Monday, 20 December 2010

Rethinking Multiculturalism

PENGANTAR Rethinking Multiculturalism oleh BHIKHU PAREKH [1]


Diterjemahkan oleh Hendar Putranto





Empat dekade terakhir di abad XX ini menjadi saksi dari munculnya gerakan-gerakan politik dan intelektual yang dimotori oleh beraneka macam kelompok seperti kelompok masyarakat adat, kelompok minoritas suku bangsa, kelompok etnis-kultural, kelompok imigran baik yang lama maupun yang baru, kaum feminis, kelompok gay dan lesbian, dan kelompok pecinta lingkungan (the greens). Kelompok-kelompok ini mewakili praktek, gaya hidup, pandangan dan cara hidup yang berbeda dari, kadang berseberangan dengan, dan dalam sejumlah hal ditentang oleh, kultur yang dominan dalam masyarakat luas. Meskipun di antara kelompok ini ada yang begitu berbeda sehingga sulit untuk berbagi agenda filsafat dan politis yang sama, mereka semua bersatu dalam hal menentang pandangan masyarakat luas yang cenderung menyamaratakan atau menggolong-golongkan karena didasarkan pada keyakinan pokok bahwa hanya ada satu jalan yang benar dan normal untuk memahami dan menstrukturkan wilayah-wilayah kehidupan. Dengan cara mereka sendiri, kelompok-kelompok ini menghendaki agar masyarakat mengenali legitimasi atas perbedaan-perbedaan mereka, khususnya pandangan-pandangan yang dalam kacamata mereka bukan pandangan yang remeh temeh atau insidentil namun pandangan yang sungguh-sungguh berangkat dari dan membentuk identitas mereka. Meskipun istilah identitas terkadang menggelembung sedemikian rupa sehingga seolah-olah mencakup hampir segala sesuatu yang memberi ciri pada seorang individu atau kelompok tertentu, para pembela kelompok-kelompok pergerakan ini menggunakan istilah ‘identitas’ untuk mengacu pada karakteristik-karakteristik tertentu yang dipilih atau diwariskan (sudah dibawa sejak lahir) yang menggambarkan mereka sebagai jenis orang atau kelompok yang tertentu dan membentuk bagian utuh dari pemahaman mereka atas jati diri mereka. Kelompok-kelompok pergerakan ini dengan demikian menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan pengakuan identitas dan perbedaan atau, lebih persisnya, perbedaan-perbedaan yang terkait dengan identitas.
Tuntutan untuk diakui jauh melampaui hal yang biasa kita sebut toleransi—karena toleransi mengandung makna tunduk pada kesahihan hal-hal yang tidak disetujui oleh masyarakat dan amat tergantung pada pembatasannya. Yang mereka perjuangkan dan tuntut adalah penerimaan, respek dan bahkan pengakuan publik atas perbedaan mereka. Sebagian dari kelompok pergerakan ini menginginkan agar masyarakat memperlakukan mereka secara setara dengan yang lain dan tidak bertindak secara diskriminatif terhadap mereka atau hal-hal yang merugikan keberadaan mereka. Sejumlah kelompok yang lain bergerak lebih jauh lagi. Mereka menuntut agar masyarakat juga respek terhadap perbedaan mereka; dengan kata lain, tidak memandang mereka sebagai penyimpangan atau penyakit yang lalu diterima sambil menggerutu, melainkan diterima secara setara, sama-sama sah dan berharga sebagai cara mengelola kehidupan dan menjalani kehidupan baik secara individual maupun secara kolektif. Penerimaan atas perbedaan menuntut adanya perubahan dalam tata aturan legal (hukum) dalam sebuah masyarakat, sementara tuntutan respek mensyaratkan perubahan dalam hal sikap dan cara berpikir. Sejumlah pemimpin dari gerakan-gerakan baru ini bahkan meminta lebih jauh lagi dan menekankan afirmasi publik (pengakuan positif secara publik) atas perbedaan-perbedaan mereka dengan cara-cara simbolis atau cara-cara lainnya.
Di mata orang-orang yang memperjuangkan ideal pergerakan ini, semua tuntutan di atas mewakili perjuangan kebebasan, penentuan-diri, dan martabat dan sekaligus melawan cara pandang dan cara bertindak yang sementara, berbasis bias-bias ideologi dan bersifat represif yang mendaku (meng-klaim) objektivitas dan kesahihan yang bersifat universal. Mereka yang mengkritik gerakan-gerakan baru ini menilai bahwa tuntutan-tuntutan yang diajukan mewakili pembolehan moral dan kultural yang terlalu besar, posisi relativis yang menolak semua norma dan keinginan untuk mencari kebenaran, dan perayaan atas perbedaan yang bersifat dangkal, memuja diri sendiri dan pada akhirnya akan menikam diri sendiri. Singkatnya: etika dan politik kehendak yang tak tertata (bertindak semau-maunya dan sebebas-bebasnya tanpa mengindahkan aturan). Debat yang berlangsung di antara kedua kubu ekstrem ini dan posisi-posisi yang lebih moderat di antara keduanya menjadi intisari dari wacana yang melingkupi politik pengakuan (the politics of recognition).
Meskipun politik pengakuan mempunyai logikanya sendiri yang bersifat otonom, politik ini juga terkait amat erat dengan politik yang jauh lebih tua dan lebih akrab kita geluti, yaitu politik keadilan sosial dan redistribusi ekonomi [2]. Dua politik yang disebut terakhir ini tidak pernah melulu soal redistribusi dan mempunyai agenda kultural baik yang nyata kelihatan maupun yang tersembunyi. Sosialisme klasik tidak hanya melulu bicara soal penciptaan peluang-peluang ekonomi bagi orang miskin dan mereka yang kurang beruntung namun juga berbicara tentang penciptaan kultur yang baru dan bentuk-bentuk relasi sosial yang baru. Marxisme menyerang kapitalisme atas nama sebuah peradaban baru yang didasarkan pada sejenis identitas universal bernama kaum proletar. Meskipun ujung tombak dari perjuangan gerakan-gerakan yang baru ini tidak pernah lepas dari persoalan identitas dan perbedaan, namun di balik semua itu diakui bahwa perjuangan identitas dan perbedaan juga tidak bisa dilepaskan dari struktur ekonomi dan politk yang lebih luas. Identitas dihargai atau dicemooh persis karena tempat dari para pembawanya di tengah-tengah struktur kekuasaan yang sedang berlaku, dan proses penilaian kembali hal-ihwal identitas ini juga berarti adanya perubahan yang terkait dengan struktur kekuasaan. Kaum perempuan, gay, minoritas budaya dan lain-lain tidak bisa mengekspresikan dan mewujudkan identitas mereka tanpa adanya kebebasan penentuan-diri, iklim yang kondusif untuk keanekaragaman (diversity), peluang dan sumber daya material, pengelolaan dan penataan hukum yang sesuai, dan seterusnya. Semua ini meminta adanya sejumlah perubahan mendasar dalam arena kehidupan.
Meskipun gerakan-gerakan baru ini sering dimasukkan di dalam payung istilah multikulturalisme, namun multikulturalisme pada kenyataannya hanya mengacu pada beberapa saja. Multikulturalisme bukan melulu soal perbedaan dan identitas pada dirinya sendiri namun juga menyangkut hal-ihwal yang tertanam dan ditunjang oleh budaya; yaitu seperangkat kepercayaan dan praktek yang lewatnya sekelompok orang memahami jati diri mereka dan dunia dan mengatur hidup baik individu maupun kolektif. Tidak seperti ‘perbedaan’ yang datang dari pilihan-pilihan yang bersifat individual, ‘perbedaan-perbedaan’ yang berakar pada budaya membawa ukuran otoritas tertentu dan dipolakan + distrukturkan berkat ketertancapannya dalam sebuah sistem makna dan signifikasi (pemberian makna pada tanda dan benda tertentu) yang diyakini bersama dan punya nilai historis. Untuk mempermudah distingsi (kejelasan konsep) antara dua jenis ‘perbedaan’ ini, saya akan menggunakan istilah keragaman (diversity) untuk menyebut perbedaan yang berakar pada budaya. Dengan demikian, multikulturalisme adalah tentang keragaman budaya atau perbedaan-perbedaan yang berakar pada budaya. Karena teramat mungkin berbicara tentang macam-macam perbedaan yang tidak harus diasalkan pada perbedaan yang mengakar pada budaya, dan juga sebaliknya, maka tidak semua pejuang politik pengakuan harus bersimpati pada multikulturalisme. Meskipun bagian dari politik pengakuan, multikulturalisme adalah sebuah gerakan yang jelas (distinct) yang mempertahankan posisi yang ambivalen (mendua, atau bernilai lebih dari satu).
Ada 3 bentuk yang umumnya diambil oleh keragaman budaya (cultural diversity) dalam masyarakat modern. Pertama, meskipun anggota-anggotanya saling berbagi budaya yang sama, namun beberapa orang (1) menganut sejumlah kepercayaan yang berbeda dan (2) menjalankan praktek-praktek yang berbeda di sejumlah segi kehidupan mereka yang khusus atau mengembangkan cara hidup sendiri yang khas. Kaum gay dan lesbian, serta mereka yang mengikuti gaya hidup dan struktur keluarga yang tidak konvensional (kolot, kuno, tradisional) termasuk dalam pengertian yang pertama, sementara para penambang, nelayan, eksekutif bergaya hidup jet-set, seniman dan lain-lain termasuk pengertian yang ke-2. Pada umumnya mereka saling berbagi dan mengiyakan sistem makna dan nilai yang dominan berlaku dalam masyarakat, hanya saja mereka menciptakan ruang-ruang kecil yang khusus dan dapat menampung keanekaragaman gaya hidup mereka. Mereka tidak mewakili sebuah budaya alternatif namun mengembangkan / membuat menjadi jamak satu kultur yang sudah ada. Demi mudahnya, saya akan menyebut kategori pertama ini dengan nama keragaman sub-budaya (subcultural diversity).
Kedua, sejumlah anggota masyarakat teramat kritis terhadap sejumlah prinsip atau nilai yang berlaku dalam kultur dan mencoba menggantinya (reconstitute) sejauh masih dalam koridor-koridor yang tepat. Kaum feminis menyerang bias patriarkal yang sudah mengurat akar dalam budaya atau masyarakat tertentu, kaum religius mengkritik orientasi sekuler, dan kaum pencinta lingkungan (environmentalists) menggugat bias antroposentris (terlalu berpusat dan pro pada manusia namun kurang mengindahkan nilai sejati dari alam) dan teknokratis (terlalu memanipulasi dan merekayasa alam dengan penggunaan teknologi dan teknik demi menghamba kepentingan manusia). Kelompok-kelompok ini (feminis, religius, pecinta lingkungan, dan lain-lain) tidak bisa disebut mewakili sub-budaya tertentu—karena mereka sering mengkritik dasar-dasar dari budaya yang berlaku—juga tidak bisa disebut komunitas budaya khas yang menghidupi nilai-nilai dan mempunyai pandangan-pandangan tertentu tentang dunia, namun (seyogianya) disebut perspektif intelektual yang menawarkan cara bagaimana budaya yang dominan itu harus ditata ulang. Untuk itu, saya akan menyebut kelompok-kelompok ini sebagai keragaman perspektif (perspectival diversity).
Ketiga, kebanyakan masyarakat modern juga melipui sejumlah komunitas yang sadar diri dan kurang lebih terorganisir yang menunjukkan dan menghidupi gugus kepercayaan dan praktek milik mereka yang berbeda. Yang termasuk kategori ini adalah kaum imigran yang baru saja datang (ke sebuah negeri atau wilayah tertentu), komunitas yang sudah cukup mapan seperti kaum yahudi, orang-orang Gipsi dan the Amish, komunitas-komunitas religius yang beraneka macam, dan sejumlah kelompok budaya yang terkonsentrasikan dalam teritori tertentu, seperti masyarakat adat, orang-orang Basques dan orang-orang Catalan (di Spanyol), orang-orang Skotlandia dan Wales (di wilayah Inggris Raya), dan kaum Quebecois (di wilayah negara Kanada). Saya akan menyebut kelompok-kelompok ini keragaman komunal (communal diversity).
Meskipun ketiga jenis keragaman di atas saling berbagi sejumlah ciri-ciri dan terkadang dalam praktek di lapangan sering tumpang-tindih (overlap), namun sesungguhnay mereka berbeda. Keragaman sub-budaya tertanam dalam sebuah kultur yang dibagikan (dianut bersama ; di-share-kan) yang justru mau dibuka dan diperkaya, bukan diganti dengan sesuatu yang lain. Namun hal ini tidak lantas berarti keragaman sub-budaya bersifat lebih dangkal atau lebih mudah diakomodasi daripada jenis keragaman yang lain. Perkawinan sesama jenis, kumpul kebo (kohabitasi) dan menjadi orangtua gay (gay parenting) adalah fenomena yang mencolok dan menyinggung anggota masyarakat yang lain dan juga mendapatkan reaksi keras. Namun demikian, tantangan mereka terbatas dari segi ruang lingkup (scope) dan disampaikan dalam kerangka nilai-nilai seperti otonomi dan pilihan pribadi yang sebenarnya berasal-muasal dari budaya yang dominan itu sendiri. Keragaman perspektif mewakili visi atas kehidupan yang ditolak oleh budaya yang dominan atau secara teoretis diterima namun diabaikan dalam praktek. Keragaman perspektif bersifat lebih radikal dan komprehensif daripada keragaman sub-budaya dan tidak begitu mudah diakomodasi. Keragaman komunal agak sedikit berbeda. Jenis ini berangkat dari dan ditopang oleh pluralitas komunitas yang sudah cukup mapan, masing-masing dengan sejarah dan jalan hidupnya sendiri-sendiri yang mau diawetkan dan dialih-turunkan (ditransmisikan). Keragaman ini bersifat bergelora, bergairah dan teguh-kukuh, mempunyai tokoh-tokoh sosial yang terorganisasi dengan baik, dan lebih mudah atau lebih sulit diakomodasi tergantung kedalaman dan permintaan yang diajukan.
Istilah ‘masyarakat multikultural’ dan ‘multikulturalisme’ biasanya mengacu pada masyarakat yang mengandung ketiga jenis keragaman ini maupun yang lainnya, yang menunjukkan dua keragaman yang terakhir (keragaman perspektif dan keragaman komunal), atau yang mempunyai ciri yang ketiga saja (keragaman komunal). Meskipun penggunaan ketiga jenis istilah keragaman di atas mempunyai keuntungan dan kerugiannya masing-masing, yang ketigalah yang paling bisa dikatakan seimbang, biasanya saya menggunakan istilah multikultural dengan mengacu pada itu. Mengapa? Karena dua yang pertama (keragaman sub-budaya dan keragaman perspektif) ditemukan hampir di semua masyarakat sepanjang sejarah, sehingga penggunaannya cenderung akan mengaburkan fokus untuk tidak mengatakan sia-sia saja. Lebih jauh lagi, karena keragaman komunal secara logis berbeda (dari dua yang lain) dan menimbulkan sejumlah pertanyaan yang khas untuknya, ia menyusun objek penelitian yang koheren (saling berpautan dan bisa dimengerti) dan bersifat cukup-diri, dan karena itu pantas memperoleh nama yang spesifik: Meskipun feminisme, perjuangan kebebasan kaum gay, environmentalisme (perjuangan kaum pecinta lingkungan) dan lain-lain sering tumpang-tindih, perhatian dan kepedulian dasar mereka berbeda-beda.
Penggunaan kami yang sempit untuk istilah multikultural dan multikulturalisme ini juga mempunyai dasar sejarahnya. Pergerakan yang dikaitkan dengan keragaman komunal juga pertama-tama muncul di negara-negara yang harus menghadapi beraneka macam kelompok budaya yang berbeda-beda. Negara-negara ini sudah lama mengandaikan bahwa mereka mempunyai sebuah budaya nasional tunggal yang ke dalamnya semua warga negara harus berasimilasi (melebur menjadi satu). Negara-negara ini kini menyadari dan menemukan bahwa rupa-rupanya mereka pun menampung kelompok-kelompok, yang entah sudah lama berdiri (mapan) atau para pendatang baru, yang tidak mau melebur atau tidak bisa dibuat menjadi lebur dan yang kehadirannya lantas memunculkan tantangan-tantangan baru dan asing bagi mereka. Sebagai ‘surga kaum imigran,’ Amerika Serikat (USA) sudah berulangkali menekankan pentingnya ‘asimilasi yang cepat bagi orang-orang asing’ ke dalam ‘bahasa dan budaya yang diturunkan pada kita dari para pendiri republik ini’ (demikianlah perkataan Presiden USA ke-xxx Theodore Roosevelt). Didominasi oleh ide satu identitas dan budaya Amerika yang tunggal yang menjadi inti penyusun ‘Amerikanisme’ dan ‘kredo Amerika’, USA menawarkan ‘suaka agung bagi beraneka macam orang’ namun ‘tidak selalu menjadi suaka agung bagi beraneka macam budaya [yang] … cenderung dimarjinalisasikan.’ Atas alasan yang bukan menjadi pokok pembicaraan kita, perjuangan kaum kulit hitam (the black struggle) di USA mencapai ‘puncak budaya’nya pada era 1960-an, dan banyak pemimpinnya (seperti Martin Luther King) menekankan pentingnya mempertahankan dan pengakuan atas budaya mereka, sebagian sebagai afirmasi (pengakuan positif) atas identitas etnis mereka yang khas berbeda, sebagian lagi karena berharap dapat melawan pencapaian akademis yang rendah dan rasa percaya diri yang juga rendah dari anak-anak mereka, dan sebagian lagi sebagai upaya untuk mewujudkan basis ideologis dan politis dalam rangka perjuangan melawan rasisme orang-orang kulit putih. Gerakan dan perjuangan kaum kulit hitam ini kemudian diikuti oleh orang-orang Puerto Rico, Meksiko-Amerika, orang-orang asli, sebagian imigran non-Eropa, dan yang lainnya, yang kesemuanya menekankan pengakuan (afirmasi) identitas budaya mereka, sembari mendeklarasikan Amerika sebagai tanah multikultural, dan memajukan upaya-upaya sosialisasi multikulturalisme.
Australia secara resmi mendeklarasikan diri sebagai multikultural dan menaruh perhatian secara konsisten pada multikulturalisme di awal 1970-an karena jumlah orang-orang Asia yang meningkat (Asianization) dan kehadiran ‘orang-orang yang tidak mudah berasimilasi’ (nonassimilable types). Hal ini juga terjadi di Kanada. Israel mulai melihat dirinya multikultural di akhir 1960-an karena orang-orang Yahudi yang oriental dan sephardic (orang-orang Yahudi perantauan) meminta revisi dari definisi-diri yang dominan dan budaya nasional yang ada. “Di manakah kebanggaan dari kaum sephardics?” adalah salah satu slogan populer dari Black Panthers, salah satu kelompok militan. Di Inggris, kehadiran orang-orang dari Afrika Selatan dan Afrika-Karibia pada 1960-an dan penolakan mereka untuk berasimilasi, menjadikan multikulturalisme sebagai agenda politik yang utama untuk pemerintah saat itu. Di Jerman, multikulturalisme menjadi agenda nasional dengan kedatangan sejumlah besar imigran dari Turki dan negara-negara lain yang ‘tidak lagi mau berasimilasi jika yang dimaksud dengan asimilasi adalah menyerahkan / memutus identitas budaya mereka, terutama karena semakin banyak (orang) yang datang dari ranah budaya yang lain’ demikian salah seorang politisi Jerman berkomentar. Dalam semua masyarakat ini (Jerman, Kanada, Inggris, Australia, USA, Israel) multikulturalisme menjadi gerakan yang penting secara politis dan ideologis karena penolakan mereka atas permintaan asimilasi dari masyarakat yang lebih luas.
Masyarakat multikultural (M.mul) dengan demikian bisa didefinisikan secara sederhana sebagai masyarakat yang menampung satu atau dua komunitas budaya. M.mul dapat menanggapi keragaman budaya dengan satu dari dua jalan berikut, yang masing-masing jalan bisa mengambil beberapa bentuk. M.mul dapat mempersilakan dan merayakan keragaman budaya yang ada di dalamnya, membuatnya sentral dalam proses pemahaman jati-diri bangsa, dan menghormati tuntutan-tuntutan budaya dari masing-masing komunitas penyusunnya; atau, M.mul dapat mencari cara-cara untuk meleburkan (mengasimilasi) komunitas-komunitas penyusunnya ke dalam budaya utama (mainstream) entah secara penuh atau sebagian. Dalam kasus yang pertama, disebut multikulturalis dan di kasus yang kedua monokulturalis dalam hal arah (orientation) dan semangat (ethos). Kedua-duanya disebut masyarakat multikultural, namun hanya satu yang multikulturalis. Istilah ‘multikultural’ mengacu pada fakta keragaman budaya, sementara ‘multikulturalisme’ adalah tanggapan normatif (apa yang seharusnya) atas fakta itu.
