Tuesday, 15 February 2011

S.W. Kuncahyo (1928-1999) sehelai surat tentang perginya seorang kawan

Hersri Setiawan:



S.W. Kuncahyo (1928-1999)
sehelai surat tentang perginya seorang kawan



KEMARIN menjelang senja seorang kawan menelponku: kabar
duka. Bung Kuncahyo meninggal tanggal 9 Juli pagi hari di
Malang Jawa Timur, oleh sakit hati parah (lever akut) yang
telah lama dideritanya. Aku tidak pernah mendengar berita ia
sakit. Apalagi sakit lever akut! Sejak aku kenal dekat
dengannya, penyakit Mas Kun - begitu aku dulu biasanya
menyapanya - yang menahun dideritanya ialah penyakit asma.

Nama Sri Wisnukuncahyo sudah aku kenal jauh sebelum
kukenali pribadinya dalam awal 60-an. Ia diperkenalkan sebagai
sastrawan oleh Ibu Nursyamsu, guru sastraku ketika di SMP,
sebagai kawan pengarang seangkatannya - angkatan sesudah
perang atau kemudian dinamai "Angkatan 45".

Supii Wishnukuntjahja penyair Madura, kata Bu Nur suatu
saat di depan klas, seakan-akan "kedaerahan" itu perlu
ditekankan. Entah mengapa, barangkali karena karena ketika
tahun 40-an itu proses pembangunan bangsa memang sedang mulai,
dan lagi Mas Kun juga masih banyak menulis dalam Jawa selain
Indonesia. Supii Wishnukuntjahja, selanjutnya menjadi Sri
Wisnukuntjahja, dan kemudian menjadi S.W. Kuntjahja (ejaan
sekarang "Kuncahya": c untuk tj; y untuk j).

Ketika aku mengenalnya dari dekat pada awal 60-an, ia
tidak lagi tampil sekedar sebagai "penyair sesudah perang".
Angkatan penyair yang kritis, skeptis dan sinis, serta
bertendens "humanisme" tanpa juntrung. Tapi ia tampil sebagai
Bung Kuncahyo, tokoh penyair progresif yang sangat subur pena
dan semangat. Kemudian ternyata, dia juga seorang tokoh
pimpinan gerakan buruh Indonesia (SOBSI), dan akhirnya juga
sebagai sesama tapol G30-PKI yang rajin belajar - belajar dari
dan pada apa saja -, berwatak berani, dan teguh pada
pendirian. Kerajinannya belajar aku kenal ketika kami sama-
sama dalam satu rombongan delegasi nyanyi dan tari (1962)
melawat ke berbagai negeri Asia, keberanian dan keteguhannya
kusaksikan ketika tahun-tahun "pesakitan" di RTC Salemba -
paroh kedua 60-an sampai akhir 70-an.

Pada tahun 67 untuk kedua kalinya ia ditangkap Operasi
"Kalong" di bawah pimpinan Kapten Suroso. Penangkapan pertama
awal 66 di salah satu sudut kota Jakarta, penangkapan kedua
terjadi sesudah ia mendekam di dalam sel Blok "N" RTC Salemba.

Entah atas petunjuk cecunguk siapa, konon Komandan
Operasi "Kalong" Kapten Suroso berikut anak-buah datang ke RTC
Salemba. Langsung mereka menuju ke sel Bung Kuncahyo,
menggeledah sel, dan ditemukannya bendera Merah serta berbagai
tulisan tentang teori dan organisasi revolusioner. Ia dituduh,
bersama satu dua kawan lain, membangun organisasi Partai di
penjara.

Pada tahun akhir 70-an, ketika aku sudah dan masih di
pulau purgatorio Buru, kudengar kabar Bung Kun melarikan diri
dari RTC Salemba. Melalui urung-urung wc di Blok E. Blok
tahanan militer kriminil yang sangat kukenal, karena pernah
berbulan-bulan juga aku menghuninya (1970). Peristiwa Kuncahyo
dkk melarikan diri terjadi pada suatu malam gelap pekat,
ketika ibukota Jakarta diguyur hujan lebat, dengan terlebih
dulu menggergaji jeruji-jeruji besi yang sebesar empu jari
itu.

SUPII Wishnukuntjahja lahir 1928 di Kesamben Blitar Jawa
Timur. Berpendidikan SGL di Blitar (Sekolah Guru Laki-Laki; di
samping itu ada SGP, Sekolah Guru Perempuan), lembaga
pendidikan guru 4 tahun sesudah SD untuk menyiapkan tenaga
pengajar di sekolah-sekolah dasar. Ia menulis sejak awal umur
Republik, terutama puisi, antara lain di majalah-majalah
"Berontak" (Magelang), "Bakti" (Mojokerto), "Sastrawan"
(Malang), juga "Pantja Raja" dan "Mimbar Indonesia".

Dalam "Gema Tanah Air", H.B. Jassin, cetakan ke-3 (1954),
Supii Wishnukuntjahja tampil dengan tiga sajak "Perbuatanku",
"Tjongkak", dan "Dalam Persimpangan" (233-235). Aku tidak
tahu, apakah H.B. Jassin tahu barang sedikit riwayat hidup
Bung Kuncahyo. Andaikata begitu, bisa dipastikan H.B. Jassin
tentu tidak akan menampilkannya lagi di dalam "Gema Tanah Air"
cetakan terakhir. Ia seorang "Paus Sastra Indonesia" yang
gagah memang, ketika membela Ki Panji Kusmin di depan
pengadilan. Tapi Jassin sama sekali tak berjubah putih, sekali
ia berhadapan dengan "kaum Manipolis".

Tiga hari sebelum kepergiannya, aneh sekali, aku merasa
didorong keinginan untuk menyanyi dan mencatat kembali lagu
dan syair "Pujaan Kepada Partai" - sebuah himne untuk PKI.
Seperti banyak kawan tentu tahu, lagu itu disusun oleh Bung
Subranta K. Atmadja (meninggal di Jakarta 12 November 1982;
tentang almarhum dan karyanya pernah aku tulis di "Kompas
Minggu", Desember 1982), dan syair oleh Slamet. Slamet itu
S.W. Kuncahyo inilah! Dengan dibantu ingatan dua orang kawan,
syair himne itu berhasil kucatat kembali.
Untuk mengenang S.W. Kuncahyo, di bawah ini kuturunkan
syair lagu "Pujaan Kepada Partai":

Kaucabut segala padaku
cemar dan noda
duka dan derita
Kauberi segala padaku
kasih dan cinta
bintang dan surya
Partaiku Partaiku
segenap hati bagimu
Partaiku Partaiku
kuwarisi api juangmu
PKI PKI
segenap hati bagimu
PKI PKI
kuteruskan jejak juangmu!

Bung Kun,
Orang boleh setuju atau tidak setuju pada sikap pendirianmu.
Juga orang boleh senang atau tidak senang pada cita-cita dan
organisasi yang engkau abdi. Tapi bagiku, Bung Kun, engkau
telah mencurahkan hidupmu untuk apa yang terbaik bagi hati
nuranimu. Untuk itu aku menundukkan hatiku bagimu.

Bung Kun,
Selamat Jalan!

Kockengen 11 juli 1999

No comments:

Post a Comment