Showing posts with label Pluralisme. Show all posts
Showing posts with label Pluralisme. Show all posts

Tuesday 23 November 2010

DISKRIMINASI TERHADAP MINORITAS MASIH MERUPAKAN MASALAH AKTUAL DI INDONESIA SEHINGGA PERLU DITANGGULANGI SEGERA

DISKRIMINASI TERHADAP MINORITAS MASIH MERUPAKAN MASALAH AKTUAL DI INDONESIA SEHINGGA
PERLU DITANGGULANGI SEGERA

Prof. Dr. James Danandjaja MA.

Universitas Indonesia





Pendahuluan

Diskriminasi terhadap kaum minoritas di Indonesia masih merupakan masalah aktual. Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh pemerintah- pemerintah sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya khususnya ORDE BARU yang bersifat diskriminatif terhadap kebudayaan minoritas, dalam arti adat istiadat, agama dari beberapa suku bangsa minoritas di tanah air. Mengapa hal demikian dapat terjadi terus, seakan-akan rakyat kita sudah tak patuh lagi dengan hukum yang berlaku di negara kita. Untuk menjawab ini, tidak mudah karena penyebabnya cukup rumit, sehingga harus ditinjau dari beberapa unsur kebudayaan, seperti politik dan ekonomi. Dan juga psikologi dan folklornya.
Diskriminasi terhadap Kaum Minoritas Masih Tetap Aktual Sehingga perlu
ditanggulangi Segera secara Tuntas

Sebelum sampai pada pembicaraan kita, ada baiknya ditinjau dahulu beberapa konsep yang mendasari topik kita, yakni: diskriminasi, minoritas, dan hubungan antara kelompok [intergroup relation].

Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116): Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat. Aktif atau aspek yang dapat terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif [negative prejudice] terhadap seorang individu atau suatu kelompok. Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya [merit].

Perlu kiranya dicatat di sini, bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi dianggap illegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan, atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang

berlandaskan pada prinsip diskriminasi. Demikianlah para tamtama/prajurit [private] di dalam jajaran ketentaraan secara sah [legitimated] didiskriminasikan [diperlakukan tak seimbang], berdasarkan kedudukannya yang masih rendah, walaupun ia telah memiliki kemampuan yang sama, atau bahkan melebihi para perwira atasan mereka. Namun beberapa komunitas khayalan [utopian communities] telah mencoba untuk menghapuskan perbedaan-perbedaan semacam itu, dalam kedudukan kepangkatan, seringkali berdasarkan keyakinan bahwa semua orang beragama adalah sama di mata Tuhan; dan di Amerika Serikat penyebaran nilai-nilai politik dan agama telah membawa perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat, telah menyebabkan terjadinya perlawanan terhadap segala macam diskriminasi yang bersifat agama, ras, bahkan kelas- kelas masyarakat. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap perlakuan diskriminasi terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.
Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 258-259), kelompok minoritas [minority
groups] adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau

sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice] atau diskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih tepat kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa [privileged] atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik. Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukankepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi.
Akhimya perlu juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok [lntergroup
relation] . Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 212) pada dasarnya istilah ini

berarti penelitian mengenai hubungan antar kelompok, seperti pada kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara suku-suku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehinga dapat dianggap sebagai masalah sosial [social problem].

Di dalam makalah ini saya akan memfokuskan diri pada diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada di Republik Indonesia. Kelompok minoritas tersebut dapat berupa suku bangsa (etnis), kelompok agama, dan kelompok gender [gender] seperti kaum perempuan dan kaum homo seksual (baik gay maupun lesbian). Pemfokusan ini berdasarkan kenyataan bahwa walaupun negara kita sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, serta telah mempunyai UUD 45 yang pada Bab X tentang “Warga Negara” pasal 27 ayat 1, yang menganggap semua WNI memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualian, dan ayat 2 mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun

sedihnya dalam riwayat hidupnya bangsa kita, telah diselewengkan oleh para pemimpin- pemimpin di kemudian hari, yang sudah mulai berlaku sejak jaman ORLA, dan terutama mencapai puncaknya pada jaman ORBA.

