Thursday, 27 September 2012

Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia (Kebijakan, Strategi, dan Operasi)




 Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia
(Kebijakan, Strategi, dan Operasi)



Abstrak
Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksana  terkait. Untuk mendukung pengembangan sistem penanggulangan bencana yang mencakup kebijakan, strategi, dan operasi secara nasional mencakup pemerintah pusat dan daerah maka dipandang perlu dimulai dengan mengetahui sejauh mana penerapan peraturan yang terkait dengan penanggulangan bencana di daerah.
Telaahan ini betujuan untuk melakukan review terhadap sistem penanggulangan bencana di Indonesia dengan menhasilkan rekomendasi  kebijakan strategi dalam kegiatan penanggulangan bencana. Metodologi yang dilakukan dalam telaahan ini adalah studi literatur, dan survey lapangan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa sistem penanggulangan bencana yang saat ini dikembangkan baik di tingkat nasional maupun daerah sedang berada pada tahap transisi antara sistem yang selama ini berjalan dengan sistem baru seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007. UU ini menjadi “milestone” perubahan pendekatan penanggulangan bencana.

1.      Latar Belakang
Rangkaian bencana yang dialami Indonesia, khususnya pada tahun 2004 dan 2005, telah mengembangkan kesadaran mengenai kerawanan dan kerentanan masyarakat. Sikap reaktif dan pola penanggulangan bencana yang dilakukan dirasakan tidak lagi memadai. Dirasakan kebutuhan untuk mengembangkan sikap baru yang lebih proaktif, menyeluruh, dan mendasar dalam menyikapi bencana.
Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksana  terkait, yaitu Peraturan Presiden No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana. Dimensi baru dari rangkaian peraturan terkait dengan bencana tersebut adalah:
(1)    Penanggulangan bencana sebagai sebuah upaya menyeluruh dan proaktif dimulai dari pengurangan risiko bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi dan rekonstruksi.
(2)    Penanggulangan bencana sebagai upaya yang dilakukan bersama oleh para pemangku kepentingan dengan peran dan fungsi yang saling melengkapi.
(3)    Penanggulangan bencana sebagai bagian dari proses pembangunan sehingga mewujudkan ketahanan (resilience) terhadap bencana.

Berbagai kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti dengan pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan masih akan dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksanaan. Sementara proses pengembangan kebijakan sedang berlangsung, proses lain yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa provinsi dan kabupaten/kota mulai mengembangkan kebijakan, strategi, dan operasi penanggulangan bencana sesuai dengan arah pengembangan kebijakan di tingkat nasional.
Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai dengan adanya kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai dengan peraturan yang ada. Strategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi bencana perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. Operasi penanggulangan bencana perlu dipastikan efektif, efisien dan berkelanjutan.
Untuk mendukung pengembangan sistem penanggulangan bencana yang mencakup kebijakan, strategi, dan operasi secara nasional mencakup pemerintah pusat dan daerah maka dipandang perlu dimulai dengan mengetahui sejauh mana penerapan peraturan yang terkait dengan penanggulangan bencana di daerah. Atas dasar inilah kegiatan kajian dilaksanakan.

2.      Tujuan
Tujuan dilakukannya Telahaan ini adalah:
a.         Melakukan review terhadap sistem nasional penanggulangan bencana.
b.         Melakukan review kerentanan dan dampak bencana di daerah.
c.          Menelaah efektivitas kegiatan penanggulangan bencana tingkat nasional dan daerah.
d.         Memberikan masukan/rekomendasi kebijakan strategi dan kegiatan penanggulangan bencana.  

Adapun keluaran telahaan adalah sebagai berikut:
a.  Tersusunnya dokumen kajian kebijakan untuk penanggulangan bencana.
b.  Tersusunnya rekomendasi kebijakan untuk peningkatan sistem penanggulangan bencana.

Dalam pelaksanaan Telahaan, maka ruang lingkup kegiatan dan hasil pelaksanaan pekerjaan terbatas pada :
a.       Mengkaji berbagai metodologi yang digunakan berbagai pihak dalam penanggulangan bencana.
b.       Melakukan survei terhadap efektifitas pelaksanaan masing-masing sistem.
c.        Menyusun rekomendasi terkait dengan sistem penanggulangan bencana.
d.       Menyusun laporan pelaksanaan kajian.
e.       Menyampaikan hasil kajian melalui seminar/workshop ke berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) terkait.





3.      Metodologi
3.1  Kerangka Analisis
-   Perumusan Instrumen Survey (Kuisioner, Wawancara, dan Pengumpulan Data Sekunder).
-   Penentuan Sampel Telahaan (Indikator Pemilihan Sampel dan Pemilihan Sampel)
-   Penyusunan Jadwal Survey.
Identifikasi Kebijakan, strategi dan operasional 
-   Kementerian
-   Lembaga
-   Pemerintah Daerah
Identifikasi efektifitas Implementasi  kebijakan penanggulangan bencana pada:
·    Kementerian
·    Lembaga
·    Pemerintah daerah 
·    Masyarakat
·    Perusahaan
-   Pemetaan sistem, strategi dan operasional penanggulangan bencana  tingkat nasional dan daerah
-   Efektifitas Mekanisme
-   Identifikasi Faktor-faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan penanggulangan bencnana..

Perumusan Kesimpulan dan rekomendasi
Seminar
Tahap awal (desk study)
Tahap Survei Lapangan 
Tahap Analisa  Studi Empiris
Tahap Sintesa dan Perumusan
Laporan Awal

Telahaan Teoritis dan Kebijakan
-   Konsep penanggulangan bencana .
-   Telahaan kebijakan dan aturan Pemerintah tentang penanggulangan bencana.
-   Perda tentang penanggulangan bencana.
Laporan Antara
Laporan Akhir
“Policy Paper” (Laporan Kebijakan)

Sistem , strategi dan operasional Penanggulangan Bencana  tingkat Nasional 
Sistem , strategi dan operasional Penanggulangan Bencana Daerah  (Provinsi/Kab)
Tahapan pelaksanaan kajian ini tergambar pada bagan  berikut:


3.2  Metode Pelaksanaan Kajian
Berdasarkan tujuan telahaan dan dengan mempertimbangkan keterbatasan data dan sumber data yang ada, maka metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan telahaan yang mencoba menangkap berbagai kebijakan (dari strategi hingga operasional) penanggulangan bencana lalu menganalisa dan memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan, baik kebijakan nasional maupun kebijakan tingkat daerah.


3.3  Data
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah dokumen-dokumen perencanaan baik nasional maupun daerah, data-data bencana, serta dokumen-dokumen terkait lainnya dengan teknik utama pengumpulan data adalah sebagai berikut :
1.        Pengumpulan dokumen
Dokumen yang dikumplkan akan digunakan selain sebagai dasar dan alat penyusun bahan wawancara dan juga sekaligus pendukung hasil wawancara yang dilakukan terhadap target kelompok atau orang tertentu
2.        Wawancara mendalam (in-depth interview)
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang topik telahaan
3.        Diskusi terbatas
Diskusi terbatas dilakukan untuk memperoleh informasi dan membahas secara bersama-sama berbagai masukan terkait dengan topik telahaan  dalam kelompok kecil dan terbatas.

4.      Hasil Kajian dan Analisis
4.1  Penanggulangan Bencana Nasional
BAKORNAS PB telah mengumpulkan dan mempublikasikan data bencana domestik baik bencana alam maupun bukan alam. Berdasarkan publikasi pertama dengan judul "Data Bencana Indonesia Tahun 2002-2005 (Data Bencana Indonesia, tahun 2002-2005)", terdapat lebih dari  2.000 bencana di Indonesia pada tahun antara tahun 2002 dan 2005, dengan 743 banjir (35% dari jumlah total), 615 kekeringan (28% dari jumlah total), 222 longsor (l0% dari jumlah total), dan 217 kebakaran (9,9% dari jumlah total). Jumlah korban yang sangat besar dalam tahun-tahun tersebut yakni sejumlah 165,.945 korban jiwa (97 % dari jumlah total) dari gempa bumi dan tsunami, diikuti jumlah 2.223 (29 % dari jumlah total) disebabkan konflik sosiaI. Di sisi lain, banjir membuat sebagian orang kehilangan rumah mereka, yang menyebabkan jumlah korban yang mengungsi sebanyak 2.665.697 jiwa (65% dari jumlah total). Buku ini menghitung kejadian sebagai bencana ketika berdampak pada kematian dan kerugian material.

Kecenderungan bencana dalam jangka panjang di Indonesia diperiksa menggunakan EM-DAT Basis Data Bencana Internasional (The International Emergency Disasters Database). Basis data berisikan data bencana besar di dunia, yang diklasifikasikan menjadi berbagai jenis bencana alam seperti gempa bumi, banjir, longsor (longsor), badai, ombak/gelombang (tsunami) dan gunung berapi, serta bencana epidemik. 

Sepanjang tahun 2004-2007, Indonesia dilanda paling sedikit tujuh bencana besar yang menimbulkan kerugian yang sangat besar, seperti terlihat dalam table berikut:


Daftar Kejadian Bencana Besar Sepanjang 2004 -2007

No
Nama Bencana
Kerugian Ekonomi (US$ milvar)
Langsung
Tidak Langsung
Total
1
Tsunami Aceh & Nias 26 Desember 2004
2.92
1.53
4.45
2
Flu Burung' (2004 -2005)
0.6
-
0.6
3
Letusan Merapi-April 20069
-
-
20,000 orang mengungsi
4
Gempa Yogyakarta -27 Mei 2006
2.5
0.7
3.1
5
Lumpur Panas Sidoarjo lawa Timur -29 Mei 2006
1.2
1.8
3
6
Tsunami di selatan lawa 17 Juli 2006
0.031
0.063
0.094
7
Banjir Jabodetabek hingga Februari 2007
0.7
-
0.7
TOTAL (US$ milyar)


12
·         3.1 persen dari PDB Indonesia (2007)
·         15.8 persen dari total APBN 2007
(110.4 triliun rupiah)






















4.2   EVALUASI SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA TINGKAT NASIONAL
Sistem penanggulangan bencana di Indonesia didasarkan pada kelembagaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada waktu yang lalu, penanggulangan bencana dilaksanakan oleh satuan kerja-satuan kerja yang terkait. Dalam kondisi tertentu, seperti bencana dalam skala besar pada umumnya pimpinan pemerintah pusat/daerah mengambil inisiatif dan kepemimpinan untuk mengkoordinasikan berbagai satuan kerja yang terkait.

Dengan dikeluarkannya UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka terjadi berbagai perubahan yang cukup signifikan terhadap upaya penganggulangan bencana di Indonesia, baik dari tingkat nasional hingga daerah yang secara umum, peraturan ini telah mampu memberi keamanan bagi masyarakat dan wilayah Indonesia dengan cara penanggulangan bencana dalam hal karakeristik, frekuensi dan pemahaman terhadap kerawanan dan risiko bencana.

Sejak tahun 2001, Pemerintah Indonesia telah memiliki kelembagaan penanggulangan bencana seperti tertuang dalam  Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001. Rangkaian bencana yang dialami Indonesia khususnya sejak tsunami Aceh tahun 2004 telah mendorong pemerintah memperbaiki peraturan yang ada melalui PP No. 83 tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB). Rangkaian bencana yang terus terjadi mendorong berbagai pihak termasuk DPR untuk lebih jauh mengembangkan kelembagaan penanggulangan bencana dengan mengeluarkan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalam UU tersebut, diamanatkan untuk dibentuk badan baru, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menggantikan Satkorlak dan Satlak di daerah.

Sistem pendanaan penanggulangan bencana dalam mekanisme Bakornas PB dilaksanakan melalui anggaran masing-masing departemen/satuan kerja pemerintah. Apabila dalam pelaksanaan terdapat kekurangan, maka pemerintah melalui ketua Bakornas PB dapat melakukan alih anggaran dan mobilisasi dana. Pada mekanisme tersebut, peranan masyarakat dan lembaga donor tidak terintegrasi dengan memadai. Dengan adanya perubahan sistem khususnya melalui BNPB dan BPBD maka alokasi dana untuk penanggulangan bencana, baik itu di tahap mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksi tetap memiliki alokasi yang cukup melalui BNPB maupun BPBD. Sementara aturan tentang dana cadangan juga sudah diatur oleh UU, namun belum memiliki aturan main yang jelas. Pemerintah perlu merumuskan aturan main ini dengan segera untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan dan juga menyusun mekanisme pencairan terutama untuk dana cadangan tingkat daerah.

Namun demikian besar alokasi anggaran untuk bencana masih akan menjadi tanda tanya di kemudian hari mengingat alokasi ini diserahkan kepada kemampuan keuangan daerah, sehingga besar kemungkinan daerah rawan bencana, namun kemampuan keuangan lemah tetap akan mengalokasikan dana untuk penanggulangan bencana seadanya, sehingga akan menimbulkan potensi bencana yang lebih besar lagi. Untuk itu pemerintah perlu mengambil kebijakan tertentu untuk wilayah dengan PAD yang kecil namun memiliki potensi bencana yang cukup besar.













Secara lebih rinci perubahan yang terjadi dalam sistem penanggulangan bencana di Indonesia setelah keluarnya UU No. 24 tahun 2007 tertera dalam tabel berikut ini:



SISTEM LAMA
SISTEM BARU
Dasar Hukum
Bersifat sektoral
Berlaku umum dan mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non pemerintah 
Paradigma
Tanggap darurat
Mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi
Lembaga
Bakornas PB, Satkorlak dan Satlak
BNPB, BPBD PROPINSI, BPBD Kab/Kota
Peran Masyarakat
Terbatas 
Melibatkan masyarakat secara aktif
Pembagian Tanggung Jawab
Sebagian besar pemerintah pusat
Tanggung jawab pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten
Perencanaan Pembangunan
Belum menjadi bagian aspek perencanaan pembangunan
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN PRB)
      Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)
      Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko Bencana (RAD PRB)
Pendekatan Mitigasi
Kerentanan
Analilsa resiko (menggabungkan antara kerentanan dan kapasitas)
Forum kerjasama antar pemangku kepentingan
Belum ada
National Platform (akan)
Provincial Platform (akan)
Alokasi Anggaran
Tanggung jawab pemerintah pusat
Tergantung pada tingkatan bencana
Pedoman Penanggulangan Bencana
Terpecah dan bersifat sektoral
Mengacu pada pedoman yang dibuat oleh BNPB dan BPBD
Keterkaitan Dengan Tata Ruang
Belum menjadi aspek
Aspek bencana harus diperhitungkan dalam penyusunan tata ruang





































4.3  IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL
Dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap implementasi sistem penanggulangan bencana pada tingkat nasional masih banyak ditemukan berbagai isu dan permasalahan yang cukup penting dan membutuhkan penanganan segera seperti tertera dalam uraian berikut ini:
4.3.1        KEBIJAKAN
4.3.1.1  Definisi dan Status Bencana
Dalam UU No. 24 Tahun 2007 belum terdapat aturan yang jelas tentang penetapan ukuran kejadian yang dapat dikategorikan bencana, pada kejadian dan kerugian seperti apa suatu kejadian dikatakan sebagai bencana. Disamping itu juga belum terdapat aturan yang jelas tentang penetapan status (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) bencana serta  siapakah yang berwenang dan dapat melakukan penetapan status bencana. Ini akan berdampak pada sistem penganggaran serta pendanaan kegiatan penanggulangan bencana serta sumber dari dana penanggulangan, apakah yang berasal dari APBD Kabupaten/kota, provinsi atau APBN.
4.3.1.2  Kelengkapan Perangkat Aturan Pelaksana
Masih banyak aturan pelaksana penjabaran dari UU No. 24/2007 yang belum dibuat, sehingga menghambat implementasi berbagai sistem Penanggulangan Bencana yang diatur dalam Undang-undang. Disamping itu, masih terdapat berbagai aturan yang saling tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada, misalnya dengan aturan tata ruang, aturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, peraturan yang terkait dengan keuangan dan lain-lain. Masalah lainnya yang juga cukup penting dalam upaya mengarusutamakan penanggulangan bencana ke dalam sistem perencanaan pembangunan adalah belum adanya integrasi kebijakan penanggulangan bencana dengan kebijakan lainnya, seperti kebijakan untuk masalah kemiskinan, otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam.
4.3.1.3  Kelembagaan
Disamping isu tersebut di atas masih terdapat beberapa isu kelembagaan yang harus segera diselesaikan dan cenderung menghambat proses implementasi sistem penanggulangan bencana, karena beberapa pertimbangan berikut:
*              Dengan status lembaga setingkat menteri (BNPB), banyak instansi K/L yang meragukan pelaksanaan tata komando ketika terjadi bencana dapat terlaksana secara efektif di lapangan.
*              Proses seleksi anggota Unsur Pengarah diperkirakan akan akan memakan waktu lama, belum lagi masalah kualitas SDM yang terbatas, sistem penggajian yang belum jelas, dan kewenangan dalam mengintervensi kebijakan Unsur Pelaksana serta peran unsur pengarah dengan lembaga teknis lainnya yang berada di luar BNPB. 
*              Fungsi “Pelaksana” dari BNPB punya kecendrungan untuk berbenturan dengan fungsi departemen-departemen teknis lainnya yang terkait dengan penanggulangan bencana.
*              Fungsi koordinasi antara BNPB dan BPBD akan cendrung sulit dilaksanakan secara efektif, karena BPBD sebagai perangkat daerah akan tunduk kepada Kepala Daerah dan Anggaran Daerahnya masing-masing.

4.3.2        STRATEGI DAN OPERASI
Beragam masalah yang ditemukan pada sektor strategi dan operasi penanggulangan bencana untuk tingkat nasional adalah sebagai berikut :
*              Lemahnya legalitas Implementasi  RAN-PRB agar dilaksanakan secara konsisten oleh Departemen Teknis  erkait.
*              Belum ada mekanisme untuk  mengintegrasikan  RAN-PRB ke dalam dokumen RPJMN, sehingga belum  dijadikan acuan dalam menyusun program dan kegiatan terkait dengan  kebencanaan.
*              Belum ada relasi (mandat) yang jelas  antara RAN-PRB dengan RAD-PRB.
*              Masih banyak pedoman teknis (termasuk Protap-Protap) tersebar di berbagai departemen (sektor) yang belum memiliki kesamaan standarisasi.

4.4  EVALUASI SISTEM DAN IMPLEMENTASI PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH
Apa yang terjadi pada tingkat nasional tentu saja akan mempengaruhi proses implementasi kebijakan tingkat daerah. Dari hasil evaluasi yang dilakukan maka terdapat berbagai temuan sebagai berikut:
4.4.1        TEMUAN HASIL SURVEY DI DAERAH
Dari tujuh provinsi yang telah dikunjungi, kebijakan yang dikembangkan oleh ketujuh propinsi tersebut memiliki karakteristik yang unik seperti dapat dipaparkan dalam matrik berikut:
4.4.1.1  Kebijakan dan Peraturan
Temuan di lapang memperlihatkan bahwa secara umum di daerah terdapat dua kondisi dalam penyusunan kebijakan penanggulangan bencana (Rencana Penanggulangan Bencana/RPB dan Rencana Aksi Daerah/RAD), yaitu:
1.      Daerah yang belum memiliki kebijakan PB.
2.      Daerah yang sudah memiliki kebijakan. Daerah ini dapat dikelompokkan lagi menjadi daerah yang kebijakannya sesuai dengan UU No. 24/2007 dan daerah yang kebijakan disusun sendiri sesuai dengan kebutuhan lokal.
Daerah yang belum memiliki kebijakan PB pada umumnya mengemukakan beberapa penjelasan seperti berikut:
·         Belum ada sosialisasi yang menyeluruh pada SKPD yang terkait.
·         Ketidakjelasan siapa yang harus memulai.
·         Masih adanya tumpang tindih dengan peraturan-peraturan lain yang terkait.
·         Ketidakjelasan aspek keuangan yang akan muncul bila kebijakan dikeluarkan.
·         Urgensi dan prioritas daerah yang berbeda sehingga kebijakan PB yang khusus dirasakan belum mendesak.
·         Kesulitan komunikasi dengan lembaga pengambil kebijakan (DPRD) untuk mengalokasikan dana guna membiayai program pengembangan kebijakan PB.

Daerah-daerah yang sudah memiliki kebijakan PB pada umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu:
·         Terjadinya bencana alam yang besar.
·         Inisiasi aktif dari pelaku lembaga non pemerintah, yaitu lembaga internasional (UNDP, JICA, GTZ) maupun lembaga nasional (akademisi, LSM, PMI, perusahaan).

Gelombang kesadaran perlunya kebijakan PB mengemuka terutama setelah terjadinya bencana tsunami di Aceh tahun 2004 diikuti berbagai bencana lain. Proses perumusan kebijakan PB pada daerah-daerah bencana pada umumnya merupakan bagian dari proses penanganan bencana yang terjadi. Hal ini menyebabkan berbagai kebijakan PB di daerah disusun sebelum UU No. 24/2007 dikeluarkan. Sebagai akibatnya berbagai kebijakan PB di daerah memiliki format dan isi yang berbeda dengan yang dimaksudkan dalam UU No. 24/2007.

4.4.1.2  Strategi dan Operasi
Strategi dan operasi Penanggulangan Bencana (PB) yang pada saat ini dilaksanakan di daerah pada umumnya masih menggunakan mekanisme yang saat ini ada, yaitu Satkorlak dan Satlak. Mekanisme ini masih dipakai, karena beberapa alasan:
·           Jenis dan tingkat bencana masih dapat ditangani oleh mekanisme yang ada.
·           Mekanisme yang ada masih dapat dioptimalkan dengan beberapa penyesuaian seperti alokasi dana yang memadai.
·           Belum adanya informasi mengenai arah PB ke depan.
·           Belum adanya kelembagaan dan mekanisme baru yang jelas.

Upaya pengembangan strategi dan operasi PB di daerah dilakukan dengan melakukan  optimalisasi mekanisme dan fungsi yang ada. Beberapa daerah berpandangan lebih efektif untuk mengoptimalkan mekanisme yang ada dan mendorong SKPD menjalankan tupoksinya secara optimal. Agar hal ini dapat berjalan, pada umumnya menuntut beberapa hal seperti keterlibatan kepala daerah yang tinggi, penunjukan pimpinan satkorlak/satlak serta dinas yang tepat, alokasi anggaran yang memadai. 

4.5  ISU DAN MASALAH SISTEM PB DI TINGKAT PEMERINTAH DAERAH
Di satu sisi kebijakan sistem penanggulangan bencana di daerah telah mampu menghasilkan berbagai dampak positif seperti berikut ini:
·           Terbentuknya sistem dan tangggung jawab baru bagi daerah dalam urusan Penanggulangan Bencana dengan mulai disusunnya sejumlah rencana dan peraturan terkait dengan penanggulangan bencana tingkat daerah.
·           Pemerintah Daerah mulai “melek” tentang Pengurangan Risiko Bencana (PRB), terutama dari sisi mitigasi.
·           Pemerintah Daerah mulai memfokuskan diri untuk membentuk lembaga baru yang memiliki tanggung jawab khusus di bidang kebencanaan.
·           Ada Daerah-Daerah yang sangat maju dalam urusan penanggulangan bencana, adapula Daerah-Daerah yang belum menyadari pentingnya sistem penanggulangan daerah bagi wilayahnya.

Namun di sisi lain masih terdapat berbagai permasalahan yang membutuhkan pemecahan seperti berikut ini:

4.5.1        Kebijakan dan Peraturan
·           Ketiadaan definisi yang jelas tentang penetapan ukuran kejadian yang dapat dikategorikan bencana, akan mempengaruhi arah kebijakan Pemerintah Daerah dalam urusan Penanggulangan Bencana, termasuk penganggaran.
·           Belum ada aturan yang jelas  tentang penetapan  status bencana (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) juga mempengaruhi  Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber pendanaan penanggulangan bencana terutama yang berasal dari APBD dan DAK.
·           Belum ada aturan yang jelas tentang kewenangan siapakah yang dapat melakukan penetapan status bencana.  

4.5.2        Kelengkapan Aturan Pelaksana
·           Karena masih banyak aturan pelaksana yang    bersifat teknis dan operasional  yang belum dibuat  di tingkat pusat (nasional), sehingga menimbulkan kebingungan Pemerintah Daerah dalam mengimplementasikan berbagai aturan pelaksana penanggulangan bencana.
·           Masih banyak aturan yang saling tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada, terutama aturan  setingkat perda.
·           Belum adanya integrasi kebijakan penanggulangan bencana dengan kebijakan lainnya, khususnya sesuai dengan karateristik daerahnya masing- masing,  seperti masalah kemiskinan, kebakaran  Hutan, dan pengelolaan sumber daya alam.
·           Kurangnya sosialisasi tentang kebijakan Penanggulangan Bencana.


4.6  PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN DI DAERAH
Dalam UU No. 24 tahun 2007 dinyatakan bahwa untuk daerah akan dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk menggantikan fungsi Satkorlak dan Satlak. Hal ini menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan seperti yang dijelaskan di bawah ini:

Matrik Perbandingan Kelembagaan Satkorlak-Satlak & BPBD
Aspek
Satkorlak-Satlak
BPBD
Status
Bukan merupakan SKPD
·         Satkorlak (provinsi)
·         Satlak (kabupaten/kota)
Merupakan SKPD
·         BPBD (provinsi)
·         BPBD (kabupaten/kota)
Wewenang pembentukan
Gubernur (provinsi)
Bupati/Walikota (kabupaten/kota)
Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD
Pimpinan di daerah
Gubernur (propinsi)
Bupati/Walikota (kabupaten/kota)
Kepala Badan

Dalam kaitan dengan pembentukan BPBD seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007, pemerintah daerah mengemukakan beberapa hal yang menjadi faktor penghambat, antara lain, yaitu:
·           Pada beberapa daerah, Pemerintah Daerah telah mengambil inisiatif untuk mengajukan usulan pembentukan BPBD namun dalam proses pengambilan putusan bersama dengan DPRD, usulan tersebut tidak menjadi prioritas.
·           Beberapa pengambil kebijakan di daerah tidak merasakan adanya kebutuhan pengembangan kelembagaan penanggulangan bencana baik, karena dianggap bencana besar belum terjadi maupun bila bencana besar sudah terjadi tidak akan terjadi lagi dalam jangka waktu dekat.   
·           Dengan status lembaga setingkat  dinas di daerah (BPBD), banyak dinas  yang meragukan pelaksanaan tata komando ketika terjadi bencana dapat terlaksana secara efektif di lapangan, apalagi jabatan “kepala BPBD” dirangkap oleh Sekda yang beban kerjanya sendiri sudah cukup banyak. 
·           Tidak semua daerah bersedia membentuk BPBD dimana “Sekdanya” merangkap jabatan (benturan eselonisasi).
·           Proses seleksi anggota Unsur Pengarah untuk BPBD provinsi dan kabupaten/kota juga memakan waktu lebih lama, karena kualitas SDM yang sangat terbatas, terutama di tingkat kabupaten, serta  sistem penggajian yang belum jelas, dan kewenangan dalam mengintervensi kebijakan Unsur Pelaksana (dan kaitan lembaga teknis lain) yang belum terdeskripsi.
·           Fungsi “Pelaksana” dari BPBD punya kecendrungan untuk berbenturan dengan fungsi dinas-dinas teknis lainnya yang terlait dengan bencana
·           Fungsi koordinasi antara BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota akan cendrung sulit dilaksanakan secara efektif, karena BPBD sebagai perangkat Daerah akan tunduk kepada Kepala Daerah dan Anggaran Daerahnya masing-masing

4.7  STRATEGI DAN OPERASI PB DI DAERAH
·         Masih banyak bias yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam menerjemahkan legalitas Implementasi  dokumen RPB maupun RAD-PRB .
·         Belum ada mekanisme untuk mengintegrasikan  RAD-PRB  ke dalam dokumen RPJMD, sehingga belum dijadikan acuan dalam menyusun program dan kegiatan terkait  dengan kebencanaan.
·         Belum ada panduan yang jelas untuk menyusun dokumen RPB maupun RAD-PRB sehingga  terdapat variasi  dalam pemahaman dan penyusunannya.
·         Masih banyak pedoman teknis (termasuk Protap-Protap) tersebar di berbagai departemen dan sektor yang belum memiliki kesamaan stadarisasi.
·         Jenis dan tingkat bencana masih ditangani oleh mekanisme yang lama (ketanggap daruratan saja).
·         Alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana masih memakai mekanisme lama, yaitu diambil dari “dana tak tersangka” yang birokrasinya tidak mudah dan makan waktu.
·         Keterlambatan bantuan dan timbulnya bias dalam jumlah korban dan kerugian masih mendominasi dalam persoalan tanggap darurat yang dilakukan Pemerintah Daerah.



5.      Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1  Kesimpulan
Secara umum dapat disimpulkan bahwa sistem penanggulangan bencana yang saat ini dikembangkan baik di tingkat nasional maupun daerah sedang berada pada tahap transisi antara sistem yang selama ini berjalan dengan sistem baru seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007. UU ini menjadi “milestone” perubahan pendekatan penanggulangan bencana. Tiga hal yang secara khusus dirombak oleh UU No. 24 tahun 2007 adalah:
1.             Legalitas payung hukum. Upaya penanggulangan bencana memiliki payung hukum yang memperkuat dan melindungi berbagai inisiatif yang terkait. Pada waktu sebelumnya penanggulangan bencana adalah sebuah inisiatif dan program, namun pada saat ini telah menjadi kewajiban legal.
2.             Perubahan paradigma/mindset. Penanggulangan bencana bukan lagi sebuah tindakan reaktif dan terpisah dari inisiatif pembangunan. Pembangunan bencana pada saat ini perlu dilihat sebagai sebuah pendekatan menyeluruh yang terintegrasi dalam proses pembangunan.
3.             Pengembangan kelembagaan. Lembaga dan sistem penanggulangan bencana melalui UU No. 24 tahun 2007 telah mendapatkan posisi yang lebih kuat sehingga diharapkan dapat berfungsi lebih efektif dalam melaksanakan berbagai tahap penanggulangan bencana. Paparan tata lembaga penanggulangan bencana seperti yang tercantum dalam undang-undang tersebut perlu dielaborasi lebih lanjut dengan memisahkan dua fungsi yaitu disaster council dan disaster agency. Disaster council lebih berperan dalam pengembangan legal and regulatory framework serta mengembangkan enabling environment bagi stakeholders untuk berpartisipasi, sementara disaster agency adalah lembaga pelaksana penanggulangan bencana yang memiliki otoritas penuh dan menjalankan fungsi komando. 
Sistem penanggulangan bencana seperti yang dimaksud UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang kemudian diikuti dengan keluarnya berbagai aturan pelaksana di satu sisi mampu meletakkan satu sistem penanggulangan bencana baik untuk skala nasional maupun daerah. Namun di sisi lain, banyak isu dan kendala yang ditemukan dalam proses pelaksanaan sistem penanggulangan bencana, terutama untuk Pemerintah Daerah. Dari hasil survei dan evaluasi yang dilakukan terhadap implementasi sistem penanggulangan bencana, terdapat sejumlah isu yang menonjol dan harus segera di atasi untuk menjamin berjalannya sistem penanggulangan bencana dengan baik.
5.1.1        Masalah Kelembagaan
Masalah yang paling menonjol dan banyak menimbulkan kebingungan di tingkat daerah dalam membangun sistem penanggulangan bencana di wilayah masing-masing adalah masalah  kelembagaan.
5.1.1.1  Bentuk, Tugas dan Fungsi Lembaga BPBD
       Hal-hal yang mendasari daerah untuk mengembangkan sistem Penanggulangan Bencana dapat disimpulkan sebagai berikut.
·         Ekspose daerah terhadap bencana. Daerah yang terekspos bencana (skala besar) akan cenderung lebih proaktif untuk mengembangkan sistem baru daripada daerah yang kurang tereskpos.
·         Keberadaan lembaga promotor. Keberadaan lembaga promotor secara nyata mendorong daerah untuk mengembangkan sistem baru.
·         Pengalaman penanggulangan bencana. Daerah yang memiliki pengalaman positif dalam menanggulangi bencana akan cenderung mengoptimalkan sistem yang ada. Sementara daerah yang tidak memiliki pengalaman positif akan cenderung merubah sistem yang telah ada.
Dengan memahami sebab-sebab daerah mengembangkan sistem PB, maka dapat disusun langkah-langkah untuk mendorong daerah mengembangkan sistem PB dalam bentuk insentif maupun disinsentif.

5.1.1.2  Unsur Pengarah
Di dalam UU No. 24 tahun 2007 dinyatakan bahwa BPBD terdiri dari dua unsur, yaitu unsur pengarah dan  unsur pelaksana. Unsur pengarah sendiri terdiri dari pemerintah terkait dan kalangan profesional. Kondisi merupakan sesuatu yang unik dalam sistem Pemerintah Daerah, karena tidak ada SKPD yang memiliki unsur pengarah, umumnya penyusunan kebijakan dan pertanggungjawaban kegiatan dilakukan langsung kepada Kepala Daerah melalui Sekda. Namun BPBD memiliki unsur pengarah yang difungsikan sebagai pengawas dan evaluator. Tugas ini tentu saja akan berbenturan dengan tugas Bappeda dan alur laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Daerah. 
Selain masalah wewenang dan tanggung jawab, unsur pengarah yang berasal dari kalangan profesional juga menimbulkan kesulitan tersendiri karena pembayaran gaji selama mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai bagian dari unsur pengarah tidak disertai dengan sistem pembayaran dan aturan kepegawaian yang jelas, sehingga sampai saat ini pemerintah daerah cenderung untuk menunggu pembentukan unsur pengarah ini.
Masalah lain yang juga ditemukan dalam proses implementasi unsur pengarah ini adalah proses perekrutan dengan melalui proses fit and proper test di DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Tentu saja ini menjadi polemik sendiri, karena meskipun unsur pengarah bukan SKPD, tetapi berada di bawah komando Kepala BPBD dan biasanya untuk tingkat daerah proses pemilihan personal yang terlibat di dalam sistem pemerintah umumnya menjadi wewenang kepala daerah, sehingga jika proses ini melibatkan DPRD, maka diperkirakan proses akan berjalan lambat,  berbiaya tinggi serta rentan terhadap unsur politik uang. 

5.1.1.3  Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM)
Meskipun bencana sudah sering terjadi di Indonesia, namun tidak banyak SDM yang memiliki kemampuan di bidang kebencanaan. Keterbatasan SDM ini tentu saja menimbulkan masalah tersendiri terutama jika dikaitkan dengan upaya pembentukan BPBD di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan Permendagri No. 48 tahun 2008 tentang SOTK (Satuan Organisasi Tata Kerja) BPBD yang menyatakan provinsi wajib membentuk BPBD sementara untuk tingkat kabupaten/kota juga wajib membentuk BPBD (klasifikasi A atau B), maka bisa dibayangkan berapa banyak SDM yang memiliki keahlian di bidang kebencanaan yang dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah. Jika seumpama seluruh provinsi membentuk BPBD, maka minimal SDM bidang kebencanaan yang dibutuhkan sebanyak 120 orang untuk level pelaksana harian dan kepala bidang. Belum lagi untuk level staf lainnya. Jika separuh Kabupaten/Kota membentuk BPBD, maka bisa dibayangkan berapa banyak kebutuhan akan tenaga SDM di bidang kebencanaan. Tampaknya tugas pemerintah untuk meningkatkan kapasitas di bidang kebencanaan masih sangat berat dan panjang.

5.1.1.4  Anggaran BPBD
Pembentukan sebuah SKPD tentu saja memiliki konsekuensi terhadap alokasi anggaran bagi SKPD yang baru dibentuk, demikian juga dengan BPBD. Diperkirakan anggaran yang harus dialokasikan kepada BPBD akan sangat besar, jika ditinjau dari sisi tugas pokok dan fungsi yang diembannya serta dari sisi jumlah SDM yang ada di dalamnya. Anggaran ini akan semakin besar mengingat adanya unsur pengarah dari kalangan profesional serta proses rekrutmennya yang melibatkan DPRD.


5.1.2        Masalah Defenisi dan Status Bencana
Masalah selanjutnya yang juga harus diselesaikan dengan segera adalah terkait dengan definisi teknis operasional bencana serta status bencana. Hingga sekarang belum ada kesepakatan yang jelas dan terukur tentang apa yang disebut dengan bencana. Di samping itu juga belum ada kategori tentang status bencana, apakah termasuk bencana lokal, provinsi atau nasional. Penetapan kategori status ini penting, karena akan terkait erat dengan sumber daya yang akan digunakan dalam mengatasi kejadian bencana, apakah hanya berasal dari APBD atau APBN atau dengan tambahan bantuan luar. Disamping itu, defenisi bencana yang operasional akan dapat digunakan oleh aparat pemerintah dalam menggunakan angggaran, termasuk dalam kategori dana cadangan. Jika ukuran bencana tidak jelas maka dikhawatirkan pemerintah akan mengeluarkan dana secara sewenang-wenang atau sebaliknya apabila bencana tidak dianggap sebagai bencana, maka anggaran tidak dikeluarkan sehingga dikhawatirkan jumlah korban akan meningkat.

5.1.3        Masalah Kerjasama Antar Daerah dalam Penanggulangan Bencana
Bencana alam yang terjadi di suatu daerah seringkali sumber ancamannya berasal dari gangguan ekosistem dimana sumber gangguannya dapat berasal dari daerah dengan wilayah administrasi yang berbeda. Hingga saat ini sistem perencanaan dan penganggaran yang ada, termasuk yang diatur di dalam UU No. 24/2007 juga belum menjelaskan dan mengatur kemungkinan dan mekanisme kerjasama dalam penanggulangan bencana antar daerah.

6.      Rekomendasi
Dalam melaksanakan ketiga prinsip penanggulangan bencana sesuai dengan UU No. 24 tahun 2007 (cepat dan tepat; prioritas; dan koordinasi dan keterpaduan), kelembagaan penanggulangan bencana harus dapat bertindak lintas sektor dan lintas wilayah serta memiliki rantai komando yang jelas dan efektif. Dalam kaitan kemampuan bertindak lintas sektor, pada saat ini beberapa departemen teknis di tingkat pusat dan beberapa SKPD di daerah telah menjalankan fungsi penanggulangan bencana. Fungsi koordinasi telah dijalankan oleh unsur pimpinan nasional dan pimpinan daerah. Keberadaan BNPB dam BPBD secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola kerja dan koordinasi yang telah berjalan. Karena itu, pendirian BNPB dan BPBD perlu dikelola secara bijaksana dan bertahap serta dilengkapi berbagai peraturan yang mendukung kemampuan bertindak lintas sektor.

Bencana yang terjadi, dampak dan penyebabnya pada umumnya lintas wilayah. Pada sisi lain BPBD dibentuk oleh pemerintah daerah bersama dengan DPRD dan dibiayai oleh anggaran daerah. Terkait dengan kebijakan ini, beberapa hal yang perlu dicermati:
·      Mekanisme kerja sama antar wilayah untuk menanggulangi bencana perlu dikembangkan. Dua inisiatif yang dapat dijadikan rujukan adalah pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) di NTT dan “forum Merapi di Jawa Tengah dan DIY.
·      Kondisi kerawanan bencana tidak berbanding lurus dengan potensi daerah sehingga pada beberapa daerah miskin justru tingkat kerawanan tinggi sementara pada daerah yang secara ekonomi lebih baik tingkat kerawanan lebih rendah. Pola penetapan anggaran untuk bencana dengan demikian perlu disesuaikan dengan tingkat kerawanan.

Rantai komando yang jelas dan efektif khususnya dalam fungsi pelaksanaan menuntut BNPB dan BPBD memiliki hubungan kelembagaan yang bersifat komando. Proses pembentukan dan anggaran BPBD oleh pemerintah daerah dan DPRD serta pengisian staf oleh pemerintah daerah berpotensi mengurangi tingkat efektivitas pelaksanaan rantai komando dalam penanggulangan bencana.





*Dari berbagai sumber

No comments: