Thursday 27 September 2012

National Disability Insurance Scheme (NDIS) : A Social Work Contribution

National Disability Insurance Scheme (NDIS) : Influencing Policy

Untuk memahami kebijakan mengenai pelayanan-pelayanan bagi penyandang disabilitas di Australia, kita bisa memulainya dengan melihat perilaku masyarakat pada era 1800-an. Pada era ini masyarakat lebih mengedepankan perspektif medis atau yang lebih dikenal dengan sebutan institusionalisation. Dalam perspektif ini, para penyandang disabilitas ditempatkan di institusi-institusi medis untuk diobati. Dengan kata lain, para penyandang cacat dianggap penderita penyakit yang harus diobati dan diisolasi dari masyarakat. Hal ini dapat terlihat jelas dari beberapa fakta yang terjadi di Australia sebagai berikut :
1.   Tahun 1811 : Institusi pertama didirikan, Castle Hill Asylum, di New South Wales (NSW).
2.   Tahun 1852 : Adelaide Lunatic Asylum didirikan.
3.   Tahun 1866 : Royal Victorian Institute untuk tuna netra didirikan.

Pada tahun 1900-an perhatian masyarakat terhadap penyandang disabilitas semakin terbangun dengan baik, terlihat dari beberapa perkembangan sebagai berikut :
1.   Tahun 1901 : Terbentuk Pemerintah Federasi Australia.
2.   Tahun 1910 : Diperkenalkan pertama kali pensiun untuk orang cacat.
3.   Tahun 1933 : Kursi roda lipat dari baja ditemukan.
4.   Tahun 1945 : Diperkenalkan pertama kali tunjangan untuk orang sakit.
5.   Tahun 1950-an : Pertama kali didirikan sheltered workshops untuk anak dengan disabilitas.
Perkembangan ini banyak diwarnaai oleh pengaruh internasional antara lain : (1) Tahun 1945, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) secara formal didirikan; dan (2) Tahun 1948, United Nations Universal Declaration of Human Rights diproklamasikan dan menjadi standard umum yang ingin dicapai semua orang dan semua bangsa, ditandatangani oleh Australia.

Pada tahun 1970-an perspektif sosial atau lebih dikenal dengan konsep de-institutionalisation mulai berkembang di Australia. Dalam konsep ini, penyandang disabilitas tidak lagi dianggap sesuatu yang harus diinstitusikan, namun dimanusiakan sebagai anggota masyarakat yang bisa tinggal dengan keluarga atau di komunitinya. Hal ini terlihat dari beberapa fakta sebagai berikut:
1.   Tahun 1970-an : Kursi roda elektronik sudah bisa didapatkan di Australia.
2.   Tahun 1974 : Commonwealth Government meloloskan Handicapped Person's Assistance Act yang mengakui orang dengan intelektual disabilitas dan menyediakan landasan untuk pendanaan.
3.   Tahun 1978: Operasi implant cochlear pertama kali di dunia dilakukan oleh Royal Victorian Eye and Ear Hospital.
Munculnya perspektif sosial sedikit banyak diwarnai oleh pengaruh internasional antara lain : (1) Tahun 1971, United Nations Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons diratifikasi oleh Australia; (2) Tahun 1972, orang dari Amerika, Wolf Wolfensberger, mengembangkan prinsip normalization sebagai dasar perencanaan dan pelaksanaan layanan kemanusiaan serta dalam menetapkan kualitas perencanaan dan layanan kemanusiaan tersebut, yang digunakan sebagai dasar pembuatan peraturan perundang-undangan, prinsip-prinsip dan standar pelayanan pemerintah untuk orang dengan disabilitas di Australia; dan (3) Tahun 1975, United Nations Declaration on the Rights of Disabled Persons, ditandatangani oleh Australia.

Pada tahun 1980-an Pemerintah Australia melakukan survey dan berusaha mereview program terkait dengan penyandang disabilitas, serta mulai mengembangkan layanan berbasis komuniti yang terlihat dari fakta-fakta sebagai berikut :
1.   Tahun 1981 : Survey tentang penyandang disabilitas dilakuan oleh Australian Bureau of Statistics.
2.   Tahun 1983 : Commonwealth melakuan review mengenai program-program terkait isu disabilitas.
3.   Disability Advisory Council Of Australia (DACA) didirikan.
4.   Tahun 1985 : Home and Community Care Program (HACC) sebagai layanan berbasis komuniti pertama kali diperkenalkan.
5.   Diluncurkan National Occupational Health and Safety Commission Act.
Perkembangan ini juga diwarnai pengaruh internasional yaitu : (1) Tahun 1981, International Year of Disabled Persons meningkatkan kesadaran mengenai persoalan disabilitas di Australia; dan (2) Tahun 1982 – 1993, ditetapkannya United Nations Decade of Disabled Persons.

Tahun 1990-an adalah tahun dimana masyarakat di Australia menginginkan perubahan paradigma dari pemerintah yang menyelenggarakan layanan-layanan  ke privatisasi layanan atau dikontrakkan. Hal ini terlihat dari beberapa fakta sebagai berikut :
1.   Tahun 1986 : Commonwealth Disability Services Act (DSA) ditetapkan melalui dukungan semua partai politik, perubahan focus dari penyediaan layanan ke outcome penyandang disabilitas.
2.   Diluncurkannya Human Rights and Equal Opportunity Discrimination Act.
3.   Tahun 1991 : Commonwealth State Disability Agreement (CSDA) mengalihkan administrasi untuk layanan penyandang disabilitas (kecuali masalah pekerjaan dan beberapa program advokasi) dari Commonwealth ke States dan Territories.
4.   Tahun 1992 : Commonwealth Disability Discrimination Act (DDA) ditetapkan, membuat sesuatu melanggar hukum jika mendiskriminasi penyandang disabilitas di dunia pekerjaan, pendidikan, akses untuk mendapatkan akomodasi dan mengungkapkan aspirasi ke publik.
5.   Tahun 1993 : Commonwealth Disability Service Standards dikembangkan untuk layanan-layanan terkait pekerjaan bagi penyandang disabilitas didanai oleh Commonwealth Government.
6.   Tahun 1993: Diluncurkan Northern Territory Disability Services Act.
7.   Tahun 1999: Ditetapkan Northern Territory Disability Service Standards.
Perubahan-perubahan yang terjadi di Australia pada tahun 1990-an ini diwarnai oleh pengaruh internasional yaitu tahun 1993 dengan ditetapkannya United Nations Standard Rules on the Equalisation of Opportunities for People with Disabilities.

Pada tahun 2000-an kebijakan Pemerintah Australia sudah mengedepankan whole of life approach yang terlihat dari fakta-fakta sebagai berikut :
1.   Tahun 2009 : Ditetapkan National Disability Agreement (NDA) yang merupakan wujud komitmen yang kuat dari Pemerintah Australia, State dan Territory untuk menyediakan kesempatan-kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dan menikmati keshidupan ekonomi dan sosialnya. Agreement ini menyediakan framework bagi pemerintah untuk mendukung penyandang disabilitas.
2.   Tahun 2012 : Ditetapkan National Disability Strategy (NDS) oleh Council of Australian Governments (COAG) yang memuat garis besar kerangka kebijakan nasional 10 tahunan sebagai pedoman kegiatan pemerintah terkait dengan outcome yang ingin dicapai dan sebagai pengendali untuk reformasi di masa mendatang terkait dengan pengarusutamaan dan system layanan khusus disabilitas untuk meningkatkan outcome bagi penyandang disabilitas, keluarga dan karier mereka. NDS merepresentasikan sebuah komitmen pemerintah, industry dan komuniti di segala level untuk bersatu dalam pendekatan nasional terkait pengembangan kebijakan dan program. Commonwealth, state, territory dan local governments telah mengembangkan strategi dalam kemitraan terkait dengan NDS.
3.   Bulan Juli 2013 : Akan dilaunching tahap pertama National Disability Insurance Scheme (NDIS) di South Australia, Tasmania, ACT, Hunter NSW dan Barwon Victoria. Pemerintah Australia telah mengalokasikan $ 1 billion untuk mendukung program ini.
a.      Di South Australia, mereka yang akan diujicobakan dalam NDIS adalah anak usia 0-14 tahun, sehingga diharapkan 4.800 anak dengan disabilitas dapat tercover untuk tahap pertama.
b.      Di Tasmania, NDIS akan diluncurkan tahap pertama untuk 1.000 orang yang berumur 15-24 tahun. Pertimbangannya adalah untuk menguji dan meningkatkan dukungan bagi para pemuda yang berada dalam masa transisi antara sekolah dengan dunia pekerjaan atau dengan pendidikan tinggi.
c.       Di lokasi lain, ribuan orang dengan kecacatan yang signifikan akan mendapatkan tunjangan dari NDIS yaitu :
1)      10.000 orang di Hunter NSW seperti Newcastle, Maitland dan Lake Macquarie.
2)      5.000 orang di Barwon Victoria termasuk di dalamnya Greater Geelong, Colac-Otway Shire, Borough Queenscliffe dan Surf Coast Shire.
3)      6,000 orang di ACT.
NDIS memiliki karakteristik dan manfaat sebagai berikut :
  1. Pendekatan sepanjang hidup, pendanaan jangka panjang dan berkelanjutan. Penyandang disabilitas dan keluarganya akan tenang karena dukungan yang diterimanya akan berubah sesuai dengan kebutuhan mereka.
  2. Pilihan dan pengawasan. Orang akan memilih bagaimana mereka mendapat dukungan dan memiliki control tentang kapan, dimana, bagaimana mereka menerimanya. Bagi beberapa orang dimungkinkan untuk mengelola sendiri keuangan mereka.
  3. Partisipasi ekonomi dan social. Penyandang disabilitas akan didukung untuk hidup yang lebih bermakna dalam komuniti mereka dan pengembangan potensi mereka secara penuh.
  4. Fokus pada intervensi dini. Sistem akan memiliki cukup sumber dan cukup cerdas untuk investasi dalam intervensi dini yang sifatnya preventif dibanding hanya menyediakan dukungan ketika sebuah keluarga mengalami krisis.
4.   Setelah NDIS diharapkan dapat berjalan dengan baik, maka akan dipertimbangkan konsep National Injury Insurance Scheme (NIIS) masuk dalam NDIS mengingat tingkat kecelakaan di Australia sangat tinggi. Diharapkan pada tahun 2020 NIIS sudah dapat diterapkan di Australia.

Terkait dengan kebijakan penyandang disabilitas di Australia, profesi pekerjaan sosial turut berkontribusi dalam advokasi untuk penyandang disabilitas yang terkenal dalam pemikiran-pemikiran yang kritis atau sering disebut dengan radical thinking of social work,  antara lain :
1.   Mendukung konsep de-institutionalisation atau social perspectives yang memandang bahwa penyandang disabilitas mempunyai kemampuan, harapan dan pilihan-pilihan dalam hidupnya dan memilih layanan apa yang tepat untuk dirinya termasuk didalamnya hidup dalam keluarga dan komuniti dan mendapatkan pekerjaan. Perspektif medis atau institutionalisation dianggap terlalu mengontrol kehidupan penyandang disabilitas. Profesi pekerja sosial perlu mendapat apresiasi untuk kontribusinya dalam proses de-institutionalisation di Australia.
2.   Melakukan advokasi dalam advisory process yang melibatkan masyarakat akar rumput terutama penyandang disabilitas itu sendiri dalam pembuatan keputusan dan penyusunan kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini kurang terakomodasi.
3.   Mengembangkan assessment tools yang lebih spesifik dan appropriate untuk penyandang disabilitas, dan memasukkannya dalam sistem atau skema yang ada (NDIS).
Meskipun pada awalnya banyak yang tidak menyetujui pemikiran-pemikiran radikalnya, akhirnya profesi ini berhasil meyakinkan pemerintah, masyarakat dan profesi lain melalui person-centred approach dalam pelayanan bagi penyandang disabilitas.

Jika dibandingkan dengan Negara Indonesia, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Penandatanganan tersebut menunjukan kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas. Pada waktu menandatangani Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Indonesia menandatangani Konvensi tanpa reservasi. Akan tetapi, tidak menandatangani Optional Protocol Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Sebagai negara penandatangan konvensi, Indonesia memiliki komitmen untuk meratifikasi Konvensi ini.

Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pelindungan terhadap penyandang disabilitas. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:
1.      Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
2.      Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
3.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
5.       Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
6.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
7.      Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
8.      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional;
9.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
10.  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
11.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
12.  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
13.  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
14.  Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
15.  Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan
16.  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.

Akhirnya ratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas dimunculkan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang telah disahkan dan diundangkan pada 10 November 2011 lalu.

Ada beberapa hal penting terkait ratifikasi konvensi tersebut, pertama, pengakuan bahwa diskriminasi atas setiap orang berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang. Kedua, penyandang disabilitas harus memiliki kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan dan program, termasuk yang terkait secara langsung dengan mereka. Ketiga, pentingnya aksesibilitas kepada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, kesehatan dan pendidikan, serta informasi dan komunikasi, yang memungkinkan penyandang disabilitas untuk menikmati sepenuhnya semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.

Terkait tentang kebutuhan akan jaminan sosial sebagaimana di Australian dengan National Disability Insurance Scheme (NDIS) yang dimilikinya, Pemerintah Indonesia memiliki “Pekerjaan Rumah” yang cukup berat untuk mewujudkannya karena perlu diakui bahwa sistem jaminan sosial yang ada di Indonesia saat ini sifatnya masih random (acak) dan belum terintegrasi secara holistic layaknya Australia. Indonesia melalui Kementerian Sosial memiliki beberapa program jaminan sosial melalui konsep conditional cash transfer (CCT) seperti : (1) Program Keluarga Harapan (PKH) yang sasarannya adalah keluarga dengan kategori rumah tangga sangat miskin (RSTM) dengan peruntukan untuk kesehatan ibu hamil dan anak balita, serta akses pendidikan untuk anak; (2) Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) yang diperuntukkan bagi lanjut usia dalam kondisi miskin dan bedridden (sakit-sakitan); (3) Program Jaminan Sosial Orang Dengan Kecacatan (JSODK) yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas berat; (4) Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) yang diperuntukkan bagi anak balita, anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang membutuhkan perlindungan khusus, anak yang berhadapan dengan hukum, anak terlantar dan anak jalanan, serta anak dengan kecacatan; dan (5) Program Jaminan Hidup (JADUP) untuk korban bencana baik bencana alam maupun bencana sosial. Ini belum termasuk program-program dari luar Kementerian Sosial seperti Program Jaminan Kesehatan (JAMKESMAS), Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan lain sebagainya.

Meskipun untuk mewujudkan jaminan sosial seperti NDIS di Australia, Pemerintah Indonesia perlu bekerja keras, namun sebenarnya ada peluang yang mungkin bisa dimaksimalkan sejalan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2004  tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang saat ini masih mencari bentuk yang tepat bagi Indonesia. Artinya, jika program jaminan sosial di Indonesia ke depan arahnya seperti Australia yaitu terintegratif melalui centre link, maka perlu diadakan pendekatan secara intensif untuk memasukkan issue disabilitas ke dalam program jaminan sosial yang sedang dalam proses pembuatan. Perlu kiranya melibatkan profesi Pekerjaan Sosial melalui assosiasi profesi dalam advokasi dan penyusunan assessment tolos terkait dengan program jaminan sosial dimaksud. Tentu saja ini tidak lagi semata-mata tugas pemerintah saja, namun juga tugas LSM, asosiasi penyandang disabilitas, serta seluruh stakeholders di semua lapisan untuk mendukung dan mengawal program jaminan sosial yang disusun, sehingga ke depan mampu mengakomodasi kepentingan penyandang disabilitas dan memiliki keberpihakan kepada mereka.









No comments:

Post a Comment