Sebagai contoh misalnya orang Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan orang Arab, India, pada masa Kolonial Belanda digolongkan sebagai golongan Timur Asing, kemudian pada-masa Kemerdekaan mereka semuanya apabila mau mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan serta pada negara R.I. dapat dianggap sebagai Warga Negara Indonesia. (lihat UUD 45, Bab X, pasal 26, ayat 1). Namun perlakuannya terhadap mereka ada perbedaan. Bagi keturunan Arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk suku bangsa mayoritas Indonesia, maka mereka dianggap "Pri" [Pribumi] atau bahkan “Asli”, sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain. Keturunan India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “Non Pri”. Dengan stikma "Non Pri" tersebut kedudukan mereka yang bukan “pribumi”, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan oleh pemerintah ORBA, telah dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi. Sehingga sebagai etnis mereka tidak boleh eksis. Untuk menunjang politik yang sangat beraroma rasis itu. Oleh Pemerintah Soeharto telah dikeluarkan beberapa Keputusan Presiden seperti: Pelarangaran Sekolah dan Penerbitan berbahasa Cina; keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Penggantian Nama; Instruksi Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Keturunan Cina. Keputusan Presiden No.240/1967 mengenai Kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan Asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Thung, 1999: 3-4). Lucunya dalam era reformati (plesetan dari istilah reformasi). Walaupun Pemerintah Presiden BJ. Habibie sudah memutuskan membatalkan semua peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.26 tahun 1998; namun anehnya pada tahun 1999, ia malah memberi bintang kehormatan Maha Putra pada dua tokoh Asimilasi dari pihak etnis Tionghoa seperti Junus Jahja dan K. Sindhunata SA. Penghargaan ini memberi kesan bahwa Habibie masih setuju dengan politik asimilasi dari ORBA.Isi Instruksi Presiden No.26 tahun 1998, yang dikeluarkan pada tanggal 16

September 1998, dan ditujukan kepada para Menteri, para pemimpin Lembaga Pemerintah Non Departemen, para pemimpin Kesekretarian Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, dan para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/Walikota Kota Madya, Kepala Daerah Tingkat II. Isinya antara lain, adalah: Pertama mengenai penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijaksanaan, perencanaan program, atau pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan; Kedua memberikan perlakuan dan layanan yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa perlakuan berbeda atas dasar suku bangsa, agama, ras maupun asal usul. Ketiga meninjau kembali, dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerjaan lain, sesuai dengan instruksi

Presiden ini; dan sebagainya. Alasan yang merupakan rasionalisasi bagi mereka yang mendukung politik pembauran asimilasi adalah bahwa jika orang Tionghoa semua sudah tukar nama, bahkan masuk agama Islam, maka tidak akan ada “masalah Cina” lagi sebagai contoh mereka tunjukan kejadian yang sudah terjadi di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, di kedua negara tersebut orang Tionghoa telah masuk agama Katolik (di Filipina) dan Budis (di Thailand). Sehingga logisnya orang Tionghoa di Indonesia harus masuk Islam, seperti yang telah dilakukan oleh Pak Junus Jahya (Lauw Chuan Tho) yang sejak tanggal 23 Juni 1979 secara resmi telah memeluk agama Islam. Menurut dia orang Indonesia Tionghoa harus masuk Islam, untuk mencegah terulangnya terjadi pembunuh massal [massacre] terhadap mereka di Indonesia, seperti pada permulaan Kemerdekaan R.I dan yang terakhir pada tgl. 13 -15 Mei 1998.

Salah seorang eksponen kalangan muda tentang politik asimilasi adalah Soe Hok Gie (adik kandung Dr. Arief Budiman), waktu saya tanya mengapa ia tidak tukar nama? Jawabnya adalah "Pak politik asimilasi ini sudah diselewengkan oleh para Jenderal, sehingga akan menyusahkan orang keturunan Tionghoa!".

Memang dalam kenyataan akibat dari politik asimilasi tersebut, orang keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih didiskriminasikan, Buktinya setelah tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih tetap dianggap "Cina". Penyebabnya adalah stereotip yang tetap melekat pada mereka, bahkan diperkuat dengan hukum, untuk didiskrirninasi, seperti diperas, jika hendak mengurus surat di kantor-kantor pemerintah. Mereka didiskriminasi jika mau masuk ke sekolah negeri. Di Universitas negeri mereka yang lulus UMPTN tidak diterima, setelah terlihat pada pas fotonya, karena raut mukanya berciri ras mongoloid Asia Timur. Demikian juga jika mereka mau masuk ke AKABRI. Setelah masa Reformasi perlakuan semacam itu masih terus berlaku sampai sekarang. Memang sifat- sifat stereotip pada orang Tionghoa, sukar sekali dihapuskan, terutama bagi pejabat- pejabat yang hendak memeras. Karena bagi mereka orang Tionghoa itu kaya, sehingga dapat dijadikan sumber keuangan mereka, yang sebagai pegawai negeri gaji bulanannya memang sangat tidak memadai, untuk dapat hidup sebagai layaknya manusia dari negara yang menjunjung tinggi HAM. Walaupun sejak pemerintahan Habibie, orang dari suku bangsa Tionghoa jika mau sekolah, berdagang, membuat paspor, KTP, masih ada yang diminta mempertunjukan Surat Bukti Kewarganegaran Indonesia (SBKI).

Sebagai contoh saya adalah orang keturunan Tionghoa yang sampai pada masa Reformasi adalah penganut politik pembauran yang asimilasi, tetapi sejak mengalami kejadian yang bersifat shock therapy, saya telah beralih ke politik pembauran yang bersifat integrasi yang sinergis.

Kejadiannya adalah pada hari Kamis 21 Januari 1999, jam 15.00, saya telah mendapat undangan dari Ibu Dirjen Kebudayaan, Depdikbud. Prof, Dr. Edi Sedyawati, untuk turut serta dalam sebuah talk show di studio TV RCTI. Temanya adalah hendak mendukung politik pembauran asimilasai dalam rangka memperingati 47 tahun pengesahan "Piagam Asimilasi", yang dicetuskan di Bandungan, Ambarawa, Jawa Tengah pada tanggal 15 Juni 1952 (Tempo, 1986: 351-353).
Kejadiannya adalah demikian, setelah didandani, dan berkumpul di ruang tunggu di
sebelah studio shooting, tiba-tiba masuk Pak Fadel Muhammad, tokoh GOLKAR, sambil

tangan kiri bertolak pinggang dan tangang kanan menunjuk-nunjuk ke langit, ia berkata dengan lantang: "Memang Cina-Cina itu rakus-rakus!!!" Mendengar itu jantung saya terkesiap, lalu saya tanya: "Cina yang mana Pak Fadel???" Jawabnya: "Yah Edy Tansil dan Liem Sioe Liong!" Rupanya Pak Fadel tidak tahu bahwa di ruang itu ada orang Cinanya (Ya saya ini). Segera Ibu Dirjen Kebudayaan mencoba menengahinya. Ujarnya: "Pak Fadel! Pak James Danandjaja adalah keturunan Cina!" katanya. Mendengar itu Pak Fadel menjadi salah tingkah. Untuk menghilangkan suasana yang tak mengenakkan itu, saya lalu bertanya pada Pak Fadel: "Pak Fadel suku bangsa apa?" Jawabannya dengan suara kurang mantap: "saya orang Arab!". Lanjut saya: “Tak mengapa Pak! Kita semua kan orang Indonesia”. Demikianlah pengalaman saya dalam hubungan antar kelompok [intergroup relation]. Bukan di antara minoritas (Tionghoa) dan mayoritas (Jawa), tetapi dengan sesama minoritas, yang kebetulan minoritas juga yakni Arab. Kejadian ini dapat menggambarkan dengan jelas bahwa Pak Fadel yang seharusnya juga tergolong minoritas, tidak merasa atau sedikitnya tidak mengakui bahwa orang Arab itu juga tergolong minoritas, karena sebagai etnis beragama Islam, ia merasa mayoritas, jadi tergolongnya "pribumi" sehingga dapat menekan orang Indonesia etnis Tionghoa yang memang kedudukan sosial politik adalah tergolong minoritas, yang "non pribumi" apa lagi menurut ia semua orang Tionghoa rakus-rakus seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim) dan Edi Tansil. Fadel Muhammad merasa kuat kedudukannya, karena etnisnya kebetulan tidak termasuk konglomerat yang bermasalah. la sebenarnya sangat terkabur, karena sebagai penggede GOLKAR, ia merasa tidak tersentuh oleh hukum. Buktinya memang demikian, karena kini walaupun ia sudah dinyatakan usahanya faillite [bangkrut] oleh Jaksa Agung, namun ia masih dapat diangkat menjadi gubernur provinsi Gorontalo. Bukan main! Aneh bin Ajaib keadaan di negara kita ini, karena ternyata hal ini masih dapat terjadi dalam jaman Reformasi ini.

Partisipasi saya dalam talk show saya di RCTI, yang tadinya berniat mendukung politik pembauran dari tipe asimilasi, akhirnya berbalik menjadi mendukung politik pembauran yang bertipe integrasi dari sinergi. Sejak talk show di RCTI tersebut, saya telah mendapat banyak telpon, salah satunya adalah dari mantan murid tari Balet saya dahulu, bernama Kamil Setyadi, yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dengan maksud agar saya bersedia membantu paguyuban mereka.

Dalam rangka reformasi ini saya bersama dengan beberapa pemuka Tionghoa dari segala agama diundang oleh "Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang dibawahi Bakin (Badan Koordinasi Inteligen Negara), untuk dimintai pendapat mengenai izin mempertunjukan Barongsai (Singa) dan Liong (naga) di muka umum pada tahun 1999 itu. Kami semua sangat setuju apabila izin tersebut dikeluarkan, namun karena keadaan keamanan dianggap belum mendukung, maka pelaksanaannya baru pada tahun depan saja. Namun ternyata masyarakat Indonesia, yang terdiri dari suku-suku bangsa lainnya merasa sudah tidak sabar, sehingga DR. Rahayu Supangga Direktur dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta telah mengajak para mahasiswanya untuk mengarak Lian-Iiong dan Barongsai keliling kota Solo, tanpa ada gangguan dari rakyat "Pribumi", yang diantisipasi masih ada yang anti Tionghoa. Sebaliknya usaha berani ini mendapat sambutan meriah dari segenap warga kota Solo dari segala suku bangsa.

Yang hadir dalam pertemuan itu antara lain adalah tokoh-tokoh asimilasi, seperti MayJen TNI (Pur) Soenarso dan BrigJen Pol (Pur) Sukisman, seorang Sinolog Mantan Rektor Universitas Dharma Persada, Tokoh Agama Budha Siti Hartati Murdaya, tokoh Muslim Tionghoa H. Junus Jahja, seorang pendukung politik asimilasi yang konsisten. Selain itu juga wakil-wakil dari instansi pemerintah, HANKAM dan lain-lain. Pada kesempatan itu BrigJen (Purn) Sukisman menyatakan ekskiusnya pada suku bangsa Tionghoa dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah, yang pada masa Reformasi ini dapat digolongkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena bersifat rasialis. Menurut beliau dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut, bukan karena anti Cina. melainkan karena merasa "eman [kasih sayang]" kepada saudara-saudara keturunan Cina, karena mereka dalam sejarah jika ada kekacauan sosial politik, selalu dijadikan kambing hitam dan dibunuh. Semoga dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut golongan keturunan Tionghoa sudah menyatu padu dengan suku-suku bangsa di mana mereka berdiam.

Mendengar pernyataan itu, komentar saya adalah: "Terima kasih banyak Pak Jenderal, namun akibat perasaan eman Bapak telah menyengsaraan orang Indonesia- Tionghoa, karena mereka sejak itu menjadi terpuruk. Mereka dalam prakteknya makin menjadi obyek pemerasan. Jikalau berusaha, harus mendapat "perlindungan" para oknum pejabat tinggi sipil maupun militer. Mereka selalu dijadikan kudatunggangan yang dapat disuruh berusaha sehingga dapat memberi sumbangan kepada para "pelindung"nya, namun jika terjadi kekacauan sosial politik mereka dapat dengan mudah dijadikan kambing hitam, untuk dihukum dicampak ke pulau Nusa Kambangan seperti nasibnya beberapa konglomerat suku bangsa Tionghoa. Dan para penunggangnya dapat terus survive dalam jaman Reformati ini.

Walaupun diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu, sejak masa reformasi ini telah mulai lenyap, tetapi tidak terjadi pada semua agama minoritas. Sejak masa reformasi ini agama minoritas yang telah memperoleh pengakuan sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia adalah agama Konghucu, sehingga salah satu hari rayanya yang dihubungkan dengan agama tersebut, yakni Imlek sejak tahun 2003, telah disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Hari Raya Nasional. Namun di lain pihak ada tuntutan dari agama Minoritas orang Jawa (Kejawen) yang belum terpenuhi aspirasinya beragama.

Dalam Koran KOMPAS , Kamis 10 April 2003 , Halaman 7, ada pernyataan bahwa umat agama tersebut merasa dilecehkan dan dianggap seolah bukan warga negara Indonesia. Untuk itu Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya bersama puluhan aktivis penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), Rabu 9 April 2003 telah mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka diterima Wakil ketua Komnas HAM Salahudin Wahid. Dalam pernyataan tertulis yang dibacakan wakil mereka Dewi Kanti, disebutkan bahwa para penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah piranti hukum, yang melecehkan hak sipil dan budaya, tetapi juga menghadapi pejabat negara yang menganggap para penghayat seolah bukan sebagai WNI. Sejak lahir para penghayat berhadapan dengan tindakan diskriminatif. Anak-anak pasangan penghayat tidak bisa mendapat surat kenal lahir atau akta kelahiran, dengan alasan pernikahan mereka dianggap tidak sah. Pada hal mereka telah melangsungkan pernikahan sesuai dengan adat dan kepercayaan masing-masing. Dinikahkan dengan penuh kasih, direstui

orang tua, handai taulan, keluarga dan saksi mereka. Para penghayat juga kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), karena tidak mau mengisi kolom agama yang resmi diakui negara. Contoh terakhir perlakuan buruk terjadi atas para penghayat Ajaran Karuhun Urang di Cigujur, Kuningan, Jawa Barat, yang merasa dihina dalam film berjudul Kafir.

Dewi menyesalkan munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang menganulir UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada Mukadinahnya disebutkan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Dalam SKB tersebut, "Dinyatakan tidak berlaku bagi masyarakat Penghayat Kepercayaan." Kelompok Penghayat mendesak Komnas HAM berjuang menghapus semua peraturan yang bersifat diskriminatif. Selain itu juga mendorong terciptanya sebuah UU Catatan Sipil yang menjamin Penghayat menjalankan perkawinan dan mendapatkan hak-hak sipil dan budaya sesuai dengan penghayatannya.

Menghadapi haI ini, Salahuddin Wahid yang saudara kandung Abdurrahman Wahid itu, mengatakan akan memperjuangkan kepentingan mereka: Mereka berhak mendapat hak sebagai WNI dengan status sama dengan yang lain. Dan lagi apa sih untungnya mendiskriminasikan mereka? Bisa dibayangkan getirnya kehidupan anak-anak mereka, yang dianggap anak di luar nikah. Selanjutnya Wahid berpendapat terminologi kafir tidak dikenal dalam hidup bernegara. Ini cuma terminologi beragama. Sentimen beragama seperti ini tidak sehat dalam hidup bernegara.

Setelah bertemu dengan beberapa anggota Komnas HAM yang lain, Wahid mengatakan, "Tampaknya sebagian besar anggota Komnas HAM, sepakat memperjuangkan nasib mereka, terutama yang langsung berkaitan dengan unsur HAM mereka. Tapi semua masih tergantung keputusan rapat pimpinan atau rapat pleno Komnas HAM. Mudah-mudahan harapan saya tidak meleset."

Tugas anggota Komnas HAM, masih banyak antara lain adalah mengungkapkan beberapa tragedi kekerasan yang dilakukan bangsa kita terhadap sesamanya. Yang terpenting dan yang masih merupakan misteri adalah Tragedi Kerusuhan 13-15 Mei 1998, di mana lebih dari 1000 orang menjadi korban penganiayaan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran hidup-hidup. Walaupun kelihatannya motifnya adalah rasialis karena banyak korban adalah orang Indonesia suku bangsa Tionghoa, tetapi korban kekejaman selain mereka, ada ratusan korban dari suku-suku bangsa lain, yang diprovokasi untuk menjarah di mal Yogya, yang terletak di Kali Malang Jakarta Timur, setelah mereka masuk untuk menjarah isinya, mereka ini kemudian oleh orang-orang yang bertubuh tegap dan potongan rambut cepak, bersepatu lars kemudian dikunci dari luar gedung, dan dibakarnya hidup-hidup. Kasihan orang terjebak kejahatan ini yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak kemudian dijadikan tumbal oleh entah siapa. Karena merasa malu sebagai penjarah, tidak ada keluarganya yang berani membelanya. Menurut ibu Ita F. Nadia, yang pada malam tanggal 13 Mei 1998, atas ajakan Romo Sandiawan seorang pendeta Katolik, telah mengadakan peninjauan di tempat terjadinya pembunuhan dan perkosaan tersebut. Menurut pengakuan ibu Ita pada seminar Peringatan 5 tahun Peristiswa Mei 1998 di restoran Nelayan, di Jalan Karang Bolong, Ancol Barat. Jakarta Utara, yang diadakan oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa. Berdasarkan pengamatan dengan mata kepalanya sendiri, ia telah melihat ada dua sosok mayat dari dua remaja perempuan Tionghoa, yang ditutupi dengan kertas plastik hitam. Waktu ia singkap tutup tersebut

terlihat dua mayat tak berbusana dilumuri darah, dengan putting-putting susu mereka dipotong dengan gunting. Jadi berlainan dengan keterangan para pejabat pemerintahan Habibie (termasuk menteri urusan wanita Tuti Alawiyah), yang mendatakan tidak ada permerkosaan, karena buktinya tidak ada wanita Tionghoa yang bersedia untuk menjadi saksi untuk ditayangkan di televisi. Sesungguhnya perkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Indonesia etnis tionghoa. ltu benar-benar ada, jadi bukan isapan jempoI saja. Hasil penelitian di tempat itu kemudian oleh Komisi NasionaI Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah diserahkan yang berwajib, dalam bentuk Dokumen Laporan No.3, tetapi dihilangkan entah oIeh siapa. Bersamaan dengan itu mereka juga ke PBB di New York untuk melaporkan masalah pelanggaran HAM yang dahsyat serta menggiriskan itu. Tetapi di dalam negeri selama 5 tahun ini, masih dianggap tidak ada oleh yang berkuasa. Menurut Salahudin Wahid , yang juga hadir dalam Seminar Peringatan itu, mengatakan bahwa Komnas HAM sedang berusaha meneliti untuk mengetahui dengan pasti apakah peristiwa tragedi tersebut memang betul-betul terjadi, siapa yang bertanggungjawab, siapa saja korbannya, dan apa yang harus dilakukan agar hal itu tidak terulang Iagi di masa depan. Selanjutnya menurut Wahid, memang masalah ini adalah masalah pelik, karena terkait juga dengan pergulatan politik di Indonesia. Dan Komnas HAM, harus hati- hati agar tidak terseret ke dalam kancah politik tersebut, namun menurutnya hal itu perlu diungkapkan, karena berdasarkan fakta-fakta. Yang mutlak harus diketahui, karena jika tidak, kebenaran tentang “kesalahan” masa lalu, maka kesalahan tersebut sangat mungkin terulang kembali. Tentunya bangsa ini seperti keledai yang terperosok dalam lubang yang sama (Salahudin Wahid dalam KOMPAS, Rabu 14 Mei 2003, HIm. 4). Masalah ini akan terpecahkan apabila mendapat dukungan dari DPR. Sebagai jawaban atas pertanyaan Salahudin Wahid apakah DPR dapat memberi tanggapan yang positif, karena beberapa tahun yang lalu DPR telah menyatakan pada Peristiwa Mei 1998 tidak ada pelanggaran HAM. Sebagai tanggapan pertanyaan tersebut Alvin Lie, anggota DPR dari fraksi Reformasi, mengatakan bahwa selama anggota DPR yang sekarang masih bercokol di sana, masalah ini akan tetap dipetieskan.

Peraturan-peraturan bersifat diskriminasi yang diwariskan mengenai suku bangsa Tionghoa dari ORDE BARU masih banyak, dan sukar untuk dapat dihapuskan, karena menurut Menteri Kehakiman dan HAM, kedudukan peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah-pemerintah masa Reformasi, kedudukannya, kalah dengan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Akibatnya dapat diremehkan oleh pejabat-pejabat golongan “Hitam” untuk tetap memeras orang-orang yang memerlukan jasa dari mereka. Semua ini dapat terus berlaku, karena sebagai suku bangsa yang minoritas, orang keturunan Tionghoa, belum mempunyai kedudukan sosial, politik, dan hukum yang mantap dalam struktur sosial masyarakat Indonesia (lihat Suparlan,1999). Oleh karenanya para pemimpin mereka harus berjuang terus untuk menghapus peraturan-peraturan yang diskriminatif itu, sehingga mereka tidak dijadikan kambing hitam, apabila terjadi pergolakan sosial, politik maupun ekonomi, seperti masa-masa lalu.

Sebenarnya kepedihan ini bukan saja dirasakan oleh suku bangsa Tionghoa saja tetapi juga oleh etnis-etnis yang lain, walaupun dalam gradasi yang lebih kurang berat. Mereka itu adalah sub suku bangsa Bali, seperti orang Trunyan, yang agama “asli” yang bukan bersifat Hindu Majapahit, selalu mendapat tekanan dari suku bangsa Bali Hindu, yang mayoritas itu. Demikian juga etnis Batak, juga dilecehi, karena anak-anak mereka
waktu hendak mendaftarkan kelahiran anaknya di kantor Catatan Sipil, tidak boleh
mencantum nama marganya.
Kesimpulan

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa diskriminasi terhadap kaum minoritas, khususnya suku bangsa Tionghoa masih aktual, dalam arti masih berlangsung terus. Penyebabnya memang sebagian oleh seniman diskriminasi ras, namun yang lebih tepat lagi adalah karena "fulus", yakni uang atau dana, yang perlu diperoleh oleh oknum-oknum pejabat, baik sipil rnaupun militer, selama gaji mereka sebagai pegawai negeri masih tetap tak memadai, dan kelompok yang dapat dijadikan obyek pemerasan, sudah tentu adalah orang Indonesia Tionghoa, yang berkat peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan Pemerintah RI, dibuat menjadi tidak mantap dalarn struktur masyarakat Indonesia sehingga dapat dilecehi tanpa mampu melawan.





Daftar Kepustakaan

Suparlan, Parsudi, 1999 “Masyarakat Majemuk dan Hubungan antar Suku Bangsa,” Masalah Cina (I. Wibowo ed.). Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, bekerja sama dengan Pusat Studi Cina. Hlm, 149- 173.

Tempo, 1986 Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986. Jakarta: Percetakan
PT Temprint.

Theodorson, George A, and Achilles G. Theodorson, 1979 A Modern Dictionary of
Sociology. New York, Hagerstown, San Francisco, London: Barnes & Noble Books.

Thung Ju Lan, 1999, “Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia,” Retrospeksi dan Rekonteskstualisasi Masalah Cina (I. Wibowo, ed.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, bekerjasama dengan Pusat Studi Cina. Hlm. 3-23.

United Nations Commission on Human Rights, 1949, The Main Types and Causes of Discrimination, Lake Success, N.Y : United Nations Commission on Human Rights, Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection ofMinorities.
Win, 2003 “Karena Merasa Dilecehkan, Penghayat Kepercayaan Mengadu ke Komnas
Ham,” Kompas, Kamis, 10 April 2003 Halaman 7



Depok, 19 Mei 2003

Tuesday 1 July 2008

Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia

Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia

Parsudi Suparlan

Universitas Indonesia



Pendahuluan

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat negara tersebut. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Dalam masyarakat Indonesia, setiap masyarakat sukubangsa secara turun temurun mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya dimana warga masyarakat sukubangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.

Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiklnya (Suparlan 1979). Tanpa disadari oleh banyak orang Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas, Sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi secara individual maupun secara kategorikal baik pada tingkat nasional (seperti posisi orang Cina yang minoritas dibandingkan dengan pribumi) maupun pada tingkat masyarakat lokal (seperti posisi orang Sakai yang minoritas dibandingkan dengan posisi orang Melayu yang dominan di Riau) (Suparlan 1995).

Penekanan dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, yaitu pada keanekaragaman sukubangsa telah menghasilkan adanya potensi konflik antar-sukubangsa dan antara pemerintah dengan sesuatu masyarakat sukubangsa. Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada bersamaan dengan keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk. Sumber dari permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat.

Pertanyaan mengenai siapa yang paling berhak atas sumber-sumber daya tersebut adalah karena sumber-sumber daya tersebut ada di dalam wilayah-wilayah hak ulayat masing-masing masyarakat sukubangsa, dan bahwa Indonesia sebagai sebuah masyarakat dan bangsa secara de jure dan de facto baru ada setelah proklamasi 17 Agustus 1945 atau lebih muda dibandingkan ndengan keberadaan masyarakat-masyarakat sukubangsa dan wilayah-wilayah hak ulayat mereka. Sehingga pemerintahan nasional berada dalam posisi yang dipertanyakan mengenai keabsahannya dalam turut meng-haki, atau bahkan mengambil alih dan memonopoli, sumber-sumber daya yang ada dalam hak ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa. Karena itu hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa menjadi permasalahan yang kritikal dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dan dalam kehidupan bermasyarakat pada tingkat nasional dan lokal berkenaan dengan konflik kepentingan antara pemerintah nasional dan masyarakat-masyarakat sukubangsa atas sumber-sumber daya tersebut.

Dampaknya adalah bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi sosial, menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas diantara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat berkenaan dengan hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan siapa yang asing. Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyai buntut perlakuan sosial, politik, dan ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat terhadap berbagai golongan tersebut diatas berupa tindakan-tindakan diskriminasi dari yang paling ringan (digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli setempat dan karena itu mempunyai posisi minoritas) sampai dengan yang terberat (orang Cina, yang digolongkan sebagai asing).

Dampak lainnya dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan untuk perebutan sumber-sumber daya adalah bahwa ideologi kesukubangsaan ini, secara sadar atau tidak sadar, juga melandasi corak kegiatan dari sistem nasional. Ide bahwa orang Cina itu secara kesukubangsaan adalah asing lebih dominan dibandingkan dengan ide dan kenyataan bahwa orang Cina itu adalah warganegara Indonesia. Sehingga yang terjadi adalah, walaupun orang Cina itu sudah menjadi warganegara Indonesia tetapi tetap juga didiskriminasi secara hukum dan secara sosial.

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional dengan kesukubangsaan Cina sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan dan perebutan sumberdaya. Uraian dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan mengenai hakekat masyarakat majemuk dan dominannya ideologi kesukubangsaan, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial yang muncul dan digunakan dalam interaksi, masalah pribumi asli sebagai lawan dari tidak asli dan asing dan berbagai dampak diskriminatifnya


Kesukubangsaan dalam Masyarakat Majemuk

Gejala sosial yang tidak terlihat secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari tetapi yang mendasar dan mendalam di dalam kehidupan anggota sukubangsa-sukubangsa di Indonesia adalah jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan. Dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan orang Indonesia sukubangsa adalah sebuah ide dan sebuah kenyataan, dan kesukubangsaan adalah sebuah ideologi yang mempunyai kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar ataupun dibendung.

Kalau kita mendefinisikan sukubangsa sebagai sebuah kategori atau golongan sosial askriptif (Barth 1969), maka sukubangsa adalah sebuah pengorganisasian sosial mengenai jatidiri yang askriptif dimana anggota sukubangsa mengaku sebagai anggota sesuatu sukubangsa karena dilahirkan oleh orang tua dari sukubangsa tertentu atau dilahirkan di dan berasal dari sesuatu daerah tertentu. Berbeda dari berbagai jatidiri lainnya yang diperoleh seseorang sebagai status-status yang diperoleh dalam berbagai struktur sosial yang sewaktu-waktu dapat dibuang atau diganti, maka jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan tidak dapat dibuang atau diganti. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan ini tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.

Dalam setiap interaksi, jatidiri akan nampak karena adanya atribut-atribut yang digunakan oleh pelaku dalam mengekspresikan jatidirinya sesuai dengan hubungan status atau posisi masing-masing (Suparlan 1999a). Dalam hubungan antar-sukubangsa atribut dari jatidiri sukubangsa adalah ciri-ciri fisik atau rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan. Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga sesuatu sukubangsa maka sejak dilahirkannya mau tidak mau akan terpaksa harus hidup dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya sebagaimana yang digunakan oleh orangtuanya dan keluarganya dalam merawat dan mendidiknya sehingga menjadi manusia sesuai dengan konsepsi kebudayaannya tersebut.

