Bangkitlah
Indonesia
Kita
Ikrar Nusa Bhakti
Profesor riset di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
KITA memang
sering sekali menjadi
bangsa yang
suka terkaget-kaget.
Kita juga sering kali lambat
untuk memiliki kesadaran baru.
Tengok, misalnya, ketika pesawat
Merpati Nusantara Airline
jatuh di Kaimana, Papua Barat.
Banyak orang yang kaget mengapa
kita membeli pesawat
buatan China MA-60 dan bukan
menggunakan produk bangsa
sendiri CN-235? Ketika hasil
survei Indo Barometer diumumkan
minggu lalu, banyak
orang yang kaget pula karena
salah satu kesimpulannya ialah
responden menilai Orde Baru
lebih baik daripada situasi saat
ini. Ketika Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menangkap
Sekretaris Kementerian Pemuda
dan Olahraga Wafi d Muharam
bersama dua orang yang
diduga melakukan penyuapan,
Mindo Rosalina Manulang dan
M El Idris, kita juga terhenyak,
bagaimana mungkin masih ada man
u s i a
Indonesia
yang tega mengorupsi
anggaran
untuk pembangunan
fasilitas olahraga
untuk SEA Games 2011
di Palembang. Kita makin
kaget ketika muncul tuduhan
bahwa Wafid Muharam
adalah kader Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) dan mereka
yang terlibat suap-menyuap
antara lain adalah Bendahara
Umum Partai Demokrat M
Nazaruddin dan Angelina
Sondakh, anggota DPR RI dari
Partai Demokrat. Mungkin kita
bertambah kaget lagi saat membaca
berita utama surat kabar
Ibu Kota minggu lalu yang
menyebutkan hampir semua
partai politik tersandera kasus
korupsi! Betapa menyedihkannya
negeri ini.
Kita seakan baru sadar, jika
kelakuan manusia Indonesia,
khususnya kaum elite yang
berada di eksekutif dan legislatif,
amat korup, lebih mementingkan
diri sendiri dan
kelompoknya, bagaimana
pula nasib bangsa ini
ke depan. Di tengah
bangsa-bangsa lain di
Asia Tenggara yang
sedang menggeliat
untuk dapat
bersaing di era
globalisasi
politik dan
ekonomi,
I n d o -
nesia
seakan
m a s i h
t e r k u n g -
kung oleh perilaku
elite politiknya
yang korup
dan kurang memiliki
rasa kebangsaan untuk lebih
mendahulukan penggunaan
produk bangsa sendiri ketimbang
bangsa asing. Slogan
‘cintailah produk-produk Indonesia’
serasa tanpa makna
jika jajaran elite di kabinet sendiri
lebih cinta untuk membeli
produk China pesawat MA-60
ketimbang hasil karya anakanak
bangsa CN-235.
Kita tidak sadar bahwa bangkitnya
Jepang setelah Perang
Dunia II disebabkan adanya
kesadaran warga Jepang untuk
lebih mencintai produk-produk
negaranya sendiri ketimbang
barang impor. Generasi Indonesia
yang lahir pada 1950-an pasti
mengetahui bagaimana produk
Jepang pada era 1960-an atau
1970-an dinilai tidak berkualitas,
cepat rusak, dsb. Namun, melalui
kecintaan orang Jepang pada
produknya sendiri ditambah dengan
inovasi-inovasi baru untuk
menciptakan teknologi baru
yang lebih canggih daripada
teknologi yang diciptakan bangsa-
bangsa Eropa dan Amerika
Serikat, barang-barang Jepang
menjadi barang yang amat berkualitas
di dunia. Melalui sistem
dumping pula barang Jepang
meluas ke seantero dunia dan
dicintai dunia.
Kita juga melihat bagaimana
geliat ekonomi Korea Selatan
sejak 1980-an dan China sejak
1990-an. Produk Korea Selatan
awalnya juga dinilai tidak bermutu.
Kini siapa yang tidak
tahu merek dagang LG, Samsung,
Hyundai, KIA, Daewoo?
Siapa pula di dunia ini yang
tidak pernah membeli suvenir
di luar negeri yang ternyata
buatan China? Siapa yang
tidak sadar betapa produk
alas kaki, tekstil dan produk
tekstil, mainan anak-anak atau
elektronik murahan China menguasai
pasaran dunia? Siapa
yang tidak tahu bahwa China
adalah negara utama yang
membeli surat utang Negara
Amerika Serikat? Siapa pula
yang tidak tahu bahwa perusahaan
kimia dan minyak China
berusaha untuk menguasai
ladang-ladang minyak dunia
termasuk di Indonesia? Sadarkah
kita bahwa pemerintah
Indonesia lebih mendahulukan
perusahaan minyak China untuk
mengeksplorasi minyak di
ladang Madura Barat dan bukan
sebagian besar diberikan
kepada perusahaan
BUMN Pertamina?
Kita jangan kaget
bila ada pejabat
I n d o n e s i a
yang akan
m e n g a -
takan,
“This
i s
nothi
n g t o
do with nationalism,
this
is purely business!”
Kita tentunya akan terus
mengelus dada jika
ada petinggi Republik yang
lebih tunduk pada China atau
AS demi uang atau politik, dan
mengesampingkan kepentingan
nasional kita. Jika kebijakan
ekonomi Indonesia dijadikan patokan, mungkin akan banyak
data bermunculan bahwa
eksekutif dan legislatif kita semuanya
sudah melenceng dari
konstitusi negara kita, Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945.
Sadarkah kita bahwa pemerintahan
SBY-Boediono amat
takut untuk mengajukan usulan
kontrak baru PT Freeport
yang lebih menguntungkan
Indonesia? Padahal pada 1994
Freeport mengajukan kontrak
baru karena area produksinya
diperluas. Kita memang tidak
memiliki elite politik seberani
Bung Karno yang mengatakan,
“Go to hell with your aid,” yang
kini bisa ganti dengan kalimat
‘Go to hell with your moneyÊ atau
‘Go to hell with your investmentÊ
jika investasi atau uang China,
AS, atau negara lain yang diinvestasikan
di negeri kita
tidak memberikan manfaat bagi
bangsa dan negara kita, tetapi
hanya untuk mengeruk kekayaan
kita dan memiskinkan
rakyat.
Kita di Indonesia terasa terhenyak
ketika barang-barang
China yang masuk ke Indonesia
ternyata bukan saja barang khas
China, melainkan juga batik
yang notabene adalah produk
khas Indonesia. Entah sampai
kapan kita tetap lebih memilih
untuk menggunakan batik
produk Indonesia ketimbang
produk China. Ini bukan soal
antiglobalisasi atau antiasing,
tapi sadarkah kita kalau di
negara-negara maju seperti di
Australia, AS, dan negara-negara
Eropa banyak kalangan yang
sangat antiglobalisasi dan ingin
memproteksi produk atau hasil
pertanian dari negara mereka
sendiri.
Sadarlah para elite politik
kita di kabinet dan
elite ekonomi kita yang
tergabung di Kamar
Dagang dan Industri
(Kadin) mengenai
gempuran barang-barang
murah dan tidak
bermutu dari China tersebut. Kini China bahkan
sudah merambah ke teknologi
dirgantara, yakni dengan menjual
produk yang di negerinya
sendiri kurang laku, pesawat
MA-60!
Orde Baru lebih baik?
Kita sering tercengang jika
masih ada orang yang mengatakan
bahwa Orde Baru lebih
baik daripada Orde Reformasi
atau Soeharto lebih baik daripada
SBY. Pandangan bahwa
Orde Baru lebih baik daripada
era reformasi bukanlah hal
yang baru. Sejak awal reformasi
pun banyak orang yang menilai
seperti itu, bukan hanya dari
kalangan kroni atau elite politik
yang diuntungkan era otoriter
itu, melainkan juga rakyat miskin
kota.
Sanjungan terhadap Orde
Baru disebabkan anggapan
bahwa di era Soeharto stabilitas
politik dan keamanan
terjaga, pertumbuhan ekonomi
meningkat, pemerataan
juga terjadi. Di era Soeharto
tak dapat dimungkiri harga
barang-barang dan pangan
terjangkau, sekolah dan kuliah
murah, kesehatan juga
terjamin karena puskesmas
ada di hampir semua wilayah
Tanah Air.
Namun, sadarkah kita bahwa
segala yang ada saat itu ada
pula yang bersifat semu? Stabilitas
politik dan keamanan
kita saat itu tercapai karena
politik deparpolisasi dan
depolitisasi yang dilakukan
pemerintah terhadap partaipartai
politik. Demonstrasi mahasiswa
juga hanya sekali-kali
terjadi pada 1974 (Malari), 1978
(saat Sidang MPR RI untuk
melantik Soeharto kembali jadi
presiden), dan 1979 (saat pemerintah
menerapkan normalisasi
kehidupan kampus dan badan
koordinasi kemahasiswaan--
NKK dan BKK--serta pembubaran
Dewan Mahasiswa di
seluruh universitas negeri).
Demonstrasi besar baru terjadi
pada 1997 dan 1998 saat Indonesia
mengalami persoalan
ekonomi besar sejalan dengan
krisis keuangan dan ekonomi
kawasan Asia Tenggara yang
berakhir dengan jatuhnya Soeharto.
Stabilitas politik dan
keamanan juga tercipta karena
semua organisasi sosial adalah
bagian dari korporatisme negara,
dari PWI, KNPI, karang taruna,
sampai ke MUI sekalipun.
Stabilitas politik dan keamanan
juga terjaga karena Indonesia
berada di bawah sepatu lars
tentara, tak ada aspek kehi-
dupan dalam masyarakat yang
lepas dari intervensi ABRI.
ABRI saat itu bukan memiliki
dwifungsi ABRI, melainkan
hanya satu fungsi, ‘that ABRI
was running everything!Ê.
Sadarkah kita betapa persoalan
hak asasi manusia menjadi
persoalan pelik di negeri kita,
baik saat Soeharto dan dalam
kadar yang lebih rendah hingga
saat ini? Sadarkah bahwa perilaku
aparat negara masih belum
berubah secara total menuju
yang lebih manusiawi?
Kita juga masih melihat betapa
korupsi masih merajalela
di eksekutif dan legislatif. Politisi
di eksekutif dan legislatif
dapat dikatakan sebagai
penyumbang terbesar dari
korupsi di negeri ini. Jika para
elite politik yang korup itu
ditangkapi dan ditahan, bukan
mustahil negeri ini akan masuk
Guinness Book of Record sebagai
negara dengan elite politiknya
dari Sabang sampai Merauke
memenuhi rumah-rumah tahanan
dan lembaga-lembaga
pemasyarakatan kita.
Bangkitlah negeriku
Indonesia adalah milik kita dan
kita untuk Indonesia. Demokrasi
kita memang belum matang. Namun,
bila tingkah laku para elite
parpol dipaksa untuk diubah
melalui penerapan penegakan
hukum yang konsisten dan
tanpa pandang bulu, bila pemilu
dijalankan tanpa politik uang,
bila pendidikan politik rakyat
dan para elite partai berjalan
baik, penulis percaya, dalam tiga
pemilihan umum mendatang
Indonesia akan terbentuk menjadi
negara dengan kematangan
demokrasi yang baik.
Bila kita semua mencintai
produk Indonesia, bukan mustahil
kuantitas dan kualitas
produk kita akan semakin baik.
Mari kita jadikan Indonesia
sebagai surga bagi produkproduknya
sendiri sehingga
tanpa kebijakan proteksionis
pun negeri ini akan terhindar
dari deindustrialisasi yang
semakin masif.
Mari kita bangun kembali
keindonesiaan kita sehingga
‘seribu bunga dapat berkembang
dan menghiasi taman nasionalisme
Indonesia!’. Tanpa
rasa kebangsaan kita, negeri
ini akan terus tercabik oleh
konfl ik antaretnik dan agama
yang semuanya terkait dengan
pertarungan antarelite.
Indonesia akan bangkit jika
semua anak bangsa sadar bahwa
kita milik Indonesia dan
Indonesia milik kita!
No comments:
Post a Comment