Monday, 20 December 2010

Feminisme dan Filsafat Kesadaran : Problem Identitas Pribadi dan Upaya Melawan Fisikalisme

Feminisme dan Filsafat Kesadaran : Problem Identitas Pribadi dan Upaya Melawan Fisikalisme

oleh Hendar Putranto



Filsafat Kesadaran (Philosophy of Mind) dalam tradisi akademis Barat dibangun di atas dasar distingsi dan separasi antara tubuh (body) dan pikiran / kesadaran (mind). Filsafat kesadaran yang dibangun di atas dasar ontologis pemisahan tubuh dan kesadaran ini bisa dilacak sejak filsafat Plato dan Aristoteles [1]. Namun, kesadaran khas modern akan distingsi dan separasi ini baru ditemukan dalam filsafat Descartes yang secara radikal membedakan dua entitas konstitutif manusia yaitu res cogitans (yang berpikir atau kesadaran) dan res extensa (yang meluas dan membutuhkan ruang: tubuh), dan yang pada gilirannya akan menjadi fondasi epistemik polarisasi antara perempuan dan laki-laki di mana ideal rasionalitas (sebagai makhluk yang berpikir atau res cogitans) adalah eksklusif maskulin [2]. Dalam perjalanan dan perkembangan pemikiran sejak Descartes, sudah banyak kritik yang diajukan untuk menanggapi model epistemologis dualisme Descartian tersebut. Paper ini akan memfokuskan diri pada salah satu kritik terhadap model dualisme dalam filsafat kesadaran yaitu kritik feminis. Secara khusus, penulis menimba inspirasi dari esai yang ditulis oleh Susan James [3] yang membahas dan memproblematisasi teori identitas pribadi yang menjadi salah satu arus wacana utama dalam ranah filsafat kesadaran. Tulisan James ini lalu ditanggapi oleh Naomi Scheman, [4] yang juga akan dibahas penulis secara singkat dalam paper ini.
Ada sejumlah asumsi dasar yang melatarbelakangi arus wacana filsafat kesadaran modern Barat. Di antaranya ialah:
1. Oposisi antara tubuh dan pikiran, emosi dan akal budi itu ber-gender. Artinya yang satu (pikiran, akal budi) diasosiasikan dengan ciri maskulin, yang lain (yaitu emosi, tubuh) feminin. [5]
2. Setidaknya ada dua sumber pandangan dikotomis semacam ini, yaitu (1) para filsuf di masa lampau yang secara eksplisit meninggikan yang satu (pikiran, akal budi, maskulinitas) dan merendahkan yang lain (emosi, tubuh, femininitas) dalam tulisan-tulisan mereka. (2) penggunaan struktur metaforis dalam tulisan-tulisan filosofis yang tidak secara ekplisit membedakan lelaki-perempuan dari segi keunggulan akal budi di atas emosi, dan sejumlah pola identifikasi / asosiasi pikiran – maskulin, emosi dan kebertubuhan – feminin. Ringkasnya terangkum dalam adagium berikut ini: perlahan-lahan, dan semakin lama menjadi kebiasaan, daya rasional manusia dilihat sebagai ‘yang lebih bernilai’ daripada kecakapan emosionalnya.
3. Untuk menanggapi kedua asumsi dasariah di atas, kaum feminis lalu berupaya mengembangkan posisi filosofis yang tidak merendahkan “the symbolically feminine” Contoh: pendekatan feminis terhadap tradisi fenomenologis à kritik terhadap fenomenologi persepsi dari Marleau-Ponty. Feminisme dan psikoanalisa (terutama kritik terhadap teori Freud). Lacan à dikritik Luce Irigaray dan Julia Kristeva [6].
4. Oposisi tubuh >< pikiran bisa dilawan dengan (1) menyingkapkan cara-cara di mana tubuh memang dengan sengaja dimarjinalkan dalam filsafat (2) upaya untuk memulihkan ‘martabat’ tubuh ; bagaimana tubuh dan pikiran bersifat saling terkait, dan bahwa tubuh menyumbangkan sesuatu untuk pikiran. Selain itu, emosi juga semakin dilihat sebagai bagian yang integral dalam akal-budi, dan bukan sesuatu yang terpisah atau (bahkan) lebih rendah daripada akal-budi. Dengan berfokus pada 2 esai yang ditulis oleh Susan James dan Naomi Scheman, paper ini akan mengajukan argumentasi bahwa persoalan identitas dalam filsafat kesadaran tidak bisa berpaling pada pendekatan dualisme yang memisahkan pikiran dan tubuh dan yang dianalisa secara independen (artinya: proses-proses yang terjadi dalam pikiran terpisah sekaligus tidak ada kaitannya dengan proses-proses biologis tubuh), namun juga tidak jatuh ke dalam pendekatan fisikalisme. Pendekatan yang lebih memadai untuk melihat problem “identitas” dan “diri” dalam filsafat kesadaran, yang sekaligus peka terhadap isu gender, harus menyertakan atau mengaitkan analisa bahasa dan praktek-praktek sosial dan kultural yang bermakna yang dipraktekkan oleh subjek dan yang menjadi titik pijakannya untuk menegaskan identitas dirinya, untuk sampai pada kesadaran “aku” yang otonom sekaligus relasional. Paper akan dibagi menjadi 4 bagian pokok. Pertama, penulis akan me-representasikan esai Susan James tentang ‘teori identitas pribadi’ secara cukup lengkap dengan mengikuti struktur dan sistematika berpikirnya. Kedua, penulis akan menguraikan pemikiran Naomi Scheman “melawan pendekatan fisikalisme” secara agak luwes dan luas dengan cara lebih menempatkan pemikirannya dalam kerangka besar pendekatan feminisme analitik. Ketiga, penulis akan merangkum dan mensistematisasi ide-ide pokok yang sudah diuraikan di dua bagian sebelumnya. Pada bagian terakhir, penulis akan memberikan tiga buah tanggapan dan atau catatan kritis atas pemikiran James dan Scheman, dengan mengacu pada baik pendekatan psikoanalisa kontemporer maupun pemikiran social constructivism tentang tubuh. I. Filsafat Kesadaran dan persoalan identitas pribadi Susan James mendapatkan gelar B.A., M.A dan Ph.D. dalam bidang Filsafat dari Universitas Cambridge (di Inggris). Dia mengajar selama dua tahun di the University of Connecticut sebelum kembali ke Cambridge, dan menjadi periset di Girton College, dan kemudian mengajar di Fakultas Filsafat. Ia pindah ke dan mengajar di School of Philosophy, Birkbeck, University of London pada 2000. Ia juga mengajar sebagai dosen terbang di the Humanities Research Centre Universitas Nasional Australia (ANU), juga mengajar di Institute for Advanced Study (the Hebrew University) di Yerusalem, dan di Wissenschaftskolleg zu Berlin. [7] Fokus riset filsafatnya meliputi sejarah filsafat abad ke-17 dan 18, filsafat sosial dan politik, dan filsafat feminis. Dari ketiga ranah fokus risetnya ini, ia mengkhususkan diri pada riset tentang emosi. Salah satu bukunya, Passion and Action, mengeksplorasi letak dan pentingnya emosi dalam filsafat modern periode awal. Dan sekarang ia sedang menyelesaikan buku tentang teori Spinoza yang menyoroti hubungan sentral antara gairah (passion) dan politik. Ia juga tekun meneliti sejumlah pendekatan filsafat politik. Minat akademis ini membawanya masuk terlibat dalam diskusi-diskusi tentang posisi sosial kaum perempuan baik secara historis maupun politis. Ia menjadi editor The Political Writings of Margaret Cavendish, dan menulis sejumlah artikel tentang isu feminisme. Sejumlah buku yang ditulisnya antara lain The Content of Social Explanation (Cambridge University Press, 1984) ; Beyond Equality and Difference, diedit bersama Gisela Bock (Routledge, 1992) ; Passion and Action: The Emotions in Early Modern Philosophy (Oxford University Press, 1997) ; Visible Women: Essays in Legal Theory and Political Philosophy, diedit bersama Stephanie Palmer (Hart, 2002) ; The Political Writings of Margaret Cavendish (Cambridge University Press, 2003). Esai dari Susan James yang akan dibahas penulis di bawah ini merupakan esai yang tergabung dalam kumpulan tulisan The Cambridge Companion to Feminism in Philosophy (1999). Menurut James, sejumlah tulisan kaum feminis tentang identitas pribadi banyak menimba masukan dari psikoanalisa dan pascamodernisme. Ide pokok yang digarisbawahi dalam tulisan-tulisan yang dipengaruhi oleh psikoanalisa dan pascamodernisme adalah bahwa diri itu bersifat bertubuh (embodied), tidak kontinyu (discontinuous), mudah dibentuk (malleable) dan dikonstruksi secara sosial. Sementara itu, di jalur lain, sejumlah teoretikus identitas pribadi mengembangkan konsep diri yang berangkat dari distingsi antara “yang psikologis” dan yang “bertubuh” serta ide yang masih erat terkait dengan itu, yaitu kontinyuitas psikologis. Mungkin secara sekilas, orang akan melihat bahwa dua arus besar tema dan pengembangan konsep tentang “diri” ini mencoba menjawab pertanyaan yang berbeda. Sudah jelas bahwa isu yang diangkat oleh tulisan-tulisan kaum feminis tentang “identitas” dan konsep “diri” yang bertubuh, tidak kontinyu dan dikonstruksi secara sosial, secara sadar mau melawan oposisi biner dan dikotomisasi tubuh >< pikiran seperti sudah disinggung di bagian awal paper ini. Dengan menegaskan karakter kebertubuhan dari diri, kaum feminis mau membongkar asumsi yang sudah mengurat-akar yaitu mengidentikkan “diri” dengan “pikiran yang berciri maskulin.” Dengan menyoroti segi diskontinuitas dari diri, kaum feminis mau mengupas lapisan asosiasi makna secara kultural antara kesatuan (unity) dengan maskulinitas.
Meskipun demikian, dalam tradisi analitik, ada satu kesepakatan dasar di antara para teoretikus, entah dia feminis atau bukan, untuk memulai eksplorasi dan analisa tentang identitas pribadi. Kesepakatan yang dimaksud berupa pertanyaan dasar berikut ini: kriteria apa yang harus dipenuhi agar seorang pribadi pada t1 sama dengan pribadi pada t2? Atau, kriteria apa yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia survive dari t1 menuju t2? Asumsi di belakang kedua model pertanyaan ini adalah kontinuitas identitas pribadi. Seperti ditegaskan seorang filsuf identitas, Derek Parfit, kriteria kunci untuk mengukur kontinyuitas identitas pribadi adalah survival. Juga sekalipun seseorang bisa survive tanpa menjadi identik dengan ‘dirinya yang dahulu’ (yang berada di t1), perumusan survival tinggal persoalan derajat atau kadarnya. Mengingat hal ini, cukup berguna untuk membuat distingsi antara kontinyuitas psikologis (psychological continuity) dan kontinyuitas kebertubuhan (bodily continuity), meskipun disadari bahwasanya distingsi ini cenderung memisahkan tubuh dan pikiran / kesadaran. Selain itu, kaum feminis juga memandang distingsi ini bisa menjadi gerbang pembuka sekaligus ancangan awal untuk memarjinalkan tubuh, dan bersamaan dengan itu “the symbolically feminine.” Mengapa demikian?
Beberapa tahun belakangan ini, dengan menggunakan contoh imajiner, kontinyuitas identitas pribadi cenderung lebih memberikan tekanan pada kontinyuitas psikologis alih-alih kontinyuitas kebertubuhan, dan kontinyuitas psikologis inilah yang menjadi faktor konstitutif dari survival seorang pribadi. Contoh imajiner yang dimaksud adalah persoalan transplantasi karakter dan memori seseorang (katakanlah Budi) pada / ke dalam tubuh pribadi yang kedua (katakanlah Ahmad). Kasus-kasus transplantasi semacam inilah yang sering dikutip dan dijadikan acuan oleh teoretikus identitas pribadi untuk menopang kerangka teori yang mereka bangun yang lebih menekankan kontinyuitas psikologis seseorang sebagai “yang bernilai lebih tinggi” dan “yang lebih menjamin survivalitas seseorang” alih-alih kontinyuitas kebertubuhannya.
Dalam esainya, Susan James mengajukan tesis pokok sebagai berikut: contoh imajiner ‘transplantasi karakter’ (yang sering dikutip dan dijadikan acuan para pemikir identitas pribadi) digunakan untuk membenarkan dan menopang kerangka identitas atau konsep kedirian yang berciri maskulin. James membuktikan tesis pokok ini lewat 4 poin pokok yaitu (1) delineasi karakter (2) memori (3) peran dunia sosial dalam menopang identitas dan (4) identitas dan kekuasaan seksual laki-laki. Saya akan membahasakan kembali pokok-pokok argumen dari Susan James (4 poin pokok) ini secara ringkas dan padat.

(1) Delineasi karakter.
Apa maksudnya delineasi? Delineasi maksudnya pembatasan, pendefinisian, penarikan garis demarkasi antara karakter (yang dalam hal ini dilihat dan diposisikan sebagai isi dari kesadaran) dan tubuh. Dalam model ini, tubuh dilihat sebagai ‘wadah’ (receptacle) bagi karakter. Otak, sebagai bagian yang teramat penting dari tubuh untuk survival, dilihat sebagai wadah di mana di dalamnya keadaan-keadaan psikologis pribadi seseorang bisa ditampung dan diawetkan. Namun apakah persoalannya semudah ini? Apakah tubuh setiap orang itu bisa dianggap “seragam” sehingga ‘selalu’ siap untuk diisi dengan jenis karakter apapun yang berasal dari pribadi yang lain? Mengutip contoh yang ekstrem (dari Bernard Williams), apakah tubuh seorang petani jelata ‘bisa’ mengekspresikan karakter seorang kaisar? Ada keberatan pokok yang bisa dimunculkan di sini. Keberatan ini menyangkut pandangan dan pemahaman kita tentang hakikat karakter yang tertentu yang coba diuniversalkan. Universalisasi pemahaman atas karakter ini sekaligus menisbikan pandangan tentang tubuh dengan segala keunikan dan propertinya. Dibahasakan lebih lugas, pandangan semacam ini akan berbunyi sebagai berikut: “hal yang paling berarti tentang karakter pribadi seseorang, sifat-sifat yang menyusun kontinyuitas psikologisnya, tidak tergantung pada tubuh tertentu yang ia punyai, atau tubuh dengan segala kelengkapan atau ketidaklengkapannya (propertinya) yang khusus.” Ringkasnya: tubuh – seragam dan wadah, karakter -- unik dan bersifat superior daripada tubuh. Kasus imajiner pencangkokan karakter pada tubuh dengan demikian menegaskan bahwa dalam survival (kontinyuitas identitas pribadi) “karakter” mempunyai prioritas ontologis daripada “kebertubuhan.”

(2) Memori.
Berangkat dari poin no. 1 di atas, yang memberi tekanan dan prioritas lebih pada kontinuitas karakter daripada keadaan dan properti tubuh, kita sampai pada peran penting memori yang berkarakter dual, yaitu (a) sebagai keadaan / kondisi (states) yang memberi akses pada masa lalu kita, dan (b) sebagai penjamin dari rasa kontinyuitas temporal kita. James memahami memori sebagai ‘gudang ingatan yang mampu bertahan meskipun tubuh mengalami perubahan.’ Sebagai contoh, meskipun tokoh Ayub didera penderitaan dan sakit, namun toh ia masih ingat bahwa ia tidak melakukan kesalahan atau dosa apapun di hadapan Allah. Kita juga bisa mengambil contoh dari orang-orang di sekeliling kita yang meskipun tubuhnya menua, sakit, menderita, namun ingatannya akan nama, peristiwa, kejadian, dan dirinya sendiri masih segar dan bertahan (survive).
Akan tetapi, model pandangan “ingatan yang tak lekang oleh hujan tak lapuk oleh ngengat tak rapuh oleh perubahan kondisi-kondisi tubuh” ini juga mempunyai keterbatasannya. Contoh yang paling sering diajukan adalah “bagaimana dengan korban perkosaan, penyiksaan, pengalaman traumatis? Apakah serangan dan perubhan yang dialami tubuh mereka sama sekali tidak berpengaruh terhadap memori mereka?” Ada dua pendekatan jawaban untuk pertanyaan ini: (a) memori traumatis amat erat terkait dengan kebertubuhan, dan mempengaruhi baik kondisi-keadaan tubuh maupun kejiwaan. (b) trauma menghancurkan atau mengubah memori yang sudah ada, sehingga orang yang mengalami penyiksaan berkepanjangan, misalnya, akan kehilangan memori masa lalu mereka, dan, dengan demikian, kehilangan juga rasa kontinyuitas kedirian yang diandaikan disediakan atau dijamin oleh memori.
Ada argumen tandingan yang mengatakan bahwa memori bukanlah satu-satunya penjamin kontinyuitas kedirian seseorang (sebab ada hal-hal lain yang berkaitan dengan keadaan psikologis seperti harapan, intensi, kepercayaan, hasrat yang dianggap masih bertahan walaupun memori seseorang akan masa lalunya memudar atau bahkan hilang sama sekali karena pengalaman traumatis), sehingga perubahan atau kehilangan memori masa lalu seseorang tidak serta merta menggugurkan tesis kontiyuitas psikologis sebagai karakter konstitutif dari kontinyuitas identitas pribadi. Namun argumen ini, seperti ditunjukkan Susan Brison, jauh dari memadai. Menurutnya, ‘korban trauma tidak hanya kehilangan memori akan tindakan dan peristiwa masa lalu mereka, namun juga pola memori di mana di dalamnya ekspektasi, emosi, kecakapan, hasrat, dan sebagainya mengakar. Kehilangan memori, dalam pengertian ini, lantas juga berarti rusaknya karakter.’ Memori yang mengakar dalam kebertubuhan, dengan demikian, harus ikut diperhitungkan jika kita mau mendapatkan gambaran kontinyuitas identitas pribadi yang lebih inklusif.

(3) Pengaruh lingkungan sosial terhadap pengembangan konsep ‘diri’
Perdebatan tentang identitas pribadi yang dikemukakan di no (1) dan (2) di atas masih menyimpan sebuah persoalan pelik yang signifikan, yaitu konteks sosial atau historis dari pembentukan dan kontinyuitas jati diri. Kontinyuitas psikologis yang diandaikan para filsuf untuk menyangga identitas pribadi adalah properti dari seorang manusia yang normal. Namun asumsi ini ternyata bermasalah karena mengeksklusi cukup banyak hal. Di antaranya adalah fakta bahwa karakter – dipahami sebagai kemampuan untuk memahami diri sebagai subjek dari aneka macam keadaan psikologis—bukanlah bawaan lahir, melainkan buah dari relasi anak dengan orang-orang yang peduli padanya dan membesarkannya. Secara khusus, perkembangan jati diri si anak tergantung pada figur ibunya. Selain itu, asumsi kontinyuitas psikologis juga cenderung ‘mengurung’ pertanyaan apakah ia tergantung pada relasi sosial atau tidak.
Padahal, seperti sudah diteliti oleh para pakar psikoanalisa seperti Freud dan Lacan dan para penerusnya yang bergerak di bidang psikoanalisa, kita tahu bahwa pengalaman dini seorang anak tidaklah bersifat kontinyu atau terintegrasi (utuh). Keterpisahan si anak dari figur ibu, dan kemampuannya untuk mendaku pengalaman sebagai pengalamannya sendiri, adalah sebuah proses yang sarat diwarnai tarik menarik antara dorongan libidinal maupun pembatasan dari super ego yang dialami si anak dalam dan bersama tubuhnya. Sejumlah feminis bahkan mengafirmasi pentingnya ego sebagai “a physical mapping of the libidinal intensities of the body, a mental projection not of the actual body, but of the body as a kind of emotional map.” [8] Pernyataan ini bisa dilihat afirmasi atas keterkaitan erat antara tubuh, emosi, dan ego (sebagai pusat kesadaran dan jati diri manusia). Argumentasi Freud diteruskan oleh Lacan yang melihat bahwa dalam ‘fase cermin’ (stade du mirroir) seorang anak membentuk imaji atas tubuhnya sendiri sebagaimana direpresentasikan oleh orang lain, dan sebagaimana dipantulkan oleh cermin. Imaji atas tubuh sebagai keseluruhan ini menjadi pondasi identitas dari si anak, yang bersifat sementara, yang lalu akan dilanjutkan sampai pada resolusi kompleks Oedipus, untuk membentuk jati diri yang lebih stabil. Imaji atas tubuh ini menyumbangkan sesuatu yang penting untuk menopang ide kontinyuitas psikologis.
Jati diri (the self) dengan demikian harus diciptakan lewat serangkaian inter-aksi antara si anak, orang-orang yang berada di sekitarnya, dan kultur yang lebih luas di mana si anak hidup. Kondisi dan situasi lingkungan sosial, kultural, dengan satu dan lain cara menopang atau menghancurkan kontinyuitas psikologis. Korban trauma, misalnya, mengalami kesulitan untuk merangkai kembali narasi utuh tentang jati-dirinya karena terjadi gangguan atau cedera pada fisik (tubuh) nya yang mungkin berdampak pada diskontinyuitas psikisnya. Pengakuan (recognition) dari orang lain, yang adalah dimensi sosial dari pembentukan karakter, dapat membantu korban trauma untuk pulih dari shock yang dialaminya (salah satu model diskontinyuitas psikologis) dan merajut kembali narasi tentang diri menjadi utuh dan kontinyu.
Dari sketsa dan contoh yang sudah diperikan di atas, kita bisa bisa dengan aman mengatakan bahwa kontinyuitas psikologis tidak bisa dilepaskan dari tubuh. Kontinyuitas psikologis adalah fitur dari diri yang menubuh (embodied selves). Lebih lanjut lagi, kemampuan seseorang untuk mempertahankan kontinyuitas psikologisnya tergantung dari orang lain yang mengenali dan mengafirmasi baik kelengkapan anggota-anggota tubuhnya (properties) maupun potensi-potensi yang tersimpan dalam dirinya yang menubuh. Sekalinya kemungkinan ini dihilangkan (entah karena pengalaman traumatis atau karena penyiksaan yang berkepanjangan yang mengakibatkan seseorang kehilangan salah satu atau beberapa organ tubuhnya, atau karena perang yang membuat seseorang kehilangan sebagian anggota tubuhnya [9], dan sebagainya), kontinyuitas psikologis juga menjadi rusak.

(4) Identitas dan kekuasaan seksual laki-laki.
Isu identitas pribadi dalam keterkaitannya dengan kontinyuitas psikologis dan kebertubuhan yang sudah diuraikan oleh James masih menyisakan satu pertanyaan pokok yang belum terjawab secara memuaskan, khususnya bagi kaum feminis, yaitu kaitan antara identitas pribadi dengan identitas seksual yang berjender. Kompleksitas persoalan identitas pribadi yang didekati secara (filsafat) analitik dan filsafat kesadaran, masih menyisakan ruang kecemasan bagi kaum feminis karena nampaknya jantung persoalan identitas pribadi bukan terletak pada survivalitas dan kontinyuitas psikologis, melainkan pada asosiasi atau identifikasi antara identitas pribadi dengan identitas lelaki (male identity), yang mengurung pertanyaan tentang tubuh dan diri yang menubuh, dan sebaliknya berkonsentrasi pada pikiran atau kesadaran.
Tentu saja tidak semudah dan senaif itu untuk mengasumsikan secara dikotomis bahwa tubuh itu selalu menyimbolkan yang feminin dan pikiran sebagai yang maskulin. James menegaskan bahwa selain mengasumsikan kontinyuitas identitas pribadi terletak pada pikiran / kesadaran, identitas kelelakian yang kontinyu juga terkadang secara implisit dipahami sebagai kemampuannya untuk mengontrol perempuan. Yang menjadi isu besar di sini adalah relasi antar orang yang berbeda ‘jenis kelamin’ (seks) sering juga mempengaruhi problem identitas. Isu identitas dan gender saling terkait.
James mengutip contoh-contoh untuk mendukung poin ini dari kajian atas dunia sastra, khususnya novelet The Wife of Martin Guerre (karya Janet Lewis) dan kisah Colonel Chabert (karya Balzac). Saya tidak akan mengulangi kembali analisa James atas kedua novel di atas, namun cukuplah untuk dikatakan di sini bahwa baik Martin Guerre (tokoh dalam The Wife of Martin Guerre) maupun Kolonel Chabert menumpukan identitas sosial mereka pada kehadiran istri mereka dan pada kontrol mereka atas diri istri-istri mereka. Ketika mereka kehilangan kontrol atas diri istri-istri mereka, identitas sosial mereka memudar dan terjadi diskontinyuitas psikologis, yang membuat mereka menjadi lumpuh dan tak lagi bisa berfungsi normal seperti sedia kala. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan mengambil contoh tokoh / karakter dari dua karya berikut tadi, James menyodorkan argumentasi yang meyakinkan? Menurut saya tidak. Poin ini akan sedikit saya elaborasi di bagian tanggapan terhadap esai Susan James.

II. Filsafat Kesadaran berperspektif feminis: melawan proyek fisikalisme
Naomi Scheman adalah seorang Profesor Filsafat di the University of Minnesota – USA, yang masih aktif mengajar di Departemen Studi Jender, Perempuan dan Seksualitas. Ia memperoleh gelar PhD dalam bidang Filsafat dari Universitas Harvard. Bidang spesialisasinya adalah Epistemologi dan Teori Feminis. Karya-karya tulis yang sudah dipublikasikan meliputi : *) "Non-Negotiable Demands: Metaphysics, Politics, and the Discourse of Needs." dalam Future Pasts: Reflections on the History and Nature of Analytic Philosophy, eds. Juliet Floyd and Sanford Shieh, Oxford University Press, 2001. *) "Against Physicalism", 1999, dalam Cambridge Companion to Feminism in Philosophy, Cambridge University Press *) "Engenderings: Constructions of Knowledge, Authority, and Privilege", 1993, Routledge *) "Forms of Life: Mapping the Rough Ground", 1996, Cambridge Companion to Wittgenstein, Cambridge University Press *) "Queering the Center by Centering the Queer: Reflections on Transsexuals and Secular Jews" 1996, Feminists Rethink the Self, Westview Press.
Mengutip perkataannya sendiri tentang proyek filosofisnya [10], Scheman tertarik untuk mengeksplorasi politik epistemologi, khususnya bagaimana konsep diri dan posisi subjek tertentu dikonstitusi secara sosial, entah diistimewakan atau distigmatisasi. Berkaitan dengan itu, Scheman juga tertarik meneliti bagaimana otoritas dan ketergantungan epistemik dikonstitusikan dan dinegosiasikan. Isu-isu epistemis ini lalu coba ia kaitkan dengan isu-isu yang lebih “abu-abu” sifatnya seperti jender, identitas dan perspektif seksual, rasial dan etnis. Keyakinan yang mendasari penelitian Scheman adalah bahwa filsafat analitik bisa dihidupkan kembali dengan menaruh perhatian pada isu-isu sosial dan politik yang muncul sebagai dampak dari perjuangan pembebasan yang dibingkai oleh perspektif dan identitas tersebut di atas. Perjuangan yang dimaksud Scheman di sini menuntut adanya transformasi dari konsep-konsep dasar filsafat seperti kepribadian (personhood), identitas, dan alasan-alasan justifikasinya. Dipengaruhi oleh pemikiran Wittgenstein, Scheman bermaksud untuk menelusuri kembali topik-topik yang oleh Wittgenstein disebut "rough ground" seperti objektivitas, realisme, dan fisikalisme untuk sampai pada hakikat filsafat.
Dalam esainya “Against Physicalism,” Scheman mau mempertahankan tesis berikut ini: Kritik kaum feminis terhadap dualisme filosofis pikiran - tubuh tidak berarti harus jatuh ke dalam kubu fisikalisme [11] melainkan perlu lebih memperhatikan praktek-praktek dan norma-norma yang secara sosial bermakna (socially meaningful practices & norms, yang disingkat “smp&n”), dan bagaimana s.m.p&n. ini mempengaruhi hidup / dunia batin kita, membentuk jati-diri perempuan yang diartikulasikan lewat bahasa sehingga diri dan identitas sebagai subjek lebih dilihat sebagai konstruksi sosial dan relasional.
Yang dimaksud Scheman dengan fisikalisme di sini adalah klaim bahwa kita memahami diri kita lewat penjelasan yang mengacu pada hal-hal batin seperti kepercayaan, maksud, emosi, hasrat, dan sikap. Hal-hal batin yang menjadi acuan ini dianggap benar jika mereka identik dengan atau tergantung pada atau ditentukan oleh peristiwa, keadaan dan proses di dalam tubuh seseorang yang padanya dilekatkan hal-hal batin berikut tadi. Contohnya, tanggapan emosional seperti amarah dijelaskan atau dikaitkan dengan perubahan yang terjadi dalam otak kita (reaksi-reaksi kimiawi yang terjadi dalam otak). Begitu juga dengan aneka macam emosi lainnya, seperti cinta, perhatian, cemburu, semua bisa dijelaskan dengan mengacu pada keadaan, proses, reaksi kimiawi yang terjadi dalam dan melibatkan tubuh. The mental is composed of, or determined by, the physical. [12] Inilah fisikalisme!
Apakah doktrin fisikalisme dengan demikian bisa diterima dan menjadi pengganti dari dualisme Cartesian? Ternyata tidak. Menurut Scheman, doktrin fisikalisme tidak bisa diterima karena tidak semua aktivitas dan dunia batin kita, seperti kepercayaan, hasrat, emosi, dan sebagainya bisa diasalkan (apalagi ditentukan oleh!) secara fisik. Mereka bermakna secara sosial dan kultural, dan menjadi seperti itu karena ada konteks sosial yang melatarbelakanginya. Diri sebagai subjek dari pengalaman batin (inner experience) perlu lebih dimengerti sebagai yang mencakup baik segi kebertubuhan maupun segi sosial. Pengetahuan yang lahir dari fakta itu pun lalu bukan pengetahuan yang abstrak dan berjarak, melainkan bersifat interpersonal dan interaktif.
Naomi Scheman menyebut dirinya sendiri sebagai an “analytic philosopher semi-manqué” — artinya filsuf yang pernah berguru pada aliran analitik namun sekarang sudah meninggalkan ‘padepokan’ ranah analitis dan melibatkan dirinya di dalam ranah sosial politis. Sebagai contohnya, Scheman pernah berargumen bahwa ideologi individualisme liberal melatarbelakangi keyakinan yang tersebar ke seantero publik (akademis, common-sense) bahwa objek-objek psikologis seperti “emosi, keyakinan-keyakinan, intensi, keutamaan dan keburukan’ adalah properti dari individu. Scheman berulangkali menegaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana mengidentifikasi dan menafsirkan keadaan dan kondisi psikologis harus dijawab berdasarkan konteks sosial, dan bukan dengan mengabstraksikannya.
Untuk memperjelas argumen ‘pemahaman yang berangkat dari analisa atas konstruksi sosial’ ini, saya akan merepresentasikan contoh yang dituliskan Scheman dalam esainya [13]. Scheman mengajukan 3 set pertanyaan dan jawaban yaitu (1) TANYA: Mengapa Alex (perempuan) tidak terkena serangan jantung ketika ia masih muda? JAWAB: Karena ia seorang perempuan. (2) TANYA: Mengapa Alex tidak menjadi bos dari perusahaan itu? JAWAB: Karena ia seorang perempuan. (3) TANYA: Mengapa Alex tidak menggunakan toilet yang ada gambar tongkat dengan segitiga di tengah-tengahnya? Karena ia seorang perempuan. Tiga set pertanyaan yang berbeda dan tiga jawaban yang sama ini menggambarkan tiga situasi dan cara pandang yang berbeda. Dalam analisa Scheman, pertanyaan dan jawaban pertama mengacu pada properti fisiologis yang dianggap bertanggungjawab mengapa seorang perempuan (karena keperempuanannya) punya resiko terkena serangan jantung yang lebih rendah. Jawaban untuk pertanyaan kedua bersifat eksplanatoris karena pemaknaan sosial yang dipikul oleh kata ‘perempuan.’ Jawaban atas pertanyaan ketiga mengandaikan adanya koneksi antara jender dan simbol toilet untuk publik yang bersifat memisahkan (segregatif) antara lelaki dan perempuan. Ketiga set pertanyaan dan jawaban yang direka oleh Scheman ini mau menunjukkan kaitan erat antara praktek sosial, penafsiran dan pola-pola pemahaman identitas jender yang berangkat dari praktek sosial dan penafsiran tersebut. Pemahaman atas identitas ‘perempuan’ dalam contoh yang diberikan Scheman ini tidak berpijak dari abstraksi individu (atau pernyataan tentang siapakah individu itu) yang dibersihkan dari kandungan sosial dan kulturalnya, namun justru berpijak pada gugus praktik yang dianggap bermakna secara sosial dan dilakukan secara bersama-sama dalam ruang kebersamaan (the space of commonality) [14].
Scheman berhutang budi pada Wittgenstein untuk poin ini, namun ia juga sekaligus melampaui Wittgenstein dengan mengatakan bahwa pengalaman dan perkembangan psiko-seksual kaum perempuan tidak berangkat dari asumsi individualistis semacam ini melainkan dari keterhubungan (connection), komunitas (community), dan norma-norma serta praktek-praktek sosial yang ikut berperan membentuk identitas mereka.

III. Rangkuman dan Catatan
Ada 3 poin pokok yang bisa saya simpulkan dari esai Susan James, yaitu:
(1) Secara ontologis, identitas pribadi manusia (personhood, self) terdiri dari baik segi-segi psikologis (mental states), maupun segi-segi kebertubuhan (bodily states). Kedua entitas ini meskipun berbeda (distinct) namun saling menopang dan terjalin erat satu sama lain. Diri adalah diri yang bertubuh (an embodied self) sekaligus yang berpikir (a thinking self). Upaya-upaya untuk memisahkannya, dan sekaligus tidak mengakui kontribusi yang satu terhadap yang lain, adalah penolakan terhadap dualitas kepribadian dan cenderung akan jatuh pada
(2) Secara epistemologis, kedirian seseorang dijamin survivalitasnya jika orang tidak hanya melihat kontinyuitas psikologisnya, namun juga kontinuitas kebertubuhannya. Ini masih mengacu pada model identitas Aristotelian di mana ada substratum yang mengikat, tetap dan ajeg (constant) yang menjamin kesamaan identitas seseorang di bawah atau di balik segala macam perubahan baik yang terjadi di level batin (mental) maupun tubuh.
(3) Secara etis, James implisit menghimbau agar subordinasi ‘the symbolically feminine’ dalam bentuk (1) separasi dan lalu (2) pengunggulan pikiran di atas tubuh yang mengambil bentuk penekanan berlebihan pada kontinyuitas psikologis dan kecenderungan meremehkan (menganggap irelevan) kontinyuitas biologis (seperti nampak pada contoh transplantasi karakter) hendaknya diatasi dengan menempatkan keduanya secara sejajar. Kesetaraan dan pengakuan atas signifikansi baik menyangkut kontinyuitas psikologis maupun kontinyuitas kebertubuhan dapat membuka jalan pada keutuhan cara memandang identitas pribadi, yang bisa berdampak positif secara politis dan sosial (seperti peniadaan atau pelenyapan hasrat lelaki untuk mengontrol perempuan demi penegasan identitas sosialnya semata).

Sementara itu, esai dari Naomi Scheman bisa dirangkum sebagai berikut: Filsafat kesadaran yang dikritik oleh kaum feminis, perlu membuka ruang yang lebih luas lagi bukan pada paham fisikalisme (dan reduksionisme yang menyertainya), namun lebih pada analisa bahasa dan makna yang menyertakan, mengaitkan serta berangkat dari praktek-praktek sosial dan kultural yang mengkonstruksi jati diri perempuan dan kebenaran tentang identitas itu secara lebih relasional dan komunal.
Maka, membandingkan kedua esai yang ditulis oleh Susan James dan Naomi Scheman -- kedua-duanya adalah filsuf-feminis anglophone yang kuat dipengaruhi mazhab analitis dalam uraiannya-- ada sejumlah poin kesepahaman yang bisa saya tarik, yaitu:
1. Filsafat dan jender itu penting bagi hidup umat manusia. Filsafat dapat menyumbangkan sesuatu untuk memperluas cakrawala berpikir kita, membuat kita jadi paham inter-relasi kita di dunia, yang bisa menindas sekaligus membebaskan. Upaya kaum feminis adalah membuat filsafat menjadi ilmu yang terlibat (engaged), artinya ‘filsafat yang potensial berguna untuk memberdayakan / menguasakan manusia lebih daripada sekedar melanggengkan filsafat status quo yang merendahkan ‘yang lain’ berdasarkan kategori-kategori yang dikonstruksi secara sosial dan tertancap secara kultural seperti ras/etnis, kelas, orientasi seksual, jender, dll.
2. Jender bisa menyumbangkan sesuatu untuk filsafat. Kaum feminis biasanya mengkritik filsuf yang misoginis, seksisme yang terselubung atau terang-terangan, paradigma androsentrisme, dan bias-bias maskulin dalam filsafat.
3. Jender adalah salah satu segi dari jejaring kompleks karakter manusia yang saling mempengaruhi yang mencakup, untuk menyebut 3 saja yang umum disepakati, ras/etnis, kelas sosial dan orientasi seksual. Akan tetapi, meskipun salah satu saja, jender adalah segi yang penting dengan kebhinnekaan implikasi untuk cara kita berfilsafat. Pengaruh jender terhadap filsafat misalnya: pengakuan bahwa filsafat itu tertanam dalam gugus struktur dan praktek sosial, sehingga filsuf-feminis cenderung menggunakan metode berfilsafat yang dapat menjelaskan ‘ketersituasian’ atau ‘keterlokasian’ dari subjek yang berfilsafat (subjek penahu) dan juga sekaligus objek refleksi filosofisnya.
4. Lalu filsafat macam apa yang dicita-citakan kaum feminis berhaluan analitis? Di satu sisi mereka berupaya untuk tetap mempertahankan ideal ‘normatif’, yang berguna dan dapat dipakai oleh seluruh umat manusia. Mereka tidak mau jatuh ke dalam relativisme epistemologis dan laissez-faire moral. Di sisi lain, mereka mau mengubah corak filsafat dari yang dingin dan berjarak terhadap objek kajiannya, menjadi filsafat yang peka terhadap dan mengangkat segi-segi lain yang belum terungkap / dimarjinalkan oleh filsafat mainstream pada umumnya, seperti hal-ihwal jender, ras, orientasi seksual, dll.
5. Istilah ‘analytic feminist’ mungkin pertama kali dipergunakan secara luas (publik) di awal tahun 1990-an di Amerika Utara. Virginia Klenk mengusulkan pembentukan ‘Masyarakat Feminisme Analitis’ pada 1991; Ann Cudd, yang menjadi presiden pertamanya, merumuskan ‘family resemblance’ (istilah dari Wittgenstein) di antara kaum feminis analitis sebagai berikut.: “Feminisme analitik berpegang pada keyakinan dasariah bahwa cara terbaik untuk melawan seksisme dan androsentrisme adalah lewat pembentukan konsep yang jelas mengenai kebenaran, konsistensi logis, objektivitas, rasionalitas, keadilan dan ‘yang baik’ sambil bersamaan dengan itu mengakui bahwa konsep-konsep kunci ini telah cukup sering dibuat menjadi bias dan menyimpang sepanjang sejarah filsafat. Feminisme analitis mengakui bahwa konsep-konsep kunci yang diwariskan filsafat tradisional tidak hanya bersifat meyakinkan (persuasif) namun juga sekaligus menguasakan dan membebaskan perempuan. Jika feminisme berhaluan pascamodern menolak universalitas kebenaran, keadilan, objektivitas dan cakupan universal dari kata ‘perempuan,’ maka (sebaliknya) feminisme analitis berupaya untuk mempertahankan konsep-konsep dasariah ini.” [15] Meskipun ada kredo semacam ini, feminis analitis saling berbagi hasrat inti (a core desire) dan bukan doktrin / ajaran pokok, yaitu hasrat untuk mempertahankan sejumlah konsep normatif kunci yang ditemukan dalam tradisi filsafat Eropa untuk mendukung ide “normativitas” yang dipersyaratkan baik oleh feminis politis maupun filsafat. Sebagai contohnya, mereka percaya bahwa kaum feminis yang bergerak di bidang politik perlu menyepakati apa yang diklaim sebagai ‘penindasan’ atau ‘ketidakadilan’ dan bagaimana konsep-konsep ini bisa dijustifikasi, dikritik dan sekaligus dimodifikasi.

IV. Tanggapan Kritis
Dalam bagian tanggapan kritis ini, pertama-tama saya akan memberi catatan untuk esai Susan James, khususnya bagian terakhir dari esainya yang membahas tentang keterkaitan antara identitas dan kekuasaan seksual laki-laki terhadap perempuan. Menurut saya, dari pembacaan atas sejumlah karya yang membahas isu ini [16], isu identitas dan kekuasaan seksual laki-laki yang cenderung mensubordinasi perempuan adalah isu yang tidak bisa diuraikan atau diambil contohnya hanya dari karya-karya literatur seperti Balzac dan Janet Lewis seperti ditunjukkan oleh James. Isu ini akan jauh lebih relevan dan aktual, serta punya dampak politis yang juga signifikan, jika si feminis mengambil contoh dari kehidupan nyata, dari kultur yang menindas dan mengaitkan identitas seksual sebagai ‘cara-cara pelanggengan penguasaan dan kontrol lelaki terhadap perempuan.’ Seperti diuraikan oleh Susan Moller Okin dalam esainya “Is Multiculturalism Bad for Women?” ia memberi beberapa contoh yang cukup meyakinkan untuk menjelaskan ‘penindasan laki-laki terhadap perempuan’ (baca: praktek-praktek budaya tertentu adalah sarana yang dipakai lelaki untuk mengontrol perempuan) di dalam sebuah budaya minoritas, yang erat terkait dengan identitas seksual dan kekuasaan seksual lelaki terhadap perempuan. Misalnya, kasus klitoridektomi yang masih terjadi di negara Pantai Gading dan Togo. Dikatakan bahwa praktek penyunatan klitoris perempuan yang merupakan bagian dari “warisan budaya kami” berfungsi untuk “menjamin keperawanan seorang perempuan sebelum pernikahan dan kesetiaannya setelah menikah dengan membatasi seks hanya sebagai kewajiban pernikahan” dan bahwa “peran seorang perempuan dalam kehidupan adalah merawat anak-anaknya, menjaga kebersihan rumah dan memasak. Jika klitorisnya tidak dipotong, maka ia mungkin akan berpikir tentang mengejar kesenangan dan kepuasan seksualnya sendiri.” [17] Juga praktek poligami yang dilakukan oleh imigran dari Mali yang tinggal di Perancis, yang mengatakan bahwa praktek poligami dilakukannya karena “kalau satu istrinya sakit, masih ada yang lain yang merawat dirinya.” Selain itu, praktek pemaksaan (atau setidaknya ditawarkan kepada) perempuan untuk menikahi lelaki yang memperkosanya---yang ditemukan Okin terjadi di sejumlah daerah di Asia Selatan dan Afrika Barat---juga merupakan praktek budaya yang dilegalkan, karena akan memulihkan kehormatan keluarga, sekaligus sebagai kompensasi atas “barang rusak” (si gadis dipandang sebagai cemar dan tak lagi layak untuk dinikahi siapapun).
Jika filsafat kesadaran yang dikritik oleh kaum feminis (analitik) adalah filsafat yang abstrak dan berjarak dan kurang “membumi” atau memperhatikan segi kebertubuhan dan konteks sosial yang partikular, maka mungkin baik James maupn Scheman perlu lebih banyak lagi belajar dari kaum feminis yang terlibat dalam perjuangan politis untuk ‘memperbaiki’ (dimengerti sebagai: lebih memanusiakan perempuan) agenda masyarakat dan kultur yang patriarkal dan opresif terhadap kaum perempuan seperti dicontohkan oleh Okin di atas.
Yang kedua, saya akan menunjukkan sejumlah keterbatasan dan kekurangan dari pendekatan feminis analitik (yang menjadi kerangka language-game dari James & Scheman), yaitu:
(1) Kritik feminis terhadap tradisi-tradisi filsafat yang sudah ada dan mendahuluinya menyimpan ambiguitas sekaligus kelemahan konseptual karena bagaimanapun juga, di satu sisi mereka mengkritik, di sisi lain, mereka menggunakan seperangkat istilah atau konsep yang dipinjam dari apa yang dikritiknya untuk tetap bisa membuka peluang berkomunikasi dengan para pemikir lain yang berada dalam tradisi tersebut, atau yang mau bergerak melampauinya. Naomi Scheman, misalnya, pernah menunjukkan sejumlah cara di mana feminis analitis tidak sepenuhnya mengapresiasi “muatan-muatan (baggage) politis, metafisis dan epistemologis yang dimasukkan ke dalam teori-teori dan konsep-konsep yang mereka pakai. Misalnya, serangan terhadap konsep ‘rasionalitas’ yang dianggap terlalu ‘bias-lelaki’ mengandaikan si pengkritik juga terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan bahwa model ‘rasionalitas’ yang ia kemukakan juga terbuka untuk dipertanyakan.
(2) Menyangkut metodologi, kaum feminis tetap perlu mengingat bahwa mengidentifikasikan diri dengan metode yang dipakai bisa membawa keuntungan sekaligus ketidakuntungannya sendiri. Misalnya, dengan menyebut diri sebagai ‘analytic feminists’ , filsuf-feminis ini mau menolak diri diasosiasikan dengan segala sesuatu yang berbau ‘post’ dan dan bahwa filsafat analitik masih bisa diselamatkan dari jerat dan pembatasan bias lelaki. Akan tetapi di saat yang bersamaan, wanti-wanti dari Sandra Harding juga perlu diingat, yaitu bahwa setiap wacana yang dikembangkan oleh kaum feminis juga berarti merongrong (undermines) metode paternal yang diacunya, sampai dengan batas tertentu. Artinya, tidak begitu mudah untuk mendiferensiasikan wacana dan metodologi yang ia peluk dan kembangkan dengan wacana dan metodologi ‘bapak’nya. Maka, dalam arti ini, menjadi asertif dan mengeksplisitkan ‘Ini dia wacana yang mau saya lawan’ dalam debat atau argumentasi dengan pihak lawan akan amat membantu audiens untuk memilah-milah mana wacana yang masih ‘berbau bapak’ dan mana yang sudah lepas dan ‘menjadi dirinya sendiri.’
(3) Feminisme sebagai gerakan intelektual (lebih-lebih politis) perlu (lebih) membuka bacaannya terhadap problematika yang dihadapinya dalam ranah spesifik-partikular (misalnya: epistemologi atau filsafat kesadaran) dengan mengundang dan melibatkan feminis dari tradisi / pendekatan lain untuk “bercakap-cakap” dan ‘memperluas cakrawala dalam melihat sesuatu’ sehingga mereka tidak terjebak dalam eksklusivisme metodologis, obsesi epistemologis dan chauvinisme linguistik yang malah akan menguatkan identitas patriarkal yang mau ditentangnya.
(4) Naomi Scheman, dalam esainya “Though This be Method, Yet There is Madness in It: Paranoia and Liberal Epistemology” menggunakan pendekatan psikoanalisa untuk menguji pandangan Rene Descartes tentang definisi pengetahuan sebagai sesuatu yang ‘clara et distincta’ (the search for absolute certainty). Scheman melihat kesejajaran antara kecemasan dan obsesi Descartes untuk sampai pada pengetahuan yang jelas dan pasti ini dengan kondisi kejiwaan manusia yang oleh Freud dikonsepkan sebagai ‘paranoia.’ Freud mendeskripsikan paranoia sebagai proses keterpisahan (splitting) dan keterasingan (alienation). Sesuatu yang tadinya dikenali sebagai bagian dari jati diri (the self) lalu dipisahkan dan dilekatkan kembali pada sesuatu atau seseorang yang lain yang bukan diri. Motif upaya pemisahan ini adalah ketidakcocokan antara bagian yang di-split dengan ego yang sedang berkembang. [18] Namun kita bisa melihat dampak yang jelas dari pemisahan ini, yaitu pemiskinan diri (the diminuation of the self) – diri tidak lagi mempunyai apa yang tadinya ia punyai. Namun apakah benar bahwa “diri” menjadi lebih baik setelah “bagian yang tidak cocok” ini dipisahkan darinya? Inilah nasib yang harus dipikul oleh tubuh dalam epistemologi Cartesian dan pasca-Cartesian, yaitu bahwa diri menjadi identik dengan res cogitans, dan bukan lagi diri yang merasa (sensual) dan menubuh (bodily). Diri model Cartesian adalah diri yang tidak mampu lagi berkomunikasi dengan bagian yang dipisahkan darinya (yaitu tubuhnya), “diri yang sendirian,” diri yang berpijak dan dikonstitusi dari pemisahan. Diri inilah yang dimaksud sebagai “diri yang paranoid” oleh Freud.

Sejajar dengan analisa psikologi ini, sekarang kita mengambil tukikan ke arah analisa kognitif, menyangkut posisi subjek dan model pengetahuan macam apa yang dihasilkan oleh kritik feminis terhadap filsafat kesadaran mainstream.. Helen Longino, misalnya, mengamati bahwa argumen kaum feminis yang berupaya untuk merekonstruksi ‘pengetahuan’ (sebagaimana dimengerti sains) setidaknya menyumbangkan 3 hal berikut ini, yaitu : (1) tidak ada posisi subjek yang sungguh-sungguh murni atau tidak bersyarat (2) pengetahuan paling baik digagas kembali sebagai berkarakter sosial. Artinya, pengetahuan merupakan produk dari interaksi sosial di antara anggota-anggota sebuah komunitas / masyarakat tertentu dan interaksi antar-komunitas. Model pengetahuan yang digagas sebagai ‘berkarakter sosial’ (interaksionis) melampaui model relasi monologal dominatif subjek penahu à objek yang diamati / diketahui; (3) lalu apa arti objektivitas dalam model (1) dan (2) ini? Me-revisi objektivitas berarti mengartikulasikan struktur-struktur dan relasi sosial yang terkait dalam konteks riset di mana di dalamnya pengetahuan dan validitas kebenaran dari pengetahuan itu dicari dan berupaya ditemukan. Me-revisi objektivitas, dalam hal ini tentu juga berarti memeriksa kembali bahasa yang dipakai untuk mengekspresikan, melaporkan dan mengartikulasikan baik metodologi maupun tujuan dari pengetahuan tersebut. Sumbangan dari kritik feminis analitik yang peka terhadap bahasa yang bias-gender dalam sejarah filsafat (dalam hal ini filsafat kesadaran meskipun tidak terbatas di situ) amat signifikan, karena kita memahami sesuatu (entah itu fenomena alam maupun relasi antar-manusia) baik di dalam maupun melalui bahasa.
Untuk melihat letak kritik feminis terhadap filsafat identitas secara lebih luas, baik kiranya jika kita juga mencermati bingkai besar ‘kritik terhadap identitas modern’ seperti dikatakan oleh filsuf Kanada Charles Taylor. Dalam bukunya Sources of The Self: The Making of Modern Identity (1989) yang dikutip Paul Gilroy [19], setelah agama dan spiritualitas abad pertengahan menurun, kedirian (selfhood) modern mengasalkan dirinya pada 5 sumber, yaitu subjek dalam relasi sosial (Karl Marx), subjek dalam level kesadaran dan ketidaksadaran: id, ego, superego (Sigmund Freud, diteruskan Jacques Lacan), subjek sebagai konstruksi linguistik (Ferdinand de Saussure), subjek sebagai konstruksi diskursus (Michel Foucault), dan subjek ber-jender sebagai konstruksi ideologis patriarkal (Luce Irigaray, Helene Cixous, dan Julia Kristeva). Kesemua sumber pengasalan identitas subjek ini berupaya untuk mengkombinasikan baik pandangan tentang subjek yang stabil dan koheren sebagai pra-kondisi bagi aktivitas pencarian kebenaran yang otoritatif dan bisa diandalkan, maupun pandangan tentang subjek yang lebih kontingen, yang konteks-spesifik dan relatif, yang mengelak dari penerapan hukum-hukum yang universal dan mengatasi ruang-waktu. Namun sekarang, seiring dengan kemajuan teknologi dan komunikasi yang dimediasi komputer, konsep identitas sebagai subjektivitas mendapat tantangan serius sebab identitas individu tidak lagi dibatasi pada bentuk-bentuk kehadiran fisik yang paling mencolok diwujudkan oleh tubuh. Batas kedirian tidak lagi berhenti di gerbang kulit, namun ia bisa berkelana dengan bantuan instrumen teknologi menuju pada ‘yang lain’ yang terpisah secara geografis, spasial-temporal. Kultur simulasi dan virtual reality yang cenderung meninggalkan tubuh dan memuja pikiran (atau kesadaran trans spasial-temporal) juga bertumbuh kembang dalam kondisi sosio-historis yang baru ini. Ide ‘kebertubuhan’ (embodied self) sudah jelas mendapatkan tantangan dari peristiwa dan fenomena yang relatif baru ini.
Sementara itu, berbicara tentang relasi tubuh dan pikiran sebagai entitas pendukung kontinyuitas identitas, kita tidak bisa meninggalkan sumbangan pemikiran Michel Foucault [20]. Foucault tergolong seorang pemikir konstruksi sosial tentang tubuh yang menolak baik pandangan determinisme biologis maupun penentuan psikis (Psikoanalisa) dalam memandang tubuh. Pandangan Foucault tentang tubuh diwarnai ketegangan yang fundamental. Di satu sisi ia melihat tubuh sebagai entitas yang stabil sejauh tubuh merupakan produk dari wacana yang terbangun (constructing discourse). Konstruksi tubuh lewat wacana membuat tubuh menjadi fenomena yang trans-historis dan lintas-budaya (cross-cultural) yang cenderung menyatukan (unified). Tubuh selalu siap dikonstruksi wacana. Tanpa dibatasi waktu/tempat, tubuh selalu tersedia sebagai tempat atau lahan (site) untuk menerima makna dari kekuatan-kekuatan eksternal. Di sisi lain, pandangan Foucault tentang tubuh sebagai bentukan wacana seolah-olah mau melenyapkan tubuh itu sendiri sebagai entitas material-jasmaniah. Tubuh Foucault adalah tubuh yang tidak menubuh (disembodied). Tubuh diiyakan sebagai topik diskusi, tapi sebagai objek material ia tidak ditoleh. Dalam relasi kekuasaan (power relations), pikiran menjadi panglima balatentara wacana tentang tubuh. Tubuh lalu diibaratkan seperti segumpal daging yang teronggok diam, pasif, inert, yang dikontrol dan diombang-ambingkan oleh kontes wacana (yang berpusat pada otak).
Sebagai kata akhir, saya akan mengatakan bahwa pluralitas diri (identitas) yang disusun oleh konstruksi bahasa, di mana gugus pengalaman dan pemaknaan atas pengalaman itu yang dibentuk secara sosial dan kultural lewat wacana diartikulasikan kembali dalam interaksi dan inter-relasi dengan “diri-diri yang lain” agar dapat bekerja secara optimal dan wajar dalam ruang hidup bersama, perlu dirangkum dalam sebuah bingkai keutuhan “aku.” Baik persamaan (yang ditekankan oleh teori identitas), maupun perbedaan (yang disuarakan oleh kaum feminis), berpartisipasi dalam mengkonstruksi sekaligus mendekonstruksi diri agar ia tidak menjadi barang mati yang disubordinasi oleh diri-diri yang lain (katakanlah ‘diri maskulin’), melainkan ‘diri’ yang tercerahkan dan terbebaskan untuk semakin aktif terlibat dalam ruang politis dan kultural pemaknaan hidup bersama.

Daftar Pustaka
Pustaka Utama
James, Susan, “Feminism in Philosophy of Mind: The Question of Personal Identity” dalam Miranda Fricker dan Jennifer Hornsby (editor), The Cambridge Companion to Feminism in Philosophy, Cambridge University Press, 1999, hlm. 29 – 48.
Scheman, Naomi, “Feminism in Philosophy of Mind: Against Physicalism” dalam Miranda Fricker dan Jennifer Hornsby (editor), The Cambridge Companion to Feminism in Philosophy, Cambridge University Press, 1999, hlm. 49 – 67

Pustaka Sekunder
Barker, Chris, Cultural Studies: Theory and Practice (2nd edition), London, dll: SAGE Publishers, 2003, khususnya chapter 8 “Issues of Subjectivity and Identity” (hlm. 219 – 246) dan chapter 10 “Sex, Subjectivity and Representation” (hlm. 279 – 314)
Fentress, James dan Wickham, Chris, Social Memory, Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell Publishers, 1992, hlm. 1-86.
Fromm, Erich, Love, Sexuality and Matriarchy about Gender, New York: Fromm International Publishing Corporation, 1997.
Gilroy, Paul. “Diaspora and the Detours of Identity” dalam Kathryn Woodward (ed.), Identity & Difference, Open University (UK), 1997, hlm. 301 – 343.
Hunter, Ian M. L., Memory: Facts and Fallacies, Middlesex (UK): Penguin Books, 1957.
Lloyd, Genevieve, “Reason, Science and the Domination of Matter” dalam Evelyn Fox Keller dan Helen E. Longino, Feminism and Science, Oxford – New York: Oxford University Press, 1996, hlm. 41 – 53.
Mansbridge, Jane dan Okin, Susan Moller, “Feminism”, dalam Sills, David L. (editor), International Encyclopedia of The Social Sciences Volume 5 & 6, New York: The Macmillan Company & The Free Press, hlm. 269 – 290.
Okin, Susan Moller, “Is Multiculturalism Bad for Women?”, diedit oleh Joshua Cohen, Matthew Howard dan Martha C. Nussbaym, Princeton, New Jersey (USA): Princeton University Press, 1999, hlm. 9 – 24.
Scheman, Naomi, “Though This be Method, Yet There is Madness in It: Paranoia and Liberal Epistemology” dalam Evelyn Fox Keller dan Helen E. Longino, Feminism and Science, Oxford – New York: Oxford University Press, 1996, hlm. 203 – 219.
Segal, Lynne, “Sexualities” dalam Kathryn Woodward, Identity and Difference, London, Thousand Oaks & New Delhi : SAGE Publications bekerjasama dengan The Open University, 1997, hlm. 183 – 228.
Shilling, Chris “The Body and Difference” dalam Kathryn Woodward, Identity and Difference, London, Thousand Oaks & New Delhi : SAGE Publications bekerjasama dengan The Open University, 1997, hlm. 65 – 107.
Shipton, Geraldine, “Self-reflection and the mirror” dalam Chris Mace (editor), Heart & Soul : The therapeutic face of philosophy, London & New York : Routledge, 1999, hlm. 180 – 193.
Thomas, Myra, “Seventeen syllables for the self” dalam Chris Mace (editor), Heart & Soul : The therapeutic face of philosophy, London & New York : Routledge, 1999, hlm. 197 – 214.

Bahan-bahan dari internet:

Tentang filsafat kesadaran (Philosophy of Mind) dari wikipedia.com (http://en.wikipedia.org/wiki/Philosophy_of_mind) yang diakses oleh Hendar Putranto pada Selasa, 16 Januari 2007 jam 8:46 WIB.
Tentang identitas pribadi (personal identity) dari http://plato.stanford.edu/entries/identity-personal/ yang diakses oleh Hendar Putranto pada Selasa, 16 Januari 2007 jam 9:10 WIB dan dari http://mbdefault.org/8_identity/default.asp yang diakses oleh Hendar Putranto pada Selasa, 16 Januari 2007, jam 9:13 WIB.
Tentang Naomi Scheman dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Naomi_Scheman
Garry, Ann, “Analytic Feminism” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy Online yang bisa diakses di http://plato.stanford.edu/entries/femapproach-analytic
JACKSON, FRANK dan GEORGES REY (1998), “Mind, philosophy of” dalam E. Craig (Ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy, London: Routledge, diakses pada 10 Januari 2007, dari http://www.rep.routledge.com/article/V038
Newall, Paul, “Philosophy of Mind” (2005) yang bisa diakses di http://www.galilean-library.org/int14.html

No comments: