Thursday, 27 September 2012

Analisa Kebijakan Publik Program Jaminan dan Bantuan Sosial


Analisa Kebijakan Publik Program Jaminan dan Bantuan Sosial




I.          PENDAHULUAN

UUD 1945 Pasal 28 H (amandemen kedua) menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34 – ayat 2 (amandemen keempat), bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Hingga saat ini terdapat berbagai macam definisi perlindungan sosial (social protection) dan jaminan sosial (social security). Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian banyak definisi yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara.
Asian Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan sosial pada dasarnya merupakan sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang untuk menurunkan kemiskinan dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan; tidak berarti bahwa perlindungan sosial merupakan keseluruhan dari kegiatan pembangunan di bidang sosial, bahkan perlindungan sosial tidak termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction). Lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah jaring pengaman sosial (social safety net) dan jaminan sosial (social security) seringkali digunakan sebagai alternatif istilah perlindungan sosial; akan tetapi istilah yang lebih sering digunakan di dunia internasional adalah perlindungan sosial. ADB membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen, yaitu: (i) pasar tenaga kerja (labor markets); (ii) asuransi sosial (social insurance); (iii) bantuan sosial (social assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk perlindungan bagi komunitas setempat; dan (v) perlindungan anak (child protection).
Namun, menurut Bank Dunia dalam “World Bank Social Protection Strategy”, konsep yang digunakan oleh ADB dalam membagi perlindungan sosial tersebut masih tradisional. Bank Dunia mendefinisikan perlindungan sosial sebagai: (i) jejaring pengaman dan ‘spring board’; (ii) investasi pada sumberdaya manusia; (iii) upaya menanggulangi pemisahan sosial; (iv) berfokus pada penyebab, bukan pada gejala; dan (v) mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya. Menanggapi konsep ADB dan Bank Dunia, menyejajarkan perlindungan sosial dengan jejaring pengaman bisa berarti menyempitkan makna perlindungan sosial itu sendiri. 

Akan halnya ILO (2002) dalam “Socal Security and Coverage for All”, perlindungan sosial merupakan konsep yang luas yang juga mencerminkan perubahan-perubahan ekonomi dan sosial pada tingkat internasional. Konsep ini termasuk jaminan sosial (social security) dan skema-skema swasta. Lebih jauh, dijelaskan bahwa sistem perlindungan sosial bisa dibedakan dalam 3 (tiga) lapis(tier): Lapis Pertama merupakan jejaring pengaman sosial yang didanai penuh oleh pemerintah; Lapis Kedua merupakan skema asuransi sosial yang didanai dari kontribusi pemberi kerja (employer) dan pekerja; dan Lapis Ketiga merupakan provisi suplementari yang dikelola penuh oleh swasta. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa definisi tersebut berdasarkan kontributor dana dalam tiap skema.

Seperti halnya perlindungan sosial, terdapat pula berbagai macam interpretasi jaminan sosial (social security). ILO (2002) menyebutkan bahwa jaminan sosial merupakan bentuk perlindungan yang disediakan dalam suatu masyarakat untuk masyarakat itu sendiri melalui berbagai upaya dalam menghadapi kesulitan keuangan yang dapat terjadi karena kesakitan, kelahiran, pengangguran, kecacatan, lanjut usia, ataupun kematian. Lebih jauh dijelaskan bahwa jaminan sosial terdiri dari asuransi sosial, bantuan sosial, tunjangan keluarga, provident funds, dan skema yang diselenggarakan oleh employer seperti kompensasi dan program komplimenter lainnya.
Oleh karena itu, untuk keperluan penulisan paper ini akan dikaji tentang program jaminan  sosial (social insurance) dan program bantuan sosial (social assistance).  

II.        SITUASI SAAT INI DI INDONESIA

JAMINAN SOSIAL (SOCIAL INSURANCE)
Pelaksanaan jaminan sosial (social insurance) khususnya untuk tenaga kerja formal di Indonesia secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan asuransi sosial di Indonesia tersebut berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri.

Jaminan Sosial TenagaKerja (JAMSOSTEK)
Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat.
Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial dengan  sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara program Jamsostek dikondisikan harus dan memperoleh keuntungan, pemerintah akan memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Persero.
Setiap perusahaan swasta yang memperkerjakan sekurang-kurangnya 10 orang atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per bulan diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75 persen dari jumlah pekerja – mereka belum tercover dalam Jamsostek.

Tabungan Pensiun (TASPEN)
PT. TASPEN (Persero) sebagai penyelenggara program asuransi sosial bagi PNS yang terdiri dari Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT). Disamping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan beberapa program lainnya seperti  Asuransi Kematian; Uang Duka Wafat; Bantuan untuk Veteran; dan Uang TAPERUM dari BAPERTARUM.
            Pengelolaan program pensiun, berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1969 pendanaan pensiun dibebankan kepada APBN. Sistem ini disebut sebagai pendanaan “pay as you go” (seorang PNS begitu pensiun langsung dibayar) dan telah dilakukan sampai dengan akhir 1993. Sejak tahun 1994 pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan sistem pendanaan pensiun dengan pola “current cost financing” yaitu suatu metode gabungan pay as you go dengan sistem funded dalam rangka pemberdayaan akumulasi iuran peserta program pensiun PNS. Dalam sistem pendanaan ini, beban pembayaran pensiun yang dialokasikan dari APBN adalah sebesar 75 persen dan dari akumulasi iuran peserta sebesar 25 persen dari seluruh beban pembayaran pensiun PNS.
Sasaran program jaminan sosial hari tua/pensiun yang dilaksanakan oleh PT (Persero) Taspen adalah semua Pegawai Negeri Sipil, kecuali PNS di lingkungan Departemen Pertahanan – Keamanan. Pada tahun 2001 jumlah PNS adalah sebanyak 3.932.766 orang dengan rincian sebanyak 3.002.164 PNS daerah, dan sebanyak 930.602 orang PNS pusat. Yang berhak mendapat pensiun sesuai dengan peraturan perundang yang berlaku adalah peserta; atau janda/duda dari peserta, dan janda/duda dari penerima pensiun; atau yatim piatu dari peserta, dan yatim piatu dari penerima pensiun; atau orang tua dari peserta yang tewas yang tidak meninggalkan janda/duda/anak yatim piatu yang berhak menerima pensiun. Sedangkan yang berhak mendapat tabungan hari tua adalah peserta; atau istri/suami, anak atau ahli waris peserta yang sah dalam hal peserta meninggal dunia.

Asuransi ABRI (ASABRI)
Program kesejahteraan bagi anggota TNI diatur dalam beberapa Undang-undang, seperti: Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang Pemberian Pensiun dan Onderstand Angkatan Perang RI;  Undang-undang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun dan Tunjangan bagi Mantan prajurut TNI dan Anggota POLRI; Undang-undang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI; dan Undang-undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran RI. Dalam  penyelenggaraan program asuransi sosial bagi PNS telah diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 1981, dimana diantaranya diatur mengenai besarnya iuran bagi setiap PNS untuk program Tabungan Hari Tua (THT) dan Pensiun.

Asuransi Kesehatan (ASKES)
Sistem perlindungan sosial yang ada saat ini adalah Sistem Asuransi Kesehatan (yang diselenggarakan oleh PT Askes), untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai ketentuan yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan antara lain, konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum dan atau paramedis, pemeriksaan dan pengobatan gigi, dan lainnya.
Potongan iuran wajib atau premi untuk dana pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), dan penerima pensiun beserta anggota keluarganya, diatur melalui Keputusan Presiden. Keputusan Presiden yang masih berlaku sampai sekarang adalah Keputusan Presiden No. 8 tahun 1977, menyatakan bahwa 2 persen dari penghasilan pegawai digunakan untuk pemeliharaan kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun. Kemudian dengan UU No. 43 tahun 1999, pasal 32, dinyatakan bahwa untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan pemerintah menanggung subsidi dan iuran yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Selain menyelenggarakan asuransi kesehatan sosial bagi pegawai negeri sipil, pensiunan, veteran dan perintis kemerdekaan, PT Askes juga menyelenggarakan Askes komersial untuk perusahaan swasta yang memerlukan jaminan pemeliharaan kesehatan karyawan.

BANTUAN SOSIAL (SOCIAL ASISSTENCE)
Bantuan sosial yang akan dikaji dalam paper ini adalah merupakan program kesejateraan sosial yang memfokuskan pada perlindungan bagi penduduk miskin yaitu: jaminanan kesehatan dan pendidikan bagi penduduk miskin serta Bantuan Langsung Tunai.

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK-Gakin)
Untuk mengatasi tingginya pembiayaan kesehatan adalah dengan memperbaiki pembiayaan kesehatan dengan jaminan kesehatan sosial. Asuransi kesehatan dipandang sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pembiayaan kesehatan. Untuk menjamin kesinambungan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin, pemerintah meluncurkan sistem jaminan kesehatan dalam bentuk jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK Gakin).
Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai pemeliharaan keluarga miskin (Gakin), melalui program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin) khususnya untuk pelayanan kesehatan dasar yang kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (khususnya malaria, diare, dan TB paru). Kemudian, pada akhir tahun 2001 disalurkan dana subsidi bahan bakar minyak (PDPSE) untuk pelayanan rumah sakit (RS) bagi keluarga miskin. Program ini diselenggarakan untuk mengatasi dampak krisis dengan memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin melalui subsidi biaya operasional Puskesmas, Bidan di Desa, Gizi, Posyandu, Pemberantasan penyakit menular (P2M) dan rujukan RS.

Jaminan Pendidikan Keluarga Miskin
Jaminan pendidikan bagi keluarga miskin dilakukan oleh Pemerintah melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) akibat adanya krisis ekonomi pada tahun 1997. Bentuk bantuan adalah antara lain dengan memberikan biaya pendidikan dalam bentuk beasiswa bagi murid dari keluarga miskin. Sebagaimana target Pemerintah dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun (hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/SLTP), maka pemberian beasiswa tersebut diprioritaskan bagi murid Sekolah Dasar/SD dan SLTP, ditambah dengan murid Sekolah Menengah Umum/SMU dari keluarga miskin saja. Sementara itu, mahasiswa dari keluarga miskin – apabila keluarganya tidak mampu membiayainya lagi – maka mereka akan secara “terpaksa” menjadi drop-out.
            Selanjutnya dengan JPS pada tahun 2002, maka Pemerintah telah melaksanakan program serupa, yaitu melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM), pada periode 2002/2003. Pada dasarnya mekanisme pelaksanaan program PKPS BBM ini menggunakan sistem yang sama dengan JPS, hanya sumber dananya berasal dari APBN murni. Program ini juga memberikan beasiswa/Bantuan Khusus Murid (BKM) dan Bantuan Khusus Sekolah (BKS), sebagaimana JPS dengan pemberian beasiswa dan DBO-nya.  Adapun besarnya DBO atau BKS masing-masing  adalah Rp 2 juta bagi SD, Rp 4 juta bagi SLTP, dan Rp 10 juta bagi SMU.

Subsidi Langsung Tunai
Program Subsidi Langsung Tunai(SLT) dimasudkan untuk mengurangi beban masyarakat miskin akibat dampak dari kenaikan bahan bakar minyak (BBM) pada bulan Oktober 2005. Pemberian SLT ini bertujuan untuk menjaga daya beli rumah tangga miskin di seluruh kabupaten/kota yang terjangkau, agar tidak tergerus oleh kenaikan harga umum setelah subsidi BBM dikurangi.
Penerima SLT adalah rumah tangga yang tergolong miskin hingga mendekati miskin. SLT direncanakan diberikan kepada 19,2 juta rumah tangga miskin (RTM) di 440 kabupaten/kota selama satu tahun (Oktober 2005-September 2006). Selanjutnya, pada tahun 2007 mulai dilaksanakan program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB). Berbeda dengan SLT, program BTB memberikan bantuan langsung kepada rumah tangga miskin apabila rumah tangga tersebut memenuhi persyaratan, yaitu menyekolahkan anak dan memeriksakan kesehatan anak balitanya.
           
III.       TELAAH KEBIJAKAN TENTANG PROGRAM JAMINAN SOSIAL DAN BANTUAN SOSIAL

Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa program jaminan sosial dan program kesejahteraan merupakan program publik dalam arti bahwa program- program tersebut ditujukan kepada dan bersifat wajib bagi seluruh warga negara yang pengelolaannya dilakukan di bawah pengawasan negara berdasarkan peraturan perundang- undangan. Program- program tersebut memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara melalui seperangkat instrumen publik, terhadap kesulitan ekonomi dan sosial yang berakibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara.  

Hukum dan Kelembagaan
Landasan hukum sistim jaminan sosial dan bantual sosial pada saat ini masih bersifat parsial. Jaminan Sosial untuk pegawai swata formal dilaksanakan oleh PT JAMSOSTEK  yang dilandasi oleh UU No. 3 Tahun 1992. Sedangkan jaminan sosial untuk pegawai negeri sipil dilaksnakan oleh PT ASKES untuk jaminan kesehatan dan PT TASPEN untuk jaminan hari tua dan pensiun yang masing- masing dilandasi oleh UU No. 2 Tahun 1992 dan UU No. 43 Tahun 1999. Selain itu, jaminan sosial untuk TNI/ POLRI diselenggarakan oleh PT ASABRI melalui UU No. 6 Tahun 1966.
Produk hukum yang bervariasi tersebut mengakibatkan banyaknya institusi/ lembaga yang melaksanakan jaminan sosial. Hal ini berlawanan dengan law of the larga number (hukum bilangan besar), yaitu dengan cakupan besar (peserta asuransi sosial) maka sebaran resiko (risk distribution) akan lebih merata dan beban yang dipikul masing- masing peserta (premi) akan semakin kecil.
Kelembagaan pengelolaan program jaminan sosial dan bantuan sosial yang ada saat ini dilakukan oleh banyak instansi. Misalnya, untuk asuransi sosial dikelola oleh BUMN dibawah Departemen Keuangan yang bertujuan profit oriented. Sementara itu, bantuan sosial dikelola oleh banyak departemen/ LPND yang tidak jarang menimbulkan tumpang tindih, karena lemahnya koordinasi.
Pengalaman beberapa negara yang cukup berhasil dalam pengelolaan program jaminan dan bantuan sosial, menunjukkan bahwa pengelalaan tersebut dilakukan oleh satu lembaga (centralized) yang independent.  Lembaga tersebut antara lain mempunyai otoritas untuk koordinasi, pemantauan pelaksanaan program, pengelolaan dana dan investa serta melakukan pemasyarakatan program dengan memperhatikan prinsip economic of scale dan cost effctivenes.

Pencapaian Sasaran Program Jaminan Sosial
Selama ini pelaksanaan jaminan sosial bagi penduduk usia produktif (tenaga kerja) lebih fokus pada tenaga kerja di sektor formal baik pekerja pemerintah (PNS) maupun pekerja swasta. Dilihat dari cakupan kepesertaan, jaminan sosial di sektor pemerintah (PNS) tidak ada masalah baik yang dilakukan oleh PT ASKES, PT TASPEN maupun PT ASABRI. Semua pegawai negeri (baik sipil maupun militer) tercakup dalam skema tersebut; PT Askes dan PT Taspen untuk PNS dan PT ASABRI untuk anggota militer. Dengan demikian di sektor pemerintah, tidak ada masalah berkaitan dengan perluasan kepesertaan.
            Masalah yang timbul adalah berkaitan dengan cakupan kepesertaan jaminan sosial di sektor swasta. Data yang ada memperlihatkan pada tahun 2000 baru sekitar separuh (57,5 persen) pekerja di sektor formal (di luar PNS) yang sudah terdaftar sebagai peserta Jamsostek. Selama 22 tahun sejak beroperasinya pada tahun 1977, PT Jamsostek baru mampu mencakup sekitar 18,1 juta pekerja. Jumlah tersebut adalah jumlah yang terdaftar. Jika dipertajam terhadap mereka yang benar-benar aktif memberikan premi maka jumlah kepesertaan tersebut akan makin kecil.
            Jika melihat data tahun 2000, masih ada sekitar 13,39 juta pekerja di sektor formal yang belum tercakup dalam jaminan sosial. Masih banyaknya pekerja (baik secara absolut maupun relatif) yang belum menjadi peserta jaminan sosial mendorong perlunya strategi dalam memperluas kepesertaan jaminan sosial di sektor formal.
            Masalah cakupan kepesertaan jaminan sosial makin berat dihadapi di tenaga kerja sektor informal. Selama ini belum ada lembaga yang menangani secara sistematis tentang bagaimana mendorong kepesertaan jaminan sosial di tenaga kerja sektor informal. PT Jamsostek sebagai pelaksana jaminan sosial masih berkonsentrasi untuk mengembangkan kepesertaan di tenaga kerja sektor formal. Itupun cakupannya masih terbatas. Padahal proporsi pekerja di sektor informal justru lebih besar dibanding pekerja di sektor formal.
Data yang ada menunjukkan bahwa dari 90,8 juta pekerja sekitar  64,4 persen bekerja di sektor informal. Sementara yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 35,6 persen. Jika dibanding dengan jumlah seluruh pekerja (formal dan informal) yang berjumlah 89,8 juta (tahun 2000) maka cakupan peserta jaminan sosial 20,2 persen. Proporsi tersebut bertambah kecil lagi jika dibanding dengan angkatan kerja (tahun 2002) yang berjumlah 95,65 juta dan jumlah peserta yang terdaftar pada Jamsostek sebanyak 18,14 juta (tahun 2000) maka proporsi angkatan kerja yang tercakup oleh Jamsostek baru 18,97 persen. Padahal idealnya seluruh angkatan kerja dapat dicakup dalam Jamsostek. Dengan cakupan kepesertaan yang rendah seperti itu maka perlu ada kebijakan dan program yang dapat meningkatkan cakupan kepesertaan jamsostek.

Mempertajam Sasaran Program Bantuan Sosial
Selama ini bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah sudah dilakukan secara per sektor, misalnya kesehatan dan pendidikan. Ke depan upaya pemberian bantuan sosial yang dilakukan secara per sektor tetap dilanjutkan karena hal itu terkait dengan administrasi kebijakan publik yang ada. Hanya yang perlu ditingkatkan adalah koordinasi antar sektor agar berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh masing-masing sektor tidak terjadi tumpang tindih dan dapat lebih tepat sasaran.
            Salah satu masalah penting yang perlu diperhatikan dalam pemberian bantuan sosial adalah bagaimana agar bantuan sosial tersebut dapat lebih tepat sasaran, diterima oleh yang benar-benar membutuhkannya. Harus ada upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis dalam mengenali sasaran dari berbagai program bantuan sosial, sehingga dana bantuan sosial yang terbatas benar-benar dapat sampai pada penduduk yang benar-benar membutuhkannya. Banyak program yang perlu dilakukan berkaitan dengan penajaman dan pengenalan sasaran. Salah satu di antaranya adalah dengan mengembangkan test kebutuhan (mean test) sebagai salah satu instrumen untuk meyakinkan bahwa dana bantuan sosial yang akan diberikan benar-benar sesuai dan tepat sasaran.
            Berbagai program bantuan sosial yang diberikan pemerintah pada akhirnya bermuara pada upaya untuk mendorong penduduk agar terlepas dari kemiskinan sehingga dengan demikian mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Makin banyak penduduk yang miskin akan makin banyak pula dana yang diperlukan untuk program bantuan sosial. Oleh karena itu salah satu strategi dalam pemberian bantuan sosial adalah bagaimana mempercepat upaya pengentasan kemiskinan.

Pendanaan Program Jaminan dan Bantuan Sosial
Pendanaan dalam pengelolaan jaminan sosial berbeda dengan pendanaan dalam pengelolaan bantuan sosial. Dana pengelolaan jaminan sosial (asuransi sosial dan tabungan hari tua) berasal dari peserta (pemberi kerja dan pekerja), sedang dana bantuan sosial merupakan subsidi yang sepenuhnya berasal dari pemerintah. Kalaupun pemerintah mengeluarkan dana untuk jaminan sosial adalah dalam kaitan pemerintah sebagai pemberi kerja yang harus mengeluarkan dana jaminan sosial bagi para pekerjanya (sipil ataupun militer).
            Ada beberapa sistem berkaitan dengan pendanaan jaminan sosial. Secara umum dari segi pembiayaannya, jaminan sosial dapat dibedakan atas: (a) Pay-as-you-go sistem yaitu suatu jaminan yang dibayarkan dari iuran pada tahun yang sama atau funded sistem (dibentuk dana cadangan sebelum pembayaran jaminan) yang digunakan untuk pembiayaan hari tua; (b)  Fee-for-service sistem yaitu suatu imbalan yang dibayarkan pada setiap jasa yang diberikan atau prepayment sistem yaitu suatu imbalan yang dibayarkan di muka sesuai tarif/iuran yang ditentukan khususnya untuk pembiayaan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Pembiayaan pay-as-you-go umumnya digunakan dengan metode defined-benefit, sedangkan funded sistem digunakan dalam metode define contributions. Dan pembayaran fee-for-service umumnya digunakan dalam metode indemnity insurance, sedangkan prepayment sistem digunakan dalam managed care.
Berbagai sistem pembiayaan sebagaimana diuraikan diatas digunakan oleh masing-masing pengelola jaminan sosial sesuai kebutuhannya. Dalam kaitan ini perlu ada kajian yang komprehensif tentang sistem pembiayaan (pendanaan) mana yang lebih sesuai untuk masing-masing badan pengelola sehingga masing-masing badan pengelola dapat lebih meningkatkan kinerjanya. Termasuk pula kemungkinan melakukan penarikan iuran jaminan sosial melalui pajak (sosial security tax).
Pendanaan bantuan sosial, sebagaimana disebutkan diatas bahwa dana untuk bantuan sosial berasal dari subsidi pemerintah baik pusat maupun daerah. Dengan demikian dana bantuan sosial tersebut sebagian besar berasal dari APBN ataupun APBD. Sayangnya kondisi APBN saat ini belum begitu mendukung. Menurut BAPPENAS untuk APBN 2007 diperkirakan masih mengalami defisit sebesar Rp 24,4 trilyun. Dengan kondisi seperti itu maka pengeluaran pemerintah masih lebih banyak untuk pengeluaran rutin, dimana pengeluaran rutin rutin pemerintah lebh ditujukan untuk (a) menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara dan meningkatkan kualitas pelayaan publik; (b) memenuhi kewajiban membayar bunga hutang; (c) melaksanakan program subsidi dalam rangka mengurangi beban masyarakat miskin dan membantu kelompok usaha kecil menengah; (d) menyediakan dana cadangan umum untuk mengantisipasi tidak tercapainya sasaran ekonomi makro, ketidaksesuaian pelaksanaan kebijakan yang direncanakan dengan pelaksanaannya, dan; (f) menghadapi keadaan darurat seperti bencana alam.
Defisit anggaran diperkirakan akan terus berlanjut dan mengalami masa sulit terutama pada tahun 2006-2008 dikarenakan beberapa hal seperti (a) pembayaran hutang luar negeri dan dalam negeri yang sudah mulai jatuh tempo; (b) semakin terbatasnya pembiayaan yang berasal dari dalam negeri; (c) sulitnya upaya peningkatan penerimaan negara (pajak) sebagai akibat dari belum pulihnya kondisi perekonomian nasional.
Dengan kondisi APBN yang masih defisit seperti itu maka bisa diduga bahwa kemampuan negara dalam membiayai bantuan sosial masih terbatas. Dan untuk itu perlu ada penajaman tentang kegiatan bantuan sosial mana yang perlu mendapat prioritas lebih tinggi. Upaya penanggulangan kemiskinan tampaknya menjadi salah satu fokus program bantuan sosial yang perlu mendapat prioritas tinggi. Dengan dapat mengatasi kemiskinan maka berarti penduduk yang menjadi sasaran bantuan sosial makin berkurang, dan kemudian diharapkan dapat mengikuti berbagai bentuk jaminan sosial.

IV.       KESIMPULAN

Berdasarkan telaahan tersebut diatas, perlu dibuat skala prioritas tentang program mana yang akan dilakukan terlebih dahulu. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat memperlihatkan masih banyak yang memerlukan bantuan sosial maka dalam satu sampai tiga tahun kedepan pelaksanaan kebijakan dan program masih memprioritaskan bantuan sosial. Oleh karena itu, diupayakan untuk lebih mengefektifkan berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mempercepat pengentasan kemiskinan.
            Selanjutnya, apabila kondisi ekonomi masyarakat semakin baik, maka kebijakan dan program lebih diarahkan pada peningkatan jangkauan kepesertaan dan kinerja jaminan sosial.  


DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank. Social Protection Strategy. ADB, Manila. 2001
Armando Barrientos and Andrew Shepherd. Chronic Poverty and Social Protection. University of Manchester, Inggris. 2003
BAPPENAS, Peta Kemiskinan di Indonesia, BAPPENAS, Mei 2003
BPS, Data dan Informasi Kemiskinan 2002 Buku 1: Propinsi, BPS, Jakarta, Desember 2002
BPS, Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002, BPS, Jakarta, Februari 2003
BPS, Laporan Perekonomian Indonesia 2002, BPS, Jakarta, Desember 2002
Bambang Purwoko (2002). Social Protection in Indonesia. Social protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam]. Friedrich-Ebert-Stiftung,  Bonn, 2002
Canagarajah, Sudharshan & S.V. Sethuraman. “Social Protection and the Informal Sector in Developing Countries: Challenges and Opportunities”, Social Protection Discussion Paper Series, The World Bank, December 2001
Deutsche Stiftung fur internationale Entwicklung-DSE. Discussion Report – Beyond Safety Nets: The Challenge of Social Protection in a Globalizing World.
Deutsche Stiftung fur internationale Entwicklung-DSE. Social Protection as a Factor of National Cohesion: The Practice and Experience of China. Ma Fengzhi, Peking University, China.
Deutsche Stiftung fur internationale Entwicklung-DSE. Moving Social Protection Beyond a “Safety Net” Approach in Latin America and the Caribbean. Ana Sojo, Economic Commission for Latin America and Caribbean-ECLAC United Nations. Chile.
Deutsche Stiftung fur internationale Entwicklung-DSE. Linking Informal and Formal Social Security Systems. Hans Gsager. German Development Institute.
Deutsche Stiftung fur internationale Entwicklung-DSE. Social Protection System for Older People in Bangladesh. Zarina Nahar Kabir, Stockholm Gerontology Research Center, Sweden.
Eduardo T. Gonzalez and Rosario Gregorio Manasan. Social Protection in Philippines. Social protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam]. Friedrich-Ebert-Stiftung, Bonn, 2002.
Holzmann, Robert & Steen Jorgensen, “Social Protection  as Social Risk Management: Concptual Underpinnings for the Social Protection Sector Strategy Paper”, Social Protection Discussion Paper Series, The World Bank, January 1999
International Labor Organization. Social Security and Coverage for All. ILO. 2002
International Social Security Association (ISSA), The Social Security Reform Debate. In Search of a New Consensus. A Summary, ISSA, 1998
Jorgensen, Steen Lau & Julie Van Domelen, “Helping the Poor Manage Risk Better: The Role of Social Funds”, Social Protection Discussion Paper Series, The World Bank, 1999
Kantor Menteri Kependudukan & UNFPA, Rencana Aksi Nasional Dukungan Keluarga dan Masyarakat terhadap kehidupan Lansia, Jakarta, 1999
Michael von Hauff. The Relevance of Social Security for Economic Development. 2002
Mundiharno, Determinan Sosial Ekonomi Intergenerational Transfer: Analisis Data IFLS I, thesis, Universitas Indonesia, 1999
Perwira, Daniel et al., “Perlindungan Tenaga Kerja Melalaui Sistem Jaminan Sosial: Pengalaman Indonesia”, kertas kerja, SMERU, Juni 2003
Purwoko, Bambang, “FACS Program: Australian System”, paper disampaikan dalam FGD 13 Januari 2004
Ragayah Haji Mat Zin, Hwok Aun Lee, and Saaidah Abdul-Rahman. Social Protection in Malaysia. Social protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam]. Friedrich-Ebert-Stiftung, Bonn, 2002.
Standing, Guy, “Unemployment and Income Security”, paper, International Labour Organization, June 2000

No comments: