Friday, 12 November 2010

Petrus, sisi kelam pemerintah Soeharto (2-Habis)

Petrus, sisi kelam pemerintah Soeharto (2-Habis)

Habisi penjahat dekil hingga mesin politik



BENARKAH Soeharto dalang di balik Petrus? Dalam dokumen yang dimiliki Kon¬¬tras, Petrus berawal dari operasi pe¬nang¬gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan peng¬har¬gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keber¬ha¬silan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret tahun yang sama, di hadap¬an Rapim ABRI (sekarang TNI), Soehar¬to meminta polisi dan ABRI mengambil lang¬kah pemberantasan yang efektif me¬ne¬kan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.

Permintaannya ini disambut oleh Pang¬¬¬kopkamtib Laksamana Soedomo da¬lam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja¬ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Ja¬ya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di ma¬sing-masing kota dan provinsi lainnya.

Operasi Clurit yang notabene sama de¬ngan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan.

Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an¬¬taranya 15 orang tewas ditembak. Ta¬hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an¬taranya tewas ditembak. Para korban Pe¬trus sendiri saat ditemukan masyarakat da¬lam kondisi tangan dan lehernya te¬ri¬kat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la¬ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa¬ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke¬amanan.

Mesin politik
Menarik menyimak ucapan yang di¬lon¬tarkan Bathi Mulyono yang akrab di¬sapa BM. Mantan pimpinan Fajar Me¬nying¬sing, organisasi eks bromocorah yang eksis di Jawa Tengah sebelum tragedi penembakan misterius (Petrus) 1983. Me¬nurut BM yang pernah terlibat dalam ber¬bagai operasi politik, Petrus bukan ha¬nya ditujukan bagi penjahat kerah dekil se¬mata, tapi juga menghabisi mesin politik partai yang berkuasa waktu itu setelah se¬lesai dimanfaatkan. Istilahnya habis ma¬nis sepah dibuang!

Soal penanganan terhadap penjahat, BM yang selama 1,5 tahun sembunyi di hu¬tan Gunung Lawu sepakat dengan per¬nyataan mantan Wapres Adam Malik, ja¬ngan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi ma¬ti. Jadi syarat sebagai negara hukum su¬dah terpenuhi. Adam Malik mengingat¬kan, setiap usaha yang bertentangan de¬ngan hukum akan membawa negara ini pa¬da kehancuran. (Sinar Harapan, 25 Juli 1983)

Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pe¬megang kekuasaan. Petrus pertama kali
dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang Dandim 0734 Letkol CZI M Hasbi (kini Wakil Ketua DPRD Jateng, red) sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Hasbi menyebutkan, landasan hukum operasi yang ditanganinya adalah Operasi Clurit. Sedang landasan pelaksanaannya adalah tingkat keresahan masyarakat. (Kompas, 15 April 1983). Pengakuan operasi ini juga dikemukakan Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.
Kadapol IX/Jateng Mayjen (Pol) Montolalu di Semarang menegaskan, aparat keamanan bertekad menurunkan angka kejahatan, walaupun harus ditempuh dengan berbagai cara yang lunak sampai tindakan keras. Selama tiga bulan operasi penumpasan kejahatan di Semarang dan Solo, polisi berhasil menangkap 1.091 penjahat. Di antaranya 29 orang tewas tertembak dan empat lainnya tewas dikeroyok massa yang menangkap. (Kompas, 23 Juni 1983).
Jika di Yogyakarta dan Jateng ada "pengakuan " operasi pemberantasan kejahatan, tapi di daerah lain tidak diakui. Contohnya, Pangdam V Jaya/Pangkopkamtibda Mayjen TNI Try Sutrisno bersama Deputy Kapolri Letjen Pol Drs Pamudji dan Kadapol Metro Jaya, Mayjen Pol Drs R Soedjoko selesai pertemuan mengatakan di wilayah hukum Laksusda Jaya tidak ada penembakan misterius. "Yang menyebut ada penembakan misterius hanyalah media massa sendiri," ujarnya. (Sinar Harapan dan Berita Harian Gala, 24 Juni 1983).
Sementara itu Amir Machmud, Ketua MPR/DPR selesai konsultasi dengan Presiden Soeharto di Binagraha, secara pribadi menyatakan setuju mengenai adanya penembak-penembak misterius dalam menumpas pelaku kejahatan. Demi untuk memberikan rasa aman kepada 150 juta rakyat Indonesia, tidak keberatan apabila ratusan orang pelaku kejahatan harus dikorbankan. (Sinar Harapan, 21 Juli 1983).
"Penjahat mati misterius tidak perlu dipersoalkan, " kata Kepala BAKIN Yoga Sugama selesai melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha. Diungkapkan adanya surat Amnesti Internasional, yang katanya mempersoalkan iniitu, termasuk penjahat terbunuh di Indonesia. "Ini merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan," tambahnya. (Berita Harian Gala, 25 Juli 1983).
Lain lagi pendapat Wakil Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) Ali Murtopo, yang mengatakan penembakan misterius yang terjadi selama ini "dapat" dipertanggungjawabkan dan itu justru menurut ketentuanketentuan yang berlaku di dalam pelaksanaan tugas Hankam. "Saya melihat sistem konvensional ini sudah tidak bisa mengatasi masalah kriminal yang terjadi di Indonesia, maka ini harus diambil satu pertimbangan, kriminalitas dibasmi atau tidak. Jadi keputusannya dibasmi demi kepentingan rakyat," kata Ali Murtopo bersama pimpinan DPA M Panggabean, Wakil Ketua HJ Naro dan Sapardjo setelah konsultasi dengan Presiden Soeharto di Bina Graha (Sinar Harapan, 28 Juli 1983).
Tentu saja ada pandangan yang tidak setuju operasi semacam Petrus. Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan (FKP: fraksinya Golkar, red) Oka Mahendra SH menanggapi soal masalah "gali" mengatakan, sedikitnya ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek keamanan, sosial, ekonomi dan politik. "Memang aspek keamanan lebih menonjol, tapi tidak berarti aspek lainnya dapat ditinggalkan! Untuk itu para petugas keamanan agar tidak hanya terpukau pada aspek yang menonjol itu saja, tapi harus mendalami keseluruhan permasalahannya, " kata anggota dewan yang membawahi masalah Depdagri (Kompas, 16 April 1983).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution SH menyatakan, jika usaha pemberantasan kejahatan dilakukan hanya dengan main tembak tanpa melalui proses pengadilan maka hal itu tidak menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan. Padahal kedua masalah tersebut merupakan tuntutan hakiki yang diperjuangkan orang sejak zaman Romawi Kuno. Jika cara-cara seperti itu terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan dibubarkan saja. "Jika ada pejabat apapun pangkatnya dan kedudukannya, mengatakan tindakan main dor-doran itu benar, saya tetap mengatakan hal itu adalah salah," tegas Buyung. (Sinar Harapan, 6 Mei 1983).
"Sekalipun mereka penjahat, namun sebagai manusia berhak mendapat keadilan melalui lembaga peradilan. Dan menembak ditempat, walaupun oleh petugas Negara, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan," kata Ketua Yayasan LBH (Sinar Harapan, 14 Mei 1983).
Jika sekarang muncul tuntutan pertanggungjawaban atas tragedi Petrus, siapa yang harus bertanggung jawab? "Jadi menurut saya, tidak ada prajurit yang salah. Semua tanggung jawab di pundak pimpinan. Siapa? Soeharto! Itu sesuai pengakuannya dalam buku biografi berjudul Soeharto, Pikiran dan Tindakan Saya hasil wawancara Ramadhan KH dan G Dwipayana, tegas Bathi Mulyono yang tak ada tato satu pun di tubuhnya. Ema/Abs-sn






Source:
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=17594&Itemid=28

No comments: