Ibu Saya, Di Suatu Maghrib
Arif Rohman
Maghrib
Kami baru saja bertengkar. Seluruh pakaian basah kuyup kena air hujan. Masalahnya sebenarnya sederhana. Ibu menyuruh saya pinjam sepeda tetangga untuk beli kayu. Ibu maunya semua kayu dinaikkan ke atas sepeda. Saya mendorong dari depan dan ibu mendorong dari belakang. Kami harus membeli kayu di tempat itu yang jaraknya lumayan jauh karena lebih murah daripada di tempat lain. Harusnya kalau kami punya uang lebih, mungkin kami bisa menyuruh tukang becak untuk mengangkut kayu. Tapi uang kami terbatas. Tidak tahu kenapa hujan deras turun. Petir meraung-raung di sana-sini seperti mengejek kami. Karena sepeda tua kelebihan muatan, dan saya memegang stang sepeda sedikit goyang, akhirnya semua kayu itu jatuh. Tepat di depan sebuah kuburan. Hari memang beranjak gelap. Ibu marah, katanya saya adalah anak laki-laki yang lemah. Bagaimana mampu bertahan hidup yang keras kalau memegang sepeda seperti ini saja tidak kuat. Saya pun menangis. Saya tidak bisa membedakan mana air hujan dan mana air mata saya. Terus saya pun bilang bahwa saya tadi sudah mengusulkan ke Ibu biar saya panggul saja kayunya, toh 3-4 kali pikulan saya bisa melakukannya sendiri, tanpa Ibu harus ikut dan berhujan-hujan seperti ini. Tapi Ibu justru marah besar. Sambil memunguti kayu yang jatuh Ibu berkata bahwa Ibu menyekolahkan saya bukan untuk memintari Ibu dan membantah semua perkataan Ibu. Ibu juga berkata bahwa Ibu tidak tega melihat anaknya bolak-balik memanggul kayu dan akhirnya punggung sampai lecet-lecet seperti hari kemarin. Saya terharu. Ibu hidup sendirian tanpa Bapak dan harus memberi makan 4 orang anaknya tanpa bantuan siapapun. Banyak masalah, hutang yang menumpuk, demi kami supaya bisa sekolah. Dan sekarang saya justru membantah Ibu. Anak macam apakah saya ini? Saya sungguh anak durhaka. Selama perjalanan saya merenungi peristiwa itu. Tidak tahu kenapa air mata saya justru meleleh terus. Membanjir keluar. Ibu tidak tahu. Saya menatap ke depan dengan masih diguyur hujan. O, Ibu saya yang kuat. O, Ibu saya yang berhati baja. O, Ibu saya yang ingin anak-anaknya menjadi seorang sarjana. Saya pun mengeraskan hati saya. Menggigit bibir saya dalam-dalam sampai berdarah. Darah yang jatuh dari bibir saya ke bumi sebagai saksi bahwa saya tidak akan membantah perkataan Ibu saya lagi. Cukuplah sekali itu. Cukuplah sekali. Bukankah sebagai anak yang baik, saya harus menghibur Ibu? Menghibur Ibu bahwa perjuangannya tidak akan sia-sia. Menghibur Ibu bahwa Ibu tidak sendiri berjuang. Meyakinkan Ibu bahwa kebahagiaan pasti akan datang walau harus menunggu seribu tahun lamanya. Sampai di rumah saya pun mencium kaki Ibu saya. Saya meminta maaf atas kelakuan saya yang tidak berbhakti. Ibu pun hanya menangis. Sedihnya, Ibu mengatakan kepada saya, bahwa Ibu lah yang salah. Katanya Ibu kepikiran besok harus mengirim wesel untuk anaknya yang kuliah di jurang mangu. Air mata ini pun mengalir kembali. Saya cium kaki Ibu saya berkali-kali. Saya tidak akan pernah membantah Ibu. Tidak akan pernah. O, Ibu… Yakinlah Tuhan tidak buta. Yakinlah Tuhan tidak tuli, Ibu.. Ketika saya memandangi langit yang mulai menghitam, hati saya diselimuti haru. Dan ketika maghrib datang, saya yakin malaikat-malaikat itu kembali ke langit ke tujuh sambil membawa catatan tentang cerita saya.
Maghrib
Ibu memarahi saya. Katanya saya anak yang paling bodoh sedunia. Saya disuruh membeli tepung gandum untuk campuran membuat gorengan. Sekilonya kata Ibu Rp 850. Seperti biasa saya jalan kaki ke pasar buat membelinya. Sampai di sana engkohnya bilang harganya Rp 875,- katanya kurang Rp 25,- saya pun bilang bahwa kekurangannya besok akan saya bayar. Sayapun melapor ke Ibu bahwa kata si engkoh, uangnya kurang Rp 50,- karena saya beli 2 Kg. Tidak tahu kenapa, Ibu marah besar. Saya dimarahi habis-habisan. Saya katanya sungguh anak yang goblok. Ngomong ke si engkohnya dan bilang kalau kami adalah langganan saja tidak berani. Dasar anak yang lemah! Karena tidak tahan dengan kata-kata Ibu saya, saya pun menangis. Saya bilang, baik, baik, saya akan ngomong ke si engkohnya. Dengan masih menangis, saya pun lari ke toko si engkoh depan pasar. Saya bilang, engkoh kenapa sudah tahu saya ini langganan, kenapa harganya dinaikkan? Tidak tahukah kalau saya dimarahi Ibu saya?! Mungkin karena si engkoh melihat saya mengucap sambil menangis, mata yang memerah dan berteriak, si engkohnya pun bilang terbata-bata bahwa kekurangannya tidak usah dibayar. Harganya dianggap pas. Saya pun kembali ke rumah dan saya melihat Ibu saya diam sendiri. Saya melihat guratan ketuaan yang mulai nampak. Mungkin karena beban hidup yang berat. Saya kemudian bilang ke Ibu kalau si engkoh bilang harganya sudah pas dan tidak perlu bayar lagi. Ibu saya hanya tersenyum getir, katanya hidup itu harus diperjuangkan. Kemudian Ibu saya bilang kalau Ibulah yang salah. Ibu pun bercerita bahwa besok saya ujian sementara SPP masih menunggak 5 bulan, kalau tidak bayar, saya tidak boleh ikut ujian. Ibu kepikiran dan akhirnya marah-marah. Aihh.. Hati saya yang semula menyalahkan Ibu, jadi dipenuhi banyak rasa. Saya terharu. Ahhh… saya sungguh anak yang tidak berbhakti, berani-beraninya berburuk sangka pada Ibu. Saya sungguh berdosa. O, Tuhan… Cepatkanlah siang, cepatkanlah malam… Supaya sekolah saya cepat selesai. Supaya selepas SMA saya bisa bekerja apa saja untuk membantu Ibu saya. Maghrib itu, kembali saya yakin, malaikat sudah terbang ke langit sap-7 untuk melapor pada Tuhan sambil menunjukkan catatan-catatan tentang saya dan kekurangajaran saya, yang sempat mempertanyakan Ibu macam apakah Ibu saya yang suka memarahi saya.
Maghrib
Ibu kembali memarahi saya. Nasi yang dimasak gosong. Kata Ibu saya, orang miskin harus tahu diri. Harus selalu sadar. Selalu memperhatikan sekelilingnya. Kalau sudah diberi perintah harus dilakukan. Jangan malas. Jangan sekali-sekali melupakan tugas dan kewajibannya. Mau jadi apa kalau setiap dikasih tugas terus melalaikan dan tidak bertanggungjawab? Katanya kalau mau ikut Ibu, saya harus disiplin. Kita bukan orang kaya. Kalau kamu tidak sudi ikut Ibu, sana minggat! Saya pun hanya bisa menangis sedih. Adakah seorang Ibu yang selalu memarahi anaknya sampai seperti ini? Tapi saya kemudian menjadi terharu bahwa sebenarnya Ibu kepikiran besok Ibu harus nyari uang untuk saya mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Bandung dan Ibu belum punya uang sama sekali. Nanti Ibu pinjam sama tetangga. Ibu pun kemudian mengambilkan makanan untuk saya. Ibu selalu makan cuma sama nasi putih. Ibu selalu berkata bahwa dia tidak doyan lauk, kalaupun saya paksa berbagi Ibu selalu tidak mau. Kadang air mata saya ini terharu kalau lauk sisa makan saya selalu ditambahi nasi putih oleh Ibu, baru kemudian Ibu makan. Saya terkadang malu dengan diri saya. Masih tegakah saya menjawab ketika dimarahi Ibu? Adakah Ibu yang bertangan besi namun berhati emas seperti Ibu saya. Saya pernah berkata pada Ibu saya kenapa Ibu selalu makannya begitu. Ibu pun bilang ini namanya tirakat. Ini namanya prihatin. Yang penting anaknya jadi orang dan bisa sekolah tinggi. Ibu cuma lulusan SD kelas 2 jadi Ibu tidak ingin nasib anak-anaknya seperti Ibu. Anak-anaknya harus bisa sekolah setinggi mungkin. Kata Ibu, Tuhan menciptakan manusia sama. Tidak ada yang pintar tidak ada yang bodoh. Tergantung kekuatan hati mau sungguh-sungguh belajar atau tidak. Perkataan Ibu saya mengena tepat di hati saya. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba air mata ini mengalir, segera saya ambil semua buku-buku pelajaran. O, Tuhan… Saya berjanji akan menaklukkan semua mata pelajaran. Berikanlah hamba-Mu ini kemudahan dalam menyelami samudera ilmu-Mu. Dan saya yakin, malaikat telah kembali ke langit sap-7 dan mencatat sumpah saya.
Maghrib
Ibu kembali memarahi saya. Ini gara-gara saya di Armidale, NSW, Australia mengatakan malas belajar. Kata Ibu saya, apa yang susah dengan belajar? Pekerjaan yang bisa dilakukan sambil tiduran! Tidak ingatkah kamu dengan apa yang Ibu lakukan untuk membesarkanmu? Harus bangun tengah malam untuk menggoreng bakwan, pisang goreng, mendoan, dll? Beginikah semangat anak yang kubesarkan dengan air mataku? Dan Ibu pun bercerita kenapa didikannya keras selama ini. Karena di kampung saya, pergaulan sangat buruk. Anak kecil sudah mabuk-mabukan, melawan orang tuanya, mencuri, tidak mau sekolah dan main perempuan. Ibu memproteksi saya dengan sistem didikannya itu. Kata Ibu, maghrib itu pada waktu beli kayu, ibu mengajarkan kepada saya bahwa hidup itu berat. Hujan badai pun harus dijalani. Hidup ini hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang mau berjuang dan berkemauan keras. Maghrib kedua, ibu ingin mengajarkan bahwa mencari uang itu susah, maka jangan dihambur-hamburkan. Dan orang yang akan sukses adalah orang yang berani memperjuangkan nasibnya sendiri. Kata Ibu, berdoa saja tidak cukup. Kita harus bekerja keras. Maghrib ketiga, Ibu mengatakan bahwa dia yakin suatu saat anaknya akan pergi mencari ilmu kemana-mana. Keterampilan memasak adalah nomor satu. Bertahan hidup. Keahlian masak sangat penting. Kalau kamu kaya kamu bisa tinggalkan, tapi selama kamu masih berjuang, keahlian ini sangat bermanfaat. Bangunlah anakku sayang. Jika kerasnya hidup sudah engkau jalani, kenapa belajar di negeri orang saja kamu menyerah? Bangunlah anakku sayang. Tunjukkan kepada orang yang telah menyekolahkanmu, bahwa dia tidak salah memilih orang. Bangunlah anakku sayang. Tunjukkanlah bahwa kamu bisa menampilkan yang terbaik. Tidak tahu kenapa, air mata saya meleleh lagi. Saya kemudian mengambil buku-buku saya. Saya akan tunjukkan kepada Ibu bahwa saya adalah orang kuat. Bahwa saya bukan orang lemah. Bahwa kesulitan yang saya alami tidak ada apa-apanya dibanding dengan kesulitan yang dialami Ibu. Ibu saya tidak ada bandingannya. Ibu saya adalah dewi tersuci dari jutaan dewi yang ada di dunia ini. Dan saya yakin maghrib ini, malaikat-malaikat itu akan terbang kembali ke langit sap-7 sambil membawa catan-catan tentang saya. O, Tuhan.. Berikan saya kemampuan menyelami samudera ilmu-Mu. Pada-Mu saya tunduk…
Depok, 7 Maret 2011
Semoga cerita ini bermanfaat bagi kita semua, dan bisa menambah rasa kasih dan sayang pada Ibu kita. Amien...
