Monday 21 March 2011

Tulisan Beni Setia dikelenceki Saut Situmorang (I)

Tulisan Beni Setia dikelenceki Saut Situmorang (I)


http://www.facebook.com/
MENYAMBUNG TULISAN AF TUASIKAL; “Menegakkan Estetika Alternatif”
Oleh: Beni Setia
KOMPAS JATIM CETAK: Jumat, 13 Agustus 2010 | 15:50 WIB

Tulisan AF Tuasikal, “Birokratisasi Sastra Jawa Timur” (Kompas, 29/7), meski hanya menyasar puisi dan inventarisasi penyair, sebenarnya menyodok dominasi Dewan Kesenian Jawa Timur di satu sisi dan kecenderungan adanya dominasi estetika yang amat mendikte selera redaksi, kurasi antologi bersama, serta aspek kebermutuan puisi mutakhir. Sebuah gugatan yang menohok tetapi dengan beberapa salah asumsi.

Pangkal keberangkatannya kasuistik merujuk pada selera estetik puisi mutakhir, dan karenanya memakan korban bagi yang tak mengikuti pakem estetika dominan saat ini. Di titik ini, bukan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) yang salah, juga bukan para pengamal estetika dominan, yang salah justru cara menginventarisasi dan mengekspresikan estetika tandingan. Tahun terakhir ini ada gerakan “pribuminisasi” yang menentang selera postmodernism ala TUK cq jurnal BoemiPoetra. Sayang ide yang maunya multiestetik itu, dengan merangkul genre sastra buruh, sastra kiri, dan sastra Islami, hanya bagus di aspek ide tetapi gagal menghasilkan karya kualitatif bahkan, penolakan itu jadi agresi personal.

Padahal, khazanah sastra selalu menuntut ekspresi unggul dan estetika yang dieksplorasi sehingga menghasilkan karya, yang bila tidak diungkapkan demikian oleh si A, kita tidak akan menemukan orisinalitas ekspresi. Optimalisasi ketika menggali isi potensi kreativitas dan kemungkinan estetika akan menghasilkan karya yang kualitasnya sejajar dengan estetika dominan. Rendra membuktikan asumsi itu meski keunggulannya tidak terletak pada teks, melainkan pelisanan teks yang memukau. Sajak sosial Rendra benar secara fakta sosial dan ekspresif menggedor saat dilisankan di podium meski tidak berbunyi sebagai teks apabila diukur estetika media ungkap teks yang harus orisinal.

Itu bukti eksplorasi. Itu optimalisasi potensi diri sekaligus diskursus problem sosial faktual sehingga masalah semua orang menjadi masalah yang terempati dan ekspresif ketika diungkapkan dalam pelisanan teks puisi. Sejajar dengan puisi Taufik Ismail, yang meski tanpa dramatisasi, tetap mampu menyihir dengan retorika-memanfaatkan intonasi dan artikulasi. Pencapaian ekspresi Rendra itu bisa ditelusuri dari kecondongan menulis balada dan narasi dramatik, seperti terlihat dalam Blues untuk Bonie atau Kotbah dan Taufik Ismail dalam Kembalikan Indonesia Padaku.

Tidak terdidik

Institusi yang secara politik estetika tidak pernah mau memanfaatkan kuasa dalam hal mengeblok estetika dominan atau mendukung bibit estetika tandingan. Sementara itu Tjahjono Widijanto pada acara Temu Sastrawan Jatim 2009 mengeluh kesulitan dalam hal menginventarisasi karya sastrawan Jatim. Sementara dengan buku Pesta Penyair, Arief B Prasetyo (JP, 25/7) menandai suburnya penulisan puisi di Jatim. Meski kebablasan memakai pseudoteori, dengan berasumsi itu disebabkan bahasa Jawa standar tidak pernah bisa dipakai menampung ekspresi orang Jatim yang egaliter dan tidak terdidik tradisi Jawa mataraman bukan karena bahasa Indonesia punya khazanah sastra dan referensi keilmuan yang relatif lengkap serta gampang diakses.

Dengan kata lain, yang dibutuhkan tetap totalitas berkarya, komunitas yang bisa mengintensifkan dialog yang saling mendewasakan dalam tradisi peer teaching, dan manifesto diikuti karya yang menonjol. Selain itu, dibutuhkan pula kritikus dan ahli teori yang mampu melegitimasi karya dan eksistensi komunitas. Ini sekaligus tidak bisa diproses secara terbalik. Boemipoetra membuktikan kegagalan itu. Bahkan, ikon intelektual macam Arief Budiman dan Ariel Heryanto hanya mampu memicu isu estetika alternatif, tetapi gagal menghasilkan karya mutakhir dari sastrawan yang diilhami isu sastra kontekstual. Ini berbeda dengan TUK dan kelompok studi Kalam, lebih tepatnya lingkaran Tempo.

Fenomena estetika TUK itu menarik kalau bisa menelusuri bagaimana genre puisi dan prosa mutakhir dibentuk sebelum dominan menguasai khazanah sastra Indonesia. Dan, satu perlawanan dengan memicu keberadaan beberapa estetika tandingan tanpa ada pengamatan mendalam terlebih dahulu hanya akan jadi teks caci maki, yang melahirkan pengikut mahapemberang Saut Situmorang-atraktif bikin rujak setiap hari padahal rujak mengganggu kesehatan pencernaan, kalau mengutip Sutan Takdir Alisyahbana.

Namun, apa perlunya mengugat dominasi kritikus dan determinasi (selera) kritik yang cuma melegitimasi karya tertentu apabila kita bisa melawannya dengan kesuntukan berkarya dan senyum saat mampu mempersembahkan karya otentik?

Beni Setia Pengarang, Tinggal di Caruban

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/13/15501669/menegakkan.estetika.alternatif
?
Komentari · SukaTidak Suka · Bagikan
Budi Hutasuhut dan 6 orang lainnya menyukai ini.
*

Ompu Datu Rasta Sipelebegu (Saut Situmorang)
aku akan jawab kau, Beni Setia.

pertama, Apa “boemipoetra” memang mempersoalkan “estetika” TUK? apa itu Estetika TUK, kalok memang ada? KALOK TIDAK SALAH, “boemipoetra” lebih MEMPERSOALKAN POLITIK SASTRA TUK DI DALAM DAN LUAR INDONESIA! AND…A MEMANG UDAH MEMBACA “boemipoetra” DENGAN CERMAT WALO ANDA JUGA MERUPAKAN KONTRIBUTOR TULISAN UNTUK “boemipoetra”?!

kedua, di mana Kegagalan kami penulis “boemipoetra” dalam hal Karya Sastra dibanding TUK? cobak anda buktikan!

ketiga, caci-maki tidak hanya diproduksi oleh “boemipoetra” sebagai strategi propaganda. anda pernah membaca di Internet dimulai dari tahun 2007 caci-maki yang dilakukan oleh Radityo Djadjoeri atas “boemipoetra” dan pribadi-pribadi baik redaksi “boemipoetra” sendiri maupun seniman-seniman yang kebetulan pro-”boemipoetra”! dia bahkan memakai tokoh-tokoh fiktif dalam menjalankan serangannya tsb!

itu dulu dari saya. saya tunggu jawaban anda di sini kerna anda ada di daftar Friends saya.Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 20:39 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Sindhu Pertiwi
Banyak pesastra lisan di Jawa Timur. Apa perlunya bhs. Indonesia jika bhs. Jawa Timuran sangat kuat dlm berbalas pantun?
Dari yg seniman tangguh seperti Cak Kartolo sampai kawan2 yg sekedar hobi parikan benar2 cerdas dan spontan menyusun rim…a memancing gelak tawa. Apa hebatnya sastra yg diinstitusionalkan dibanding sastra yg hidup di tengah2 masyarakatnya?

Jawa Timur kok jadi label buat diperebutkan…Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 20:43 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu SAYA SUDAH KIRIM MESSAGE KE ANDA, BENI SETIA, JADI JANGAN DIAM SAJA! DATANG KAU KE MARI!!!
13 Agustus jam 20:44 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Tulisan AF Tuasikal, “Birokratisasi Sastra Jawa Timur” (Kompas, 29/7), meski hanya menyasar puisi dan inventarisasi penyair, sebenarnya menyodok dominasi Dewan Kesenian Jawa Timur di satu sisi dan kecenderungan adanya dominasi estetika ya…ng amat mendikte selera redaksi, kurasi antologi bersama, serta aspek kebermutuan puisi mutakhir. Sebuah gugatan yang menohok tetapi dengan beberapa salah asumsi.”

APA BEBERAPA SALAH ASUMSI ITU? KENAPA TIDAK ANDA JELASKAN!Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 20:57 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Pangkal keberangkatannya kasuistik merujuk pada selera estetik puisi mutakhir, dan karenanya memakan korban bagi yang tak mengikuti pakem estetika dominan saat ini. Di titik ini, bukan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) yang salah, juga buk…an para pengamal estetika dominan, yang salah justru cara menginventarisasi dan mengekspresikan estetika tandingan. Tahun terakhir ini ada gerakan “pribuminisasi” yang menentang selera postmodernism ala TUK cq jurnal BoemiPoetra. Sayang ide yang maunya multiestetik itu, dengan merangkul genre sastra buruh, sastra kiri, dan sastra Islami, hanya bagus di aspek ide tetapi gagal menghasilkan karya kualitatif bahkan, penolakan itu jadi agresi personal.”

DALAM HAL “boemipoetra” YANG TIBA-TIBA ANDA MASUKKAN KE KONFLIK SASTRA DI JATIM INI, BUKANKAH ANDA SENDIRI MENULIS DI JURNAL “boemipoetra” BETAPA SAUT SITUMORANG DAN KUSPRIHYANTO NAMMA TIDAK “GAGAL MENGHASILKAN KARYA KUALITATIF”! ANDA SEDANG MENJILAT LUDAH SENDIRI DI SINI! KERNA APA?!

“AGRESI PERSONAL” ITU APA? APA KAMI MEMUKUL JIDAT SI GOENAWAN MOHAMAD ITU SECARA FISIK?!Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 21:01 · SukaTidak Suka ·
o
Rudi Hartono
?”Apakah artinya kesenian. Bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir. Bila terpisah dari masalah kehidupan” demikian dikatakan Rendra sendiri, yang sebetulnya menjelaskan posisi karya-karyanya.

Saya bingung dengan perkat…aan Benia Setia; “Rendra membuktikan asumsi itu meski keunggulannya tidak terletak pada teks, melainkan pelisanan teks yang memukau.” Kurang kuat apa teks-teks Rendra di atas. Bukankah teks tidak terpisah dari realitas yang terwakilinya?

Terus, Taufik Ismail? terus terang, sejak SD hingga SMA, saya selalu tertidur ketika dibacakan karya-karyanya. Kenapa ya? dari pilihan tema saja, saya sudah muak. Tidak mewakili “keadaan”–kata Rendra.
Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 21:02 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Padahal, khazanah sastra selalu menuntut ekspresi unggul dan estetika yang dieksplorasi sehingga menghasilkan karya, yang bila tidak diungkapkan demikian oleh si A, kita tidak akan menemukan orisinalitas ekspresi. Optimalisasi ketika meng…gali isi potensi kreativitas dan kemungkinan estetika akan menghasilkan karya yang kualitasnya sejajar dengan estetika dominan. Rendra membuktikan asumsi itu meski keunggulannya tidak terletak pada teks, melainkan pelisanan teks yang memukau. Sajak sosial Rendra benar secara fakta sosial dan ekspresif menggedor saat dilisankan di podium meski tidak berbunyi sebagai teks apabila diukur estetika media ungkap teks yang harus orisinal.”

ADA DUA PROBLEM BESAR DI SINI!

PERTAMA, ANDA KLAIM PERSOALAN YANG ADA ADALAH PERSOALAN PERLAWANAN TERHADAP “ESTETIKA YANG DOMINAN”. KALOK INI MEMANG BENAR (KALOK MEMANG BENAR ADA ITU SEBUAH “ESTETIKA YANG MENDOMINASI SASTRA INDONESIA SAAT INI” DAN ADA YANG MELAWANNYA, LANTAS KENAPA ANDA MENGUKUR BERHASIL-TIDAKNYA ESTETIKA YANG MELAWAN ITU BERDASARKAN UKURAN ESTETIKA YANG SEDANG MENDOMINASI! BUKANKAH YANG ANDA LAKUKAN INI SANGAT TIDAK TEPAT DAN TIDAK ADIL ALIAS SANGAT PARTISAN!!!

KEDUA, ANDA MERUJUK PADA RENDRA (ENTAH KENAPA! PADAHAL RENDRA TAK TERLIBAT DALAM ISU INI! BUKANKAH SEHARUSNYA ANDA BANDINGKAN DENGAN CONTOH KARYA DARI ESTETIKA YANG ANDA KLAIM BERHASIL ITU, YAITU MUSUH DARI ESTETIKA YANG MELAWANNYA ITU!) TAPI YANG ANDA AMBIL SEBAGAI CONTOH KEBERHASILAN RENDRA JUSTRU BUKAN KARYANYA TAPI PEMBACAAN KARYANYA, YAITU YANG ANDA SEBUT SEBAGAI “PELISANAN TEKS YANG MEMUKAU” ITU! BAGAIMANA INI?! HAHAHA…Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 21:10 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Dengan kata lain, yang dibutuhkan tetap totalitas berkarya, komunitas yang bisa mengintensifkan dialog yang saling mendewasakan dalam tradisi peer teaching, dan manifesto diikuti karya yang menonjol. Selain itu, dibutuhkan pula kritikus d…an ahli teori yang mampu melegitimasi karya dan eksistensi komunitas. Ini sekaligus tidak bisa diproses secara terbalik. Boemipoetra membuktikan kegagalan itu. Bahkan, ikon intelektual macam Arief Budiman dan Ariel Heryanto hanya mampu memicu isu estetika alternatif, tetapi gagal menghasilkan karya mutakhir dari sastrawan yang diilhami isu sastra kontekstual. Ini berbeda dengan TUK dan kelompok studi Kalam, lebih tepatnya lingkaran Tempo.”

APAKAH MEMBUAT SERANGAN FORMAL TERHADAP TUK BUKAN MERUPAKAN CONTOH SEBUAH “TOTALITAS BERKARYA”? KAMI JUGA MENULIS KARYA SASTRA (PUISI DAN CERPEN), ESEI SASTRA, BAHKAN MENERBITKAN JURNAL INDEPENDEN BERNAMA ” boemipoetra”, APA INI BUKAN SEBUAH “TOTALITAS BERKARYA”?! KAMI BAHKAN MELAHIRKAN KRITIKUS SASTRA DENGAN BUKU KUMPULAN KRITIK SASTRANYA YANG BERJUDUL “SASTRA, PEREMPUAN, SEKS” YANG SUDAH DICETAK-ULANG DUA KALI ITU! APA ANDA SUDAH BACA BUKU INI? DAN BUKU “POLITIK SASTRA” YANG ISINYA JUGA DIMUAT DI JURNAL “boemipoetra”!

APA RUPANYA YANG SUDAH DIHASILKAN “TUK DAN KELOMPOK STUDI KALAM, LEBIH TEPATNYA LINGKARAN TEMPO” ITU? BISA ANDA CERAHKAN SAYA?Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 21:17 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Fenomena estetika TUK itu menarik kalau bisa menelusuri bagaimana genre puisi dan prosa mutakhir dibentuk sebelum dominan menguasai khazanah sastra Indonesia. Dan, satu perlawanan dengan memicu keberadaan beberapa estetika tandingan tanpa… ada pengamatan mendalam terlebih dahulu hanya akan jadi teks caci maki, yang melahirkan pengikut mahapemberang Saut Situmorang-atraktif bikin rujak setiap hari padahal rujak mengganggu kesehatan pencernaan, kalau mengutip Sutan Takdir Alisyahbana.

Namun, apa perlunya mengugat dominasi kritikus dan determinasi (selera) kritik yang cuma melegitimasi karya tertentu apabila kita bisa melawannya dengan kesuntukan berkarya dan senyum saat mampu mempersembahkan karya otentik?”

COBAK ANDA JELASKAN APA ITU “ESTETIKA TUK” YANG MENARIK ITU?

COBAK BUKTIKAN BAHWA ESTETIKA TUK ITU MEMANG “DOMINAN MENGUASAI KHAZANAH SASTRA INDONESIA”?

APA ESEI-ESEI SAUT SITUMORANG ITU DAN ISI JURNAL “boemipoetra” YANG ANDA JUGAK PERNAH JADI KONTRIBUTORNYA BEBERAPA KALI ITU MEMANG CUMAK “TEKS CACI MAKI”? SILAHKAN ANDA BUKTIKAN!

PERTANYAAN TERAKHIR SAYA: APA SIH RUPANYA YANG SUDAH ANDA SUMBANGKAN BAGI SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR, TAK USAH LAH DULU KITA BICARAIN SASTRA INDONESIA SECARA UMUM?Lihat Selengkapnya
13 Agustus jam 21:22 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu wah Beni Setia itu kayaknya penakut ya! lempar batu, sembunyi tangan, tak berani menerima tantangan!
Sabtu pukul 14:29 · SukaTidak Suka ·
o
Achmad Fathol Qorib Kok bermuka dua ya? Bang saut, hajar saja!
Sabtu pukul 21:17 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Halim Hade melihat perkembangan perdebatan ini, ada baiknya jika rekan-rekan membaca PERDEBATAN SASTERA KONTEKSTUAL (editor ariel heryanto). aku mengusulkan kepada ULTIMUS untuk kembali menerbitkan ulang, dan ditambah dengan bahan bahan lainnya yang dulu belum dimuat, khususnya tulisan/esai ikranegara, abdul hadi wm, suratji chalzoum bachri yang ditulis di ruang DIALOG koran tentara, berita buana.
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Andre Gusti Bara
Ini buat si Benni:

Aku tak pernah dengar si Rendra membaca puisi saat aku mulai menulis. Tapi aku mengenal Rendra dari tulisannya. Aku belajar untuk jadi berani melihat dan menulis tentang sekitarku, salah satunya juga krn Rendra. Lalu apa i…ni bukan kemampuan Rendra di atas teks yang kau ragukan itu?

Oh ya, dari tulisan pendek yang memuakkan di atas, kau selalu hanya menuduh sana sini tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Kau lagi mengidap penyakit Goenawan Muhamad yach?

TUK dominan? Ha!! Taik babi. Itu bualan si GM saja yg orang2 sepertimu percaya. TUK dan GM itu cuma dominan di kepala anggota masyarakat spectacle saja. Utk mereka yg masih teralienasi.

Puisi itu bukan soal kadar rumit susahnya kata yg dipilih agar orang makin bingung. Berkali-kali kubaca, lama2 menyerupai rengekan anak2 Salihara dan TUK yang mengaku seniman itu.Lihat Selengkapnya
4 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Jajang R Kawentar Sensasional mas beni ya uhuy. bung saut gemana ini…
4 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Raudal Tanjung Banua
Om beni sangat ambigu melihat totalitas. Di satu sisi, Rendra dianggap gagal secara teks [sic!] tp berhasil dlm pertunjukan puisi (non-teks). Kenapa hal yg sama tdk berlaku pd saut situmorang yg mmbangun gerakan sastra kritis (sadar politik… sastra)? Kenapa upaya non-teks yg dilakukannya brsama boemipoetra dg segala strategi dan intensitas, dianggap kasar dan sejenisnya dan saut dianggap pemberang? Apa Rendra di panggung hnya mmbawakn puisi2 picisan tanpa ada ekspresi kegeraman pd keadaan? Apa Rendra di panggung memuja pihak yg brkuasa, pihak yg menumpuk utang luar negeri lalu berkoar2 di luar sana rakyat udah makmur? Kalo mau adil, lihat prsoalan dg setara. Itu baru satu soal. Kita bs lihat lg dari segi estetik teks. Apa teks Rendra mmg tak ‘bunyi’? Wah, trlalu sembrono kukira. Dan karya SS (esei, cerpen, puisi, sebentar lg kumpulan dongeng anak2 dan opera tebingtinggi :-D ) apa mmg sebegitu jeblok di mata om beni? Entahlah. Wallahualam bissawab.
Lihat Selengkapnya
13 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · 2 orangBudi Hutasuhut dan Ragil Sukriwul menyukai ini. ·
o
Halim Hade lama-lama ngabisin enerji mendiskusikan teni setia eliot, mendingan ngebir!
11 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Andre Gusti Bara ?@ Saut; Kok yang punya tulisan ini tak nongol2 juga? Wah, jadi gatal nie..
9 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu Andre,

ciri tipikal TUKulis: abis buang sampah sembarangan, lari! nuduh orang lain lagi yang suka buang sampah sembarangan! Pukimak memang para sampah Sastra Indonesia ini!
3 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
Dal,

si Beni itu cumak sok gagah aja bilang ngerti Sastra! Kalok dengan anak SD bisalah koyoknya itu berhasil, hahaha… Tentang Rendra aja, kan nampak kali dia sebenarnya gak pernah baca Rendra, apalagi memahaminya! Begitu banyak puisi Ren…dra, sampek penitisan yang akan datang pun si Beni ini tak kan mampu menghasilkan karya sepertiga jumlah korpus Rendra! Mana dia tahu kalok Rendra bukan cumak nulis Pamflet doang! Dia gak tahu ada ‘Balada Orang-orang Tercinta’, ada favoritKu ‘Blues untuk Bonnie’, ada ‘Disebabkan oleh Angin’, ada sajak2 cinta ala sufi Katolik, ada Sajak Joki Tobing buat Widuri, ada sajak2 perjalanan ke Rusia dan Korea, ada Saijah dan Adinda… Beni Setia itu dalam bahasa Inggris dibilang ‘Fake’, hahaha…Lihat Selengkapnya
3 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu Liat tuh makiannya terhadap Ariel Heryanto dan Arif Budiman. Sejak kapan ada Keharusan bahwa para Penggagas Ide itu Harus mampu menyebabkan terciptanya Karya Seni yang sesuai dgn Ide yang mereka gagas! Apalagi konteks dari Gagasan tsb adalah Kritik atas Kondisi Berkesenian! Masak sebuah Kritik disamakannya dgn sebuah Kredo Kreatif/Estetika Penciptaan! Apalagi kedua pencetus Kritik itu Bukan Seniman sama sekali! si Beni Setia ini adalah contoh konkret dari Sastrawan Bakat Alam pseudo-intelektual itu, yang Minor lagi! Hahaha…
3 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu Oiya, Dal, operaku itu judulnya ‘Opera Para Bunglon’, dalam lima babak Shakespearean. Sebuah opera eksistensialis-Marxis-psikoanalisis. Dialog tanpa suara. Tokoh-tokohnya bernama ‘Beni Setia’ semua, termasuk properti panggungnya. Sutradaranya bernama ‘Mister Goenawan Mohamad aka Goendoel Monyet’. Sebuah opera-dalam-opera, mirip teater-dalam-teater Hamlet. Nama setting tempatnya ‘Salihara’. Waktunya: Saat Ini.
2 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Nurel Javissyarqi pak Halim, tapi ini sungguh-sungguh bermanfaat!
4 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Wahyu Hariyanto Beni Setia ini cuma cari sensasi, dia pengen jadi pembicara di Temu Sastra jawa Timur 2010 bulan depan dan pengen dari nara sumber diskusi-diskusi di DKJT…biasalah masalah perut, bukan masalah otak. Beni itu gak punya integritas, kapasitas otaknya rendah dan asal omong, dia gak punya data yang akurat dan lebih mirip makelar kambing hehehe
3 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Adin Mbuh ya mas hehe
2 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu W,

HAHAHA… Embeek! HAHAHA…

No comments:

Post a Comment