Sunday 20 February 2011

Seorang Perempuan Amerika di Baghdad

Seorang Perempuan Amerika di Baghdad



Pertama kali aku bertemu Nancy Goodhead adalah ketika pesawat Iraqi Airways, maskapai penerbangan Irak, yang kami tumpangi baru saja mau meninggalkan bandar udara Alia di Amman, Yordania. Waktu itu Desember 1990, beberapa bulan sesudah tentara Irak menyerbu Kuwait, dan kemudian pasukan multinasional yang dipimpin Amerika Serikat sudah mencanangkan serangan ke Irak.

Ribuan orang, termasuk para diplomat dan pekerja asing, meninggalkan Irak untuk menghindari perang. Namun, di bawah bayang-bayang serangan Amerika dan sekutunya, sejumlah orang justru mau masuk ke Irak. Salah satunya adalah aku, sebagai anggota organisasi perdamaian, yang berkepentingan untuk mencegah perang. Mereka yang memilih masuk ke Irak, umumnya hanyalah warga Irak sendiri, petugas PBB, jurnalis, atau aktivis perdamaian dan kemanusiaan.

Dalam antrean, ketika mau memasuki pesawat, kopor Nancy-yang waktu itu belum kukenal-jatuh. Aku membantu mengambilkannya. “Terima kasih,” ujarnya, sambil tersenyum ramah. Ia mengenakan jeans biru, sweater merah jambu, dan jaket kulit hitam. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna kecoklatan. Kutaksir, umur perempuan ini sekitar 32 tahun.

“Apakah Anda datang ke Irak, juga sebagai anggota kelompok perdamaian?” ia bertanya.

“Ya. Saya dari Indonesia. Saya tergabung dalam Gulf Peace Team, organisasi perdamaian yang berbasis di London dan didirikan oleh Yusuf Islam. Anda tentu tahu, dulu ketika masih menjadi musisi dunia, namanya Cat Stevens,” sahutku.

“Ah, ya. Tentu saja. Salah satu lagunya sangat saya sukai. Judulnya, kalau tak salah Morning Has Broken, bukan?” tuturnya. “Maaf, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Nancy. Saya tergabung dalam organisasi perdamaian The Coalition for World Peace and Friendship. Ini organisasi Amerika, saya juga orang Amerika. Tetapi, kami menentang perang, sama seperti Anda.”

Ternyata kami dapat tempat duduk bersebelahan di pesawat. Maka, sepanjang penerbangan dari Amman ke Baghdad, ibukota Irak, kami mengobrol tentang banyak hal. Nancy mengaku berasal dari Ohio. Ia pernah menikah, tanpa dikaruniai anak, kemudian bercerai. Ia sudah bergabung dengan organisasi perdamaian dalam beberapa bulan terakhir, sesudah berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan perangkat lunak komputer.

Pekerjaan tersebut sebetulnya cocok dengan bidang ilmunya, sebagai lulusan Jurusan Teknologi Informasi di Columbus State University. Nancy berhenti dari pekerjaannya, dengan alasan, “ingin mencari pekerjaan baru yang lebih banyak berinteraksi dengan manusia lain.” Sambil menunggu memperoleh pekerjaan lain, ia ikut aktif di organisasi perdamaian. Menurut Nancy, krisis Irak ini menyentuh perasaannya untuk terlibat lebih dalam, dengan terjun langsung dalam aksi menentang perang.

Tak terasa pesawat kami sampai di Bandara Internasional Saddam, sekitar 25 kilometer dari pusat kota Baghdad. Kabut tipis ditambah udara yang dingin-waktu itu memang sedang musim dingin di Irak-menambah murung suasana. Menurut rencana, kami para aktivis perdamaian akan segera menggelar demo antiperang di Baghdad, dalam dua-tiga hari mendatang.

Dan sebagai puncaknya, kami akan mengadakan kemah perdamaian di perbatasan Irak-Arab Saudi. Ini merupakan aksi simbolis karena para aktivis merelakan diri menjadi “perisai manusia” di antara posisi dua kubu yang mau berperang. Di wilayah Arab Saudi, saat itu telah bercokol puluhan ribu pasukan multinasional yang dipimpin Amerika.

“Ah, selamat datang! Selamat datang di Irak. Mohon maaf atas penyambutan kami yang apa adanya ini,” sambut seorang pria Irak kepada kami, rombongan aktivis perdamaian. Tubuhnya tinggi, dan terkesan atletis. Ia kelihatan tampan, dengan kumis dan alisnya yang tebal. Namun, yang paling mengesankan bagiku adalah sorot matanya yang bening dan polos. Kelihatannya tidak pas dengan postur tubuhnya yang lebih garang.

“Perkenalkan, nama saya Saeed Mursheed al-Majeed. Saya adalah staf dari Departemen Luar Negeri Irak. Saya ditugaskan menjadi pemandu Anda, sekaligus melayani berbagai kebutuhan Anda selama di Irak ini. Mari ikut saya. Mobil sudah menunggu,” ujarnya.

Ada sederetan mobil sedan dan van yang sudah menunggu kami. Aku, Nancy, dan Saeed kebetulan mendapat mobil yang sama. Nancy dan Saeed duduk di kursi depan, aku di belakang. Bersamaku di kursi belakang, aktivis perdamaian asal Jepang, Miyuki Nakajima, dan aktivis asal India, Prabha Jagannatan.

Mobil kami meluncur memasuki kota Baghdad, menyusuri pinggiran Sungai Tigris yang lebar dan indah itu. Jalan yang kami lalui lebar dan mulus. Benar-benar infrastruktur perkotaan yang bagus, yang dibangun dengan uang minyak. Baghdad adalah kota tua. Di masa kejayaannya, ketika Paris dan London masih desa kecil yang tak dikenal, dan Christopher Columbus belum menginjakkan kakinya di benua liar yang sekarang bernama Amerika, Baghdad sudah menjadi kota metropolitan yang makmur.

Kami menuju ke tempat penginapan sementara di Baghdad, sebelum berangkat ke perbatasan Irak-Arab Saudi. Orang terlihat di jalan-jalan. Denyut kehidupan di kota seribu satu malam ini seolah berjalan normal. Namun ketidaknormalan akan terasa, jika kita melihat ke atas. Di beberapa atap gedung kulihat moncong- moncong ZSU-23, senjata anti-serangan udara buatan Rusia, kaliber 23 mm. Senjata-senjata ini menengadah ke langit, seolah-olah tak sabar menyongsong datangnya pesawat-pesawat musuh.

Saeed termasuk pria menyenangkan. Sepanjang perjalanan, ia cepat akrab dengan para tamunya, terutama dengan Nancy. Saeed bercerita tentang macam-macam hal, mulai dari desa asalnya, kuliahnya, karirnya, dan keterlibatannya di tugas ini. Salah satu hal yang ikut mendorong karirnya di Departemen Luar Negeri adalah asal kelahirannya di Desa Tikrit, yang juga tempat kelahiran Presiden Irak Saddam Hussein. Sejauh informasi yang kudengar, Saddam memang menjadikan orang-orang dari kampung halamannya sebagai basis pendukung yang setia.

Sebagaimana layaknya pemuda Irak lain, yang berdedikasi pada karir, Saeed juga jadi anggota Partai Ba’ath. Partai berideologi campuran sosialisme dan nasionalisme Arab ini adalah partai yang berkuasa di Irak. Jadi, Saeed memang di jalur karir yang tepat. Sayangnya, lulusan Jurusan Sosiologi Universitas Baghdad ini belum menikah, meski umurnya kuduga sudah 35 tahun. Katanya sambil tertawa, “Belum menemukan calon pendamping yang cocok.”

“Apakah calon pendamping Anda harus orang Irak? Atau orang Arab?” cetus Nancy.

“Oh, tidak. Saya bilang, pendamping yang cocok. Artinya, bisa orang dari mana saja,” sahut Saeed. Lalu ia melanjutkan, setengah menggoda, “Mengapa Anda bertanya begitu? Apakah Anda punya calon untuk saya?”

Nancy tersenyum. “Pertanyaan itu belum bisa saya jawab sekarang.”

Begitulah, sejak awal perkenalan Nancy dan Saeed, aku sudah melihat tanda-tanda ke arahnya mendekatnya hubungan antara mereka. Proses ini pun berlanjut. Sore itu, ketika kami sudah tiba di penginapan dan bersiap untuk perjalanan ke perbatasan besoknya, aku beberapa kali memergoki Nancy dan Saeed sedang mengobrol berdua.

Pada malam harinya, aku, Miyuki dan Prabha mengisi waktu dengan berjalan-jalan di pinggiran Sungai Tigris. Di sebuah restoran ikan bakar di pinggir sungai, kami sekali lagi bertemu Saeed dan Nancy. Keduanya menyapa kami dengan ramah, dan mengajak kami bergabung. Kami pun bergabung, dan jadilah malam itu malam yang akrab untuk kami semua. Sambil menyantap ikan bakar, di bawah kerlap-kerlip bintang di langit kota Baghdad, untuk sesaat kami lupa bahwa perang siap pecah kapan saja.

Saeed dan Nancy berasal dari dua negara yang sedang berperang. Tetapi, hubungan antara mereka adalah sesuatu yang kupikir lebih mendasar, hubungan antara laki-laki dan perempuan. Ini soal perasaan, soal kebutuhan manusia. Tidak ada hubungannya dengan politik antarnegara. Setidaknya itulah yang kulihat waktu itu. Aura Baghdad, kota kuno yang pernah menjadi pusat kekhalifahan dinasti Abbasiyah ini, tampaknya memberi romantisme tersendiri.

Hari berikutnya, karena kebersamaan dalam kegiatan kelompok perdamaian, aku makin akrab dengan rekan-rekan lain di kelompok ini, termasuk tentunya dengan Nancy dan Saeed, yang sebetulnya bukan anggota tim perdamaian. Kami melakukan aksi unjuk rasa anti-perang di Baghdad, bersama kelompok pelajar sekolah menengah Irak. Lalu malam harinya, ada acara meditasi bersama untuk perdamaian, yang dipimpin Yunichiro Miyazawa, seorang pendeta Shinto dari Jepang.

Esok paginya, kami berangkat ke perbatasan Irak-Arab Saudi, untuk mendirikan kemah perdamaian. Namun, kami hanya sempat seminggu tinggal di situ, karena Pemerintah Irak lalu memulangkan kami semua ke Baghdad. Alasannya, perang tampaknya akan segera pecah. Pemerintah Irak khawatir kami akan menjadi korban, dan Pemerintah Baghdad tak ingin disalahkan karena hal-hal tersebut.

Tiga hari kemudian, perang memang betul-betul pecah. Malam itu langit kota Baghdad memerah. Sejumlah gedung pemerintahan meledak dan terbakar, ketika bom-bom dari pesawat koalisi pimpinan Amerika mulai berjatuhan. Suara sirene tanda bahaya meraung- raung, diselingi rentetan tembakan dari artileri dan senjata anti-serangan udara Irak.

Misi perdamaian kami gagal. Aku memutuskan pulang ke Indonesia karena praktis tak ada lagi yang bisa kulakukan. Prabha dan Miyuki jua punya pikiran serupa. Sedangkan Nancy mengatakan, masih akan tinggal beberapa hari lagi di Baghdad. Ia tak mengatakan alasannya, tapi kuduga karena ia tak ingin cepat-cepat berpisah dari Saeed.

Esoknya, aku, Miyuki dan Prabha pulang dengan jalan darat ke Amman, Yordania, karena semua penerbangan ke dan dari Irak sudah ditutup. Saeed dan Nancy mengantar kami sampai taksi yang kami carter. Sebelum berpisah, kami berjanji untuk tetap saling kontak. Saeed dan Nancy melambai, ketika taksi kami melaju meninggalkan tempat penginapan.

Aku tak banyak mendengar kabar lagi tentang Saeed dan Nancy sesudah itu. Tetapi, kemudian kudengar kabar dari Miyuki, yang sering mengirim e-mail kepadaku bahwa setahun sesudah berakhirnya Perang Teluk, persisnya tahun 1992, Nancy dan Saeed menikah di Baghdad. Saeed tetap bekerja di Deplu Irak. Karirnya makin menanjak. Sedangkan Nancy kemudian bekerja di sebuah badan PBB, yang mengurusi program bantuan pangan untuk Irak.

Aku baru bertemu Saeed lagi tahun 1999. Ia sedang mengunjungi Kedutaan Besar Irak di Jakarta dalam suatu tugas dari kantornya. Saeed meneleponku dan kami pun bertemu di sebuah restoran makanan Arab di Jalan Raden Saleh. Sambil menyantap kebab, kami mengobrol tentang masa lalu, ketika perang tahun 1991. Tetapi, yang lebih ingin kuketahui adalah kabar tentang Nancy, istri Saeed sekarang.

“Aku minta maaf, Rio, tidak memberi kabar padamu tentang pernikahan kami waktu itu. Semua berlangsung begitu cepat, dan aksesku keluar juga sangat sempit. Untunglah, Nancy masih menjaga kontak dengan Miyuki sehingga kaupun akhirnya tahu tentang pernikahan kami,” tutur Saeed. Ia tampak sedikit lebih tua, tapi senyumnya masih ramah seperti Saeed yang kukenal dulu. Namun, senyumnya kali ini tidak betul-betul lepas, seperti ada yang mengganjal.

Dari obrolan berikutnya, aku membaca keprihatinan Saeed. Ini berkait dengan Nancy. Selama ini tidak ada persoalan serius di antara mereka, kecuali satu: soal anak. Nancy tidak mau atau belum mau punya anak. Menurut penuturan Saeed, alasan yang dikeluarkan Nancy macam-macam. Mulai dari kesibukan di karir dan pekerjaan, yang membuatnya terlalu lelah dan tak punya waktu mengurus anak, serta berbagai alasan lain.

Alasan ini tak bisa dipahami Saeed. Malah bisa dikatakan, sejak awal menjalin hubungan, ia tidak pernah memperkirakan masalah ini akan muncul di antara mereka. Sebaliknya, dari sisi Saeed, sebagai seorang pria Arab yang sudah berkeluarga, masalah anak dan keturunan ini sangat penting. Ia mengaku tetap mencintai Nancy, tetapi soal anak ini merenggangkan hubungan mereka. Saeed masih berusaha mempertahankan perkawinan ini, dengan harapan cepat atau lambat Nancy akan berubah pikiran.

“Itulah, Rio. Sayang, aku tak bisa tinggal lama di Jakarta. Kontaklah aku kalau kau mau ke Baghdad. Meskipun Irak masih menderita akibat embargo PBB, kondisi Baghdad sekarang sudah lebih baik. Berbagai kerusakan akibat pemboman Amerika tahun 1991 sudah diperbaiki. Kita akan makan ikan bakar di pinggir sungai Tigris, seperti dulu lagi,” ujarnya. Itulah ucapan Saeed terakhir yang kuingat, sebelum ia pulang kembali ke negerinya.

Sesudah itu, karena kesibukan masing-masing, aku jarang berkontak lagi dengan Saeed. Sekali dua kali, aku menerima kiriman surat atau kartu posnya. Aku tak pernah membayangkan, kenangan akan Nancy dan Saeed akan muncul lagi justru dalam situasi yang sangat buruk, setelah Amerika dan Inggris mengagresi Irak, Maret 2003. Ketika televisi menayangkan gambar gedung-gedung kota Baghdad, yang hancur dan terbakar, akibat dibombardir secara membabi-buta oleh mesin militer canggih Amerika, aku hanya bisa bertanya: Di mana Saeed dan Nancy? Bagaimana kabar mereka? Apakah mereka selamat?

Aku sempat bertanya ke Kedutaan Irak di Jakarta, tetapi pejabat di sana hanya bisa angkat bahu, karena kontak dengan pemerintah di Baghdad sudah terputus. Bahkan, apakah masih ada pemerintahan yang efektif di Baghdad, juga tanda tanya besar. Secara tak terduga, kabar tentang Nancy dan Saeed justru kuperoleh dari Ahmad Walid, temanku dan reporter Trans TV yang bertugas meliput agresi Amerika-Inggris di Irak. Ahmad mengenalku, sejak secara intensif meliput gerakan antiperang dan beberapa kali mewawancaraiku.

“Mas Rio yang baik,” begitu awal pesan e-mail yang dikirimkan Ahmad untukku. “Ketika meliput di Baghdad, saya sempat bertemu seorang pejabat Deplu Irak. Namanya Saeed Mursheed al-Majeed. Ketika ia tahu saya jurnalis dari Indonesia, ia langsung bertanya, apakah saya kenal Mas Rio. Ia sangat gembira, ketika saya katakan bahwa saya berteman dengan Anda. Maka, ia minta izin, menulis pesan pribadi buat Mas Rio. Untuk menjaga hubungan baik, saya membolehkannya meminjam notebook saya, buat menulis surat. Surat itu saya sampaikan ke Mas Rio, dalam attachment file di bawah ini.”

Kubuka attachment file dalam e-mail Ahmad itu. Dan kukenali baris-baris kalimat yang ditulis Saeed. Aku merasa napasku jadi sesak. “Rio, aku tak tahu, dosa apa yang telah kuperbuat sehingga aku harus mengalami semua ini. Mungkin kau juga memantau berita tentang perang di Irak, bahwa 10 hari lalu, televisi Irak menayangkan gambar sejumlah warga, yang dituduh bekerja sebagai mata-mata Badan Intelijen Pusat Amerika, CIA. Satu hal yang tidak disampaikan di berita itu adalah dinas intelijen Irak juga telah menangkap Nancy! Ya, Nancy! Kau tidak percaya, bukan? Demi Allah, aku pun tak bisa percaya.”

Kuteruskan membaca. “Tapi Mukhabarat atau pihak intelijen Irak menunjukkan bukti alat-alat telekomunikasi, yang ditemukan di tempat tersembunyi, di tempat penginapan Nancy di Basra. Karena sering bertugas jauh di luar kota Baghdad, Nancy memang mengontrak sebuah rumah untuk tempat tinggalnya di sana. Aku tak pernah tahu soal alat-alat telekomunikasi itu. Gara-gara itu, aku pun diinterogasi Mukhabarat selama dua hari berturut-turut. Syukurlah, sejauh ini mereka percaya, aku tak terlibat dan tak tahu-menahu sama sekali dengan urusan alat telekomunikasi itu.”

“Namun, yang paling membuatku khawatir dan sedih, mereka membawa Nancy. Aku tak tahu di mana Nancy sekarang, dan bagaimana nasibnya. Tetapi sekarang aku mengerti satu hal, yang selama ini mengganggu perkawinan kami. Kalau betul, Nancy adalah agen CIA, semuanya menjadi jelas. Ia menikahiku karena aku adalah anggota Partai Ba’ath dan berprospek menjadi pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri Irak. Tanpa kusadari, aku menjadi sumber informasi tangan pertama, tentang apa yang berlangsung di dalam pemerintahan Saddam Hussein.”

“Namun entah kenapa, apapun niat awalnya menjalin hubungan denganku, aku percaya, Nancy benar-benar mencintaiku atau mulai benar-benar mencintaiku. Dan ia sadar, ia tengah berperang dengan perasaannya sendiri. Nancy tahu, kehadiran seorang anak akan makin memperumit situasi yang ia hadapi. Karena hati kecil dan nalurinya sebagai seorang ibu, pasti akan cenderung mengikatnya pada keluarga dan suami. Di sisi lain, kehadiran anak sudah pasti akan mengganggu tugasnya sebagai agen.”

“Itulah yang kualami, temanku. Perang terus berkecamuk di Irak. Negeriku hancur, dan kehidupanku pun hancur. Dengan menceritakan ini padamu, aku tidak mengharapkan apa-apa. Aku hanya sedikit ingin melegakan hatiku yang galau ini. Aku tak tahu, mesti bercerita pada siapa lagi karena makin sedikit orang yang bisa menjadi tempat mencurahkan isi hati di Baghdad ini. Dan, mereka pun tak punya waktu untuk mendengarkan kisahku karena di bawah bayang-bayang kematian dan hujan bom dari pesawat-pesawat Amerika, setiap orang di Baghdad ini memiliki kisah sedih sendiri-sendiri… Salam dari Baghdad. Temanmu selamanya, Saeed.”

Itulah pesan terakhir yang kuterima dari Saeed. Kira-kira seminggu kemudian, aku kembali menerima e-mail dari Ahmad Walid. Isinya singkat: “Mas Rio, saya ingin menyampaikan berita duka. Kemarin malam, sebuah bom Amerika menghancurkan gedung Deplu Irak jadi puing-puing. Sebelas orang tewas dan 36 lainnya luka-luka akibat bom berkekuatan besar itu. Sebagian besar korban adalah warga sipil, dan salah satu yang tewas adalah teman Anda, Saeed…”

Ah, betapa anehnya permainan nasib ini. Aku hanya bisa tercenung dan bersedih untuk Saeed. Namun, betapa pun tragisnya, nasib Saeed sudah jelas. Sedangkan tentang Nancy, masih belum jelas. Hanya sebuah berita yang samar-samar, pernah kudengar dari laporan Owen Lazenby, seorang wartawan televisi BBC di Irak. Katanya, Nancy termasuk salah satu warga asing, yang diselamatkan oleh pasukah khusus Amerika. Ketika itu, mereka menyerbu sebuah rumah sakit di kota Nasiriyah, Irak Selatan, untuk membebaskan enam tentara Amerika yang ditawan, dan secara tak terduga menemukan Nancy di sana.

Aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang Nancy, setelah itu. Mungkin, lebih baik begitu. Karena aku tak tahu, apa yang harus kukatakan atau kulakukan kalau bertemu lagi dengannya. Kebenaran tentang Nancy yang betul-betul kuyakini cuma satu. Seorang perempuan Amerika yang pernah kukenal di Baghdad.

Depok II Tengah, April 2003

Karya: Ipong PS


Satrio Arismunandar

No comments:

Post a Comment