Monday, 20 December 2010

Menteng yang Asri Itu Telah Hilang

Menteng yang Asri Itu Telah Hilang





TAMAN SUROPATI – Foto udara pada tahun 1939 memperlihatkan daerah di sekitar Gedung Bappenas (Gedung Loge). Mesjid Sunda Kelapa yang ada sekarang (di belakang Bappenas) dulu merupakan bagian Taman Suropati. Foto ini reproduksi dari buku “Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia” karya Adolf Heuken dan Grace Pamungkas.
“KAMI tinggal di Menteng sejak akhir tahun 1960-an. Pada waktu itu, jalan-jalan utama pun banyak berlobang, lampu jalanan sebagian rusak. Jalan Cokroaminoto belum ramai, karena berakhir di Kali Banjir dan Bioskop Menteng termasuk bioskop nomor sari di Jakarta.
Kavaleri bermarkas di Jalan Gereja Teresia dan satuan tentara lainnya di Jalan Mangunsarkoro. Waktu itu, Jenderal Soeharto tinggal di bundaran Jalan H Agus Salim dan Jalan Cendana masih sepi.
Mesjid Sunda Kalapa belum dibangun dan pengunjung Gereja HKBP belum memadati Jalan Jambu. Jalan-jalan di sekitar Gereja Teresia dan Sarinah sering dilanda banjir besar, sehingga banyak mobil mogok.
Menteng -selain bulevar Jalan Imam Bonjol-Diponegoro- merupakan kawasan pemukiman tenang. Orang-orang sangat nyaman duduk di teras rumah pada sore dan malam hari sambil memandangi jalan melalui pagar hijau yang rendah, membaca koran, atau menerima tamu.
Toko Li baru berubah menjadi Toserba Gelael pertama, dan lapangan Persidja belum dikelilingi tembok tinggi. Menteng ini telah hilang….”
Demikianlah sebuah cuplikan pengalaman dari seorang pengamat sekaligus sejarawan, Adolf Heuken, yang dicurahkan dalam bukunya yang diberi Judul Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia.
Kegalauan hati dan kecemasan Heuken itu timbul setelah melihat perkembangan Menteng yang semakin hari semakin tidak terkendali.
Menteng yang dulunya didesain sedemikian rupa sebagai kota taman sudah berubah. Banyak bangunan cagar budaya yang berubah bentuk, bahkan hancur. Juga bangunan tempat tinggal yang berubah bentuk.
Hal ini menggelisahkan mengingat Pemprov DKI Jakarta sendiri mengakui bahwa di Menteng banyak terdapat bangunan bersejarah, bangunan dengan nilai arsitektur sangat baik, serta lingkungan yang sudah teratur dan serasi. Ketika Jakarta belum bisa menata kawasan lain, kawasan yang sudah asri seperti Menteng justru semakin rusak.
Rancangan
Kawasan Menteng mulai dirancang dan dibangun secara lebih modern oleh pemerintahan Belanda tahun 1910. Seorang arsitek bernama PAJ Moojen yang membuka suatu biro teknis dan mendirikan Kunstkring di Bandung (1904) dan Batavia. Pada tahun 1909, ia merancang kantor pusat Nillmij di Jalan Juanda, gedung yang sekarang dipakai oleh asuransi Jiwasraya. Pada gedung inilah, untuk pertama kalinya digunakan kontstruksi beton bertulang di Jakarta.
Moojen merupakan anggota Dewan Kotapraja dan Commisie van toesicht op het beheer van het land Menteng (Komisi Pengawasan dan Pengurusan Tanah Menteng) atau Kondangdia-commissie. Komisi inilah yang bertugas untuk merencanakan dan membangun Nieuw-Gondangdia, nama semula untuk Menteng.
Pada tahun 1910, Moojen merancang pola jaringan jalan untuk Nieuw-Gondangdia. Pembangunan pola jaringan jalan ini menandakan pertama kalinya di Indonesia, perluasan sebuah kota dilakukan dengan perencanaan yang matang. Menteng juga dijadikan model pembangunan bagi wilayah-wilayah pemukiman baru di kota-kota lain di Pulau Jawa seperti Surabaya, dan Semarang. Nieuw-Godangdia dirancang sebagai kota taman (tuinstad) dengan luas tanah melebihi 500 hektare.
Perkembangan Menteng juga tidak bisa dilepaskan dari seorang arsitek bernama Ir FJL Ghijsels. Arsitek ini lahir di Tulung Agung, Jawa Timur 1882.
Tahun 1916, ia mendirikan biro arsitek sekligus kontraktor yang dinamakan AIA (Algemeen Ingenieurs- en Architecten Bureau). Tahun 1918, ia ikut merancang jalan dan rumah di Menteng. Pada tahun 1925, perusahaannya membangun antara lain Logegebouw, kini gedung Bappenas di Taman Suropati. Ghijsels jugalah yang merancang Gereja GPIB Paulus yang berada tepat di samping gedung Bappenas.
Padas era tersebut, mulai dikembangkan juga metode pembangunan Blokkenbouw yang artinya membangun satu blok atau deretan rumah, dimana satu bahkan beberapa jalan yang sejajar dirancang sebagai satu kesatuan yang serasi.
Keseragaman ini dirancang baik-baik sehingga menciptakan suasana rapi dan asri pada beberapa jalan di Menteng, misalnya Jalan Kusumaatmaja.
Namun sayang, suasana harmonis ini sejak tahun 1970-an dirusak dan terus diabaikan oleh orang yang tidak peduli akan keindahan kota Jakarta dan dengan mudah mendapat persetujuan Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (P2K).
Keadaan ini terus berlanjut sampai sekarang. Rumah-rumah dibangun sampai perbatasan dengan kapling-kapling tetangga sehingga rumah-rumah induk tidak lagi berdiri lepas lepas dari rumah tetangga. Cara inilah yang mengubah karakter “Kota Taman” secara total.
Kondisi ini lebih diperparah lagi sejak 1960-an dimana urban planning Jakarta tak pernah menyeluruh dan bersifat parsial dan tambah sulam. Kawasan Menteng yang semula berada di daerah pinggiran, kini berubah menjadi daerah pusat yang dilewati lalu lintas padat.
Tingginya frekwensi lalu lintas menyebabkan banyaknya pemukim pindah ke daerah lain dan digantikan dengan bisnis. Kondisi trotoar juga dilalaikan dan tidak dipedulikan oleh warga Menteng sendiri, karena sebagian besar memakai mobil pribadi. ”Ini semua tidak hanya mengubah Menteng, melainkan merusaknya,” ujar Heuken.
Mereka yang gelisah dan prihatin tak hanya para pengamat atau mereka yang peduli pada tata kota. Beberapa penghuni lama di Jalan Lembang, Menteng, seperti Siti Oemijati Djajanegara dan Siti Utamini, kesal dengan kondisi Menteng yang telah banyak berubah.
“Dulu tahun 1943, pohon-pohon asam daunnya hijau merunduk membuat suasana di sana sangat sejuk, orang-orang juga bebas berjalan kaki di sana,” kata Oemijati menunjuk Situ Lembang.
Asri, nyaman, dan tenang, membuat Taman Situ Lembang tidak pernah kehilangan pengunjung. Kondisi itu mulai berubah ketika tempat itu dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta dan dibuka sebagai tempat pemancingan. Diperparah dengan kehadiran pedagang makanan yang berdagang di kawasan Situ Lembang.
Bukan hanya perubahan lingkungan yang terjadi di Jalan Lembang, tetapi juga beberapa bangunan mulai berubah bentuk. Bahkan, ada yang jelas-jelas telah mengubah bentuk asli dari bangunan itu dan membuat menjadi sebuah bangunan modern, tanpa menyisahkan karakteristik bangunan lama.
Sebenarnya, banyak perubahan bentuk rumah di Jalan Lembang itu, karena pemilik bangunan lama sudah menjual ke penghuni baru. Sementara penghuni yang baru itu, tidak mau memelihara ciri khas bangunan tua, dengan mendirikan bangunan modern tanpa mengindahkan aturan-aturan yang ada. Anehnya aparat Pemprov DKI pun seolah menutup mata.
Menjual Rumah
Mempertahankan kawasan Menteng memang tidak mudah. Para pemilik rumah berarsitektur asli itu kebanyakan adalah pensiunan pegawai negeri. Untuk merawat bangunan tua membutuhkan biaya yang tidak sedikit ditambah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kawasan Menteng yang tak kecil. Siti Utamini, pemilik rumah di Jalan Lembang 33 mencontohkan, PBB rumahnya yang seluas 760 m2 sebesar Rp 5 juta per tahun.
Karena itu tidak sedikit para pemilik yang menjual rumahnya. Sementara penghuni baru -yang tentunya berduit- datang dengan membawa model rumah model sekarang. “Padahal, setelah mereka mengubah bentuk rumah mereka tidak tinggal di sini,” kata Siti.
Para pensiunan yang setia bertahan dan mempertahankan bangunan asli itu kemudian menyiasatinya dengan menyewakan sebagian bangunan.
“Saya kos bersama dengan tiga keluarga. Rumah ini masih dengan arsitektur asli sehingga kita di dalam rumah terasa nyaman, adem,” kata Heru (35), seorang penghuni di kawasan Menteng.
Adolf Heuken, yang juga tinggal di Menteng, mensinyalir sekitar 70 persen rumah, taman, jalan, di Menteng telah berubah dan menyimpang dari rencana semula.
Menurut dia, Menteng dari sejarahnya dirancang menjadi sebuah pilot project pembangunan kota berwawasan lingkungan pertama di Indonesia. Tapi karena keserakahan uang dan tidaknya ada pengawasan, membuat kawasan ini pembangunannya tidak terkendali.
Menurut Heuken, langkah Pemerintah Daerah (kini Pemerintah Provinsi) DKI Jakarta dan DPRD DKI yang menelorkan Peraturan Daerah No 9/1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya, tidak efektif karena hanya sebagai macam kertas dan tidak dilaksanakan. ”Pokoknya ada duit, bangun. Mau bangun apa saja silakan,” tutur Heuken.
Pelanggaran
Seperti diberitakan, renovasi rumah milik Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad di Jalan Suwiryo 39. Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (P2B) DKI Jakarta telah menyegel dan menghentikan pembangunan rumah yang hampir rampung itu.
Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah No D/IV/6098/d/33/1975 soal Penataan Kawasan Menteng disebutkan, rumah-rumah di Menteng dibagi atas empat golongan.
Untuk golongan A, bangunan ini tidak boleh ditambah, diubah, dibongkar, atau dibangun baru. Untuk golongan B, bangunan di bagian badan utama, struktur utama, atap, dan pola tampak muka tidak boleh diubah alias harus sesuai bentuk asli.Kemudian golongan C, bangunan jenis ini beloh diubah atau dibangun baru tetapi dalam perubahan itu harus disesuaikan dengan pola bangunan sekitarnya. Dan golongan D, bangunan yang masuk dalam kategori ini boleh dibongkar sesuai dengan keinginan pemilik asal dibangun seusia perencanaan kota DKI Jakarta.
Sedangkan dasar pertimbangan masing-masing golongan berdasarkan pada nilai historis, umur, keaslian, kelangkaan, dan arsitektur bangunan. Rumah disebut masuk dalam kategori A didasarkan pada tingginya nilai historis dan keaslian tempat.
Kategori B, didasarkan atas pertimbangan keaslian, kelangkaan landmark, arsitektur, dan umur. Sedangkan pemukiman golongan C didasarkan pada umur dan arsitektur bangunan.
Karena Menteng masuk ke dalam lingkungan pemugaran bersama dua daerah lainnya yakni Kebayoran Baru dan Kota, bangunan-bangunan yang berdiri dilindungi sesuai ketentuan di atas. “Rumah Pak Fadel itu golongan B. Kesalahannya, semua bagian bangunan dirombak, padahal harus ada beberapa bagian yang dipertahankan keasliannya,” ujar Djumhana, Kepala Dinas P2B DKI Jakarta.




Sumber: Harian Suara Pembaruan, 21 Oktober 2003.

No comments: