Saturday, 11 July 2020

Ibu Tukang Gorengan dari Demak yang Pergi Naik Haji

Ibu ini adalah seorang penjual gorengan di pinggir jalan raya depan Pasar Demak yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya lulus Undip, STAN, UI dan STKS Bandung. Semasa perjuangannya bertahun-tahun jarang membeli baju, sampai baju yang ada sobek-sobek pun dipakai. Semasa perjuangannya selalu prihatin dan berpuasa (orang Jawa bilang tirakat) agar anak-anaknya lancar sekolahnya. Semasa perjuangannya hari-harinya hanya tidur dari jam 10 malam sampai jam 2 dini hari. Jika kerinan (bangun kesiangan) jam 3 atau jam 4, Ibu ini menangis dan menyalahkan tubuhnya kenapa tidak tahu diri karena hari keburu pagi. Semasa hidupnya Ibu ini hanya bisa mengenyam sekolah sampai kelas 2 SD di Desa Cabean Demak karena berasal dari keluarga petani miskin. Semasa kecilnya adalah piatu ditinggal mati Ibunya karena kecelakaan. Semasa kecilnya dihabiskan dengan siksaan dari Ibu Tirinya. Semasa kecilnya, pipinya yang putih cantik dekat bagian lehernya robek panjang karena dihantam mangkok oleh Ibu Tirinya hanya karena memecahkan tempayan tanah tempat air di tengah jalan karena tangan-tangan kecilnya tidak kuat lagi membawa air dari sungai ke rumahnya. Selepas dari sawah dia harus mengasuh adik-adik tirinya sampai tertidur. Jika adik-adik tirinya menangis, pukulan, cubitan dan cambuk pasti mendera tubuhnya. Semangat menyekolahkan anak-anaknya sungguh luar biasa. Kata Ibu ini, semasa mudanya tidak pernah bahagia. Kata Ibu ini, air mata kebahagiaannya menetes ketika anak-anaknya berhasil lulus dan menjadi seorang sarjana. Mimpinya sesederhana itu saja. Ketika Ibu ini naik haji, seorang kyai kondang dari pondok pesantren Betengan Demak, Pak Kharir (Alm.) datang ke rumahnya ikut mendoakan supaya hajinya makbul, padahal kalau diundang biasanya yang datang adalah anak-anaknya atau murid-muridnya (santri-santrinya). Dalam acara selamatan (mendoa sebelum berangkat naik haji), di depan orang-orang kampung, Pak Kharir mengatakan keheranannya, kenapa punya uang bukannya untuk senang-senang untuk dibelikan perhiasan kalung gelang emas, motor atau mobil, tapi justru dipakai untuk naik haji. Ketika Ibu ini berangkat naik haji, diantar dari rumahnya dengan bersandal jepit ke alun-alun masjid Demak, semua orang di kampungnya menangis. Ketika Ibu ini berangkat naik haji, diantar dari rumahnya dengan bersandal jepit ke alun-alun masjid Demak, semua orang di pasar berebutan memeluknya sambil menangis. Di depan ka'bah pun doa yang keluar dari bibirnya tidak jauh dari keselamatan anak-anaknya dan semoga sekolah anak-anaknya diberikan kelancaran dan anak-anaknya dapat hidup lebih baik dan berkecukupan. Saya pribadi pantang melihat air mata Ibu satu ini menitik apalagi sampai berlinangan. Haru rasanya ketika Ibu ini berkata kepada seorang pejabat dari Jakarta, "Maaf Pak... Bu... Saya ini orang tidak sekolah. Jadi saya takut kalau kata-kata saya kurang sopan...". Kata-kata Ibu ini yang selalu melekat di otak, pikiran dan kalbu saya adalah jika seseorang niat sekolahnya benar-benar (estu) dan tidak neko-neko (fokus), dia pasti akan sampai (lulus). Jika bekerja benar-benar (estu) dan tidak neko-neko (fokus), dia pasti akan berhasil. Orang-orang memanggil Ibu ini dengan sebutan Tukang Gorengan Naik Haji... Mohon doanya semoga Ibu ini selalu sehat wal'afiat, panjang umur, dan mengisi hari tuanya dengan senyum dan kebahagiaan. Kelak bisa melihat dan menyaksikan cucu-cucunya (si Lintang dan si Elok) menikah dengan pasangan hidup yang dicintainya. Ibu ini bernama Sukarsih.




L

No comments: