Saturday, 20 April 2013

Mendikbud lebih baik mengundurkan diri : refleksi dan kritik

Kata mendikbud dalam pikiran saya adalah orang yang berkompeten dalam bidang pendidikan dan memiliki visi yang jelas tentang mau dibawa kemana sistem pendidikan kita. Tulisan ini akan memeriksa mengenai kengototan mendikbud untuk menyelenggarakan ujian nasional walaupun dengan sangat tertatih-tatih.

Poin pertama yang perlu dibahas adalah apakah ujian nasional perlu? Untuk menjawab ini maka saya akan menarik ke akar filosofis tentang makna sekolah itu sendiri. Sekolah adalah tempat bermain, belajar, sosialisasi, pengembangan bakat dan minat, serta wadah untuk mengasah kreatifitas. Celakanya di negeri kita yang tercinta ini definisi sekolah diartikan sangat sempit (sekali) yaitu tempat belajar untuk mendapatkan nilai bagus (biasanya matematika dan ipa) dan kemudian lulus untuk kemudian bisa diterima di sekolah lanjutan lagi yang diatasnya dan begitu seterusnya. Jadi sekolah untuk sekolah. Paradigma sekolah menjadi satu2nya jalan untuk berhasil dalam hidup. Tentu saja pandangan ini dilanggengkan oleh alat atau tool yang bernama ujian nasional atau un. Pengkultusan un inilah yang mengakibatkan siswa, guru dan sekolah berlomba2 menghalalkan segala cara untuk mengkatrol nilai un tersebut. Maka tak heran lagi pada saat mendekati un banyak siswa yang stress, tidak hanya siswanya tapi juga guru2nya terutama kepala sekolahnya untuk mendapatkan citra atau image sekolah unggulan. Kemudian banyak praktek primitif seperti pergi ke kyai atau dukun untuk minta didoain supaya lancar bahkan ada praktek rajah pensil dan pena segala?? Serta rame2 istighotsah sambil menangis histeris. Pemandangan ini bagi saya sungguh sangat tidak sehat dan memprihatinkan. Miris saya melihatnya. Para siswa karena tertekan akhirnya iuran untuk membeli soal entah itu soal asli atau tidak pun mereka tidak tahu. Guru2 bahkan kadang memberi bocoran soal kepada muridnya. Beberapa sekolah mengadakan les atau karantina?? Para kepala sekolah menekan para guru untuk meluluskan seluruh muridnya. Kepala sekolah ditekan oleh kepala dinas pendidikannya. Dan kepala dinasnya ditekan oleh bupatinya dan diancam dipindahkan atau dinonjobkan. Akhirnya, sekali lagi semua carapun dihalalkan. Kalau hal itu yang terjadi bukankah ini yang namanya sandiwara?? Dimanakah letak kejujuran?? Bukankah tanpa ujian nasional, guru dan sekolah justru bisa memberikan assessment yang lebih obyektif terhadap anak muridnya?? Yang menarik adalah un tidak bisa menjawab apakah bisa mengukur kemampuan siswa dalam 3-4 hari dengan alat ukur yang sama tanpa memperhatikan progress harian, keunikan siswa dan kondisi fisik, psikologis, geografis, budaya dan fasilitas serta kualitas tiap sekolah yang berbeda? Anak-anak sekolah 3 tahun ditentukan dalam 3-4 hari adalah sesuatu yang tidak fair. Jika pada waktu ujian anak tersebut kena typhus, mencret, pilek dan tidak bisa mengerjakan soal pada waktu itu hancurlah masa depannya dan perjuangannya selama 3 tahun. Sekolah disini identik dengan stress, tidak nyaman dan rawan gangguan mental. Tidak ada bedanya dengan leprosarium atau asylum atau semacamnya yang menjadikan siswa sebagai obyek penderita dan tidak memiliki hak untuk memilih apalagi hak untuk menjadikan sekolah sebagai tempat istimewa dimasa kanak2 yang seharusnya indah tak terlupakan. Menyedihkan bukan?

Untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman tentang suatu konsep ada baiknya kita memakai pendekatan komparasi. Karena saya tinggal di Australia dan pernah mendapatkan 3 beasiswa dari Australia yaitu ADS, ALA dan Compaqt jadi paling tidak saya tahu sedikit tentang sistem pendidikan di sini, maka saya akan mengambil Australia sebagai pembanding. Di Australia sekolah adalah wajib. Kata wajib memberi implikasi sekolah itu tidak bayar alias free. Mungkin kita akan membayar $45 per tahun atau sekitar 450 ribu tapi itupun sifatnya sukarela untuk beli keperluan sekolah seperti buku2 perpustakaan, alat peraga sekolah dan lain2 dan besarnya ditentukan oleh rapat wali murid dengan pihak sekolah. Kalau sekiranya keberatan, kita cukup bilang ke sekolah dan diwaive alias dibebas gratiskan. Sebagai konsekuensinya, orang tua yang tidak mengirim anaknya sekolah akan berurusan dengan hukum karena dianggap melakukan child abuse (perlakuan salah terhadap anak) karena menghambat hak untuk tumbuh kembang anak. Di sini sekolah dibagi berdasarkan region, artinya tempat tinggal menentukan kemana anak itu akan sekolah. Biasanya sekolah akan menolak jika tempat tinggal calon siswa tidak ada di region atau wilayahnya pada saat registrasi atau pendaftaran. Artinya orang kaya milyuner juga harus bersekolah di area tempat tinggalnya. Ini untuk public school (sekolah negeri) kecuali mereka menyekolahkan anaknya ke private school (sekolah swasta) yang biayanya selangit. Dalam konteks ini masyarakat atau community diajak untuk peduli bangga dan mendukung keberadaan institusi pendidikan di sekitar tempat tinggalnya masing2. Ini berakibat pada meratanya kualitas sekolah di tiap wilayah. Tidak seperti di kampung saya dulu di Demak semua orang berebut masuk SMP 2 dan SMA 1 sementara sekolah lain tidak kebagian murid. Sekolah sangat mudah di sini artinya kita tinggal datang registrasi ditanya umur dan mendapat kelas. Misalnya umur 6 tahun kelas 1 SD, umur 7 tahun kelas 2 SD dan begitu seterusnya tanpa menunjukkan raport atau apapun. Jika kita merasa anak kita mampu kita bisa argue ke sekolah untuk naik ke jenjang lebih tinggi dengan mekanisme khusus. Tapi buat apa? Ini jarang dilakukan karena konsep peer group (kelompok sebaya) dimana anak akan nyaman, aman, senang secara psikologis jika belajar dengan anak seumurnya. Tidak ada tes masuk sekolah! Saya masih ingat anak saya yang sekolah SD di depok harus ditest bisa baca tulis, menghitung dan menghafal doa atau ayat Al Qur'an! Bukannya TK adalah tahapan perkenalan akan dunia pendidikan saja. Jadi lebih baik bermain dan bersosialisasi. Kalau setiap anak harus bisa calistung dan menghapal doa terus apa dong kerjaan guru SD?? Gila... Tapi mau diapain lagi? Belum lagi pekerjaan rumah atau PR yang seabreg. Saya sedih pas lihat anak saya bangun tidur dan bilang, "Papa... Saya belum mengerjakan PR..." Sambil nangis... Sedih banget... Di sini sekolah yang akan mengajarkan baca tulis dengan metode bermain dan pergi ke perpustakaan meminjam buku seminggu sekali yang dia suka. Anak2 akan menceritakan atau sharing di depan teman2nya. PR biasanya selembar itupun seminggu sekali. Di sini sekolah dari jam 08.50 mereka main dengan didampingi gurunya sampai jam 09.10 atau istilah kerennya disupervisi karena salah satu instalasi penting sekolah adalah play ground jadi untuk memastikan tidak ada yang cidera pada waktu bermain. Meskipun sekolah sampai jam 15.15 tapi di sini jam istirahat lama yaitu 1 jam dan ada break 15 menit di pagi hari. Tiap minggu ada yang namanya morning assembly dimana guru2 memberikan merit certificate untuk murid2nya secara bergilir berdasarkan kemampuannya. Misalnya benjamin jago membuat mainan dari barang bekas, eva tulisannya sangat indah atau merelyn suaranya sangat merdu. Mencari, menggali dan mendevelop kemampuan seluruh anak didiknya itulah tugas guru. Di Indonesia anak yang lemah di bidang matematika di bilang goblok. Saya adalah korban sistem pendidikan ini berdiri 1 jam di depan papan tulis dan digoblok2in karena tidak bisa mengerjakan soal matematika, gurunya tidak tahu kalau di kelas saya satu2nya siswa yang tidak punya buku paket karena tidak punya uang untuk membelinya. Saya pada waktu itu shocked! Saya trauma sekali dan benci matematika. Untunglah kakak saya yang namanya Mokhammad Khoiri kuliah di STAN sekarang kerja di Kementerian Keuangan, dengan sabar menemani dan mendukung saya. Meyakinkan bahwa matematika itu indah dan menyenangkan. Dan dia mengatakan bahwa di negeri ini matematika masih dinomorsatukan untuk menjadi nomor satu nilai matematikanya harus bagus itulah peraturannya. Jika kita benci matematika kita tidak akan pernah menjadi nomor satu. Itulah peraturannya. Itulah sistem pendidikan di negeri kita. Sejak saat itu saya berusaha menyenangi pelajaran satu ini dan pada akhirnya pada waktu kelas 3 SMA saya benar dapat ranking 1 dan nilai matematika di raport saya adalah 8. Tapi tahukah saudara betapa lamanya waktu untuk memulihkan trauma tersebut? Jujur saya butuh waktu 5 tahun untuk berdamai dan compromise dengan diri saya. Bahwa kita dianggap bodoh karena tidak bisa mengerjakan soal matematika? Meskipun dengan berjalannya waktu hal itu tidak sepenuhnya benar karena sejatinya tidak ada siswa yang bodoh. Yang ada adalah seseorang pintar pada bidangnya masing2. Mengenai transportasi untuk sekolah terurus rapi. Bus sekolah gratis dengan banyak rute sesuai tempat tinggal kita. Kita tinggal nunggu di halte kalau di OZ namanya bus stop pada jam tertentu begitu pula pulangnya. Sekolah di sini mengajarkan kejujuran honesty; persahabatan friendship; berbagi sharing; dan kerja kelompok team work. Maka mereka paling anti mencontek karena itu dianggap berbohong dan tidak jujur. Murid diajak ke museum untuk belajar sejarah, ke kebun binatang untuk mencintai binatang dan ke taman2 untuk bermain. Ada grandparents day (hari kakek-nenek: kakek nenek datang ke sekolah untuk mendongeng), harmony day (hari kerukunan: mereka memakai baju daerah masing2 simbol keragaman dan toleransi), teddy bear day (hari beruang teddy: mereka membawa teddy bear masing2), superhero day ( hari superhero: mereka membawa baju bebas kaos superhero topeng dsb). Begitu variatif... Tidak ada ujian tiap catur wulan. Semua berjalan sesuai kurikulum. Guru akan berkomunikasi dengan orang tua atau wali murid di awal session tentang kurikulum dan misi apa yang hendak dicapai terkait dengan kurikulum. Di akhir session ada interview dengan orang tua atau wali murid tentang perkembangan studi anak sebagai bahan untuk raport siswa. Lihat! Begitu indah simple dan menyenangkannya sistem pendidikan di sini. Anak yang tidak masuk justru sedih karena tidak bisa bermain dengan teman2nya. Beda dengan di Indonesia yang doktrin nomor satunya kamu tidak masuk akan ketinggalan pelajaran dibanding teman2mu. Setelah lulus SMA atau High School biasanya mereka ada yang melanjutkan ke university jika mereka merasa mampu dan ikut proses seleksi dengan membawa hasil analisis dari sekolahnya. Ada juga yang tahu kemampuannya dan memilih TAFE semacam sekolah tinggi untuk mendapatkan sertifikat 1, 2, 3 atau 4 sesuai dengan minat bakatnya seperti memasak, tukang kayu, tukang listrik, guru paud dan sebagainya yang di indo lebih dikenal dengan program diploma. Mereka yang dari TAFE bisa langsung kerja atau masuk universitas. Artinya program diploma itu bridging atau jembatan ke universitas. Mereka yang tidak punya uang bisa meminjam ke pemerintah untuk kuliah (loan) dan mengembalikannya setelah bekerja. Fair bukan? Jadi tidak ada sekolah untuk stress dan takhayul. Tidak ada un tidak ada masalah bukan? Terus kenapa harus memaksakan un? Apakah karena un adalah lahan basah melibatkan banyak pihak dan uang yang tidak sedikit sebagaimana kementerian agama dengan proyek naik hajinya yang rawan korupsi? Tapi anehnya ujian nasional justru didukung bapak presiden kita sesuai
tweetnya di akun twitter @SBYudhoyono
adalah :
1. Pastikan naskah ujian sampai di 11
propinsi sebelum dimulai UN ditempat itu.
Cek sampai ke kabupaten dan kota.
*SBY*
Bantuan angkatan udara dengan pesawat
TNI AU agar dilanjutkan. Saya sudah
instruksikan ke Panglima TNI dan Kasau
*SBY*
Khusus distribusi naskah UN ke 11 provinsi
ini, pengamanan bahan ujian harus dijaga.
Saya sudah instruksikan ke kapolri. *SBY*
2. Jangan sampai UN untuk tingkat SMP
ada yang terlambat lagi. Semua dicek
kesiapannya sejak sekarang. *SBY*
3. Saya tetap minta dilakukan
pemeriksaan, mengapa ada percetakan
yang terlambat. Masalah teknis atau
penyimpangan? *SBY*.
Benar-benar menyedihkan... Di sini presiden kita juga tidak memiliki keberpihakan terhadap anak. Saya tidak menyalahkan beliau namun seyogyanya menterinya yang harus menyediakan informasi yang lebih tepat dan bernas. Sayang menterinya malah berkata, nanti kalau tidak ada ujian nasional terus bagaimana??? This is a kind of ridiculous statement that showing his ignorance!! Konsep ujian nasional diprotes sejak
2006 tidak ada dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Meski begitu, pemerintah tetap melaksanakan. Ujian nasional kerap dirundung masalah, bahkan tahun ini bisa disebut pelaksanaan terburuk.

Poin yang kedua yang ingin saya sampaikan adalah jika mendikbudnya tidak paham akan filosofi dasar semacam ini mau jadi seperti apa anak2 kita kelak dengan sistem amburadul dam mbelgedes seperti ini. Mendikbud satu ini juga dalam membikin kebijakan selalu aneh2 sudah itu arogan dan otoriter. Pemilihan rektor perguruan tinggi yang sudah dipilih senat universitas bisa berubah karena dia memiliki 35% suara. Ini artinya yang menentukan pemilihan bukan murni senat universitas tapi intervensi mebdikbud karena suara bisa beralih karena 35% tersebut. Yang lebih gilanya lagi bahwa dia mengatakan perkosaan siswi bisa didasarkan suka sama suka???!! Bukannya dia tahu anak di bawah umur 18 tahun sesuai undang2 perlindungan anak dan convention on the rights of the child tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya karena belum cukup nalar karena itu negara wajib melakukan proteksi? Tidak berpanjang lebar ya sebaiknya beliau dengan legowo dan berbesar hati, mundur sajalah... Kasih posisi dan amanat itu bagi yang mampu dan kompeten. Ujian nasional atau un juga sebaiknya dihapus. Sekali lagi ujian nasional tidak ada dasar hukumnya. Tidak melihat keberagaman kualitas dan fasilitas pendidikan tiap daerah serta diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas (PWD), misalnya tuna netra yang harus mengerjakan soal yang sama dengan waktu yang sama tanpa adanya accessible tools yang ramah PWD. Pelaksanaan un juga menyedot anggaran negara cukup besar. Untuk pelaksanaan un tahun ini, pemerintah telah menganggarkan dana Rp 600 miliar. Bayangkan, untuk urusan pencetakan dan distribusi soal, Kemendikbub menganggarkan sebesar Rp 94,9 miliar. Dengan keukeuh menyelenggarakan un berarti pemerintah lebih mengedepankan hasil akhir yang bisa didapat dari model karantina dan hapalan sesaat yang justru mengaburkan proses pendidikan itu sendiri. Tidak kalah pentingnya, ujian nasional hanya akan menghilangkan peran guru dan sekolah dalam proses evaluasi anak didiknya. Guru dan sekolah yang lebih tahu perkembangan pendidikan siswanya dan bukan mendikbud. Kasihlah authority buat guru dan sekolah masing2 untuk mendidik dan mengevaluasi para siswanya. Haruskah kita menyesal dulu setelah ada siswa yang malu, depresi dan bunuh diri baru kita sesali?

Stop ujian nasional sekarang juga! Kasihan anak2 kita.

Salam,

Arif

Wagga, 20 April 2013

Arif Rohman
Penulis adalah Phd Student in Social Work at Charles Sturt University Australia

Mendikbud lebih baik mengundurkan diri
Reviewed by Rohimah Nurdin on May 5 2013
Rating: 5

No comments: