Monday, 21 March 2011

GEHENNA

GEHENNA

Aku berjalan ke arah matahari
Arak-arakan rama bagai larungan sampan di atas sungai
Styx yang merah. Dari puing-puing bekas
Gereja, kulihat bangkai-bangkai awan
Seperti lembaran-lembaran langit yang dilimpahi arwah
Dan warna gerimis yang padam. Tapi selalu gagal
Membaca aroma tanah, seperti letak puting
Susumu yang tegak bagai pilar-pilar bara dalam kobaran api
Atau pelukan sungai yang membawamu pada gerhana
Ada darah, bunyi-bunyi senapan seperti ledakan
Pada ambal yang payah. Dalam kegelapan
Yang mengubah dunia jadi Maut dan cahaya. Jadi ceceran ingus
Dari para pejalan yang kehilangan rumah dan peta-peta:
O engkaukah suara, gumpal-gumpal payudara yang melukis tahun
Dalam impian lazuardi dan sperma, dengan cuaca-cuaca
Yang tercekik dan tertahan pada laju taufan dan ombak, seperti rasa
sedih
Atau bahasa-bahasa kangkung yang menjadi isyarat lain bagi perdu:
Semacam anyelir atau pikiran-pikiran yang beracun
Barangkali mataku terlampau cemburu pada sesuatu yang tak ada
Dan lewat letupan-letupan sayap yang menghisap kupu-kupu
Dan seratus kunang, seperti seratus kata sunyi yang terbakar kelamin
Atau aku yang terus berjalan ke arah matahri
Meski harapan hanyalah manik-manik yang menutup musim dan menjadi
Sebuah kerabunan bagi hening: padang, di mana Kristus dan Judas
Bertukar tangkap dalam sepi, ketika salju mencair
Dan seluruh bumi terangkat, seperti bayang-bayang orang suci, sebelum
engkau
Tersadar dan aku menemukan jalan untuk kembali
1998-1999.



Puisi Indra Tjahyadi

No comments:

Post a Comment