Kegagalan untuk membedakan antara masyarakat multikultural dan masyarakat multikulturalis cukup sering menggiring kita ke dalam debat panjang tak berkesudahan (yang tak perlu) tentang bagaimana mendeskripsikan sebuah mayarakat. Di Inggris, minoritas etnis, yang sendiri tersusun dari sejumlah komunitas budaya yang berbeda-beda, terdiri dari sedikit di atas 6% dari total populasi. Meskipun negaranya jelas-jelas multikultural, opini konservatif yang berkembang dalam masyarakat secara sistematis menolak disebut demikian. Dalam pandangan mereka, Inggris selama berabad-abad telah berevolusi / mengembangkan budaya yang khas-berbeda yang terpaut erat dengan identitas nasionalnya, dan perlu terus seperti itu guna menikmati statusnya yang istimewa (privileged). Dengan menyebut negaranya sebagai multikultural berarti secara implisit mengatakan bahwa budaya tradisional mereak tidak mendapat tempat terhormat, bahwa budaya-budaya minoritas mempunyai identitas-identitas yang sama sentralnya, bahwa mereak harus dihormati bahkan dirayakan dan tidak untuk menghilang setelah sekian waktu, dan bahwa minoritas etnis tidak hanya terdiri dari individu-individu melainkan komunitas-komunitas yang terorganisir yang berhak membuat klaim-klaim kolektif. Karena kaum konservatif menolak ini semua, mereka menolak menyebut Inggris sebagai multikultural; berlawanan dengan pandangan itu, banyak kaum liberal di Inggris yang menerima sebagian besar dari implikasi di atas, sama sekali tidak keberatan menerima deskripsi Inggris sebagai multikultural.
Perancis juga mempunyai persentase minoritas etnis yang kurang lebih sama dengan Inggris, dan komposisi susunannya juga kurang lebih mirip. Tidak hanya kaum konservatif namun kaum liberal di Perancis pun menolak sebutan masyarakat multikultural. Tradisi politik di Perancis amat kuat berakar pada ide kewarganegaraan. Menjadi warganegara Perancis berarti terintegrasi atas kehendak sendiri (by an act of will) ke dalam bangsa Perancis dan menikmati hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama dengan yang lain. Tradisi hanya mengakui warganegara dan tidak punya tempat untuk konsep minoritas; warganegara hanya bisa berada dalam posisi minoritas (in a minority) dalam hal ini atau itu namun bukan sebuah minoritas dalam pengertian status yang kurang lebih permanen dan eksklusif serta terorganisir. Lebih jauh lagi, bangsa perancis seharusnya menubuhkan dan melindungi budaya Perancis, yang mana warganegaranya diharapkan menerima budaya Perancis sebagai kondisi dari kewarganegaraan mereka. Sesungguhnya, karena nilai-nilai budaya Perancis dipercaya tidak hanya ‘milik’ orang Perancis tapi juga berlaku secara universal, orang-orang Perancis merasa sah-sah saja (dibenarkan) kala meminta ‘minoritas’ untuk tunduk dan mengikuti nilai-nilai tersebut. Dalam cara pandang seperti ini, budaya-budaya minoritas tidak punya klaim apa-apa atas pengakuan publik apalagi penerimaan. Baik bagi kaum konservatif maupun liberal, Perancis bukanlah sebuah masyarakat multikultural.
Di Inggris maupun di Perancis, perdebatan tentang peristilahan ini muncul dari kebingungan yang sudah saya jelaskan tadi. Kedua masyarakat tersebut (Perancis dan Inggris) bersifat multikultural dalam pengertian ‘fakta keragaman budaya’, dan ketidaksetujuan muncul ketika menyangkut bagaimana merespon (menanggapi) fakta tersebut, sebagian orang menyukai pendekatan multikulturalis, yang lain asimilasionis (peleburan aneka macam identitas menjadi satu identitas tunggal yang dijunjung bersama) atau monokulturalis (satu kebudayaan yang memayungi semuanya). Perbedaan-perbedaan normatif yang ada ini seyogianya tidak mempengaruhi deskripsi dari realitas empiris (apa yang nampak, apa yang bisa di-indra, yang dialami). Daripada berdebat apakah Perancis atau Inggris atau masyarakat-masyarakat yang lain itu multikultural atau bukan, mari kita akui karakter multikultural mereka dan mari kita melangkah lebih jauh untuk mendiskusikan apakah mereka akan tetap tinggal seperti itu.
Meskipun masyarakat multikultural yang ada sekarang bukanlah sesuatu yang unik ditinjau dari sejarah, sebab cukup banyak masyarakat pra-modern yang juga meliputi beberapa komunitas budaya, ada empat fakta penting yang membedakan masyarakat multikultural yang ada sekarang dibandingkan para pendahulunya. Pertama, dalam masyarakat pra-modern komunitas (budaya) minoritas pada umumnya menerima status subordinat (tunduk, berada di bawah) mereka dan tetap tinggal dalam wilayah sosial bahkan geografis yang terbatas yang diberikan kepada mereka oleh kelompok yang dominan. Meskipun Turki di bawah kekaisaran Ottoman mempunyai komunitas Kristen dan Yahudi dan memberikan kepada komunitas-komunitas ini otonomi yang lebih besar daripada yang diberikan oleh masyarakat Barat dewasa ini, namun mereka tidak pernah melihat dirinya sebagai masyarakat multikultural. Pada dasarnya, masyarakat Turki adalah masyarakat Islam yang ‘kebetulan’ juga meliputi komunitas-komunitas minoritas non-Muslim, yang disebut dhimmis atau komunitas yang dilindungi. Masyarakat Turki mengikuti ideal-ideal yang digariskan oleh Islam dan (tata pemerintahannya, hidup kemasyarakatannya) diselenggarakan oleh orang-orang Muslim yang memiliki hak penuh sebagai warganegara, sementara yang lain menikmati hak-hak budaya yang cukup luas, tapi bukan hak politis. Iklim budaya dan politis dewasa ini dalam masyarakat multikultural kontemporer cukup berbeda. Berkat dinamika ekonomi modern, komunitas-komunitas yang menyusun masyarakat multikultural kontemporer tidak lagi bisa menjalankan hidup yang terpencil / terpisah (dari unsur-unsur penyusun lainnya) dan mereka terperangkap dalam sebuah pola interaksi yang kompleks satu dengan yang lain dan dalam keseluruhannya (masyarakat yang lebih luas). Berkat tersebarnya ide-ide liberal dan demokratis, mereak menolak status politis yang lebih rendah dan (bahkan) menuntut hak-hak politis yang setara termasuk hak untuk berpartisipasi dan membentuk hidup kebudayaan masyarakat yang lebih luas. Pada gilirannya, masyarakat yang lebih luas pun berkompromi, mengiyakan legitimasi dari sejumlah tuntutan ini dan sedang dalam proses menerima atau mengabulkan sejumlah di antara permintaan dan tuntutan itu.
Kedua, berkat kolonialisme, perbudakan, tragedi ladang pembantaian orang-orang Yahudi oleh NAZI - Jerman pada 1940-an (tragedi Holocaust), dan penderitaan yang tak terkira banyaknya yang disebabkan tiran-tiran rezim komunis, kita semakin menyadari bahwa dogmatisme moral dan semangat yang menyertainya yaitu merasa benar sendiri dan agresif tidak hanya menggiring kita ke tindak kekerasan yang luar biasa dahsyat namun juga membutakan kita pada dampaknya yang mengerikan dan juga menumpulkan rasa-perasaan moral kita. Pemahaman kita akan hakikat, sumber-sumber dan bentuk-bentuk kekerasan semakin dalam, dan kita juga semakin yakin bahwa kalau kelompok-kelompok orang tertentu bisa ditindas secara ekonomis dan politis, mereka juga bisa ditindas dan dipermalukan secara kultural, dan bahwa penindasan yang satu dan yang lain bisa saling menguatkan, dan bahwa perhatian dan kepedulian kita terhadap keadilan sosial tidak hanay meliputi segi ekonomis namun juga hak-hak dan kesejahteraan kultural. Berkat perkembangan sosiologi pengetahuan, psikoanalisa dan psikologi kultural, kita semakin bisa menghargai bahwa budaya itu sungguh-sungguh menjadi perikehidupan orang, bahwa rasa keakuan (self-esteem) juga tergantung pada pengakuan dan respek dari orang lain, dan bahwa kecenderungan kita untuk mencampuradukkan mana yang budaya (bentukan manusia) dan mana yang alamiah, dan secara tidak sadar meng-universalkan gugus kepercayaan dan praktek yang kita lakukan telah menimbulkan banyak luka dan ketidakadilan terhadap orang lain. Semua ini akhirnya membawa kita pada penerimaan yang lebih besar atas perbedaan-perbedaan kultural dan pendefinisian ulang tentang relasi antara kultur dan politik, menjadikan kultur sebuah kategori yang relevan dalam politik (secara politis) dan sikap respek terhadap kultur seorang individu merupakan bagian integral dari prinsip kesetaraan tiap warganegara (the principle of equal citizenship).
Ketiga, keberadaan masyarakat multikultural kontemporer terjalin erat dengan proses kompleks bernama globalisasi secara ekonomi dan kultural. Teknologi dan barang-barang (komoditas) hilir mudik secara lebih bebas, dan mereka tidak lagi netral secara budaya. Perusahaan-perusahaan multinasional memperkenalkan industri-industri baru dan sistem-sistem manajemen dan meminta negara yang bersangkutan (yang dimasuki barang dan jasanya) untuk memenuhi sejumlah persyaratan budaya yang sifatnya wajib. Opini dunia meminta agar tiap negara (dan lembaga apapun) untuk menyetujui nilai-nilai universal yang tertera dalam pasal-pasal Hak-hak Azasi Manusia (HAM), dan sekaligus mengadopsi sejumlah keseragaman pandangan moral tertentu. Orang bepergian baik untuk mencari kerja maupun sebagai turis, dan dalam kedua bentuk ini mereka “mengekspor dan mengimpor” ide-ide dan pengaruh-pengaruh yang baru. Berkat ini semua, tidak ada satu budaya pun yang sekarang bebas dari pengaruh luar, bisa menjaga ‘kemurniannya’ (self-contained) dan hidup terpisah. Benarlah bahwa pengaruh-pengaruh dari luar acapkali begitu halus dan dalam sehingga masyarakat yang menerimanya tidak sadar akan kehadiran dan dampak dari pengaruh-pengaruh itu. Ide ‘satu budaya nasional’ tidak lagi masuk akal, dan proyek penyatuan budaya—yang diperjuangkan masyarakat tempo dulu atas alasan demi pembentukan stabilitas nasional dan kohesi sosial---tidak lagi bisa hidup (viable) sekarang. Keragaman budaya yang ada sekarang dengan demikian tidak lagi mudah dielakkan dan tak mudah diprediksi, dan ia ada di depan menantang kita sebagai sebuah dilemma yang berskala universal.
Keempat, masyarakat multikultural yang ada sekarang muncul dari latar-belakang negara-bangsa yang menyamaratakan secara kultural selama berabad-abad. Di hampir semua masyarakat pra-modern, komunitas-komunitas budaya dianggap sebagai pembawa hak-hak kolektif dan dibiarkan bebas untuk mengikuti adat-istiadat dan melakukan praktek-praktek atau ritual-ritual mereka. Negara modern berpijak pada pandangan yang berbeda tentang kesatuan sosial. Pada umumnya, negara modern hanya mengakui individu sebagai pembawa hak-hak dan negara berupaya menciptakan ruang legal yang homogen yang tersusun dari unit-unit politis yang seragam yang tunduk pada seperangkat hukum dan institusi. Yang menjadi tujuan adalah menanggalkan komunitas-komunitas yang sudah mapan dan menyatukan kembali individu-individu yang ‘tercerahkan’ atas dasar struktur otoritas yang diterima secara kolektif dan tersentralisasi. Karena negara modern mensyaratkan homogenisasi (keseragaman) sosial dan kultural sebagai pondasinya, selama berabad-abad model negara semacam ini mau membentuk masyarakat yang lebih luas ke arah itu. Karena inilah, kita jadi terbiasa menyamakan kesatuan (unity) dengan keseragaman (homogeneity). Tidak seperti para pendahulu kita, sekarang kita jadi mudah bingung secara moral dan emosional tatkala menghadapi—dan tidak tahu bagaimana caranya mengakomodasi--tuntutan-tuntutan politik yang berasal-muasal dari keragaman.
Meskipun masyarakat multikultural yang ada sekarang tidaklah unik, namun konteks historis, latar belakang kultural dan pola-pola interaksi dari komunitas-komunitas penyusunnya bisa dikatakan unik. Tidak mengherankan semua ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dihadapi oleh masyarakat multikultural pra-modern atau setidaknya tidak dalam bentuk seperti sekarang, dan ini semua mengajak kita untuk memikirkan konsep-konsep yang baru atau pendefinisian ulang secara radikal konsep-konsep yang lama. Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut hak-hak klutural dari kaum minoritas, hakikat dari hak-hak kolektif, mengapa budaya yang satu bisa berbeda dari yang lain, apakah keragaman ini gejala yang sementara saja sifatnya atau permanen, apakah dan mengapa hal ini diinginkan, apakah semua budaya pantas mendapatkan respek yang setara, apakah mereka seyogianya dinilai berdasarkan ukuran-ukuran mereka sendiri atau ukuran-ukuran kita atau oleh standar yang sifatnya universal, dan kalaupun ada (standar yang sifatnya universal) darimanakah asalnya, dan bagaimana kita bisa berkomunikasi lintas budaya dan menyelesaikan aneka perbedaan mencolok yang ada di antara budaya. Yang pantas dipertanyakan juga: relasi antara negara dengan budaya, misalnya, apakah negara seharusnya mengabaikan saja atau memberikan pengakuan publik atas keanekaragaman budaya yang ada di dalamnya, dan jika yang terakhir yang dipilih (yaitu pengakuan) apakah negara seharusnya memberikan privilese (hak-hak istimewa) pada kultur yang dominan atau memperlakukan mereka secara setara; apakah kesetaraan berarti melibatkan netralitas atau berat sebelah; bagaimana negara bisa melakukan dua fungsi ini sekaligus: menghormati keragaman budaya dan sekaligus menjamin kesatuan politis; dan bagaimana negara bisa menentukan luas cakupan (range) dari keragaman budaya yang diizinkan. Sebagaimana negara dalam masyarakat yang terbagi-bagi berdasarkan kelas dapat melembagakan dan melegitimasi aturan dari kelas yang dominan, maka dalam sebuah masyarakat yang terbagi-bagi secara budaya, negara dapat menonjolkan dominasi dari satu komunitas budaya (di atas yang lainnya), persoalannya apakah bahaya semacam ini bisa dihindari dan kalau bisa bagaimana.
Masyarakat multikultural juga menyimpan banyak persoalan tentang hakikat dan tugas dari teori politik. Hampir semua pemikir politik di abad-abad yang lalu menganggap seluruh umat manusia sebagai audiens mereka dan mendaku validitas berskala universal atas visi mereak tentang hidup ayng baik, model-model satuan politis, teori-teori tentang hak, kewajiban-kewajiban politik, kesetaraan, dan lain-lain. Namun sekarang, sekalinya kita sudah sadar bahwa manusia itu bersifat tertanam secara budaya, bahwa antara budaya yang satu dengan budaya yang lain terdapat perbedaan yang beraneka macam, bahwa audiens dari teori-teori politik tidak seragam secara budaya, pandangan-pandangan lama dari para pemikir politik tentang hakikat dan tugas ilmu politik juga perlu dipertimbangkan dan digagas ulang. Bahkan bila si teoretikus politik sudah membatasi dirinya hanya untuk menganalisa masyarakatnya sendiri seperti yang dilakukan oleh John Rawls [3] dalam tulisan-tulisannya yang terakhir, ternyata persoalannya belum selesai. Ia (Rawls) berada di dalam lokasi tertentu dan kemungkinan besar dipengaruhi oleh salah satu budaya yang ada di negerinya, dan konsep-konsep yang ia ajukan, asumsi-asumsi dan jawaban-jawabannya mungkin kurang meyakinkan bagi mereka yang berada atau memiliki tradisi budaya yang lain daripada yang diikutinya, seperti ditunjukkan oleh para pengkritik Rawls berkaitan dengan liberalisme politiknya.
Karena persoalan-persoalan ini dan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengannya dalam satu dan lain cara berhubungan dengan budaya, sebuah teori tentang masyarakat multikultural tidak bisa menawarkan jawaban-jawaban yang koheren untuk pertanyaan-pertanyaan tadi tanpa mengembangkan sebuah teori yang masak tentang hakikat, struktur, dan dinamika dalam serta peran dari kultur dalam kehidupan umat manusia. Kebanyakan tradisi teori politik mengabaikan hal ini atau memberikan gambaran yang keliru tentang hal-hal ini. Secara luas bisa dikatakan bahwa tradisi pemikiran politik tradisional didominasi oleh dua arus pemikiran besar, yagn satu berpijak pada kodrat manusia, yang lain pada kultur sebagai basis dari teori politik. Arus pertama mengatakan bahwa teori politik harus dilandasi teori tentang manusia (filsafat manusia), dan mereka keliru ketika menyamakan teori tentang manusia (theory of human beings) dengan teori tentang kodrat manusia (human nature), dan dari titik tolak ini mereka lalu mendaku satu paham yang benar dan rasional tentang bagaimana memahami manusia dan dunia dan bagaimana menjalani hidup yang baik. Kelompok pemikiran atau arus pertama ini saya sebut kaum naturalis (alam, kodrat) atau monis (tunggal, satu). Sejumlah pemikir, seperti para filsuf Yunani atau Kristen, misalnya J.S. Mill dan Hegel, menggambarkan kodrat manusia secara substantif atau “tebal”, sementara Thomas Hobbes, John Locke dan Jeremy Bentham memilih menggambarkan manusia secara formal atau ‘tipis”. Kedua-duanya sama, dalam asumsi bahwa kodrat manusia itu ajeg, tidak berubah, tidak dipengaruhi intisarinya oleh masyarakat dan budaya, dan mampu memberikan petunjuk bagaimana menjalani hidup yang paling baik. Pemikiran mereka kurang memberi ruang bagi peran kreatif budaya, sebab budaya dilihat hanya sebagai gejala pinggir (epifenomenal), terbatas pada wilayah-wilayah adat istiadat dan kebiasaan yang secara moral tidak saling pengaruh-mempengaruhi dengan yang lain, dan tidak banyak memberikan masukan bagaimana hidup moral dan hidup politis harus ditata.
Kulturalisme atau pluralisme, yang muncul sebagai reaksi dari naturalisme dan juga dipercaya / dianut oleh kaum Sofis [4], filsuf Italia Giambattista Vico (1668 – 1744), filsuf Pencerahan dan pemikir politik dari Perancis Montesquieu (1689 – 1755), Johann Gottfried von Herder (1744-1803), dan kaum romantis Jerman dan yang lainnya, membuat gerakan yang berlawanan. Mereka berargumen bahwa manusia itu dibentuk secara budaya, tergantung dari kultur satu ke kultur lain, dan hanya sedikit mempunyai kesamaan dengan manusia lain sehingga daripadanya tidak bisa ditarik signifikansi moral dan politis. Meskipun kaum kulturalis tepat dalam menghargai pentingnya kultur, mereka salah paham mengenai kodratnya. Karena mereka menganut pandangan organis tentang kultur, mereka cenderung mengabaikan keragaman dan ketegangan internal dalam kultur, tidak bisa menjelaskan mengapa kultur bisa berubah dan mengapa anggota-anggotanya bisa mengambil posisi kritis atas kultur. Mereka membagi umat manusia ke dalam unit-unit budaya yang berbeda-beda, dan tidak bisa memberikan penjelasan yang koheren tentang bagaimana manusia yang satu bisa berkomunikasi dengan manusia yang lain dalam kultur yang berbeda (cross-cultural communication), dan bahkan bisa menilai gugus kebiasaan dan praktek yang dilakukan orang dari kultur lain. Dengan cara mereka sendiri, para kulturalis berujung pada “me-natural-kan” kultur, melihat kultur sebagai fakta kehidupan yang tak bisa diubah dan lepas dari pembatasan sejarah (ruang-waktu), yang begitu menentukan anggota-anggotanya atau orang-orang yang melaksanakannya sehingga mengubah mereka menjadi spesies umat manusia yang khas.
Baik naturalisme maupun kulturalisme seperti yang saya gambarkan di atas tidak bisa memberikan penjelasan yang utuh dan menyeluruh atas perikehidupan umat manusia dan juga tidak bisa membantu kita meneorikan masyarakat-masyarakat multikultural. Yang satu menekankan fakta ‘kemanusiaan yang tunggal’ namun mengabaikan fakta lain yang tak kalah penting yaitu kodrat manusia dihantar dan disusun secara budaya dan tidak bisa menjadi basis transendental (yang bersifat melampaui) untuk sebuah pandangan mengenai hidup yang baik yang sifatnya lintas-budaya. Pandangan yang satunya juga membuat kesalahan serupa. Tidak ada satupun pandangan yang dapat menangkap kedua-duanya dan mengapresiasi (mengamini) bahwa manusia itu bersifat alamiah (natural) sekaligus budaya (cultural), mirip sekaligus berbeda, dan menyerupai dalam cara yang berbeda-beda. Jika kita mau mengembangkan sebuah konsep yang utuh dan menyeluruh mengenai manusia, kita perlu menempatkan masing-masing pandangan dalam kerangka berpikir yagn kritis dan dengan demikian kita dapat menembus kebekuan masing-masing kutub.

* * *
Buku yang saya karang ini (Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (2000)) terbagi menjadi 3 bagian besar: segi historis, segi teoretis dan segi praktis. Bagian pertama mencoba menelusuri asal-usul dan memberikan penjelasan mengenai aneka macam naturalisme dan kulturalisme. Ada dua tujuan yang mau dicapai: (1) untuk menganalisa kritik baik terhadap naturalisme maupun kulturalisme seperti sudah disinggung di atas dan (2) menggarisbawahi kehadiran kedua tradisi ini dalam aneka macam asumsi yang menghangatkan debat seputar masyarakat multikultural. Bagian historis ini tidak sepenuhnya bersifat historis (sejarah), namun juga terstruktur secara teoretis, dan tidak bersifat insidental (kebetulan) atau eksternal melainkan integral terhadap teori yang digariskan di bagian kedua. Jika ingin mencapai hasil yang lebih memuaskan, buku ini harus menyertakan lebih banyak lagi filsuf dan kita harus mendiskusikan pemikiran mereka secara lebih mendetil. Namun karena keterbatasan ruang, pengaturan yang saya buat sekarang rasaya sudah merupakan kompromi terbaik.
Di bagian pertama saya memberikan kerangka besar dan melakukan penelusuran atas perkembangan tradisi naturalis dan membedakan serta mendiskusikan 3 bentuk utamanya. Karena liberalisme secara tepat dianggap sebagai bentuk yang paling ramah terhadap doktrin keragaman kultural, saya akan mendiskusikan secara panjang lebar kecenderungan monis [5] yang ada di dalamnya. Meskipun monisme sendiri sudah sejak awal mendapatkan banyak tantangan dari tradisi-tradisi yang lebih kecil seperti skeptisisme, relativisme dan pluralisme moral, pluralisme dalam budaya belum benar-benar menjadi sentral perhatian sampai abad ke-18 ketika para pemikir sosiologi, sejarah dan antropologi menempatkan keragaman budaya sebagai agenda filosofis yang utama. Sejak Vico, Montesquieu dan Herder memperlihatkan simpati pada keragaman budaya ini, saya menyimak dan menganalisa pemikiran mereka di bagian berikutnya dan mencoba menarik sejumlah buah-buah renungan serta keterbatasan-keterbatasan dari pemikiran mereka. Menyadari keterbatasan dari monisme dan pluralisme, kebanyakan pemikir tentang masyarakat multikultural, hampir semuanya berhaluan liberal, telah mulai mencoba berpikir untuk menempatkan kultur dalam hidup manusia dan memberikan arah baru dalam debat klasik naturalisme vs. kulturalisme. Karenanya saya akan menelaah juga pemikiran dari John Rawls, Joseph Raz [6] dan Will Kymlicka dan mengambil kesimpulan bahwa meskipun mereka membawa kita ke arah yang tepat, pemikiran mereka pun masih mengandung sejumlah kontradiksi yang belum terselesaikan dan dalam artian tertentu juga masih berbau monisme liberal untuk menjawab dan menyediakan tanggapan yang menyeluruh atas tema keragaman kultural.
Setelah berkutat dengan persoalan pendasaran teori dari masyarakat multikultural, bagian kedua buku ini memberikan sketsa dari apa yang dibicarakan di bagian pertama. Secara kritis bagian ini membedah konsep kodrat manusia, menunjukkan bahwa, meskipun konsep ini berguna, namun ia terlalu kering dan kurus untuk menyelesaikan tugas filosofis yang diharapkan darinya, dan dengan demikian bagian ini akan memberikan kerangka teori tentang manusia yang menyertakan pertimbangan budaya juga (culturally sensitive). Di bab-bab akhir dari bagian ini, saya mendiskusikan kodrat, basis dan struktur dari kultur, bagaimana dan dalam batasan-batasan apa memungkinkan untuk sampai pada prinsip-prinsip moral yang sifatnya lintas-budaya, bagaimana kultur bisa dan semestinya dinilai, pendasaran dan batasan-batasan dari sikap respek terhadap kultur lain, mengapa keragaman kultural tidak semestinya dilihat sebagai fakta keras yang dengan enggan diterima dan diakomodasi namun sebagai sebuah nilai yang positif untuk dirayakan dan dipupuk-kembangkan. Di bab-bab berikutnya, saya akan berkonsentrasi pada sejumlah pertanyaan politis yang diajukan oleh masyarakat multikultural, dan mendiskusikan bagaimana masyarakat-masyarakat multikultural tetap bisa diikat menjadi satu, mengembangkan rasa kepemilikan (sense of belonging) yang sama, dan mendamaikan tuntutan dua pihak, antara kesatuan politis dan keragaman kultural. Untuk mencapai itu, saya menganjurkan agar kita memikirkan ulang konsep negara modern dan mencari jenis-jenis struktur politik yang baru yang mungkin akan lebih coco untuk diterapkan pada masyarakat multikultural.
Bagian ketiga dari buku ini akan mendiskusikan problem-problem praktis yang dihadapi masyarakat multikultural, seperti: perbedaan-perbedaan macam apa yang perlu dikenali, bagaimana menyelesaikan ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan yang inheren (sudah mengurat-akar) ada dalam perjuangan untuk pengakuan, membahas praktek-praktek yang sering dianggap menyinggung perasaan orang banyak / masyarakat luas, dan menerapkan prinsip kesetaraan dalam cara-cara yang peka secara kultural. Karena pembahasan pertanyaan-pertanyaan ini secara abstrak dan teoretis saya nilai tidak bisa menampung segala kompleksitasnya, saya akan berkonsentrasi pada contoh-contoh konkret yang berasal dari bermacam-macam masyarakat. Meskipun banyak kehendak baik yang menyertai, nampaknya sudah menjadi ‘nasib’ dari masyarakat multikultural untuk selalu dirundung persoalan-persoalan yang (nampak) tidak terpecahkan. Kasus Salman Rushdie dengan ayat-ayat setannya dalam Novel Satanic Verses (1988) adalah sebuah contoh yang bagus untuk dianalisa, dan itu akan saya tunjukkan di bab terakhir untuk memperlihatkan mengapa situasi menjadi lepas kontrol, debat macam apa yang ditimbulkan daripadanya, dan apa yang bisa dikatakan peristiwa itu tentang hakikat dan batasan-batasan dari wacana politik di dalam masyarakat multikultural. Di bab penutup (kesimpulan), saya akan merumuskan kembali sejumlah percik renungan dan kekeliruan-kekeliruan dari multikulturalisme serta pandangan saya sendiri tentang isu ini.
Guna menghindari kesalahpahaman yang sejenis, ada 4 poin yagn mau saya garisbawahi. Pertama, dogmatisme dan intoleransi yang saya kritik di sejumlah tradisi Barat jgua ditemukan di belahan bumi lain, bahkan mungkin dalam bentuk-bentuk yang lebih parah dan berbahaya. Fakta bahwa saya berkonsentrasi pada dunia Barat bukan berarti saya mau mengatakan bahwa dogmatisme dan intoleransi hanya terdapat di Barat, atau bahwa saya mengiyakan pandangan Nietzsche dan Heidegger yang terlalu menyederhanakan persoalan yaitu bahwa dorongan untuk dominasi secara budaya [7] itu sudah mengurat akar dalam struktur berpikir itu sendiri. Saya tidak mendiskusikan pemikiran-pemikiran non-Barat melulu karena keterbatasan ruang, keterbatasan pengetahuan saya tentang hal ini, dan untuk membuat buku ini tetap terjaga fokusnya.
Kedua, ada kecenderungan yang terus berulang untuk menyamakan multikulturalisme dengan minoritas, khususnya orang-orang non-kulit putih, dan melihatnya sebagai pemberontakan dari kaum pribumi (penduduk asli) yang mau menegaskan nilai-nilai budaya mereka yang lemah (meragukan) sekaligus menuntut hak-hak spesial. Dalam wacana semacam ini, multikulturalisme dirasialkan dan menjadi lahan untuk sentimen rasis yang terselubung. Hal ini patut disesalkan. Seperti sudah saya tunjukkan di atas, multikulturalisme bukan bicara tentang minoritas, sebab dengan mengatakan ini berarti orang secara implisit menganggap budaya yang dominan secara tidak kritis menerima dan menggunakan konsep ini untuk mendaku dan mendefinisikan hak-hak kaum minoritas. Multikulturalisme adalah tentang relasi antara komunitas-komunitas budaya yang berbeda-beda. Norma yang memandu klaim-klaim mereka, termasuk prinsip keadilan, tidak bisa didasarkan dari satu budaya saja namun harus melewati dialog yang terbuka dan setara di antara mereka.
Ketiga, mungkin ada yang bertanya apakah teori yang saya gariskan dalam buku ini bukannay bersifat liberal atau berangkat dari bias ideologis tertentu. Pertanyaan semacam ini keliru dan berangkat dari pemahaman yang kurang tepat mengenai apa itu masyarakat multikultural. Menurut definisinya, masyarakat multikultural terdiri dari sejumlah budaya atau komunitas budaya dengan sistem makna dan pemaknaan dan cara memandang manusia dan dunia yang jelas-berbeda (distinct). Dengan demikian, ia tidak bisa diteorikan secara memadai dalam kerangka berpikir salah satu doktrin politik tertentu yang tertanam dan cenderung bias pada perspektif budaya tertentu juga, dan ini berarti tidak adil untuk yang lain. Hal ini berlaku baik untuk pandangan liberalisme maupun pandangan atau doktrin politik lainnya. Liberalisme adalah sebuah doktrin mendasar yang memajukan pandangan tertentu tentagn manusia, masyarakat dan dunia dan (doktrin ini) tertanam dalam dan menghasilkan cara hidup tertentu. Karena itu, liberalisme mewakili perspektif budaya tertentu dan tidak bisa menjadi payung yang tidak berat sebelah untuk mengkonsepkan kultur yang lain atau relasi kultur tersebut dengan doktrin ini.
Bisa saja orang berargumen bahwa karena kita tinggal dalam masyarakat yang liberal, kita butuh dan bisa dibenarkan untuk mengembangkan sebuah teori tentang masyarakat multikultural yang berhaluan liberal. Argumen ini menyingkirkan masyarakat non-Barat, yang tidak semuanya berhaluan liberal dan bahkan sebagian lagi memang tidak emnghendaki untuk menajdi liberal, dan kita tidak bisa mengesampingkan masyarakat – masyarakat seperti ini dalam analisa kita. Juga walaupun ‘hanya’ masyarakat Barat yang ditelaah, mereka juga bersifat multikultural dan meliputi budaya-budaya yang sebagian liberal sebagian lagi tidak, mungkin beberapa saling bersilangan dan yang satu tidak bisa dikebawahkan yang lain. Karena pandangan yang tidak liberal menantang prinsip-prinsip liberal maka tidak ada masyarakat atau teori yang bisa dikembangkan hanya berdasarkan prinsip ini saja (liberal saja). Jika itu yang dilakukan, berarti kita telah bertindak tidak adil, karena tindakan ini menyangkal klaim-klaim yang sah dari budaya-budaya nonliberal untuk ebrpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan struktur politik dari masyarakat yang lebih luas, dan beresiko karena struktur yang dihasilkan tidak bisa bergantung pada aliansi mereka saja. Karena liberalisme adalah kekuatan politik dan moral yang dominan dalam masyarakat Barat, setiap teori etntang masyarakat multikultural mau tidak mau harus membahasnya dan secara kritis menanggapinya, meskipun tidak dibatasi olehnya begitu saja.
Hal ini tidak latnas berarti kita tidak bisa membuat sebuah teori liberal tentang masyarakat multikultural seperti yang dilakukan Will Kymlicka [8] dan yang lainnya---karena teori berkerangka liberal yang mereka kembangkan mengeksplorasi dan memperdalam sumber-sumber teoretis dari liberalisme dan mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi liberalisme sendiri namun kerangka teori ini tidak bisa menyediakan pendasaran teoretis yang koheren secara intelektual dan bisa diterima secara moral untuk menjelaskan masyarakat multikultural. Kita perlu melangkah lebih jauh lagi dari segi abstraksi filosofis. Dan karena kita tidak bisa melampaui dan menempatkan diri kita di luar ranah (wilayah) budaya liberal dan non liberal, maka pendasaran yang mau disediakan dalam buku ini juga tak bisa lepas dari dialog yang mengemuka di antara keduanya. Seperti Hans-Georg Gadamer, Jürgen Habermas dan para pendukung teori demokrasi deliberatif, meskipun di beberapa segi agak berbeda dari mereka, teori yang saya ajukan dalam buku ini disusun secara dialogis. Ang mau ditekankan adalah sentralitas dari dialog antar budaya dan norma-norma etis, prinsip-prinsip dan struktur-struktur kelembagaan yang melatarbelakangi dan dihasilkan oleh dialog tersebut. Karena pendekatan yang saya ambil dalam buku ini juga menyertakan pandangan-pandangan yang non liberal maka dalam beberapa hal ada perbedaan dengan liberalisme. Buku ini melewatkan debat antara liberalisme yagn berpandangan komprehensif dan yang politis, yang dua-duanya mengambil liberalisme sebagai pendasaran yang valid untuk menganalisa masyarakat dan hanya berbeda dalam segi jangkauan dan cakupan wilayah penerapan namun sama-sama setuju dan berkomitmen untuk mengembangkan dialog baik di kehidupan politis maupun non politis sebagai fokus pemersatu dan roda penggerak masyarakat. Dialog bernuansa politis mempunyai struktur yang khas-jelas dan tidaklah sebebas dan seterbuka seperti yang sering didengang-dengungkan. Komitmen pada dialog mensyaratkan secara tersirat kesediaan untuk menerima sejumlah norma tertentu, cara-cara deliberasi tertentu, prosedur, dan sebagainya dan untuk menghidupi serta bertindak sesuai dengan hasil konsensus (musyawarah) menyangkut isu-isu tertentu.
Akhirnya, karena problem yagn dimunculkan oleh masyarakat multikultural tidak hanya menyibukkan para pemikir politk, melainkan juga warganegara biasa dan para aktivis politik dan para pemimpin, maka buku ini didedikasikan kepada mereka semua. Jika masyarakat multikultural yang diidam-idamkan ini bisa berjalan dengan lancar, maka mereka yang disebut terakhir tadi harus juga disertakan sebagai partner dialog, baik agar mereka juga melihat problem mereka sehari-hari dari perspektif teoretis yang lebih dalam dan untuk belajar dari pengalaman dan percik-percik pemikiran yang mereka dapat. Fakta bahwa saya pernah terlibat secara publik dalam dua masyarakat multikultural (India dan Inggris) dan bertugas mengepalai dua lembaga yang berurusan dengan isu-isu multikultural menjadi alasan pelengkap dari pendekatan ini. Dari waktu ke waktu, khususnya di bagian akhir buku ini, saya bergerak bolak-balik di antara sekian banyak audiens yang beraneka macam, mengkonfrontasi satu kepentingan dengan kepentingan lain, dan berubah-ubah idiom dan level pembicaraan. Tentu saja hal ini bisa berbahaya, dan saya harap saya bisa menghindari sejumlah di antaranya.

No comments: