatnya pembohong!? benar-benar itu ?Lelaki maafkan. ia dapat tidak kepahitan suatu Alvino, Jao bernama lelaki seorang ulah akibat kaumnya menimpa tragedi serangkaian menyakitkan: teramat bahkan pahit, kenangan adalah Tapi, Jao. dijanjikan Armila-seperti dibawa manis bukan umum naik Liquisa

Maka, begitu menginjakkan kaki di Kota Dili, yang pertama-tama dicarinya adalah kabar tentang nasib Jao dan di mana ia berada. Ada dendam baru yang mesti ia tumpahkan kepada lelaki jangkung itu. Ia seperti tidak sabar lagi. Hatinya terasa hangus terbakar. Ia ingin menemui lelaki itu hari itu juga, hidup atau mati. Kalau lolos dari sergapan tentara, ia ingin memburunya ke hutan. Kalau tertangkap, ia ingin melunaskan sakit hatinya di penjara. Kalau mati, ia ingin menyumpahi mayat atau kuburannya.

Armila menemui beberapa aktivis Clandestine yang biasa berhubungan dengan Jao. Tapi mereka mengatakan belum ada kabar. Mereka hanya mendengar tentang Alves dan kawan-kawannya yang tertangkap di Liquisa.

Ditunggu sehari, dua hari, tiga hari, empat hari, lima hari, enam hari, akhirnya Jao tertangkap juga. Hidup-hidup, dengan paha kiri tertembus peluru. Armila langsung memburunya ke penjara. Lelaki itu menyunggingkan senyum begitu melihat Armila datang. Tapi gadis ini malah mencibir. “Mariana sudah bercerita banyak tentang kau,” katanya dengan mata yang memancarkan kebencian.

“Cerita apa saja dia?” Jao langsung curiga.

“Kau pasti sudah dapat menebaknya. Aku berkenalan dengan anakmu di rumahnya. Juga tentang Isabela yang kau bunuh di tepi hutan setelah kau hamili. Kau pembohong besar, Jao.”

“Bangsat dia!” Mata lelaki itu makin merah menyala.

“Kupikir, ini ganjaran yang setimpal untuk lelaki macam kau. Akulah yang menunjukkan tempat persembunyianmu pada tentara.” Suara Armila datar, tapi kata-katanya menghantamkan pukulan telak.

“Jadi, kau mengkhianati aku, Armila? Kau mengkhianati bangsa Timor! Bangsat kau!”

“Tidak, Jao. Aku tetap setia pada cita-cita perjuangan Clandestine. Tapi, bangsa Timor tidak membutuhkan orang seperti kau. Kami membutuhkan para pejuang yang dapat melindungi kaum perempuan, bukan perusak perempuan seperti kamu. Kau tak ada artinya bagi masa depan kami. Selamat tinggal, Jao!’’

Dengan wajah tetap membara, Jao terperangah mendengar kata-kata Armila. Pada saat itulah perempuan itu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan lalaki yang tangannya sedang bergetar geram mencengkeram terali besi itu.

“Bangsaaat! Awas, kubunuh kau, pengkhianat! Perempuan busuuuuk!!!” suara Jao keras sekali, seperti mau meledakkan penjara.

Tapi, Armila terus melangkah pergi, pura-pura tidak mendengar umpatan itu. Hatinya, yang terasa amat pedih, hancur berkeping-keping, lalu menyerpih bagai serpihan ombak yang terus berdansa di Pantai Liquisa.

Dili, Juli 1994


Ahmadun Yosi Herfanda

No comments:

Post a Comment