SASTRAKU SAYANG, SASTRAKU MALANG
Saut Situmorang
http://www.facebook.com/
aku punya pertanyaan begini: kenapa ya gak setiap orang berani mengklaim diri “mengerti” Kedokteran, atau Ekonomi, lalu membuat tulisan yang “membahas” Kedokteran/Ekonomi bahkan sampai mengklaim diri “pengamat Kedokteran/Ekonomi”? atau pengetahuan-pengetahuan lain kayak Hukum, kayak Jurnalisme?
tapi kenapa hal seperti di atas gak terjadi atas “Sastra”? setiap orang di negeri ini, apalagi “penulis”, pasti akan merasa sudah “mengerti” Sastra dan berani membuat “opini” publik tentangnya?
di Indonesia, seperti di negeri-negeri lain, Fakultas Sastra itu terdapat hampir di setiap universitas besarnya. bahkan bisa dikatakan, secara melebih-lebihkan, bahwa “Sarjana Sastra” lebih banyak jumlahnya dibanding “Sarjana” genre pengetahuan lainnya.
maksudku adalah bahwa Sastra itu adalah sebuah ilmu pengetahuan (science, sains) , sama seperti Kedokteran, Ekonomi, Hukum atau Linguistik. mangkanya dipelajari doi secara sistematis di tempat yang disebut “Fakultas Sastra”. mangkanya mereka yang sudah tamat mempelajarinya secara sistematis begini disebut “Sarjana Sastra”. bahkan tingkat kesarjanaan ilmu pengetahuan ini mencapai level Doktor, sama kayak ilmu pengetahuan lainnya itu.
dalam kata lain, sudah disadarikah di negeri ini bahwa Sastra itu adalah sebuah ilmu pengetahuan/sains yang untuk memahaminya diperlukan sebuah studi yang sistematis dan lama atas sejarahnya, teorinya dan tentu saja jenis-jenis karya yang disebut Karya Sastra?
di sinilah persoalan besar terjadi.
Walopun ada Fakultas Sastra dan banyak Sarjana Sastra bertebaran di negeri ini tapi Sastra masih belom dianggap sebuah ilmu pengetahuan/sains seperti Kedokteran, Ekonomi, Hukum dan lainnya oleh masyarakat umum Indonesia! setiap orang apalagi yang pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi walo non-Sastra akan merasa dirinya mampu bicara tentang Sastra, mengerti apa itu Sastra! maka parahlah kondisi pembicaraan tentang Sastra di negeri yang tak menghormati Sastra(wan) ini!!! anarkisme interpretasi dianggap bukti demokrasi!!! sesuatu yang tidak terjadi di luar sono. yang bukan “orang Sastra” tidak merasa ada yang aneh kalo ikut membicarakan Sastra walo ala pseudo-akademis, alias debat kusir. pembicaraan dan penafsiran yang sangat tergantung pada kata hati belaka, karena memang begitulah Sastra itu dianggap: sesuatu yang cuma berkaitan dengan “hati”, “perasaan”, bukan ilmu pengetahuan/sains tadi. ketidaktahuan atas Sejarah dan Teori Sastra secara umum tidak dianggap faktor yang harus dipertimbangkan dalam membicarakan Sastra!!!
dan kita masih belom lagi membicarakan Sastra sebagai sebuah Seni, sama seperti seni-seni lain kayak Teater, Seni Rupa, Musik, Film, Fotografi, Tari dll !!!
seperti seni-seni lain, seni Sastra juga memiliki hukum-hukum, peraturan-peraturan, pakemnya tersendiri, khas yang menjadi hakekat Sastra. ketidakpahaman atas hukum-hukum Sastra inilah yang selalu membuat setiap “penulis” (yang sangat berambisius tentunya!) terheran-heran kok tulisannya gak dianggap tulisan Sastra! dengan seenaknya aja segelintir penulis “fiksi pop/novel pop” mengklaim fiksi/novelnya sebagai Sastra cuma karena tulisannya itu memiliki hal-hal yang mirip karya Sastra, seperti plot dan tokoh. bagi mereka, cuma begitulah “Sastra” itu, hahaha…
kalok kita ambil perbandingan, kan gak setiap yang dibuat pakek seluloid itu akan dianggap seni Film alias Sinema. gak setiap gerak yang “indah” itu Tari. gak setiap lukisan ato patung itu Seni Rupa. tapi kok hal ini gak dianggap berlaku buat Seni Sastra!
satu hal yang menyedihkan lagi: sekarang sudah menjadi tren di universitas negeri kita, seperti yang sudah terjadi pada universitas negeri yang elite kayak Universitas Indonesia (Jakarta) dan Universitas Gajah Mada (Jogja) — dan akan diikuti Universitas Padjadjaran (Jatinangor, Jawa barat) — mengganti nama “Fakultas Sastra” menjadi sekedar “Fakultas Ilmu Budaya”! “Sastra” sebagai sains dan seni bukan saja sudah tidak diakui lagi statusnya oleh mereka-mereka yang justru punya kewajiban akademis untuk membelanya bahkan dijatuhkan statusnya menjadi sekedar “Ilmu Budaya”! saya menduga popularitas “Cultural Studies” terutama Cultural Studies versi Amerika Serikat yang membuat hal ini bisa terjadi. betapa menyedihkan bahwa “Cultural Studies” yang memang tidak mengakui keberadaan Seni itu dianggap lebih relevan bagi kehidupan akademis sebuah negeri Dunia Ketiga Pascakolonial kayak Indonesia ketimbang sebuah “ilmu pengetahuan eksklusif” seperti Sastra! dunia akademis kita yang sudah “tidak benar-benar akademis” itu mutunya sekarang menjadi makin tidak akademis lagi dalam konteks pendidikan Sastra perguruan tinggi!!! ironisnya, di dunia akademis Barat saja ilmu pengetahuan alias sains “Sastra” masih terus naik gengsinya dan dipelajari secara khusus sebagai sebuah “departemen/jurusan” di bawah nama “Faculty of Arts”!!!
No comments:
Post a Comment