Tuesday, 15 February 2011

TOPENG TOPENG

MONOLOG
TOPENG
TOPENG
(RACHMAN SABUR)






















DARI BAGIAN ATAS PANGGUNG ADA DUA BENTANGAN KAIN HITAM DAN KAIN PUTIH. MASING-MASING BERJARAK. DARI DUA BENTANGAN KAIN PUTIH DAN HITAM YANG VERTIKAL INI BISA DIJADIKAN SEBAGAI BATAS AREA PERMAINAN BAGI SANG PEMAIN. ATAU BISA JUGA DIJADIKAN SEBAGAI BATAS ALAM NYATA YANG DILATAR BELAKANGI BENTANGAN KAIN HITAM. DAN BATAS ALAM KHAYALI YANG DILATAR BELAKANGI BENTANGAN KAIN PUTIH. YANG SEWAKTU-WAKTU BISA DIPAKAI JUGA UNTUK ADEGAN BAYANG-BAYANG. DI DEPANNYA ADA SEBUAH PETI PANJANG BERWARNA HITAM. DI ATASNYA ADA DUA BUAH TOPENG YANG BERWARNA HITAM DAN PUTIH.

PADA BAGIAN AWAL TERDENGAR BUNYI-BUNYI TETABUHAN. SANG PEMAIN BERGERAK MENGELILINGI PETI. BUNYI-BUNYI TETABUHAN TERDENGAR SEMAKIN MENINGGI. SANG PEMAIN BERGERAK SEMAKIN CEPAT MENGELILINGI PETI. SAMPAI PADA PUNCAKNYA BUNYI-BUNYI TETABUHAN TIBA-IBA BERHENTI. SANG PEMAIN MENGHILANG DI BALIK PETI. TAPI TAK LAMA KEMUDIAN MUNCUL KEMBALI.

Sebagai seorang anak panggung, sebelumnya saya mengingatkan, bahwa dua tokoh yang nanti akan saya perankan, mungkin mempunyai permasalahan yang tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh seseorang, atau sekelompok orang, atau oleh siapapun. Mungkin sama, atau mungkin juga berbeda. Mungkin. Tetapi hal itu tidak menjadi masalah sama sekali. Jamak saja kalau kita mempunyai pikiran yang berbeda. Wajar saja kalau kita mempunyai perasaan yang sama. Dan sah-sah saja kalau kita mempunyai pikiran yang sama, dan perasaan yang berbeda dengan seseorang, atau sekelompok orang, atau dengan siapapun. Yang menjadi pikiran kita sekarang adalah, bagaimana sikap kita dalam menghadapi situasi itu. Apakah kita harus menjadi marah? Sakit? Menangis? Benci? Kecewa? Tertawa? Atau kita harus terus membohongi pikiran dan hati nurani sendiri?

Kalau saja, saya bisa percaya…, kalau saja kita mau bijaksana sedikit. Tentunya kita dapat membicarakan segala kebohongan yang ada. Segala yang terjadi dan akan terjadi…
Baik. Kalau begitu akan saya mulai saja.

SANG PEMAIN MENGENAKAN TOPENG HITAM. IA BERADA DI LATAR BELAKANG KAIN PUTIH. PADA DIALOG BERIKUT INI, SANG PEMIAN SEOLAH-OLAH SEDANG BERHADAPAN DENGAN SESEORANG. MEREKA SALING BERTATAPAN.

Wajah kita adalah topeng-topeng. Segala wajah semua bertopeng. Ayo! Siapa diantara kita yang bersedia menanggalkan topeng dirinya? Aku tahu wajahmu. Kaupun tahu wajahku yang sebenarnya. Topengku dan topengmu saling menatap penuh kejatahan! Wajah-wajah kita bersembunyi di balik topeng. Topeng-topeng kita bercengkrama di panggung hidup. Lalu kita saling bunuh membunuh! Topengmu dan topengku terus bergerak menarikan kehidupan dan kematian. Bersama para gagak hitam. Yang bersemayam di bukit-bukit kubur.

TERDENGAR KEMBALI BUNYI-BUNYI TETABUHAN. SANG PEMAIN DIAM BEBERAPA SAAT. HANYA EKSPRESI TOPENGNYA MASIH MENATAP NANAR. PADA DIALOG SELANJUTNYA, SANG PEMAIN SEOLAH-OLAH SEANG BERHADAPAN DENGAN SESEORANG YANG LAIN. BUNYI-BUNYI TETABUHAN MENGHILANG. YANG TERDENGAR HANYA BUNYI PETI YANG DIPUKUL SECARA KONSTAN. SANG PEMAIN DUDUK DI PETI ITU.

Waska! Aku dengar kemiskinanmu di mana-mana. Lapar badan dan lapar jiwa telah membuatmu angkuh! Dan engkau tidak pernah takut mati. Kau dengar Waska? Nasibmu bagai acuan kereta waktu. Berjalan terus berjalan, menyelusuri rel-rel kehidupan yang kumal. Yang telah begitu lama kau kenal.

Waska! Aku lihat borok-borok di seluruh tubuhmu pagi hari. Dan kau sungguh tak peduli matahari! Sementara kau diam membisu di situ, kereta waktumu lewat begitu saja. Tanpa pesan. Perjalan hendak kemana Waska? Dan kau tidak menjawab. Tetap tak peduli.
Waska! Aku lihat sinar di matamu merah menyala-nyala! Waska! Kau dengar? Berjuta-juta orang meneriakkan lapar di belakangmu. Dan aku dengar, siang malam Waska-Waskamu meraung-raung! Mereka menggeram dengan lapar! Mereka menatap nanar! Mereka berkeliaran di mana-mana!

Waska! Mereka gelisah di mana-mana! Mereka kini mengembara keseluruh penjuru kota, mencari-cari kuburnya sendiri, membuat kuburnya sendiri. Lalu tentang mimpi bersarmu, tentang perampokan semesta. Mengendap dalam kekosongan…
Waska! Kini aku melihat kau telah bunuh diri. Kekosongan dan nasibmu, sungguh sempurna.

SANG PEMAIN TIBA-TIBA JATUH DARI ATAS PETI. KEMUDIAN SUNYI. SANG PEMAIN BANGKIT KEMBALI SAMBIL MEMBUKA TOPENGNYA.

Begitulah. Kegelisahan dramatik yang sedang terjadi pada tokoh yang satu ini. Ia telah bertemu dengan tokoh Waska. Seorang tokoh legendaris yang ada dalam lakon sandiwara Umang-Umang. Dimana dalam lakon itu pengembaraan hidup seorang Waska yang jahat, sekaligus sebagai seorang yang baik dapat kita rasakan penderitaannya. Tapi apakah benar Waska itu telah mati? Apakah benar, Waska sebelumnya pernah bertemu dengan malaikat pencabut nyawa? Dan apakah benar Waska itu gila? Sedangkan menurut kabar burung, katanya sekarang ia lagi memimpin proyek raksasa yang dananya beratus-ratus juta milyar dollar. Untuk lebih jelasnya, baik. Saya akan mencoba menghubungi dia. Mudah-mudahan dia mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang prinsipil dan sangat hakiki itu. Saya percaya, Waska mau memenuhi permintaan sahabatnya. Saya permisi dulu. Waska! Waska! Waska! Waska……!

SANG PEMAIN SEKARANG MENGENAKAN TOPENG PUTIH. BUNYI-BUNYI TETABUHAN MENGIRINGI KEMUNCULAN HADIRNYA SEORANG WASKA.

Sebelum saya menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabat saya, yang profesinya sebagai anak panggung. Kiranya saya perlu menjelaskan, bahwa nama saya bukan lagi Waska. Nama saya saya sekarang adalah Semar. Siapa bilang saya ini sudah mati? He… he… he… Itu kan hanya dalam lakon sandiwara saja. Itu kan sebetulnya hanya trik saja untuk memancing rasa emosi penonton. Untuk merebut simpati pengikut-pengikut saya, dan masyarakat lingkungan saya. Dan itupun saya tidak mati-mati. Saya menjadi sakit di situ. Dan yang paling jelas, itu rekaan pengarangnya. Karena pengarangnya menghendaki demikian, ya sudah.

Sungguh! Saya belum ingin mati. Saya masih cinta hidup, kok. Kecintaan saya terhadap kehidupan ini begitu luar biasa. Makanya saya masih tetap muda, dan tetap perkasa. Saya betul-betul menikmati kehidupan ini. Setiap detik saya menghirup dan menghembuskan nafas, bagi saya itu adalah kenikmatan, suatu anugerah. Jangan percaya! Itu hanya isu. Orang masih hidup, kok, … dikatakan sudah mati. Bagaimana ini…? Lalu dikatakan juga bahwa saya ini, katanya pernah bertemu dengan Malaikat Jibril. Bohong itu! Lha, saya hanya pernah bermimpi bertemu dengan Mbah saya. Masa Mbah saya dikatakan malaikat? Itu mengada-ngada, dan itu berlebihan. Jangan-jangan Malaikat Jibril nantinya tersinggung. Mbah saya juga pasti bakal tersinggung dengan fitnah ini.

Baik. Sekarang pertanyaan yang mana, yang belum saya jawab? Oh, ya! Tentang proyek raksasa saya. Memang benar. Proyek ini adalah salah satu dari sekian banyak proyek yang saya kerjakan. Sebetulnya proyek ini adalah proyek kemanusiaan. Dan saya beruntung sekali dapat mengkompensasikannya kedalam bentuk proyek kerohanian, yang semata-mata pengabdian saya terhadap manusia sesama, dan juga pengabdian saya terhadap Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Beruntung sekali saya mendapat kepercayaan untuk mengerjakan proyek raksasa ini. Terus terang saja, saya tidak melihat ini sebagai proyek bisnis semata. Tapi ada yang lebih berharga, lebih bernilai dari itu. Yaitu: pengabdian saya terhadap manusia sesama. Juga pengabdian saya terhadap Tuhan saya. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Mudah-mudahan proyek ini dapat berjalan dengan lancar, sebagaimana yang diharapkan. Proyek ini juga dapat dikatakan sebagai tanda rasa syukur saya kepada Tuhan, yang telah memberikan rejeki yang berlimpah kepada saya. Karena terus terang saja, kehidupan saya sebelumnya tidak seperti sekarang ini. Oh… kalau saya teringat kembali kebelakang, kemasa-masa hidup saya yang serba sulit, serba berantakan, serba gelap…, saya jadi teringat kembali kemasa itu.

Tentunya semua orangpun tahu, dulu saya pernah menjadi anak wayang. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Kenapa saya berhenti menjadi seorang pemain sandiwara? Terus terang saya tidak bisa menjawabnya. Terlalu sulit untuk dibicarakan. Kalaupun saya harus menjawabnya, mmmhh… alasannya sangat pribadi sekali. Betul-betul sangat pribadi. Jadi lebih tidak usah saya katakan. Maaf. Sekali lagi… maaf. Dan maaf lagi, saya harus segera pergi. Saya ada pertemuan. Saya harus memimpin rapat para pemegang saham. Saya harus menggarap proyek baru. Masih dalam fokus proyek kemanusiaan. Saya pikir, saya sudah menjawab semua pertanyaan. Saya harap semuanya bisa menjadi puas dengan penjelasan yang telah saya sampaikan tadi. Terutama untuk sahabat saya yang paling setia. Saya harap anda puas. Kalau anda merasa belum puas, kita bisa ngobrol-ngobrol lagi nanti. Atau lebih baik saya undang anda, atau siapa sajalah. Datanglah ke Jakarta, ke hotel saya. Di sana kita bisa ngobrol-ngobrol lebih santai tentang kemanusiaan, secara ilmiah dan hakiki. Saya tunggu. Dan maaf, saya harus segera pergi.

SANG PEMAIN BERGERAK KEBELAKANG KAIN PUTIH. TAPI TAK LAMA KEMUDIAN MUNCUL KEMBALI TANPA TOPENG.

Bagaimana? Meskipun kita tidak puas, untuk sementara ini kita puas-puaskan saja. Tapi sekarang sudah jelas, bukan? Bahwa Waska itu ternyata masih hidup sehat wal afiat, segar bugar dan masih tetap muda. Kalaupun sekarang ia berganti nama menjadi Semar. Saya yakin itu hanya untuk kebutuhan administrasi dan formalitas saja. Bagaimana tidak, ia seorang Waska. Sekali Waska tetap Waska! Hidup Waska!

Saya heran, kenapa dia harus berhenti menjadi pemain sandiwara. Padahal kita semua menyaksikan sendiri, dia begitu berbakat, potensial. Kemampuannya sangat luar biasa. Refleksinya begitu kuat san sangat sensitif. Padahal dia sebenarnya bisa menjadi seorang pemain yang sempurna. Saya belum pernah melihat orang lain setangguh dia. Betul-betul luar biasa! Saya sampai-sampai pangling melihat perubahan yang begitu besar pada dirinya.

Tapi rasanya saya tidak adil kalau saya harus terus membicarakan tentang kesuksesan Waska. Waska sendiri sudah diberikan kesempatan secara panjang untuk menjawab semua pertanyaan dan isu-isu yang tersiar selama ini. Rasanya kita juga harus sedikit bijaksana untuk memberikan kesempatan bicara kepada Semar. Barangkali ia juga juga ingin menyampaikan sesuatu. Barangkali keanehan atau keajaiban jaman telah terjadi dan harus segera diwartakan kepada semua orang. Segera akan saya panggil Semar.
Semar! Semar! Semar! Semar……!

SANG PEMAIN BERGERAK MENCARI-CARI SEMAR. KEMUDIAN IA MASUK KEBELAKANG KAIN HITAM. SEBENTAR KEMUDIAN IA MUNCUL KEMBALI MENGENAKAN TOPENG HITAM.

Sebelum saya berbicara lebih jauh, terlebih dahulu saya akan meluruskan sebuah kekeliruan. Saya bukanlah Semar. Saya adalah Waska. Saya betul-betul Waska. Memang banyak sekali orang bernama Waska. Tapi saya adalah Waska yang paling Waska. Dunia saya adalah dunia Waska. Penderitaan saya adalah penderitaan Waska. Borok saya adalah borok Waska. Kesunyian saya adalah kesunyian Waska. Mimpi saya adalah mimpi Waska. Sakit saya adalah sakit Waska. Hati saya adalah hati Waska. Keinginan saya adalah keinginan Waska. Dendam saya adalah dendam Waska. Kemiskinan saya adalah kemiskinan Waska. Lapar saya adalah lapar Waska. Sembahyang saya adalah sembahyang Waska. Tuhan saya adalah Tuhan Waska.

Waskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaska…!

IA MENANGIS. SUARANYA MERINTIH MEMILUKAN. KEMUDIAN MEMUKUL-MUKUL PETI. TIBA-TIBA TANGISANNYA BERHENTI. IA GELISAH BERGERAK KESANA-KEMARI. IA SEMAKIN GELISAH. LALU IA BERSEMBUNYI DI BALIK KAIN HITAM. KEMUDIAN IA MUNCUL KEMBALI DALAM GELISAH YANG SAMA.

Bagaimana lagi aku harus menjelaskan? Bagaimana lagi Waska? Percuma saja aku berteriak-teriak, karena orang-orang sudah tidak punya telinga. Berpikir Waska! Berpikir! Percuma saja aku berpikir, karena orang-orang sudah tidak mau lagi menerima pikiran orang lain. Berdoa Waska! Berdoa! Percuma saja aku berdoa, karena Tuhan sudah tidak mau mendengar lagi keluhanku. Lebih baik aku melanjutkan mimpi-mimpiku. Mimpi-mimpi yang dapat memberikan kesunyian yang indah. Ya, lebih baik aku diam dalam mimpi-mimpi itu. Diam bagai batu. Aku memang batu! Batu hitam yang angkuh! Aku harus menjadi angkuh, karena semua orang telah menjadi musuh! Tiba saatnya aku harus mengatakan: tidak kepada semua! Terlebih-lebih kepada orang-orang yang menganggapku sebagai orang tanpa daya upaya, tua dan penyakitan. Akan kubuktikan kepada mereka, bahwa aku adalah seorang Waska. Seorang manusia berantakan, tapi masih punya pikiran. Akan kujelaskan kepada mereka, bahwa aku adalah manusia yang terseret oleh jaman dan peradaban yang edan, namun aku masih tetap punya perasaan. Punya hati nurani. Punya perasaan sakit yang sama seperti orang-orang lainnya. Punya dendam yang sama. Oh! Dendam yang tiada akhirnya. Mengepul panas di ubun-ubunku. Membakar sekujur tubuhku yang hitam berkarat.
Istirahatlah Waska! Kau begitu lelah. Tidurlah…

Siapa bilang aku lelah? Aku tidak lelah! Dan aku tidak butuh tidur! Yang kubutuhkan hanya mimpi! Aku butuh mimpi-mimpi itu. Mimpi sunyi yang indah. Yang membangkitkan gairah hidupku. Dan bintang-bintang berada di tanganku. Kugenggam ia… Ya! Aku harus mendapatkannya. Belum terlambat. Ya! Belum terlambat. Hari masih malam. Masih banyak yang harus kuraih. Bangsat! (BERGERAK LIAR) Mereka mengunyah-ngunyah dagingku! Mereka menghisap darahku! Lintah! Mereka masih tetap saja lapar. Oh…, kebiadaban mana lagi yang harus kusaksikan. Begitu banyak binatang-binatang di sekitarku. Binatang mahal, terpelihara, tapi buasnya minta ampun!

Kau harus lebih buas dari mereka Waska…! Tunjukkan kebuasanmu! Tunjukkan taringmu! Tunjukkan matamu yang merah menyala-nyala! Ayo! Tunjukkan Waska…! Ya… Tuhan! Pandanganku begitu gelap. Sekujur tubuhku demam…. pori-poriku seakan tersumbat. Darah menggelegak naik keatas kepala. Pandangan mataku meremang, kepalaku seakan mau copot… tubuhku… tubuhku terasa kaku dan berat. Lidahku… kenapa lidahku menjadi kelu? (TUMBANG) Bertahanlah Waska! Kau harus bertahan! Dukamu adalah duka semesta! Bangkitlah Waska! Ayo bangkit! (BANGKIT) Ya, aku harus bangkit… aku harus berdiri, aku harus berjalan, aku harus tetap bertahan. Akan kubuktikan, bahwa aku adalah seorang Waska… (TUMBANG LAGI) Berdirilah Waska! Ayo berdiri! Kau harus berdiri di atas kakimu sendiri! Ya, aku harus berdiri… (BANGKIT LAGI) Ayo… kakiku berjalanlah, aku harus menebus kekalahanku… aku harus membayar hutang-hutangku kepada kehidupan ini. Akan aku selesaikan semua persoalan-persoalan ku dengan hidup ini… (TUMBANG LAGI) Waska! Seluruh alam akan berkabung, apabila kau menyerah! Maka bangkitlah Waska! Ayo bangkitlah! Buktikan bahwa kau adalah seorang manusia baja! Buktikan bahwa kau adalah batu hitam yang angkuh! Ayo buktikan Waska! (BANGKIT LAGI) Bnagsat… aku masih tetap seorang Waska, aku masih mampu bangkit, aku masih bisa tegak berdiri, aku masih mampu berjalan. Ayo…! Kakiku berjalanlah…, berjalanlah kemana kau suka. Ayo, kakiku, kau harus berjalan. Pergilah kemana kau mau. Mengembaralah kegunung-gunung, kebukit-bukit, kelembah-lembah. Dan carilah mata air yang sejuk untuk membasuh kakimu yang lusuh. Untuk mengobati luka di sekujur tubuhku. Oh, betapa sejuknya mata air itu menyentuh kepalaku yang lelah. Ayo kaki… berjalanlah. Tempuhlah segala rintangan… (TUMBANG LAGI) Oh…! Rupanya aku ini betul-betul sudah tua… aku lelah… Ya, Tuhan! Sungguh! Aku sudah terlalu lelah… aku berat… oh! Tiba-tiba seluruh pandanganku menjadi gelap (IA MERANGKAK) Begitu gelap… aku seperti masuk kedalam sebuah lorong yang gelap pekat.

Waska! Bertahanlah Waska! Semua itu hanya ilusi Waska! Bukalah matamu! Bukalah pikiranmu! Bukalah pintu hatimu! Buktikan bahwa kau adalah seorang Waska! (IA MASIH TETAP MERANGKAK) Aku sudah tidak tahan lagi Waska! Aku sudah sangat lelah… dan kini aku sedang sekarat…, sudahlah Waska… kau… kau memang kalah…, tapi kau tetap seorang Waska… Ya, Tuhan… aku sangat lelah.

IA MENANGIS. KEMUDIAN SUNYI. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN SANG PEMAIN BANGKIT SAMBIL MEMBUKA TOPENGNYA. IA BERJALAN SEPERTI SEDIAKALA.

Begitu besar penderitaan Waska. Begitu besar keinginan Waska untuk hidup, untuk tetap bertahan menjadi seorang manusia. Sampai-sampai ia harus menitikkan air matanya. Begitu indah dan menyakitkan. Sulit untuk dibayangkan, nasibnya begitu mengenaskan. Ucapan-ucapannya, kata-katanya…, begitu simbolis, penuh kemarahan dan ketahanan. Tapi sampai pada akhirnya, ia masih tetap punya pikiran. Ia masih tetap punya perasaan.

Sekarang akan saya panggil: Semar…! Waska…! Semar…! Waska…! Semar…! (SANG PEMAIN BERGERAK MENCARI-CARI SEMAR DAN WASKA) Waska…! Semar….? Waska…? Semar…? Waska…? Tidak seorangpun yang muncul. Seorang Waska tidak mau dikatakan sebagai seorang Waska lagi. Ia sudah menjadi seorang Semar. Seorang Waska tidak mau juga dikatakan sebagai seorang Semar, karena ia adalah seorang Waska. Semar adalah Semar. Seorang Waska adalah seorang Waska. Seorang Waska menginginkan menjadi seorang Semar. Seorang Waska tidak menginginkan menjadi seorang Semar. Kedua-duanya bisa ada. Dan kedua-duanya bisa tidak ada. Sedangkan saya, saya adalah seorang sahabat Waska. Saya hanyalah seorang anak panggung, yang telah lama ditinggalkan……


SELESAI

No comments:

Post a Comment