SINEMA “INDONESIA”
Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/
Apakah membuat “film” itu gampang? Di Jakarta jawaban pertanyaan serius ini kayaknya gampang. Setelah membuat novel itu gampang, membuat cerpen itu gampang, membuat puisi itu gampang, membuat biennale (seni rupa dan sastra) itu gampang, bahkan membuat hadiah seni juga gampang, maka sekarang tren terbaru keluaran Jakarta adalah “Membuat film itu gampang”. Makanya, setelah booming sastra, setelah booming seni rupa, sekarang adalah era booming film Indonesia. Bangkitnya kembali (per)film(an) Indonesia, seru para pundit-nya di Jakarta. Istilah kerennya mungkin “The Renaissance of Indonesian Cinema”. Indikator dari fenomena musim semi (per)film(an) Indonesia ini, ternyata, cuma satu hal: film Indonesia sudah diputar kembali di bioskop-bioskop Indonesia!
Apakah karena “membuat film itu gampang” maka terjadilah “kebangkitan kembali (per)film(an) Indonesia”?
Mungkin Jakarta benar. Membuat film “Indonesia” itu memang gampang! Makanya siapa saja bisa membuat film “Indonesia”. Makanya bioskop-bioskop memutar-kembali film “Indonesia”. Makanya terjadilah kebangkitan kembali (per)film(an) “Indonesia”!
Ternyata, dalam menafsirkan istilah “Bangkitnya kembali (per)film(an) Indonesia” di atas, fokus kamera pembicaraan harus dibidik pada kata “Indonesia”, bukan pada kata-kata lainnya. “Indonesia” yang terpenting dalam era “Bangkitnya kembali (per)film(an) Indonesia”, BUKAN “(per)film(an)”-nya. Nasionalismenya yang paling penting, bukan seninya! Makanya bioskop-bioskop Indonesia memutar-kembali film Indonesia, walaupun pengertian “bioskop Indonesia” di sini cuma “Studio 21” belaka.
Bangkitnya kembali nasionalisme (per)film(an) Indonesia. Gejala seperti ini tentu bukan sesuatu yang negatif, kalau kita bandingkan dengan nasionalisme “French Cinema”, “Italian Cinema”, “German Cinema”, “Chinese Cinema”, misalnya. Cuma yang jadi persoalan sekarang adalah apa “isi” nasionalisme (per)film(an) itu? Nationalism for nationalism’s sake doang, nasionalisme bioskop belakakah? Atau ada sesuatu yang jauh lebih penting lagi yang memang ditawarkannya?
Dalam kata lain, apa memang ada “Film Indonesia” itu, “Indonesian Cinema” itu?
Karena “nasionalisme” adalah sebuah proses “pembayangan”, imajinasi, tentang sebuah “identitas diri” yang unik yang diyakini eksis secara historis oleh sebuah komunitas dalam menghadapi komunitas (-komunitas) lainnya, maka “identitas diri” yang unik yang bagaimanakah yang dibayangkan dimiliki “Film Indonesia” yang membedakannya dari film-film nasional lainnya di planet ini? Adakah style perfilman yang khas pada film-film made-in-Indonesia yang membuatnya pantas untuk disebut sebagai “Sinema Indonesia”?
Dari pengalaman menonton beberapa film buatan lokal, yang dianggap masterpiece film “Indonesia” kontemporer, beberapa tahun terakhir ini, apa yang saya temukan adalah betapa kuatnya kecenderungan bercerita mendominasi film-film tersebut. “Bercerita” dalam arti benar-benar menceritakan tentang sebuah peristiwa, lengkap dengan plot, tokoh dan setting yang dibuat serepresentatif mungkin dengan topik cerita, seperti pada novel pop, cerpen koran, atau seperti pada kebanyakan teater “realis” lokal. Realisme tentu saja bukan sesuatu yang aneh dalam dunia seni, apalagi dalam dunia sinema internasional, tapi “realisme” dalam film-film yang saya tonton tersebut ternyata cuma sebuah pseudo-realisme belaka, sebuah “realisme” yang dianggap representasi dari “realisme” di luar gedung bioskop. Dalam konteks sastra, mungkin apa yang dimaksud sebagai “realisme koran” cerpen-cerpen lokal itulah.
Indonesia adalah sebuah negeri Dunia Ketiga, sebuah negeri miskin, sebuah negeri pascakolonial. Ketidakadilan sosial-ekonomi dan penindasan politik adalah ciri negeri-negeri semacam Indonesia. Kalau mau “membayangkan Indonesia” sebagai sebuah nasionalisme, identitas sejarah ini tidak mungkin untuk dilupakan, apalagi dalam sebuah usaha representasi realisme. Hal inilah yang kembali gagal saya temukan dalam sebuah film “Indonesia” berjudul “Koper” yang entah kenapa bisa lolos seleksi dan ikut dalam kompetisi sebuah festival film internasional di Jogja sekitar dua tahun lalu. Bagaimana mungkin bisa mengklaim sebuah keluarga sebagai sebuah keluarga urban miskin kalau dalam rumah keluarga tersebut kita bisa melihat keberadaan kulkas dan mesin cuci sementara sang “kepala keluarga” kerjanya, disamping menjadi seorang pegawai bagian arsip sebuah kantor besar, hanya termenung, merokok, mengkoleksi piringan hitam langka, dan ngebir di sebuah cafe! Saya jadi bertanya-tanya apa sutradara dari film yang sejak penayangan Credits film terkesan sangat pretensius ini (pemakaian subtitle bahasa Inggris yang idiosinkratik untuk penonton Indonesia, sinematografi pseudo-artistik yang tidak menjelaskan apa-apa kecuali mengingatkan bahwa teknik kameranya diambil mentah-mentah dari film-film yang khas fotografinya seperti film-film Wong Kar Wai, pemilihan sederet selebriti sebagai aktor yang amatiran aktingnya, moralisme klise tentang “kejujuran dalam kemiskinan” dalam dialog-dialog ala cersil Kho Ping Hoo) memang pernah memasuki sebuah rumah keluarga miskin kota Indonesia! Ini baru tentang “realisme” Jakarta urban poor yang dibayangkan representatif itu. Belum lagi kita membicarakan “realisme” psikologis dari sebuah kemiskinan kota, “realisme” sinematik dalam sebuah representasi seluloid!
Absennya pengetahuan tentang “realisme Indonesia” merupakan identitas dari apa itu yang disebut sebagai sinema “Indonesia”, kalau makhluk ini memang mau dianggap ada. “Realisme Indonesia” yang direpresentasikan sinema “Indonesia” adalah sebuah realisme yang “dibayangkan” belaka, sebuah produk khayalan yang murni khayalan. Sebuah borjuisme realisme. Itulah juga sebabnya kenapa visualisasi sinematik sangat miskin dalam film-film lokal. Ini merupakan ciri utamanya yang lain. Sinema dianggap cuma sebuah teater “realis” yang direkam dengan sebuah kamera yang diletakkan di depan panggung pertunjukan. Film yang seharusnya membuat kita sebagai penonton sadar akan keberadaan kamera justru malah membuat kita lupa akan keberadaannya sehingga menonton film tak ada bedanya dengan mendengar sebuah drama radio belaka. Verbalisme kata telah menggantikan detil visualisme mata. Telinga menggantikan mata karena mata membuat/mengharuskan kita sadar apa-apa yang mesti diseleksi untuk masuk dalam kepala dalam sebuah peristiwa menonton, dan ini menuntut kecanggihan imajinasi seorang sutradara, sesuatu yang kayaknya tidak dimiliki sutradara Indonesia. Ironisnya, bukankah sebuah cerita, sebuah narasi, sebuah abstraksi imajinasi, justru akan lebih kuat mempengaruhi/melekat dalam benak penontonnya kalau dikisahkan dalam sekuen imaji ketimbang kebisingan bunyi!
Membuat film itu jadinya gampang karena visualisasi sinematik cerita dianggap bukan unsur paling penting dalam sinema. Metafor visual, misalnya, dianggap tidak relevan dalam sebuah film, sementara dialog adalah segalanya, walau dialognya rata-rata tidak cerdas, cenderung mengada-ada dan disampaikan seadanya pula. Tirani kata telah menggantikan kecerdasan kamera.
Bicara soal metafor saya jadi ingat pengalaman waktu kuliah film di Selandia Baru dulu. Sebelum menonton “Citizen Kane”-nya Orson Welles, pak dosen mengingatkan untuk mencari makna “rose bud” yang selalu diucapkan tokoh utama film tersebut. Atau bunyi suling nada tunggal dalam “Seven Samurai” Kurosawa. Dari khazanah sinema realis kontemporer, siapakah yang dapat melupakan sekuen pembuka film Maori-Selandia Baru tentang kehidupan “Dunia Ketiga” orang Maori urban (yang ceritanya diambil dari novel berjudul sama) “Once Were Warriors” yang kontroversial itu? Kalau “film” dianggap sama dengan drama radio, buat apa kita mesti “menonton”-nya lewat layar segala!
Memimpikan adanya sebuah industri film sendiri yang mendominasi dunia perfilman di negeri sendiri adalah sebuah mimpi yang luhur dan suci. Banyak negeri punya mimpi indah seperti ini, mulai dari Prancis, Jerman, Itali, Inggris, Kanada, Australia sampai Selandia Baru. Semuanya ingin melawan hegemoni kapitalisme studio besar Hollywood. Bagi Indonesia sendiri persoalannya lebih parah; bukan cuma Hollywood yang harus ditantang, Bollywood pun mesti diganyang. Tapi masalahnya adalah kalau negeri-negeri Barat yang kaya raya di atas saja impoten hanya membendung limbah sampah industri film Amerika Serikat saja, apa Jakarta mampu mengatasi dominasi kedua raksasa kapitalisme film dunia tersebut? Bukankah jauh lebih realistis, lebih bernilai, kalau mimpi tentang industri film sendiri ini dibuang saja dan Jakarta sebagai pusat kapital Indonesia mulai belajar bagaimana membuat “film sebagai film” sehingga “Sinema Indonesia” tidak mustahil untuk diciptakan, bukan dengan jumlah kuantitas produksi film tapi kualitasnya. Terserah negeri mana yang menjadi orientasi artistik: romantisme intelektualisme Prancis, realisme Itali, historisisme Cina, pascakolonialisme sinema Dunia Ketiga ala Amerika Latin atau Iran. Atau, demi mimpi terciptanya industri film sendiri, apakah “Sinema Indonesia” akan mau menjadi hanya sekedar versi lain dari “Sinetron Indonesia” yang merupakan industri televisi yang mendominasi televisi lokal itu?
No comments:
Post a Comment