google-site-verification: google4556e648de6b1cea.html
Arif Rohman
Maghrib
Kami baru saja bertengkar. Seluruh pakaian basah kuyup kena air hujan. Masalahnya sebenarnya sederhana. Ibu menyuruh saya pinjam sepeda tetangga untuk beli kayu. Ibu maunya semua kayu dinaikkan ke atas sepeda. Saya mendorong dari depan dan ibu mendorong dari belakang. Kami harus membeli kayu di tempat itu yang jaraknya lumayan jauh karena lebih murah daripada di tempat lain. Harusnya kalau kami punya uang lebih, mungkin kami bisa menyuruh tukang becak untuk mengangkut kayu. Tapi uang kami terbatas. Tidak tahu kenapa hujan deras turun. Petir meraung-raung di sana-sini seperti mengejek kami. Karena sepeda tua kelebihan muatan, dan saya memegang stang sepeda sedikit goyang, akhirnya semua kayu itu jatuh. Tepat di depan sebuah kuburan. Hari memang beranjak gelap. Ibu marah, katanya saya adalah anak laki-laki yang lemah. Bagaimana mampu bertahan hidup yang keras kalau memegang sepeda seperti ini saja tidak kuat. Saya pun menangis. Saya tidak bisa membedakan mana air hujan dan mana air mata saya. Terus saya pun bilang bahwa saya tadi sudah mengusulkan ke Ibu biar saya panggul saja kayunya, toh 3-4 kali pikulan saya bisa melakukannya sendiri, tanpa Ibu harus ikut dan berhujan-hujan seperti ini. Tapi Ibu justru marah besar. Sambil memunguti kayu yang jatuh Ibu berkata bahwa Ibu menyekolahkan saya bukan untuk memintari Ibu dan membantah semua perkataan Ibu. Ibu juga berkata bahwa Ibu tidak tega melihat anaknya bolak-balik memanggul kayu dan akhirnya punggung sampai lecet-lecet seperti hari kemarin. Saya terharu. Ibu hidup sendirian tanpa Bapak dan harus memberi makan 4 orang anaknya tanpa bantuan siapapun. Banyak masalah, hutang yang menumpuk, demi kami supaya bisa sekolah. Dan sekarang saya justru membantah Ibu. Anak macam apakah saya ini? Saya sungguh anak durhaka. Selama perjalanan saya merenungi peristiwa itu. Tidak tahu kenapa air mata saya justru meleleh terus. Membanjir keluar. Ibu tidak tahu. Saya menatap ke depan dengan masih diguyur hujan. O, Ibu saya yang kuat. O, Ibu saya yang berhati baja. O, Ibu saya yang ingin anak-anaknya menjadi seorang sarjana. Saya pun mengeraskan hati saya. Menggigit bibir saya dalam-dalam sampai berdarah. Darah yang jatuh dari bibir saya ke bumi sebagai saksi bahwa saya tidak akan membantah perkataan Ibu saya lagi. Cukuplah sekali itu. Cukuplah sekali. Bukankah sebagai anak yang baik, saya harus menghibur Ibu? Menghibur Ibu bahwa perjuangannya tidak akan sia-sia. Menghibur Ibu bahwa Ibu tidak sendiri berjuang. Meyakinkan Ibu bahwa kebahagiaan pasti akan datang walau harus menunggu seribu tahun lamanya. Sampai di rumah saya pun mencium kaki Ibu saya. Saya meminta maaf atas kelakuan saya yang tidak berbhakti. Ibu pun hanya menangis. Sedihnya, Ibu mengatakan kepada saya, bahwa Ibu lah yang salah. Katanya Ibu kepikiran besok harus mengirim wesel untuk anaknya yang kuliah di jurang mangu. Air mata ini pun mengalir kembali. Saya cium kaki Ibu saya berkali-kali. Saya tidak akan pernah membantah Ibu. Tidak akan pernah. O, Ibu… Yakinlah Tuhan tidak buta. Yakinlah Tuhan tidak tuli, Ibu.. Ketika saya memandangi langit yang mulai menghitam, hati saya diselimuti haru. Dan ketika maghrib datang, saya yakin malaikat-malaikat itu kembali ke langit ke tujuh sambil membawa catatan tentang cerita saya.
Maghrib
Ibu memarahi saya. Katanya saya anak yang paling bodoh sedunia. Saya disuruh membeli tepung gandum untuk campuran membuat gorengan. Sekilonya kata Ibu Rp 850. Seperti biasa saya jalan kaki ke pasar buat membelinya. Sampai di sana engkohnya bilang harganya Rp 875,- katanya kurang Rp 25,- saya pun bilang bahwa kekurangannya besok akan saya bayar. Sayapun melapor ke Ibu bahwa kata si engkoh, uangnya kurang Rp 50,- karena saya beli 2 Kg. Tidak tahu kenapa, Ibu marah besar. Saya dimarahi habis-habisan. Saya katanya sungguh anak yang goblok. Ngomong ke si engkohnya dan bilang kalau kami adalah langganan saja tidak berani. Dasar anak yang lemah! Karena tidak tahan dengan kata-kata Ibu saya, saya pun menangis. Saya bilang, baik, baik, saya akan ngomong ke si engkohnya. Dengan masih menangis, saya pun lari ke toko si engkoh depan pasar. Saya bilang, engkoh kenapa sudah tahu saya ini langganan, kenapa harganya dinaikkan? Tidak tahukah kalau saya dimarahi Ibu saya?! Mungkin karena si engkoh melihat saya mengucap sambil menangis, mata yang memerah dan berteriak, si engkohnya pun bilang terbata-bata bahwa kekurangannya tidak usah dibayar. Harganya dianggap pas. Saya pun kembali ke rumah dan saya melihat Ibu saya diam sendiri. Saya melihat guratan ketuaan yang mulai nampak. Mungkin karena beban hidup yang berat. Saya kemudian bilang ke Ibu kalau si engkoh bilang harganya sudah pas dan tidak perlu bayar lagi. Ibu saya hanya tersenyum getir, katanya hidup itu harus diperjuangkan. Kemudian Ibu saya bilang kalau Ibulah yang salah. Ibu pun bercerita bahwa besok saya ujian sementara SPP masih menunggak 5 bulan, kalau tidak bayar, saya tidak boleh ikut ujian. Ibu kepikiran dan akhirnya marah-marah. Aihh.. Hati saya yang semula menyalahkan Ibu, jadi dipenuhi banyak rasa. Saya terharu. Ahhh… saya sungguh anak yang tidak berbhakti, berani-beraninya berburuk sangka pada Ibu. Saya sungguh berdosa. O, Tuhan… Cepatkanlah siang, cepatkanlah malam… Supaya sekolah saya cepat selesai. Supaya selepas SMA saya bisa bekerja apa saja untuk membantu Ibu saya. Maghrib itu, kembali saya yakin, malaikat sudah terbang ke langit sap-7 untuk melapor pada Tuhan sambil menunjukkan catatan-catatan tentang saya dan kekurangajaran saya, yang sempat mempertanyakan Ibu macam apakah Ibu saya yang suka memarahi saya.
Maghrib
Ibu kembali memarahi saya. Nasi yang dimasak gosong. Kata Ibu saya, orang miskin harus tahu diri. Harus selalu sadar. Selalu memperhatikan sekelilingnya. Kalau sudah diberi perintah harus dilakukan. Jangan malas. Jangan sekali-sekali melupakan tugas dan kewajibannya. Mau jadi apa kalau setiap dikasih tugas terus melalaikan dan tidak bertanggungjawab? Katanya kalau mau ikut Ibu, saya harus disiplin. Kita bukan orang kaya. Kalau kamu tidak sudi ikut Ibu, sana minggat! Saya pun hanya bisa menangis sedih. Adakah seorang Ibu yang selalu memarahi anaknya sampai seperti ini? Tapi saya kemudian menjadi terharu bahwa sebenarnya Ibu kepikiran besok Ibu harus nyari uang untuk saya mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Bandung dan Ibu belum punya uang sama sekali. Nanti Ibu pinjam sama tetangga. Ibu pun kemudian mengambilkan makanan untuk saya. Ibu selalu makan cuma sama nasi putih. Ibu selalu berkata bahwa dia tidak doyan lauk, kalaupun saya paksa berbagi Ibu selalu tidak mau. Kadang air mata saya ini terharu kalau lauk sisa makan saya selalu ditambahi nasi putih oleh Ibu, baru kemudian Ibu makan. Saya terkadang malu dengan diri saya. Masih tegakah saya menjawab ketika dimarahi Ibu? Adakah Ibu yang bertangan besi namun berhati emas seperti Ibu saya. Saya pernah berkata pada Ibu saya kenapa Ibu selalu makannya begitu. Ibu pun bilang ini namanya tirakat. Ini namanya prihatin. Yang penting anaknya jadi orang dan bisa sekolah tinggi. Ibu cuma lulusan SD kelas 2 jadi Ibu tidak ingin nasib anak-anaknya seperti Ibu. Anak-anaknya harus bisa sekolah setinggi mungkin. Kata Ibu, Tuhan menciptakan manusia sama. Tidak ada yang pintar tidak ada yang bodoh. Tergantung kekuatan hati mau sungguh-sungguh belajar atau tidak. Perkataan Ibu saya mengena tepat di hati saya. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba air mata ini mengalir, segera saya ambil semua buku-buku pelajaran. O, Tuhan… Saya berjanji akan menaklukkan semua mata pelajaran. Berikanlah hamba-Mu ini kemudahan dalam menyelami samudera ilmu-Mu. Dan saya yakin, malaikat telah kembali ke langit sap-7 dan mencatat sumpah saya.
Maghrib
Ibu kembali memarahi saya. Ini gara-gara saya di Armidale, NSW, Australia mengatakan malas belajar. Kata Ibu saya, apa yang susah dengan belajar? Pekerjaan yang bisa dilakukan sambil tiduran! Tidak ingatkah kamu dengan apa yang Ibu lakukan untuk membesarkanmu? Harus bangun tengah malam untuk menggoreng bakwan, pisang goreng, mendoan, dll? Beginikah semangat anak yang kubesarkan dengan air mataku? Dan Ibu pun bercerita kenapa didikannya keras selama ini. Karena di kampung saya, pergaulan sangat buruk. Anak kecil sudah mabuk-mabukan, melawan orang tuanya, mencuri, tidak mau sekolah dan main perempuan. Ibu memproteksi saya dengan sistem didikannya itu. Kata Ibu, maghrib itu pada waktu beli kayu, ibu mengajarkan kepada saya bahwa hidup itu berat. Hujan badai pun harus dijalani. Hidup ini hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang mau berjuang dan berkemauan keras. Maghrib kedua, ibu ingin mengajarkan bahwa mencari uang itu susah, maka jangan dihambur-hamburkan. Dan orang yang akan sukses adalah orang yang berani memperjuangkan nasibnya sendiri. Kata Ibu, berdoa saja tidak cukup. Kita harus bekerja keras. Maghrib ketiga, Ibu mengatakan bahwa dia yakin suatu saat anaknya akan pergi mencari ilmu kemana-mana. Keterampilan memasak adalah nomor satu. Bertahan hidup. Keahlian masak sangat penting. Kalau kamu kaya kamu bisa tinggalkan, tapi selama kamu masih berjuang, keahlian ini sangat bermanfaat. Bangunlah anakku sayang. Jika kerasnya hidup sudah engkau jalani, kenapa belajar di negeri orang saja kamu menyerah? Bangunlah anakku sayang. Tunjukkan kepada orang yang telah menyekolahkanmu, bahwa dia tidak salah memilih orang. Bangunlah anakku sayang. Tunjukkanlah bahwa kamu bisa menampilkan yang terbaik. Tidak tahu kenapa, air mata saya meleleh lagi. Saya kemudian mengambil buku-buku saya. Saya akan tunjukkan kepada Ibu bahwa saya adalah orang kuat. Bahwa saya bukan orang lemah. Bahwa kesulitan yang saya alami tidak ada apa-apanya dibanding dengan kesulitan yang dialami Ibu. Ibu saya tidak ada bandingannya. Ibu saya adalah dewi tersuci dari jutaan dewi yang ada di dunia ini. Dan saya yakin maghrib ini, malaikat-malaikat itu akan terbang kembali ke langit sap-7 sambil membawa catan-catan tentang saya. O, Tuhan.. Berikan saya kemampuan menyelami samudera ilmu-Mu. Pada-Mu saya tunduk…
Depok, 7 Maret 2011
Semoga cerita ini bermanfaat bagi kita semua, dan bisa menambah rasa kasih dan sayang pada Ibu kita. Amien...
google-site-verification: google4556e648de6b1cea.html
No comments:
Post a Comment