Kegundahan Sastra Saut Situmorang
Saut Situmorang
Zamakhsyari Abrar – wartaone
http://sautsitumorang.multiply.com/
Jakarta – Saut Situmorang, nama penyair ini, dalam beberapa tahun belakangan mencuat namanya dalam panggung sastra negeri ini. Lewat kritik-kritiknya yang tajam dan keras, ia menyerang Goenawan Mohamad dan kawan-kawan atas apa yang disebutnya sebagai politik sastra Teater Utan Kayu.
Bersama dengan penyair Wowok Hesti Prabowo, sastrawan yang lahir di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, pada 29 Juni 1966, ini lalu menerbitkan jurnal Boemipoetra, sebuah jurnal yang terbit dwibulanan, wadah tempat mereka untuk menulis dan mengekspresikan tulisan untuk “menyerang” politik sastra Goenawan cs.
Terkait banyaknya reaksi yang kaget ketika membaca Boemipoetra, Saut menilainya hal itu wajar-wajar saja. Menurut pria berambut gimbal ini, selama pemerintahan Orde Baru, seniman kita memang tidak terbiasa berpolitik dalam kesenian.
Apa dan bagaimana Boemipoetra? Bagaimana tanggapan Saut terhadap pernyataan Goenawan yang beberapa waktu sebelumnya menyebut Boemipoetra tak lebih dari coret-coretan di toilet? Berikut petikan perbincangan WartaOne.com dengan Saut di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (9/7).
WartaOne (WO): Salah satu pemicu berdirinya Boemipoetra adalah karena sakit hati penyair Wowok Hesti Prabowo yang gagal masuk dalam pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada 2006?
Saut Situmorang (SS): Seandainya pun itu benar, tak apa-apa toh. Karena kita tahu Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk, itu kan Dewan Kesenian Goenawan Mohammad. Mulai dari ketuanya yang namanya Marco K itu (Marco Kusumawijaya), sampai ke dalam bidang-bidang dalam Dewan Kesenian Jakarta. Misalnya sastra, di situ ada Ayu Utami, Nukila Amal, dan di situ juga ada yang kusebut antek-antek Goenawan Mohamad atau TUK, Zen Hae. Dan (kelompok Goenawan) itu juga ada di teater dan film.
Jadi Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk itu, semua orang bisa melihat bahwa jelas sekali itu Dewan Kesenian Jakarta versi Teater Utan Kayu. Kita tahu permainan Goenawan Mohamad di Akademi Jakarta mempengaruhi anggota-anggota lain supaya mereka itu terpilih. Dan bukan hanya Wowok saja itu yang ketendang keluar dari pemilihan itu, ada juga Ahmadun Y. Herfanda, dan juga Radhar Panca Dahana.
Jadi kalau misalnya itu dibuat semacam ejekan bahwa Wowok akhirnya memulai jurnal Boemipoetra karena sakit hati itu, ya ndak apa-apa. Itu wajar saja, sebab itu sebuah perlawanan terhadap manipulasi yang terjadi pada pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada periode tersebut. Sebuah perlawanan yang konkret karena melahirkan jurnal Boemipoetra, yang kau tahu efeknya ya, sekarang Boemipoetra sudah terbit sekitar dua tahunlah.
WO: Boemipoetra mencoba menandingi wacana kebudayaan Goenawan Mohamad cs. Goenawan cs menurut saya menguasai wacana kebudayaan Indonesia, misalnya sastra, teater dan agama. Boemipoetra apa yang ditawarkan untuk menandingi mereka? Saya kok melihat Boemipoetra tidak menawarkan apa-apa?
SS: Aku sangat tidak setuju dengan pendapat itu bahwa kami tidak menawarkan apa-apa. Sekarang kita bicarakan apa yang kau bilang dominasi wacana kebudayaan Goenawan. Itu buktinya mana? Kalau Goenawan menguasai wacana teater, maksudnya apa? Kalau hanya sekadar mengerti teater, semua orang mengerti teater, mengerti sastra, semua orang mengerti sastra. Tapi kalau kau bilang menguasai wacana, maksudnya apa pernah dia menulis kritik sastra dan teater? Tidak pernah. Banyak orang seperti kau mengenal Goenawan Mohamad karena ia itu menjadi mitos dari catatan pinggirnya di Tempo. Mayoritas hanya mengenalnya dari catatan pinggirnya tadi. Sebagian besar mereka juga adalam pembaca Tempo, majalah kelas menengah ke atas. Bahasa catatan pinggir itu bahasa kelas menengah. Kalau kau benar-benar mau membahas catatan pinggir, itu enggak ada yang dibicarakan oleh Goenawan. Dia itu cuma bermain-main dalam retorika yang berbudi indah. Silahkan kau baca, tidak ada yang dibicarakan. Ia mengelak membicarakan isu yang merupakan judul dari setiap catatan pinggirnya. Ia bermain-main dalam retorika bahasa yang kosong.
Jadi kalau kau bilang Goenawan Mohamad itu menguasai macam-macam itu, begini aja, silahkan saja Goenawan Mohamad itu diskusi dengan Saut Situmorang dari Boemipoetra, topik apa aja, untuk membuktikan (pernyataan) itu. Karena justru mitos besar yang kosong inilah salah satu tujuan (berdirinya) Boemipoetra. Jadi pembaca itu disadarkan. Sebab kalau kalian baca tulisan, apalagi tulisan seperti Goenawan Mohamad, kalian tidak bisa membaca seperti membaca berita di koran. Karena kita berbicara soal politik retorika. Kebanyakan pembaca kita bacaannya paling-paling majalah Tempo, atau Kompas. Itu tidak cukup. Kalau Anda mau bergerak di dunia baca-membaca, apalagi seperti Goenawan yang dengan sadar mempermainkan retorika, enggak cukup. Bacaan harus lebih canggih lagi man.
WO: Wacana agama, misalnya, kelompok Teater Utan Kayu memiliki Ulil Abshar-Abdalla cs dengan JIL-nya?
SS: Kau salah. Kalau kau melihat komposisi redaksi Boemipoetra, itu macam-macam. Wowok itu orang buruh, saya Marxist, Kusprihyanto Namma itu Islam. Anda boleh ngomong macam-macam tentang Islam dengan Kusprihyanto. JIL itu apa? JIL itu labelnya aja yang Islam. Kalau kau mengerti apa yang disebut dengan Islam liberal, kau akan kaget bahwa itu adalah sebuah proyek besar disebut orientalisme, terutama oleh Amerika Serikat untuk mengacaukan Islam. Tokoh-tokohnya seperti Bernard Lewis dan lain-lain, orang yang mengaku Islam tapi menghina Islam. Jadi kalau berbicara JIL, Anda tak bisa melihat apa yang mereka omongkan. Anda harus tahu mereka berasal dari mana. Nah bacalah (buku) Edwar W. Said (Orientalisme), Anda akan tahu apa itu Islam liberal.
WO: Bukankah gejala kelompok seperti ini bukan gejala baru dalam sastra Indonesia. Di luar juga seperti itu?
SS: Ya, makanya. Itulah harus ada counter. Jadi kenapa ada Boemipoetra, seolah-olah dianggap anomali, aneh. Karena orang kita itu selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, selama itu berkuasa Horison-Manikebu. Orang Indonesia itu sudah terlalu biasa untuk tidak berpolitik dalam kesenian. Jadi kalau melihat munculnya fenomena Boemipoetra yang menentang Goenawan Mohamad dengan Teater Utan Kayunya dalam perspektif sastra secara luas, bukan hanya karya ya, baik politik karya, politik kanonisasi sastra, informasi tentang sastra di dalam maupun luar negeri, orang pada kaget karena belum pernah terjadi sebelumnya (dalam sejarah sastra Indonesia). Banyak sekali polemik-polemik STA (Sutan Takdir Alisyahbana) dengan lawan-lawannya termasuk yang terakhir itu perdebatan sastra kontekstual, itu hanya membicarakan karya. Belum membicarakan sebuah isu. Sosiologi sastra, politik sastra, bukan semacam itu.
Nah ini sesuatu hal yang baru yang dibawa oleh jurnal Boemipoetra. Kalau Anda ingin tahu tentang perspektif yang lebih luas tentang perlawanan Boemipoetra terhadap Goenawan Mohamad dan TUKnya, saya baru menerbitkan kumpulan esei saya judulnya Politik Sastra.
Dalam buku itu, jelas sekali yang kami tawarkan, sesuatu yang selama ini dikoar-koarkan oleh GM yaitu pluralisme. Baik pluralisme dalam berpikir, pluralisme dalam berkarya. Mereka kan tidak. Lihat saja seleksi pengarang. Yang mereka undang, yang sama gaya menulisnya dengan mereka. Pernahkah mereka mengundang dalam acara bienale sastra itu pengarang Islam seperti Helvy Tiana Rosa? Atau pengarang yang mewakili suara buruh. Banyak sekali kan. Tidak hanya Wowok. Pernah gak? Kan enggak. Tapi yang diundang hanya pengarang-pengarang yang mengangkat cerita seks, sesuatu yang abstrak yang tidak ada dalam persoalan kehidupan sehari-hari. Berarti mereka itu menyeragamkan topik, menyeragamkan style of writing. Di sisi lain mereka berkoar-koar soal pluralisme dan macam-macam. Mereka tidak plural sama sekali. Mereka antipluralisme. Seperti Jaringan Islam Liberal. Kenapa rupanya kalau ada FPI (Front Pembela Islam), dan kelompok fundamentalis? Anda kan plural, Anda kan liberal, liberal itu kan plural. Siapa aja silahkan, atheis juga silahkan. Tapi kan tidak.
WO: Jadi yang diomongkan tak sesuai dengan perbuatan?
SS: Terbukti kan? Anda yang berseberangan ide, ideologi, style dengan mereka, dikucilkan. Buktinya Boemipoetra tidak setuju dengan mereka. Harus terima dong, kan mereka plural. Kalau mereka hanya menerima orang yang setuju dengan mereka, itu bukan plural. Itu seragam. Itu fasis namanya.
WO: Yang menonjol dari jurnal Boemipoetra adalah bencinya itu?
SS: Ya, kita harus benci waktu kita melawan sesuatu, bukan sayang, karena kalau sayang itu kan munafik. Kita benci dengan segala sesuatu yang mereka presentasikan. Seperti yang saya bilang tadi. Di Islam itu ada JIL, di sastra itu ada TUK, di dunia kesenian mereka itu ada Salihara. Ya, kita benci itu karena (mereka) tidak konsisten. Itulah politik kesenian.
Jadi pretensi orang selama ini bahaslah karya. Coba kita lihat. Selama ada sastra Indonesia, tidak ada kritik sastra. Coba sekarang bahas karya, GM tidak mampu. Apalagi Sitok (Srengenge), Nirwan Dewanto, tidak mampu apa-apa itu. Jadi mereka itu berpolitik sastra. Semuanya itu berpolitik sastra.
WO: Saya pernah mewawancarai Sapardi Djoko Damono terkait tidak adanya kritik sastra seperti yang dikeluhkan oleh Bang Saut. Menurut Sapardi, hal itu tidak benar. Banyak kritik sastra diproduksi dalam bentuk tesis dan disertasi.
SS: Itu tugas kuliah, bukan kritik sastra. Hahaha… Kalau benar kritik sastra, mereka kritikus dong yang menulisnya. Tapi gak kan? Itu tugas supaya dapat gelar sarjana. Beda. Kritik sastra itu sebuah profesi, seperti kau wartawan, tukang becak dan tukang bajaj. Kalau profesi itu ada karir, mulai dari bawah. Kritik sastra itu karir. Dan Sapardi juga bukan kritikus sastra. Dia gak ngerti apa-apa. Sapardi gak bisa bahas karya, baca aja semua kumpulan tulisan dia. Gak ada. (Tulisan) dia itu seperti opini Kompas aja. Opini itu lain, itu bukan kritik. Kritik itu kau menganalisis sesuatu, kau punya sebuah hipotesis, lalu kau buktikan. Kau bahas. Tidak bisa sekadar, oh temanya begini, tokohnya begini, dan mereka berantem. Itu namanya menceritakan kembali. Mengkritik bukan menceritakan kembali, tapi menganalisis cerita yang kau ceritakan kembali.
WO: Jadi problemnya sumber daya manusia?
SS: Sumber daya manusia kita sangat parah. terutama di dunia seni. tidak ada kritikus seni, baik teater, sastra. Tidak ada itu. tapi memang ini berangkat dari pendidikan yang anjlok itu. Kau lihat misalnya. Berani tidak mahasiswa mendebat dosennya di kelas? Pasti habis dia. Ini persoalannya di sini, kita memang diadakan untuk tidak kritis, kalau sistem pendidikan seperti ini di mana debat antara mahasiswa dan dosen, murid dan gurunya tidak diperbolehkan sama sekali, bagaimana akan ada kritik seni atau kritik kebudayaan? Itu awalnya, pendidikan kita diciptakan oleh Soeharto seperti itu untuk menurut. Siswa kerjanya sekolah, sks, lulus, mudah-mudahan dapat kerjaan, kemudian kawin mati.
WO: Saya sepakat dengan hal itu.
SS: Ya, gak akan mungkin ada satu elemen dari kebudayaan yang anjlok aja. Ini semua, struktural. Jadi kalau misal ada kerusakan ekonomi, di dunia politik partai, gak ada di situ aja. Itu gak akan terjadi kalau gak didukung oleh unsur-unsur lain, dalam berpikir, dalam cara orang beragama, bersekolah. Itu mendukung sistem ini.
WO: GM menganggap Boemipoetra cuma coret-coretan di toilet? Tanggapan Anda?
SS: Sama aja. Kami mengggap semua tulisannya juga cuma coret-coretan toilet di terminal bis umum. Gak apa-apa. Tapi persoalannya ketika dia ngomong begitu, apa pernah dia buktikan? Apa pernah dia kasih alasan? Kan gak pernah kan.
WO: Anda pernah menyamakan jurnal Boemipoetra dengan manifesto kaum Dada dan Surealisme Prancis? Apa itu tidak berlebihan?
SS: Lho, sekarang Anda sudah pernah baca manifesto kaum Dada dan Surealisme tersebut? Belum. Kalau belum, sulit saya menjelaskannya. Coba Anda baca manifesto mereka, seperti apa bahasa mereka? Itu majalah kecil juga, mereka juga menyebutnya jurnal. Nanti kalau saya jelaskan, Anda anggap pembelaan lagi.
WO: Jadi konkretnya seperti apa agenda kebudayaan jurnal Boemipoetra?
SS: Pertama pluralisme. Selama ini Utan Kayu mengklaim dirinya pluralis. Nah, kami itu mengkritik itu. Mereka itu sebenarnya antipluralis. Kedua, kita antiideologi Goenawan cs bahwa seks adalah satu-satunya standar estetika kesenian Indonesia. Orang kan bisa menulis tentang Islam, makanan, kan gak apa-apa dong. Mengapa harus seks yang dianggap paling hot? Semua oke, persoalannya bagaimana kau menuliskannya. Dan ketiga, kita antifunding asing. Kalau mereka sudah masuk, kacau dunia kesenian. Contohnya ya Teater Utan Kayu itu. (mak/mak)
Diambil dari situs: http://www.wartaone.com/articles/13125/1/Kegundahan-Sastra-Saut-Situmorang/Halaman1.html
No comments:
Post a Comment