Hakikat Seberkas Makalah Ilmiah
Tajuk Rencana Kompas Rabu 8 Februari 2012 secara jernih dan obyektif telah membeberkan permasalahan sebenarnya dibalik "Polemik Sekitar Jurnal Ilmiah". Kita tentunya berharap agar langkah berani Dirjen Dikti dapat membantu memperbaiki kesalahan masyarakat ilmiah kita yang sangat mungkin telah menjadi penyebab ketertinggalan prestasi kita dibandingkan negara tetangga. Namun, tulisan Franz Magnis-Suseno yang berdampingan dengan Tajuk Rencana tersebut, dengan kesimpulan yang sangat berseberangan, telah menggelitik hati saya untuk mempertanyakan hakikat seberkas makalah ilmiah (scientific paper) yang menjadi pokok permasalahan. Saya khawatir hakikat ini telah dilupakan.
Hakikat Makalah Ilmiah
Pada hakikatnya seberkas makalah ilmiah tidak lebih dari sebuah laporan hasil salah satu kegiatan tri-dharma perguruan tinggi, yaitu penelitian, dalam bentuk ringkas namun padat (concise) dan mengikuti kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh komunitas penelitian tersebut. Tentu saja jika ada pelaporan, harus ada yang menerima dan memeriksa laporan tersebut. Siapa lagi yang kompeten untuk memeriksa laporan ini kalau bukan kolega sejawat dan sebidang yang sangat faham makna hasil penelitian tersebut. Karena laporan ini bersifat ilmiah maka kebenaran di dalamnya haruslah dapat disanggah secara universal, menembus kungkungan negara, bahasa dan bahkan budaya. Inilah tujuan dari publikasi makalah, terutama publikasi internasional. Hasil penelitian yang dilaporkan pada akhirnya harus diakui oleh semua anggota komunitas global sebagai temuan dari si pelapor, jika tidak ada lagi (atau paling sedikit minim) gugatan.
Pemakaian makalah ilmiah sebagai laporan hasil penelitian kepada komunitas ilmiah sudah menjadi prosedur baku sejak lebih dari seratus tahun lalu. Boleh dikatakan, proses ini sudah menjadi bagian integral dari kegiatan ilmiah, bahkan sudah menghasilkan produk sampingan berupa faktor dampak (impact factor), indeks-h, indeks-g, dan sebagainya, yang bertujuan mengukur seberapa pentingnya laporan ilmiah tadi. Lazimnya, para penyandang dana penelitian tidak begitu faham detil hasil penelitian yang mereka danai, sehingga mereka harus berkonsultasi dengan kolega sejawat peneliti. Cara yang paling praktis tentu saja dengan melihat apakah hasil penelitian tersebut dapat "menembus" pemeriksaan ketat kolega tersebut, yaitu berhasil dipublikasi di jurnal standar komunitasnya. Sekali lagi, karena kebenarannya bersifat universal maka komunitasnya harus global.
Jika penelitian didanai masyarakat, maka masyarakat yang relatif awam terhadap penelitian tersebut juga berhak bertanya apakah dana yang mereka bayar melalui pajak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Jika produk penelitian adalah barang jadi yang dapat langsung dilempar ke industri atau paten tentu saja pertanyaan tentang manfaat segera terjawab. Namun, bagaimana dengan produk berupa simulasi, metode, teori, pandangan filsafat, atau pun ideologi baru yang boleh jadi di negara ini hanya segelintir mahluk hidup yang mengerti makna pentingnya? Jika hasil penelitian sudah dimuat di jurnal internasional, maka para juri jurnal tersebut sudah mengambil alih tugas menjawab pertanyaan ini.
Makna Penting Publikasi?
Di dekat kota Osaka, Jepang, terdapat fasilitas sinkrotron bernama SPRING8 yang dibangun dengan dana sekitar 12 triliyun rupiah dan biaya operasional per tahun sekitar satu triliyun rupiah. Siapa yang menanggung biaya ini kalau bukan pemerintah Jepang dan pengguna fasilitas. Namun, ada kebijakan yang sangat unik di sana, yaitu jika hasil penelitian pemakai fasilitas dipublikasikan, maka pemakai tidak dikenakan biaya, sedangkan jika hasil penelitian dirahasiakan maka pemakai akan dikenakan biaya yang dihitung per jam! Unik sekali, namun pesannya jelas. Jika dipublikasikan maka hasil penelitian menjadi public goods, sudah dipertanggungjawabkan kepada khalayak. Sementara itu hasil penelitian yang dirahasiakan akan selamanya menjadi milik si peneliti. Masuk akal, jika ia harus membayar untuk itu.
Sekarang pertanyaan kita adalah apa sebenarnya tujuan penelitian kita, terutama penelitian di perguruan tinggi (PT)? Karena kegiatan di PT adalah proses transfer dan pengembangan ilmu, maka sejatinya mayoritas penelitian PT bersifat pengembangan ilmu yang cakupannya sangat spesifik, hanya diketahui segelintir manusia di negara ini, sehingga agar kebenaran hasilnya dapat diperiksa maka harus dipublikasikan (secara internasional). Ironisnya, mayoritas masyarakat PT kita sudah lama dan terbiasa meninggalkan budaya ilmiah ini. Contoh paling jelas, meski akhir-akhir ini sudah mulai dikurangi, produk sebuah penelitian cukup berupa laporan tebal plus laporan keuangan. Kalaupun ada review hasil penelitian, maka sudah lazim pula jika reviewernya tidak sebidang dan tidak tahu persis apakah hasil penelitian yang dilaporkan bermakna, saking spesifiknya penelitian tersebut. Inilah paradigma yang sudah berlangsung cukup lama yang telah membuat kita terjebak dalam ketertinggalan ilmiah yang sangat parah.
Tidak perlu digugat lagi betapa banyak manfaat publikasi ilmiah, terutama publikasi internasional, seperti klaim hak cipta, mempercepat pengembangan ilmu, mencegah plagiarisme, membangun komunikasi dan kerjasama ilmiah, menjaga mutu penelitian dan lulusan PT, serta menjaga eksistensi peneliti Indonesia di komunitasnya. Yang terakhir ini juga penting, karena saya sering mendengar dari beberapa kolega peneliti yang sering go international, betapa mereka sering dilecehkan dengan cara halus atau bahkan relatif vulgar. Yang sering saya alami adalah sapaan basa-basi jika berkenalan dengan kolega dari negara maju: "Oh, you are from Indonesia! Nice to meet you, I've never seen an Indonesian scientist is working in this field before."
Perlukah Mahasiswa Publikasi Ilmiah?
Kita semua sependapat bahwa PT yang menyelenggarakan program sarjana, magister, dan doktor mestilah sebuah institusi ilmiah. Sudah pasti pula sebuah institusi ilmiah memiliki misi untuk menjunjung tinggi norma-norma ilmiah dan mempromosikan budaya ilmiah baik ke dalam maupun keluar institusi. Bahkan, misi ini merupakan bagian dari janji sarjana saat mereka diwisuda. Di dalam PT, mahasiswa sebagai bagian integral civitas akademika tidak boleh dipandang sebagai objek transfer ilmu semata, namun harus juga diikutsertakan dalam proses pengembangan ilmu. Justru dengan cara ini mahasiswa akan mengenal budaya ilmiah seutuhnya, bagaimana secara jujur dan efisien mencari data yang solid untuk mendukung argumentasi atau gagasan di bidang mereka. Pada akhirnya masyarakatpun menikmati hasil proses ini berupa lulusan PT yang selalu berfikir logis dalam berargumentasi serta bekerja secara sistematis dan efisien.
Menulis makalah di sebuah jurnal ilmiah merupakan bagian integral dari proses pengembangan ilmu, jadi harus juga dikenalkan kepada mahasiswa. Mereka yang pernah mengenyam pendidikan S3 di negara maju tahu persis bahwa hampir semua tesis di sana dipublikasi di jurnal internasional. Bahkan hal ini juga sudah berlaku di negara tetangga. Untuk program S2 kondisinya agak berbeda. Di Inggris, S2 dapat ditempuh tanpa tesis, namun di Jerman isi sebuah Diplomarbeit umumnya dapat dipublikasi di jurnal internasional karena dikerjakan secara serius selama satu tahun. Bagaimana dengan S1? S1 ini unik karena ia bukan tingkat bachelor ataupun master. Namun karena S1 merupakan bagian formal dari institusi ilmiah, budaya ilmiah pun sepatutnya diterapkan, meski tingkat penerapanya berbeda dengan S2 dan S3. Jika tidak, maka kita harus berhenti menganggap seorang sarjana berbeda dengan lulusan sekolah vokasi.
Sebagai kesimpulan, usulan Franz Magnis-Suseno agar Dikti membuka perwakilan di Timor Leste untuk memfasilitasi pembuatan jurnal internasional ala Indonesia jelas salah besar. Justru kewajiban kita membuat publikasi mahasiswa S3 memenuhi kualitas standar jurnal internasional yang sudah mapan, sehingga mutu lulusan S3 kita tidak perlu dipertanyakan. Jika kita bijak dan mau jujur, seharusnya kita mengakui bahwa selama ini kita dan generasi pendahulu kita sudah membuat kesalahan besar dalam pengembangan budaya ilmiah di PT, yang jika tidak segera dibenahi akan meruntuhkan bangunan peradaban bangsa ini. Jelas, pembenahan harus multi level, bahkan mungkin dari tingkat paud sekalipun. Tetapi jelas juga bahwa pembenahan harus mulai dari detik ini, tidak bisa menunggu lagi.
Hakikat Makalah Ilmiah
Pada hakikatnya seberkas makalah ilmiah tidak lebih dari sebuah laporan hasil salah satu kegiatan tri-dharma perguruan tinggi, yaitu penelitian, dalam bentuk ringkas namun padat (concise) dan mengikuti kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh komunitas penelitian tersebut. Tentu saja jika ada pelaporan, harus ada yang menerima dan memeriksa laporan tersebut. Siapa lagi yang kompeten untuk memeriksa laporan ini kalau bukan kolega sejawat dan sebidang yang sangat faham makna hasil penelitian tersebut. Karena laporan ini bersifat ilmiah maka kebenaran di dalamnya haruslah dapat disanggah secara universal, menembus kungkungan negara, bahasa dan bahkan budaya. Inilah tujuan dari publikasi makalah, terutama publikasi internasional. Hasil penelitian yang dilaporkan pada akhirnya harus diakui oleh semua anggota komunitas global sebagai temuan dari si pelapor, jika tidak ada lagi (atau paling sedikit minim) gugatan.
Pemakaian makalah ilmiah sebagai laporan hasil penelitian kepada komunitas ilmiah sudah menjadi prosedur baku sejak lebih dari seratus tahun lalu. Boleh dikatakan, proses ini sudah menjadi bagian integral dari kegiatan ilmiah, bahkan sudah menghasilkan produk sampingan berupa faktor dampak (impact factor), indeks-h, indeks-g, dan sebagainya, yang bertujuan mengukur seberapa pentingnya laporan ilmiah tadi. Lazimnya, para penyandang dana penelitian tidak begitu faham detil hasil penelitian yang mereka danai, sehingga mereka harus berkonsultasi dengan kolega sejawat peneliti. Cara yang paling praktis tentu saja dengan melihat apakah hasil penelitian tersebut dapat "menembus" pemeriksaan ketat kolega tersebut, yaitu berhasil dipublikasi di jurnal standar komunitasnya. Sekali lagi, karena kebenarannya bersifat universal maka komunitasnya harus global.
Jika penelitian didanai masyarakat, maka masyarakat yang relatif awam terhadap penelitian tersebut juga berhak bertanya apakah dana yang mereka bayar melalui pajak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Jika produk penelitian adalah barang jadi yang dapat langsung dilempar ke industri atau paten tentu saja pertanyaan tentang manfaat segera terjawab. Namun, bagaimana dengan produk berupa simulasi, metode, teori, pandangan filsafat, atau pun ideologi baru yang boleh jadi di negara ini hanya segelintir mahluk hidup yang mengerti makna pentingnya? Jika hasil penelitian sudah dimuat di jurnal internasional, maka para juri jurnal tersebut sudah mengambil alih tugas menjawab pertanyaan ini.
Makna Penting Publikasi?
Di dekat kota Osaka, Jepang, terdapat fasilitas sinkrotron bernama SPRING8 yang dibangun dengan dana sekitar 12 triliyun rupiah dan biaya operasional per tahun sekitar satu triliyun rupiah. Siapa yang menanggung biaya ini kalau bukan pemerintah Jepang dan pengguna fasilitas. Namun, ada kebijakan yang sangat unik di sana, yaitu jika hasil penelitian pemakai fasilitas dipublikasikan, maka pemakai tidak dikenakan biaya, sedangkan jika hasil penelitian dirahasiakan maka pemakai akan dikenakan biaya yang dihitung per jam! Unik sekali, namun pesannya jelas. Jika dipublikasikan maka hasil penelitian menjadi public goods, sudah dipertanggungjawabkan kepada khalayak. Sementara itu hasil penelitian yang dirahasiakan akan selamanya menjadi milik si peneliti. Masuk akal, jika ia harus membayar untuk itu.
Sekarang pertanyaan kita adalah apa sebenarnya tujuan penelitian kita, terutama penelitian di perguruan tinggi (PT)? Karena kegiatan di PT adalah proses transfer dan pengembangan ilmu, maka sejatinya mayoritas penelitian PT bersifat pengembangan ilmu yang cakupannya sangat spesifik, hanya diketahui segelintir manusia di negara ini, sehingga agar kebenaran hasilnya dapat diperiksa maka harus dipublikasikan (secara internasional). Ironisnya, mayoritas masyarakat PT kita sudah lama dan terbiasa meninggalkan budaya ilmiah ini. Contoh paling jelas, meski akhir-akhir ini sudah mulai dikurangi, produk sebuah penelitian cukup berupa laporan tebal plus laporan keuangan. Kalaupun ada review hasil penelitian, maka sudah lazim pula jika reviewernya tidak sebidang dan tidak tahu persis apakah hasil penelitian yang dilaporkan bermakna, saking spesifiknya penelitian tersebut. Inilah paradigma yang sudah berlangsung cukup lama yang telah membuat kita terjebak dalam ketertinggalan ilmiah yang sangat parah.
Tidak perlu digugat lagi betapa banyak manfaat publikasi ilmiah, terutama publikasi internasional, seperti klaim hak cipta, mempercepat pengembangan ilmu, mencegah plagiarisme, membangun komunikasi dan kerjasama ilmiah, menjaga mutu penelitian dan lulusan PT, serta menjaga eksistensi peneliti Indonesia di komunitasnya. Yang terakhir ini juga penting, karena saya sering mendengar dari beberapa kolega peneliti yang sering go international, betapa mereka sering dilecehkan dengan cara halus atau bahkan relatif vulgar. Yang sering saya alami adalah sapaan basa-basi jika berkenalan dengan kolega dari negara maju: "Oh, you are from Indonesia! Nice to meet you, I've never seen an Indonesian scientist is working in this field before."
Perlukah Mahasiswa Publikasi Ilmiah?
Kita semua sependapat bahwa PT yang menyelenggarakan program sarjana, magister, dan doktor mestilah sebuah institusi ilmiah. Sudah pasti pula sebuah institusi ilmiah memiliki misi untuk menjunjung tinggi norma-norma ilmiah dan mempromosikan budaya ilmiah baik ke dalam maupun keluar institusi. Bahkan, misi ini merupakan bagian dari janji sarjana saat mereka diwisuda. Di dalam PT, mahasiswa sebagai bagian integral civitas akademika tidak boleh dipandang sebagai objek transfer ilmu semata, namun harus juga diikutsertakan dalam proses pengembangan ilmu. Justru dengan cara ini mahasiswa akan mengenal budaya ilmiah seutuhnya, bagaimana secara jujur dan efisien mencari data yang solid untuk mendukung argumentasi atau gagasan di bidang mereka. Pada akhirnya masyarakatpun menikmati hasil proses ini berupa lulusan PT yang selalu berfikir logis dalam berargumentasi serta bekerja secara sistematis dan efisien.
Menulis makalah di sebuah jurnal ilmiah merupakan bagian integral dari proses pengembangan ilmu, jadi harus juga dikenalkan kepada mahasiswa. Mereka yang pernah mengenyam pendidikan S3 di negara maju tahu persis bahwa hampir semua tesis di sana dipublikasi di jurnal internasional. Bahkan hal ini juga sudah berlaku di negara tetangga. Untuk program S2 kondisinya agak berbeda. Di Inggris, S2 dapat ditempuh tanpa tesis, namun di Jerman isi sebuah Diplomarbeit umumnya dapat dipublikasi di jurnal internasional karena dikerjakan secara serius selama satu tahun. Bagaimana dengan S1? S1 ini unik karena ia bukan tingkat bachelor ataupun master. Namun karena S1 merupakan bagian formal dari institusi ilmiah, budaya ilmiah pun sepatutnya diterapkan, meski tingkat penerapanya berbeda dengan S2 dan S3. Jika tidak, maka kita harus berhenti menganggap seorang sarjana berbeda dengan lulusan sekolah vokasi.
Sebagai kesimpulan, usulan Franz Magnis-Suseno agar Dikti membuka perwakilan di Timor Leste untuk memfasilitasi pembuatan jurnal internasional ala Indonesia jelas salah besar. Justru kewajiban kita membuat publikasi mahasiswa S3 memenuhi kualitas standar jurnal internasional yang sudah mapan, sehingga mutu lulusan S3 kita tidak perlu dipertanyakan. Jika kita bijak dan mau jujur, seharusnya kita mengakui bahwa selama ini kita dan generasi pendahulu kita sudah membuat kesalahan besar dalam pengembangan budaya ilmiah di PT, yang jika tidak segera dibenahi akan meruntuhkan bangunan peradaban bangsa ini. Jelas, pembenahan harus multi level, bahkan mungkin dari tingkat paud sekalipun. Tetapi jelas juga bahwa pembenahan harus mulai dari detik ini, tidak bisa menunggu lagi.
(Terry Mart, pengajar Fisika FMIPA UI)
No comments:
Post a Comment