Sunday, 20 February 2011

PEDOMAN PELAKSANAAN PRAKTEK BELAJAR KERJA

PEDOMAN PELAKSANAAN PRAKTEK BELAJAR KERJA


I. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
1. Pembangunan kesejahteraan sosial diprioritaskan pada golongan masyarakat yang tidak mampu termasuk di dalamnya tuna sosial, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan status sosial dan ekonominya untuk dapat mencukupi kebutuhan minimal dan merupakan unsur penting dalam strategi guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang paling miskin. Pembangunan melalui rehabilitasi sosial bagi penyandang masalah tuna sosial diusahakan, diarahkan pada penyandang masalah tuna sosial, sehingga secara langsung dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya secara nyata dan secara tidak langsung harus mampu menarik partisipasi masyarakat untuk turut serta membantu usaha kesejateraan sosial bagi penyandang masalah tuna sosial.
2. Kebijakan pokok pembangunan kesejahteraan sosial dewasa ini diarahkan pada upaya untuk mengikutsertakan secara aktif peran serta masyarakat/orsos dan para pengusaha dalam penanggulangan masalah tuna sosial. Hambatan bagi penyandang masalah tuna sosial untuk mewujudkan kesejahteraan sosialnya serta berperan serta dalam pembangunan adalah sebagai berikut :
a. Sikap masyarakat yang masih curiga serta sulit menerima mereka kembali;
b. Merasa malu dan rendah diri;
c. Berpendidikan rendah dan tidak memiliki ketrampilan kerja;
d. Tidak mungkin memperoleh surat berketerangan berkelakuan baik;

3. Salah satu usaha pemerintah Cq. Departemen Sosial dalam membantu bekas narapidana penyandang masalah sosial, wanita tuna sosial dan gelandangan dan pengemis ini adalah melalui program rehabilitasi sosial, dengan salah satu tahapannya adalah memberikan kesempatan peluang untuk praktek belajar kerja (Magang) untuk meningkatkan ketrampilan kerja dan siap pakai para bekas narapidana, wanita tuna sosial dan gelandangan pengemis yang telah memperoleh pelatihan ketrampilan kerja.
4. Yang dimaksud dengan Praktek Belajar Kerja (PBK) adalah : suatu kegiatan pemberian kesempatan magang di perusahaan-perusahaan, bengkel-bengkel atau pabrik-pabrik dan sebagainya, sesuai jenis ketrampilan yang dipelajarinya bagi bekas narapidana, wanita tuna sosial, dan gelandangan pengemis yang telah selesai mengikuti latihan ketrampilan, guna meningkatkan kemampuan serta menyesuaikan ketrampilan yang diperoleh.
5. Kerjasama antara pihak instansi sosial/pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat dengan LBK Pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat Bina Karya di Perusahaan-perusahaan/Pabrik-pabrik, dimaksudkan untuk menjalin saling pengertian guna kelancaran proses penempatan tenaga kerja bagi bekas narapidana, wanita tuna sosial dan gelandangan pengemis di perusahaan-perusahaan maupun ditempat-tempat lainnya.
6. Demi kelancaran dan keseragaman pola pikir serta gerak langkah penyelenggaraaan PBK tersebut diperlukan adanya suatu pentunjuk teknis penyelenggaraan PBK.


B. Ruang Lingkup
1. Peningkatan ketrampilan penanganan bekas narapidana, wanita tuna sosial dan gelandangan pengemis dalam usaha kewiraswastaan/kemandirian maupun kemampuan ketrampilan untuk memperoleh kesempatan kerja pada perusahaan atau tempat-tempat lainnya.
2. Pendekatan / pertemuan / koordinasi dengan para pengusaha dan atau usaha kewiraswastaan yang dapat menciptakan kesempatan kerja bagi bekas narapidana, wanita tuna sosial dan gelandangan pengemis.
3. Segala upaya itu mengisi tugas dan tanggung jawab Kementerian Sosial termasuk Kementerian / instansi yang terkait, masyarakat maupun swasta, dimana tanggung jawab teknis menjadi beban Kementerian Sosial.

C. Kerangka Berpikir
Masyarakat tidak bisa dilihat sebagai organisasi yang berdiri sendiri, melainkan sebagai kejamakan (plurality), yang terdiri dari individu-individu yang merupakan satu kesatuan, satu sama lain saling tergantung dan tidak dapat berdiri sendiri dan setiap individu memiliki keunikan masing-masing. Kita sadari dalam masyarakat terdapat bermacam-macam perbedaan, mulai dari pekerjaan, status sosial, pendidikan, ketahanan sosial dan keluarga pada komunitas / kalangan tertentu yang rentan dan bahkan tidak tahan dalam menghadapi arus krisis yang deras juga cukup berpengaruh terhadap seseorang sehingga ia menjadi tuna sosial. Mentalitas kerja yang rendah dan budaya konsumerisme sangat berpengaruh pula terhadap peningkatan jumlah pelaku tuna sosial, apalagi pada masa krisis, dimana gaya hidup yang tinggi tidak sebanding dengan semangat bekerja keras, latar belakang pendidikan, maupun tingkat keterampilan yang minim. Oleh karena itu, kesempatan memperoleh pekerjaan sangat sulit, khususnya pekerjaan yang sesuai dengan nilai-nilai normatif seperti nilai-nilai agama, sosial, budaya maupun susila.
Perbedaan ini harus dihargai dan dipandang secara positif, diharapkan bisa menjadi pelajaran berharga serta menambah kekayaan manusia, karena dengan adanya suatu perbedaan dapat dilihat beragam keistimewaan manusia dari berbagai sisi kehidupan. Perbedaan-perbedaan yang ada bisa menimbulkan diskriminasi terhadap paramarginal di mana masyarakat belum bisa menerima suatu perbedaan.
Lapangan kerja yang bersifat formal sulit untuk dimasuki oleh para wanita tuna susila, hal tersebut disebabkan oleh sikap masyarakat yang belum bisa sepenuhnya menerima keberadaan wanita tuna susila. Di sektor-sektor formal kebanyakan masyarakat belum berani untuk mempekerjakan wanita tuna susila. Hal tersebut dimungkinkan karena masyarakat menilai bahwa wanita tuna susila adalah sebagai sesuatu yang beda bahkan ada beberapa orang takut pada wanita tuna susila. Pandangan masyarakat yang negatif terhadap wanita tuna susila dan enggan bergaul dengan wanita tuna susila membuat wanita tuna susila menjadi eksklusif. Kadang-kadang wanita tuna susila mengalami perlakuan yang tidak seharusnya dari masyarakat, misalnya dicela, dikucilkan, melakukan kekerasan terhadap wanita tuna susila yang berupa pengusiran, penganiayaan, atau tindakan yang sifatnya melecehkan.
Dalam menghadapi berbagai tekanan dalam masyarakat wanita tuna susila berusaha agar tetap eksis dan bisa hidup di tengah-tengah masyarakat. Tekanan dari masyarakat tersebut membuat wanita tuna susila mau tidak mau harus mandiri, melakukan berbagai macam usaha agar bisa hidup. Misalnya dengan menciptakan peluang usaha yang bisa menjadi tumpuan hidup mereka.
Tekanan ekonomi dan kemiskinan yang dialami oleh wanita tuna susila disebabkan oleh tidak adanya kesempatan pendidikan dan lapangan kerja formal bagi para wanita tuna susila. Prostitusi sebagai jalan pintas akhirnya menjadi alternatif terakhir untuk mempertahankan hidupnya. Keberadaan wanita tuna susila itu sendiri, khususnya menjadi pekerja seks, tidak terlepas dari pengaruh lingkungan setempat. Konstruksi miring tentang wanita tuna sosial ini pada gilirannya memunculkan reaksi yang bervariasi, mulai dari menerima dengan baik hingga perlakuan yang tidak manusiawi seperti diejek, dihina, dipegang-pegang, digaruk oleh petugas, dipukul, bahkan sampai terbunuh karena ingin lolos dari kejaran petugas trantib.
Upaya untuk mengatasi masalah sosial wanita tuna susila yang dilakukan pemerintah belum maksimal, antara lain adalah tidak sebandingnya jumlah panti sosial tuna sosial dengan peningkatan jumlah penyandang tuna sosial bahkan adanya panti sosial tuna sosial yang beralih fungsi dan ada juga panti sosial kurang didukung pendanaan dan pembinaannya oleh APBD.
Di dalam masyarakat, kuantitas dan kualitas LSM/ Yayasan/ Organisasi Sosial yang peduli masalah tuna sosial masih belum memadai. Akibatnya peran dan fungsinya penanganan masalah tuna sosial menjadi kurang signifikan. Secara kuantitas LSM/ Yayasan/ anggota masyarakat yang peduli masalah tuna sosial jumlahnya tidak memadai, apalagi dibandingkan dengan populasi atau kualitas permasalahan tuna sosial yang semakin meningkat. Secara kualitas, sumber daya manusia LSM/ Yayasan/ Organisasi Sosial juga belum optimal karena tingkat pendidikan, keahlian, atau keterampilan mereka, khususnya dalam bidang pekerjaan sosial, masih terbatas, keterbatasan dari segi jumlah dan kualitas SDM.
Menyadari keterbatasan Pemerintah dari segi sumber dana dan sumber daya, Pemerintah perlu menetapkan strategi peningkatan peran masyarakat serta pengembangan sumber daya manusia dalam memberikan penanganan masalah tuna sosial, yang mendasarkan pada prinsip-prinsip bahwa penyandang tuna sosial merasa diterima, dihargai, tidak didiskriminasi, dan memperoleh perlindungan terhadap tindak kekerasan, maupun diperdagangkan.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Kementerian Sosial RI berupaya meningkatkan jumlah alternatif penanganan tuna sosial selain penanganan yang telah dilakukan yaitu melalui panti. Berbagai terobosan dilakukan, salah satunya dengan melaksanakan uji coba penanganan tuna sosial melalui pengembangan potensi masyarakat. Kegiatan ini diharapkan dapat memberdayakan para penyandang tuna sosial, dalam artian para pelaku mampu mandiri dan tidak kembali menjadi pelaku tuna sosial; perubahan gaya hidup yang tidak konsumerisme, dan mentalitas bekerja keras sesuai dengan norma-norma yang berlaku, serta ikut meningkatkan ketahanan keluarga dan berpengaruh terhadap peningkatan ketahanan sosial masyarakat.

D. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
a. Maksud penyusunan pedoman pelaksanaan penanganan tuna sosial melalui pengembangan potensi masyarakat ini adalah untuk mengarahkan petugas pelaksana lapangan dalam menangani langsung tuna sosial secara baik di masyarakat dilihat dari sudut ilmu pekerjaan sosial.
b. Menjelaskan kepada masyarakat tentang pelayanan sosial yang menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
c. Menjelaskan kepada para tuna sosial tentang bentuk-bentuk pelayanan sosial yang menjadi hak mereka.
2. Tujuan
Tujuan penulisan buku pedoman ini adalah :
a. Menyediakan pedoman tentang bentuk, proses pelayanan sosial tuna sosial yang dapat dijadikan acuan umum dalam rangka penanganan pelaksanaan penanganan tuna sosial melalui pengembangan potensi masyarakat.
b. Membantu memfasilitasi semua pihak yang peduli terhadap penanganan permasalahan wanita tuna sosial.



E. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2, pasal 28 h, pasal 34.
2. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
3. Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan.
4. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia.
5. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
6. Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
7. Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
8. Undang–Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
9. Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
10. Keputusan Presiden RI Nomor 40 Tahun 1983 tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
11. Keputusan Bersama Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia dan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 01-PK.0301/1984; KEP 354/MEN/84; 63/HUK/X/1984, tentang Penyelenggaraan Pelayanan Rehabilitasi Narapidana dan Bekas Narapidana.
12. Keputusan Menteri RI Sosial RI Nomor 20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi Sosial Bekas Penyandang Masalah Tuna sosial.
13. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 82/HUK/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Sosial RI.

F. Pengertian
1. Bimbingan sosial adalah perlakuan yang diberikan narasumber dari Kementerian Sosial dan Dinas/Instansi Sosial Provinsi terhadap peserta penanganan wanita tuna sosial.
2. Bimbingan keterampilan kemandirian adalah pelayanan yang ditujukan untuk membantu wanita tuna sosial yang mengalami permasalahan dalam pekerjaan dan usaha kemandirian dengan serangkaian kegiatan untuk menumbuhkembangkan keterampilan dan wirausaha agar mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup.
3. Tuna sosial adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan jenisnya di luar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.
4. Pendamping adalah petugas yang ditunjuk dengan latar belakang sebagai pekerja sosial masyarakat atau pekerja sosial yang mempunyai kompetensi professional dalam bidangnya, mereka yang mempunyai pengalaman dan komitmen dalam melaksanakan tugas bimbingan yang mendasarkan pada kompetensi profesi pekerjaan sosial
5. Bantuan adalah semua upaya yang diarahkan untuk meringankan penderitaan, melindungi dan memulihkan kondisi fisik, mental, dan sosial (termasuk kondisi psiko-sosial dan ekonomi) serta memberdayakan potensi yang dimiliki wanita tuna sosial, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara layak bagi kemanusiaan.
6. Perlindungan sosial merupakan proses advokasi/ pembelaan terhadap tuna sosial yang rentan dan mengalami stigmatisasi, tindak kekerasan, diskriminasi, trafiking (perdagangan orang), dan eksploitasi.
7. Keberfungsian sosial adalah suatu sikap dan perilaku sosial di mana klien mampu beradaptasi/ menyesuaikan diri dan dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat.


II. TUJUAN, SASARAN GARAPAN & TOLOK UKUR KEBERHASILAN


A. Tujuan
Pelaksanaan kegiatan penanganan masalah sosial tuna sosial ini bertujuan untuk :
1. Memberikan pembinaan terhadap tata kehidupan dan penghidupan para tuna sosial dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat secara normatif.
2. Mengembangkan pemulihan kembali harga diri, kepercayaan diri, tanggung jawab sosial, kemauan dan kemampuan para tuna sosial, agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat.

B. Sasaran Garapan
Sasaran garapan penanganan masalah sosial tuna sosial adalah :
1. Penyandang masalah
a. Bekas Narapidana, yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1) Usia Produktif.
2) Telah memperoleh rehabilitasi sosial dan latihan (Bimbingan ketrampilan) di KLK/BLK atau lembaga lain dalam rangka rehabilitasi.
3) Memenuhi persyaratan administrasi sebagai berikut :
a) Mempunyai surat keterangan telah mengikuti latihan/bimbingan dan rehabilitasi sosial Bina Karya/KLK/BLK/Pimpinan instansi sosial setempat.
b) Mempunyai surat keterangan sehat dan tidak berpenyakit menular.
c) Surat pernyataan dari perusahaan bersedia menerima tenaga siswa Bekas Narapidana untuk magang diperusahaan yang diperoleh melalui pendekatan atau SKB.
4) Mempunyai potensi untuk mengembangkan ketrampilan sesuai yang dipersyaratkan tempat PBK.

b. Wanita Tuna Sosial, yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1) Usia Produktif;
2) Telah memperoleh rehabilitasi sosial dan bimbingan ketrampilan di Pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat minimal 6 bulan;
3) Mempunyai surat keterangan sehat tidak berpenyakitan menular dari Dokter;
4) Surat Pernyataan dari perusahaan bersedia menerima siswa wanita tuna sosial untuk magang diperusahaan;
5) Mempunyai potensi untuk mengembangkan ketrampilan sesuai yang dipersyaratkan tempat PBK.

c. Gelandangan dan Pengemis yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Usia Produktif.
2) Telah memperoleh rehabilitasi sosial didalam pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat.
3) Memenuhi persyaratan administrasi sebagai berikut :
a) Mempunyai surat keterangan dari Kepala Pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat Sosial Bina Karya setempat menyatakan bahwa yang bersangkutan telah mengikuti pembinaan / rehabilitasi sosial selama 2 bulan.
b) Tidak ikut dalam program tranmigrasi.
c) Mempunyai surat keterangan sehat dan tidak berpenyakit menular dari Dokter.
d) Surat Pernyataan dari perusahaan bersedia menerima tenaga siswa gelandangan pengemis untuk magang di perusahaan yang diperoleh melalui pendekatan PBK.
4) Mempunyai Potensi untuk mengembangkan ketrampilan sesuai yang dipersyaratkan tempat PBK.

2. Dunia Usaha
Perusahaan-perusahaan/pabrik-pabrik/bengkel calon tempat PBK atau yang diharapkan dapat menampung klien setelah di PBK kan atau sebagai bapak angkat.

3. Masyarakat
Masyarakat dan lingkungan dimana Bekas Narapidana, Bekas Wanita Tuna Sosial, Gelandangan dan Pengemis akan membuka PBK atau kegiatan wirausaha lainnya, termasuk di dalamnya keluarga.

C. Tolok Ukur Keberhasilan
Tolak ukur keberhasilan pencapaian tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diamati dari 3 aspek utama yaitu :
1. Penyandang masalah/penerima pelayanan :
Aspek ini lebih menitikberatkan kepada kondisi para penerima pelayanan itu sendiri, yaitu bahwa mereka telah memiliki cirri-ciri atau karateristik berikut :
a. Bekas klien yang tidak melakukan lagi tindak tuna sosial telah digolongkan sebagai suatu keberhasilan dalam upaya rehabilitasi yang telah diselenggarakan.
b. Sudah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memotivasi dirinya dan menolak melakukan kegiatan tindak tuna sosial atau pelacuran dan atau sebagai germo/mucikari dalam bentuk apapun juga. Ini merupakan perwujudan pulihnya harga diri, kepercayaan diri serta kesadaran akan norma norma kehidupan di masyarakat.
c. Memahami, memiliki dan menguasai suatu ketrampilan kerja tertentu yang dapat dipergunakan sebagai bekal untuk mendapatkan mata pencaharian bagi dirinya dan atau bersama keluarganya.
d. Sudah mempunyai pekerjaan yang tetap dalam bentuk usaha wiraswasta, menjadi karyawan pabrik atau perusahaan maupun bentuk lainnya yang sesuai dengan norma masyarakat.
e. Sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya secara wajar, baik di lingkungan pekerjaan, lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat dalam kegiatan kegiatan kemasyarakatan khususnya kewanitaan.
f. Telah memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menentukan, mendayagunakan dan meningkatkan sumber-sumber pelayanan sosial, sebagai salah satu bentuk partisipasi mereka untuk dapat membantu dirinya sendiri, keluarga maupun kelompok yang membutuhkannya.

2. Masyarakat, ciri cirinya adalah :
a. Dapat memahami dan menghayati bahwa permasalahan sosial tuna sosial bukan hanya tanggung jawab Pemerintah, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat, sebagai pasangan kerja (partner) Pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan sosial.
b. Dapat menerima kembali, memberikan kesempatan kerja/usaha, mengusahakan lapangan kerja secara layak kepada para bekas tuna sosial yang telah direhabilitasi di panti rehabilitas tuna sosial.
c. Telah memiliki daya tangkal terhadap kemungkinan timbulnya permasalahan sosial tuna sosial, terutama di daerah asal bekas penyandang tuna sosial melalui cara fungsi pencegahan.
d. Memberikan kesempatan secara terbuka kepada bekas tuna sosial untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan di masyarakat antara lain, kegiatan kemasyarakatan, keagamaan dan kegiatan lainnya.


III. PELAKSANAAN TEKNIS KEGIATAN


Sesuai dengan ruang lingkup penanganan masalah sosial tuna sosial, maka petunjuk teknis pelaksanaan (JUKNIS) ini diperuntukkan sebagai pedoman kerja bagi para petugas lapangan di seluruh Indonesia.

A. Persiapan
1. Pendataan
a. Jumlah peserta yang akan ikut kegiatan praktek belajar kerja;
b. Data dan alamat perorangan, masyarakat, yayasan / lembaga swasta, pabrik-pabrik yang dapat menerima siswa yang akan melaksanakan PBK;
c. Alamat / tempat tinggal /perorangan, masyarakat, serta perusahaan, pabrik-pabrik / bengkel – bengkel dan sebagainya yang akan menerima kegiatan PBK dari siswa Bekas Narapidana, Wanita Tuna Susila, serta Gelandangan dan Pengemis.
2. Seleksi calon peserta PBK sesuai dengan persyaratan serta penjurusan sesuai ketrampilan yang diperoleh di panti/LBK/KLK dan calon tempat PBK.
3. Penyiapan sarana PBK untuk peserta PBK (transport seragam dan lain-lain).
4. Penempatan pada tempat PBK disertai formulir untuk pemantauan (instrument terlampir).


B. Waktu Pelaksanaan
1. Waktu pelaksanaan kegiatan PBK selama 4 bulan;
2. Pemantauan kemajuan;
3. Pemberian surat tanda mengikuti PBK.

C. Pelaksanaan
1. Tetap bekerja di tempat PBK sesuai hasil seleksi tempat PBK yang bersangkutan;
2. Menjadi anak angkat tempat PBK yang bersangkutan atau perusahaan/tempat usaha lain yang sesuai dengan jenis ketrampilannya;
3. Usaha Mandiri (berwiraswasta).

D. Pembinaan Lanjut
1. Bimbingan dan pengembangan usaha.
2. Bantuan pengembangan usaha dengan maksud untuk menjangkau lebih banyak klien yang terlibat kerja / ber PBK.
3. Bimbingan ke arah pengmbangan masyarakat (community based).
4. Dapat menjadi percontohan.


IV. BIAYA


Biaya PBK dapat bersumber dari :
1. APBN melalui DIPA atau APBD melalui DIPA Daerah sesuai kemampuan.
2. Dapat digali dari masyarakat.
3. Dapat bekerjasama dengan perusahaan atau lain-lain tempat PBK.
4. Dapat digali dari perusahaan ataupun penggunaan PBK.



V. MEKANISME


1. Untuk pelaksanaan kegiatan PBK perlu dijalin dengan mengadakan pendekatan dengan instansi / pengusaha / lembaga / orsos / yang terkait dalam persiapan / pelaksanaan dan penyaluran setelah PBK selesai;
2. Sebagai tindak lanjut dari pendekatan dengan pokok-pokok tersebut diperlukan kelengkapan administrasi sesuai dengan kebutuhan, misalnya :
a. SKB sesuai dengan hasil pendekatan (antar instansi di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota atau antar perusahaan dengan pelayanan sosial melalui lembaga atau di masyarakat);
b. Mungkin cukup surat menyurat (surat perjanjian);
3. Kerjasama pemantauan dalam pelaksanaan PBK oleh petugas Pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat / Instansi sosial bersama petugas dari perusahaan tempat PBK;
2. Kerjasama dalam seleksi penyaluran sesuai dengan kondisi dan kemampuan berdasarkan standart penilaian dari perusahaan;
3. Untuk memantau di tempat penyaluran penanggung jawab pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat bekerjasama dengan pihak perusahaan tempat mereka bekerja atau pemerintah daerah setempat.





IV. PENGENDALIAN DAN EVALUASI

Pengendalian dan evaluasi oleh Kementerian Sosial, Dinas/Instansi Sosial Provinsi, Kabupaten/Kota setempat, dilaksanakan secara berjenjang dan berkala.

V. PELAPORAN

Untuk pelaporan pelaksanaan PBK dengan menggunakan instrument terlampir.


VI. PENUTUP

Juknis PBK ini merupakan petunjuk yang bersifat pokok-pokok saja, yang dalam hal tertentu dimungkinkan merupakan tindak lanjut dari pembinaan lanjut eks klien tertentu yang belum mengikuti PBK, ataupun sebagai tindak lanjut secara selektif hasil motivasi razia yang dilaksanakan dimana daerah tidak memiliki pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat penyantunan.

No comments:

Post a Comment