Monday, 18 July 2011

BERSANDAR PADA SENJA - PUISI PABLO NERUDA

Bersandar Pada Senja

Sewaktu bersandar pada senja, kutebarkan jala dukaku
ke lautan matamu.

Di sana, kesepianku membesar dan membakar dalam marak api maha tinggi
tangannya menggapai bagai orang lemas.

Kukirim isyarat merah ke arah matamu yang hampa
yang menampar lembut seperti laut di pantai rumah api.

Kau jaga hanya kegelapan, perempuanku yang jauh
pantai ketakutan kadang-kadang muncul dari renunganmu.

Sewaktu bersandar pada senja, kucampakkan jala dukaku
ke laut yang mengocak lautan matamu.

Burung-burung malam mematuk pada bintang-bintang pertama
yang mengerdip seperti kalbuku ketika menyintaimu.

Malam menunggang kuda bayangan
sambil menyelerakkan tangkai-tangkai gandum biru di padang-padang.



Soneta XVII


aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar, atau batu topaz,
atau panah anyelir yang menyalakan api.
aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai,
secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa.

aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar
tetapi membawa dalam dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi;
terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat,
bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku.

aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana
aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan;
demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya

beginilah: dimana aku tiada, juga kau,
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku,
begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur.

Soneta LXVI


Aku tidak mencintaimu kecuali karena aku mencintaimu;
aku pergi dari mencintaimu menjadi tidak mencintaimu,
dari menunggu menjadi tidak menunggu dirimu
hatiku berjalan dari dingin menjadi berapi.

Aku mencintaimu hanya karena kamulah yang aku cinta;
aku membencimu tanpa henti,
dan membencimu bertekuk kepadamu
dan besarnya cintaku yang berubah untukmu adalah bila aku tidak mencintaimu tetapi mencintaimu dengan buta.

Mungkin cahaya bulan Januari akan memamah hatiku dengan sinar kejamnya,
mencuri kunciku pada ketenangan sejati.

Dalam bagian cerita ini hanya akulah yang mati, hanya satu-satunya,
dan aku akan mati karena cinta karena aku mencintaimu.
karena aku mencintaimu, cintaku, dalam api dan dalam darah.

Soneta XXV


Sebelum aku mencintaimu, cinta, tiada ada yang menjadi milikku:
Aku melambai melalui jalan-jalan, di antara benda-benda:
tiada ada yang berarti ataupun mempunyai sebuah nama:
dunia terbuat dari udara, yang menunggu.

Aku mengenal kamar-kamar yang penuh oleh debu,
terowongan dimana bulan hidup,
gudang-gudang kasar yang menggeram Pergilah,
pertanyaan yang memaksa di dalam pasir.

Semua adalah kekosongan, mati, bisu,
jatuh, terlantar dan membusuk:
tidak diragukan asing, semuanya.

milik orang lain --tidak pada siapapun:
sampai kecantikanmu dan kemiskinanmu
dipenuhi oleh musim gugur yang penuh dengan hadiah.

Tiada Selain Kematian


Adalah kuburan yang kesepian,
makam yang penuh dengan tulang belulang yang tak berbunyi,

Oh Bumi, Nantikan Aku


Pulangkan daku, oh mentari,
ke takdir kasapku,
hujan hutan tua,
kembalikan padaku aroma dan pedang-pedang
yang lepas dari angkasa,
kedamaian sunyi padang rumput dan karang,
kelembapan tepi-tepi sungai,
bau pohon cemara,
angin yang riang laksana jantung
yang berdetak di tengah sesak kegelisahan
araucaria yang besar.

Bumi, kembalikan padaku kado-kado sejatimu,
menara-menara kesunyian yang dahulu
menjulang dari ketakziman akar-akar mereka.
kuingin kembali jadi sosok masa silamku
dan belajar untuk berpaling dari bisikan kalbu
bahwa di antara segala sosok alamiah,
aku mungkin hidup atau hadapi maut;
tak mengapa jadi satu batu baru, batu kelam,
batu sejati yang hanyut oleh sungai.

hati yang berjalan melalui sebuah terowongan,
seperti bangkai kapal kita akan mati memasuki diri kita sendiri,
seakan-akan kita tenggelam dalam hati masing-masing
seakan-akan kita hidup lepas dari kulit kedalam jiwa.

Dan adalah mayat-mayat,
kaki yang terbuat dari tanah liat yang dingin dan lengket,
kematian ada di dalam tulang-tulang,
seperti gonggongan dimana tiada anjing-anjing,
keluar dari bel entah di mana, dari makam entah di mana,
tumbuh di dalam udara lembab seperti tangisan hujan.

Terkadang aku melihat sendiri,
peti mayat yang sedang berangkat,
dimulai dengan kepucatan kematian, dengan wanita yang memiliki rambut mati,
dengan tukang-tukang roti yang seputih malaikat,
dan gadis-gadis muda yang termenung menikah dengan notaris publik,
peti mati melayari vertikal sungai kematian,
sungai berwarna ungu gelap,
menyusuri hulu dengan layar-layar yang berisikan suara-suara kematian,
berisikan suara kematian yang merupakan diam.

Kematian datang dengan semua suara itu
seperti sebuah sepatu tanpa kaki di dalamnya, seperti sebuah jas tanpa seorang laki laki di dalamnya,
datang dan mengetuk, menggunakan sebuah cincin tanpa batu di dalamnya, tanpa jari di dalamnya,
datang dan berteriak tanpa mulut, tanpa lidah, tanpa kerongkongan.
namun langkah-langkahnya bisa didengar
dan pakaiannya membuat suara keheningan, seperti sebuah pohon.

Aku tidak yakin, aku mengerti cuma sedikit, aku tidak bisa begitu melihat,
tetapi sepertinya untukku nyanyiannya memiliki warna kelembaban bunga violet,
dari bunga violet yang berada di rumah di dalam bumi,
karena wajah kematian adalah hijau,
dan muka yang diberikan kematian adalah hijau,
dengan penetrasi kelembaban dari sehelai bunga violet
dan warna muram dari musim dingin yang menyakitkan hati.

Tetapi kematian juga melewati dunia berbaju seperti sebuah sapu,
menyapu lantai, mencari tubuh-tubuh mati,
kematian ada di dalam sapu,
sapu adalah lidah dari kematian yang mencari mayat-mayat,
adalah jarum dari kematian yang mencari benang.

Kematian ada di dalam tempat tidur gantung yang terlipat,
yang menghabiskan hidupnya tidur di atas matras-matras lambat,
di dalam selimut-selimut hitam, dan tiba-tiba melepaskan nafas:
meniupkan suara ratapan yang membengkakkan seprai,
dan tempat-tempat tidur pergi berlayar menuju pelabuhan
dimana kematian sudah menunggu, berpakaian seperti seorang laksmana.


Ya, kukenal dia, dan kulewatkan sederet tahun bersamanya,
dengan hakekatnya yang berasal dari emas dan batu,
ia seorang lelaki yang letih �
di Paraguay ia tinggalkan ayah dan bundanya,
anak-anaknya dan semua keponakannya,
ipar-iparnya yang paling akhir,
pintunya dan ayam-ayamnya,
serta beberapa buku yang setengah terbuka.
Ada suara ketukan pintu.
Ketika ia membukanya, ia disambar polisi
dan mereka menderanya tanpa kata ampun
sehingga ia ludahkan darah di Prancis, di Denmark,
di Spanyol, di Italia, dan bergerak ke sana kemari,
kemudian ia mati dan tak lagi kulihat wajahnya,
tak lagi kudengar kesunyiannya yang dalam;
lalu suatu ketika, pada suatu malam berbadai,
dengan salju yang turun menyelubungi
sebuah mantel licin di daerah pegunungan,
di punggung seekor kuda, di sana, di kejauhan,
kulayangkan pandang dan kulihat sahabatku di sana �
parasnya kini terukir di permukaan sebuah batu,
dan raut wajahnya menantang cuaca liar,
dalam rongga hidungnya angin meniupkan
rintihan seorang lelaki yang tanggung siksa.
di sana, pengasingan temukan titik akhir.
kini ia hidup di tanah airnya walau berwujud batu.

No comments:

Post a Comment