Friday, 12 November 2010

Kontroversi Supersemar

Kontroversi Supersemar


Wilardjito Singgung Nama Des Alwi

Yogya, Bernas
Supersemar yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 11 Maret
1966 dinihari, sebenarnya merupakan surat mandat yang diberikan kepada
Soeharto untuk mengamankan keadaan yang saat itu sedang gawat.
Seharusnya mandat tersebut diserahkan kembali kepada Soekarno, setelah
keadaan negara aman, namun oleh anggota MPR/DPR justru dipergunakan
untuk mengangkat Soeharto menjadi Presiden RI.

Pengangkatan Soeharto menjadi Presiden tersebut merupakan rekayasa
yang dilakukan Des Alwi, yang saat itu adalah bekas anggota Dewan
Banteng pencetus PRRI yang juga dianggap sebagai gerakan separatis,
untuk mempengaruhi MPR/DPR.

Hal tersebut diungkapkan Soekardjo Wilardjito SMiss, mantan pengawal
Soekarno, dalam acara diskusi setengah hari dengan tema "Diskursus
Kudeta Militer: Sebuah Kajian Sejarah SO 1 Maret 1949 dan Supersemar
1966" yang diadakan LBH Yogyakarta bekerjasama dengan PSKP (Pusat
Studi Keamanan Dan Perdamaian) UGM Yogyakarta, Sabtu (11/3) di Gedung
PSKP, UGM.

Wilardjito pernah menghebohkan berkat pengakuannya bahwa Supersemar
diwarnai dengan penodongan pistol. Hingga kini, Wilardjito masih yakin
penodongan itu memang terjadi.

Menurut penuturan Wilardjito, semenjak terjadinya peristiwa G30S/PKI
yang berakhir dengan kekalahan Yon I Cakrabirawa oleh pasukan Kostrad,
situasi di Istana Negara menjadi panas dan saling curiga-mencurigai.

"Saat itu terjadi beberapa kali pengepungan Istana Negara, baik di
Jakarta maupun Bogor yang tidak lain merupakan unjuk kekuatan Jenderal
Soeharto yang berniat merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno,"
ujarnya.

Kemudian dia mengisahkan, saat itu ia sedang bertugas malam pertama di
Istana Bogor, karena sejak meletus G30S/PKI, Presiden Soekarno lebih
sering tinggal di sana karena situasi gawat. Tanggal 10 Maret 1966,
ternyata di Kebun Raya belakang Istana Negara, sudah dimasuki tentara
yang tidak dikenal, karena tidak memakai badge dan lokasi. Sementara
itu pimpinan DKP (Dinas Kawal Pribadi), Kolonel Polisi Sumirat, yang
selalu mengawal Presiden tidak ada di tempat setelah mengawal Presiden
masuk kamar tidur.

Dia berniat melihat bawahannya yang ada di luar gedung Istana, tapi
justru mendapat laporan dari seorang anggota jaga pos I, yang
mengatakan bahwa ada empat jenderal akan menghadap Presiden. Karena
Sumirat tidak ada, dia menemui Presiden dan berkata di depan pintu
kamarnya bahwa ada empat jenderal yang akan menghadap. Ketika dia
sedang melapor, empat jenderal tersebut, Amir Machmud, Basuki Rahmat,
M Yusuf dan M Panggabean, sudah masuk ruang kerja.

Lalu, presiden keluar kamar dengan memakai piyama dan selop menuju
ruang kerja, sedangkan dia berada tiga meter di belakangnya.

Empat jenderal tersebut memberi hormat, namun dia tidak ingat siapa
yang memberi aba-aba. Ketika Presiden bertanya mengapa malam-malam
datang, tiba-tiba M Yusuf menyodorkan sebuah map dan bilang agar
Presiden menandatanganinya.

"Setelah membaca isi map tersebut Soekarno terkejut karena yang
disodorkan ternyata diktum militer, dan bukannya diktum kepresidenan,
namun Basuki Rahmat dijawab dengan jawaban pendek, "Untuk mengubah
waktunya sempit,'" kata Wilardjito. Menurut Wilardjito, M Yusuf
mencabut pistol FN 46, yang juga diikuti oleh Panggabean.

Melihat Soekarno dalam keadaan terancam bahaya, dia juga mencabut
pistol, namun oleh Soekarno dilarang karena dia tidak suka ada
pertumpahan darah, kemudian dia memasukkan pistol itu kembali.

Presiden menandatangani diktum militer tersebut. Wilardjito mengaku
tidak tahu pulpen siapa yang dipakai untuk menandatanganinya, dan dia
juga tidak tahu surat apa yang diberikan Yusuf kepada Soekarno.

Menurutnya, sebelum Soekarno menandatangani, dia sempat berkata
terpaksa menyerahkan mandat kepada Soeharto, tapi kalau situasinya
sudah kembali pulih, mandatnya harus dikembalikan kepadanya lagi.

Setelah peristiwa penandatanganan yang menurutnya tidak lebih dari 15
menit tersebut, Soekarno bilang akan pergi dan berpesan agar dia
berhati- hati, lalu Soekarno masuk kamar tidur.

Setelah itu Wilardjito pergi kebelakang untuk mencari anggotanya, tapi
keburu ditangkap oleh satu peleton pasukan tentara berseragam doreng
dan berbaret merah, tanpa tanda pengenal. Bersama dengan 12 orang
lainnya, dia digiring ke sebuah truk, lalu dilucuti dan dibawa ke
Jakarta dan dimasukkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Budi
Utomo.

Setelah berada dipenjara dia mengaku tidak tahu apa yang terjadi
selanjutnya di Istana Jakarta dan Bogor. Setelah ditahan lebih dari
enam bulan, dia baru diinterogasi Teperda Jaya, oleh seorang CPM
berpangkat Mayor yang namanya tidak diingatnya lagi.

Dalam interogasi tersebut, dia didakwa sebagai komplotannya Kol Maulwi
Saelan seorang Ajpri (Ajudan Pribadi), yang dijawabnya bukan. Ditanya
apakah yang menempatkanya Aidit, dia menjawab tidak kenal Aidit.
Ditanya siapa yang menempatkannya di istana, dia menjawab Wakasad
Gatot Subroto, tapi justru dia dimarahi karena mengutik-utik orang
yang sudah mati.

Selain itu dia dituduh PKI karena berani menodong jenderal ketika
menghadap Presiden. Setelah tiga tahun dipenjara dia baru memperoleh
kabar bahwa yang membuat Supersemar adalah Ali Murtopo dan Alamsyah
yang kemudian oleh Soeharto diangkat menjadi Menteri Penerangan dan
Menteri Agama.

Bengkokkan sejarah
Sementara pengingkaran yang dilakukan Soeharto mengenai pertemuannya
dengan Sultan HB IX di keraton sebelum Serangan Umum (SU) 1 Maret,
seperti yang ditulis dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan
Saya, merupakan pembengkokan terhadap sejarah. Demikian dikatakan
saksi sejarah SU 1 Maret Brigjen (Purn) Marsoedi.

"Pada waktu itu, saya menjadi Kaseksi I bagian intel, dan bertugas
mengatur dan membina pemuda Yogyakarta dan yang mengatur pertemuan
antara Sultan dengan Soeharto. Sebelum pertemuan tanggal 15 Februari,
tersebut saya dipanggil oleh Sultan untuk menghubungi Pangbes
Sudirman, karena berdasarkan pantauan radio BBC yang dilakukan oleh
Sultan, bahwa PBB akan membicarakan Indonesia, bahwa Indonesia sudah
lemah dan TNI dianggap sebagai pemberontak. Sehingga Sultan mengambil
inisiatif untuk mengadakan penyerangan besar-besaran untuk membuktikan
bahwa Indonesia masih ada. Lalu oleh Sudirman dibalas, agar Sultan
menghubungi Soeharto yang berada di wilayah selatan. Kemudian Soeharto
dipanggil Sultan untuk ketemu di keraton, dan sayalah yang mengatur
pertemuan itu," ujarnya.

Pertemuan tersebut, kata Marsoedi, harus benar-benar rahasia. Demi
menjaga rahasia pertemuan tersebut, bahkan dia memasukkan Soeharto ke
keraton melalui pintu regol sebelah barat, padahal regol tersebut
selama beberapa tahun, tidak boleh dibuka, kecuali atas izin Sultan.

Setelah pertemuan tersebut, pada malam harinya dia bertanya kepada
Soeharto tentang pembicaraannya dengan Sultan, namun oleh Soeharto
ditolak dengan alasan sudah malam. Namun keesokan harinya dia
mendengar kabar dari Prabuningrat (kakak Sultan), bahwa inti
pembicaraannya adalah rencana penyerangan besar-besaran. Oleh
Soeharto, Marsoedi kemudian ditugaskan mengurus logistik untuk pasukan
dan mengatur masuknya pasukan ke kota.

"Jasa Soeharto dalam serangan Umum 1 Maret sangat besar, namun demi
pelurusan sejarah, pertemuan Soeharto dengan Sultan harus dikemukanan,
agar sejarah tidak dibelokkan," katanya.

Valid
Pelurusan sejarah menyangkut pemrakarsa peristiwa SU 1 Maret 1949
mendesak untuk segera dilakukan karena fakta-fakta serta saksi yang
mendukungnya secara yurudis sudah sah dan sangat meyakinkan. "Karena
itu dalam waktu dekat LBH Yogyakarta selaku kuasa hukum Marsoedi akan
berupaya merangkum bukti-bukti yang valid serta saksi yang berkompeten
untuk meluruskan buku-buku sejarah yang ada sesuai dengan kejadian
yang sebenarnya," kata pengacara LBH Yogyakarta Budi Hartono SH.

Budi menyatakan, pelurusan tersebut perlu segera dilakukan mengingat
usia para saksi kunci yang memang sudah sangat langka semakin hari
semakin udzur.

Demikian pula, katanya, bukti-bukti yang sudah ada serta momen dari
iklim politik saat ini sangat kondusif sehingga sangat tepat bila hal
itu dilakukan saat ini.

"Selain keberadaan sejumlah saksi kunci seperti Pak Marsoedi dan
kawan-kawannya yang masih punya kemampuan untuk bercerita secara
jelas, kita juga baru saja memperoleh bukti otentik rekaman suara
Sultan HB IX yang pernah diwawancarai wartawan BBC tentang masalah
itu," katanya.

Secara hukum, bukti dan saksi yang ada itu sudah bisa dianggap syah
kalau memang rekaman suara itu benar-benar merupakan suara asli Sultan
HB IX.

Menyangkut kompetensi saksi Marsoedi, sudah tak perlu diragukan lagi
karena data-data tentang riwayatnya selaku komandan intelijen
Wherkreise III yang dipimpin Soeharto, jelas merupakan pelaku sejarah
paling tepat untuk dimintai keterangan.

"Setelah fakta dan saksi cukup lengkap dan akurat tersedia, kita perlu
segera mengujinya dalam forum formal demi menyelamatkan anak cucu kita
dari versi sejarah yang sudah dibengkokkan Orba. Malah tak ada
salahnya pelurusan itu pun dilakukan melalui sebuah deklarasi yang
formal pula," ujarnya. (cr1)



Source:
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/03/12/0013.html

No comments: