Sunday 20 February 2011

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1975
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3019), dipandang perlu untuk
mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur
ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang
tersebut;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
a. Undang-undang adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ;
www.djpp.depkumham.go.id
b. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam
dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya ;
c. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum;
d. Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian.
BAB II
PENCATATAN PERKAWINAN
Pasal 2
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk.
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi
tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang
berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah
ini.
Pasal 3
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati
Kepala Daerah.
Pasal 4
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau
oleh orang tua atau wakilnya.
Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah
kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 6
(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan
telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
Undang-undang.
(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1)Pegawai
Pencatat meneliti pula :
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam
hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat
dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul
calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat
dengan itu;
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat tinggal orang tua calon mempelai;
c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6
ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun;
d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal
calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri;
e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang;
f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal
perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua
kalinya atau lebih;
g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya anggota Angkatan Bersenjata ;
h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak
dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga
mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7
(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis
dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
(2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan
sebagai dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya
persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini,
keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada
orang tua atau kepada wakilnya.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 8
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada
sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang
ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah
ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9
Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat :
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari
calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang
atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami
mereka terdahulu ;
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
BAB III
TATACARA PERKAWINAN
Pasal 10
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam
Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan
dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 11
(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuanketentuan
Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,
selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat
yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang
mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah
tercatat secara resmi.
www.djpp.depkumham.go.id
BAB IV
AKTA PERKAWINAN
Pasal 12
Akta perkawinan memuat :
a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat kediaman suami-isteri;
Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama
isteri atau suami terdahulu ;
b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua
mereka;
c. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undangundang;
d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang;
f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang;
g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi
anggota Angkatan Bersenjata;
h. Perjanjian perkawinan apabila ada;
i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para
saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam ;
j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa
apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Pasal 13
(1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan
oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan
dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.
(2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta
perkawinan.
BAB V
TATACARA PERCERARIAN
Pasal 14
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di
tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud
menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada
Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 15
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam Pasal
14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil
pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.
Pasal 16
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk
menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang
terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Pasal 17
Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang
dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang
terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada
Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan
perceraian.
Pasal 18
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan
sidang pengadilan.
Pasal 19
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 20
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat
melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 21
(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b,
diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua)
tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
(3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan
sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.
Pasal 22
(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f,
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas
bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu
dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat
dengan suami-isteri itu.
Pasal 23
Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat
hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai
dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan perceraian
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang
memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 24
(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah.
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat, Pengadilan dapat :
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak ;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barangbarang
yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi
hak isteri.
Pasal 25
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya
putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 26
(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan
perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan
dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi
Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Agama.
(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang
bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui
Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.
(4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan
secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
(5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.
Pasal 27
(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20
ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada
papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu
atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass
media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang
waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2)
dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2)
dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa
hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak
www.djpp.depkumham.go.id
beralasan.
Pasal 28
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia
setempat.
Pasal 29
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambatlambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan
perceraian.
(2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan
perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan
diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa mereka.
(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20
ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurangkurangnya
6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan
perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.
Pasal 30
Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri
atau mewakilkan kepada kuasanya.
Pasal 31
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua
pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 32
Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian
baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan
telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 33
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang tertutup.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 34
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya
terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor
pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama
Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 35
(1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud
Pasal 34 ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang
telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat ditempat
perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan
perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan
daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka
satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai
dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan
dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian
pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang
dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai
Pencatat di Jakarta.
(3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi
tanggungjawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu
mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.
Pasal 36
(1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk
dikukuhkan.
(2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata-kata
"dikukuhkan" dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri dan
dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut.
(3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali putusan
itu kepada Pengadilan Agama.
www.djpp.depkumham.go.id
BAB VI
PEMBATALAN PERKAWINAN
Pasal 37
Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.
Pasal 38
(1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang
berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal
kedua suami-isteri, suami atau isteri.
(2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai
dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian.
(3) Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan perkawinan
dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam
Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.
BAB VII
WAKTU TUNGGU
Pasal 39
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurangkurangnya
90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari ;
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum
pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
www.djpp.depkumham.go.id
BAB VIII
BERISTERI LEBIH DARI SEORANG
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,
ialah :
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun
tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :
i. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani
oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii. surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari
suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41,
Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambatlambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang
berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka :
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10
ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda
setinggi-tingginya Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah);
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal
6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas merupakan
pelanggaran.
BAB X
PENUTUP
Pasal 46
Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, maka
ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan pengaturan tentang
perkawinan dan perceraian khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata diatur
lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB.
Pasal 47
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 48
Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu untuk kelancaran
pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri
Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, baik bersama-sama
maupun dalam bidangnya masing-masing.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 49
(1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975;
(2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan
secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 1975
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 1975
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUDHARMONO,SH.
www.djpp.depkumham.go.id
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1975
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
UMUM :
Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara
efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain
yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tatacara pelaksanaan
perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian,
tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan,
pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang dan sebagainya.
Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang
masalah-masalah tersebut, yang diharapkan akan dapat memperlancar
dan mengamankan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya
pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 tersebut, ialah
pada tanggal 1 Oktober 1975.
Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan
langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk
pelaksanaan dari berbagai Departemen/Instansi yang bersangkutan,
khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan
Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib
dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkahlangkah
persiapan tersebut.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
(1) dan (2) Dengan adanya ketentuan tersebut dalam pasal ini maka
pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi,
yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor
Catatan Sipil atau instansi/ pejabat yang membantunya.
(3) Dengan demikian maka hal-hal yang berhubungan dengan
tatacara pencatatan perkawinan pada dasarnya dilakukan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut dari Pasal 3
www.djpp.depkumham.go.id
sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini, sedangkan
ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut tatacara
pencatatan perkawinan yang diatur dalam berbagai
peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan Pemerintah
ini.
Pasal 3
(1) Cukup jelas.
(2) Cukup jelas.
(3) Apabila terdapat alasan yang sangat penting untuk segera
melangsungkan perkawinan meskipun belum lampau 10 (sepuluh)
hari, misalnya karena salah seorang dari calon mempelai akan segera
pergi ke luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, maka yang
demikian itu dimungkinkan dengan mengajukan permohonan
dispensasi.
Pasal 4
Pada prinsipnya kehendak untuk melangsungkan perkawinan harus
dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau
oleh orang tuanya atau wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu alasan
yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan secara
lisan itu tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan dapat dilakukan
secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili calon mempelai
untuk memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan adalah
wali atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa khusus.
Pasal 5
Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka dalam
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, dicantumkan baik
nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi mereka yang tidak
memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja
ataupun namanya saja.
Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat
dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan.
Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan tersebut merupakan
ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya halhal
lain, misalnya mengenai wali nikah, bagi mereka yang beragama
Islam.
Pasal 6
(1) Cukup jelas.
(2) Huruf f : Surat kematian diberikan oleh Lurah/Kepala Desa yang
meliputi wilayah tempat kediaman suatu atau isteri
terdahulu. Apabila Lurah/Kepala Desa tidak dapat
memberikan keterangan dimaksud berhubung tidak adanya
laporan mengenai kematian itu, maka dapat diberikan
www.djpp.depkumham.go.id
keterangan lain yang sah, atau keterangan yang diberikan
dibawah sumpah oleh yang bersangkutan dihadapan
Pegawai Pencatat.
Pasal 7
(1) Cukup jelas.
(2) Yang dimaksud dengan "diberitahukan kepada mempelai atau
kepada orang tua atau kepada wakilnya", adalah bahwa
pemberitahuan mengenai adanya halangan perkawinan itu harus
ditujukan dan disampaikan kepada salah satu daripada mereka itu
yang datang memberitahukan kehendak untuk melangsungkan
perkawinan.
Pasal 8
Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberi kesempatan
kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan
bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang demikian itu
diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan
kepercayaannya itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 9
Pengumuman dilakukan :
- di kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi
wilayah tempat perkawinan dilangsungkan, dan
- di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman
masing-masing calon mempelai.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang ditentukan di
dalarn pasal ini merupakan ketentuan minimal sehingga masih
dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai nomor
akta; tanggal, bulan, tahun pendaftaran; jam, tanggal, bulan dan tahun
pernikahan dilakukan; nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat;
tandatangan para mempelai Pegawai Pencatat, para saksi, dan bagi yang
beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya; bentuk dari mas
kawin atau izin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang
memerlukannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Huruf f; Persetujuan yang dimaksud disini dinyatakan secara
tertulis atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan.
www.djpp.depkumham.go.id
Huruf g; Menteri HANKAM/PANGAB mengatur lebih lanjut mengenai
Pejabat yang ditunjuknya yang berhak memberikan izin bagi anggota
Angkatan Bersenjata.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Pasal ini berikut Pasal-pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur tentang cerai
talak.
Pasal 15.
Cukup jelas.
Pasal 16
Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya
alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian
menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang
tersebut.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
(1) Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri
yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh
seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
(1) Cukup jelas.
(2) Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya
dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan
www.djpp.depkumham.go.id
prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-isteri.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 24
(1) Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri tidak berdiam
bersama dalam satu rumah hanya diberikan berdasarkan
pertimbangan demi kebaikan suami-isteri itu beserta anak-anaknya.
(2) Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri
tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya
memberikan nafkah kepada isterinya. Demikian pula tugas kewajiban
suami-isteri itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga jangan sampai
harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-sama oleh suami-isteri,
maupun harta kekayaan isteri atau suami menjadi terlantar atau
tidak terurus dengan baik, sebab yang demikian itu bukan saja
menimbulkan kerugian kepada suami-isteri itu melainkan mungkin
juga mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
(1) Cukup jelas.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
(4) Meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi yang demikian
itu tidak dengan sendirinya merupakan alasan bagi dikabulkannya
gugatan perceraian apabila gugatan tersebut tidak didasarkan pada
alasan atau alasan-alasan sebagaimana dimaksud Pasal 19 Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
(1) Penetapan waktu yang singkat untuk mengadakan sidang
pemeriksaan gugatan perceraian adalah sebagai usaha mempercepat
proses penyelesaian perkara perceraian. Karena makin cepat perkara
itu dapat diselesaikan oleh Pengadilan makin baik, bukan saja bagi
kedua suami-isteri itu melainkan bagi keluarga, dan apabila mereka
mempunyai anak terutama bagi anak-anaknya.
(2) Hendaknya jangka waktu antara penyampaian panggilan dan sidang
www.djpp.depkumham.go.id
diatur agar baik pihak-pihak maupun saksi-saksi mempunyai waktu
yang cukup untuk mengadakan persiapan guna menghadapi sidang
tersebut. Terutama kepada tergugat harus diberi waktu yang cukup
untuk memungkinkannya mempelajari secara baik isi gugatan.
(3) Cukup jelas.
Pasal 30
Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu
suami dan isteri, dapat menghadiri sendiri sidang atau didampingi
kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan
membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya
yang diperlukan.
Pasal 31
(1) Cukup jelas.
(2) Usaha untuk mendamaikan suami-isteri yang sedang dalam
pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak
terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara
perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum
diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak
Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain
yang dianggap perlu.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Apabila pengadilan telah berusaha untuk mencapai perdamaian, akan
tetapi tidak berhasil, maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang
tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku juga bagi
pemeriksaan saksi-saksi.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang
dapat dijadikan dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami
atau isteri untuk melakukan perceraian.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
(1) Pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan
Pengadilan Agama hanya dilakukan apabila putusan itu telah
mempunyai kekuatan hakim yang tetap.
Dengan perkataan lain, maka terhadap suatu putusan Pengadilan
www.djpp.depkumham.go.id
Agama yang dimintakan banding atau kasasi, masih belum dilakukan
pengukuhan.
Pengukuhan tersebut bersifat administratip; Pengadilan Negeri tidak
melakukan pemeriksaan ulang terhadap putusan Pengadilan Agama
dimaksud.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
Pasal 37
Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat
yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya,
maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar Pengadilan.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
(1) Cukup jelas.
(2) Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan antara wanita
itu dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin,
maka bagi wanita tersebut tidak ada waktu tunggu; ia dapat
melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian itu.
(3) Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Huruf c sub iii : Apabila tidak mungkin diperoleh surat keterangan
sebagaimana dimaksud pada sub i atau ii, maka dapat diusahakan suatu
surat keterangan lain yakni sepanjang Pengadilan dapat menerimanya.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi pihak
mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 dan
sanksi hukuman kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan
www.djpp.depkumham.go.id
yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44.
Pejabat Yang melanggar ketentuan tersebut dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuanketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perkawinan yang telah ada, apabila telah diatur di dalam Peraturan
Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Selain hal yang tersebut diatas maka dalam hal suatu ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini telah diatur didalam peraturan
perundangan tentang perkawinan yang ada maka diperlakukan Peraturan
Pemerintah ini yakni apabila :
a. peraturan perundangan yang telah ada memuat pengaturan yang sama
dengan Peraturan Pemerintah;
b. peraturan perundangan yang telah ada belum lengkap pengaturannya;
c. peraturan perundangan yang telah ada bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id

No comments:

Post a Comment