Sadar atau tidak sadar seseorang tersebut hidup berpedomankan pada kebudayaan sukubangsanya, yang dalam proses-proses pembelajarannya dari masa anak-anak sehingga dewasa dia tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus hidup menurut kebudayaan sukubangsanya yang dipunyai oleh orang tuanya tersebut. Dia harus tahu, memahami, dan meyakini, serta menggunakan kebudayaan tersebut sebagai pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya, dan untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di dalamnya bagi kelangsungan hidupnya. Dalam perspektif ini, dimana seseorang itu mempunyai kebudayaan sukubangsanya seperti 'dipaksa' mulai sejak kelahirannya, maka kebudayaan sukubangsa juga bercorak askriptif.seperti kesukubangsaannya. Karena itu kebudayaan sukubangsa, bagi anggota-anggota sukubangsa yang bersangkutan, adalah sebuah pedoman bagi kehidupan yang primordial atau yang pertama dipelajari dan diyakini kebenarannya serta yang utama di dalam kehidupan mereka, atau sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka.

Termasuk dalam kategori pembelajaran kebudayaan sukubangsa yang diberikan oleh orang tua, keluarga, dan komuniti sukubangsanya yang juga bercorak 'dipaksakan' adalah pelajaran agama dari oang tua, keluarga, dan komuniti sukubangsa tersebut. Agama sebagai teks suci yang berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan yang wajib diikuti, yang sebaiknya dihindarai, dan yang wajib dihindari atau dilarang untuk dilakukan menjadi operasional dalam kehidupan manusia melalui dan ada dalam kebudayaan manusia dan pranata-pranata sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, petunjuk-petunjuk Tuhan tersebut diinterpretasi dan dipahami dengan menggunakan acuan kebudayaannya, untuk dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan yang tidak bertentangan dengan kebudayaan yang sudah ada, atau sebaliknya yaitu sebagian atau sebagian besar nilai-nilai budaya yang sudah ada itu disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan yang diyakini kebenarannya. Agama sebagai teks suci yang berisikan nilai-nilai sakral biasanya menggantikan sebagian atau seluruh nilai-nilai budaya yang menjadi inti dan yang mengintegrasikan keutuhan dari sesuatu kebudayaan sukubangsa. Dalam keadaan demikian nilai-nilai budaya yang ada dalam sesuatu masyarakat sukubangsa menjadi diperkuat posisi dan daya paksanya untuk terwujudnya keteraturan kehidupan yang adil dan beradab di dalam kegiatan sehari-hari karena dimuati oleh berbagai sanksi sakral yang ada dalam agama yang diyakini. Bagi setiap anggota sukubangsa, nilai-nilai budaya yang sakral atau nilai-nilai keagamaan yang ada dalam keyakinan keagaman mereka adalah sesuatu yang primordial. Coraknya sama dengan corak primordial dari kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa.

Dalam masyarakat Indonesia sukubangsa dan kesukubangsaan adalah sebuah ide dan sebuah kenyataan yang ada dalam kehidupajn sehari-hari, dimana anggota-anggota masyarakatnya dilahirkan, dididik dan dibesarkan dalam suasana askriptif primordial kesukubangsaannya. Dalam suasana askriptif kesukubangsaan tersebut pembedaan antara siapa 'saya' dan siapa 'dia/kamu' dan antara siapa 'kami' dan siapa 'mereka' jelas batas-batasnya, dan selalu diulang dan dipertegas, yaitu batas-batas kesukubangsaan. Dalam ruang lingkup batas-batas kesukubangsaaan ini stereotip dan prasangka berkembang dan menjadi mantap dalam suatu kurun waktu hubungan antar-sukubangsa yang tidak terbatas. Akibatnya banyak saling salah pengertian di dalam komunikasi antar-sukubangsa, yang menyebabkan semakin lebarnya jarak dan mantapnya batas-batas atau pagar-pagar yang membatasi hubungan antara dua sukubangsa atau lebih. Akibat lebih lanjut dari stereotip dan prasangka ini adalah terwujudnya tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak dan kewajiban oleh sukubangsa yang dominan terhadap mereka yang tergolong lemah dan non-pribumi atau minoritas di dalam kehidupan sosial, politk, dan ekonomi. Apa yang dikemukakan oleh Thung Yu Lan (1999b) mungmin dapat dilihat sebagai sebuah contoh tentang konflik antara pribumi setempat dengan orang Cina yang tidak pernah dapat dituntaskan.

Corak yang penuh dengan stereotip dan prsasangka terhadap yang minoritas dan non-pribumi juga nampak dalam berbagai kebijaksanaan pemerintahan nasional. Gejala ini dapat dipahami dengan memperhatikan bahwa para pejabat atau penguasa dalam sistem nasional berasal dari berbagai sukubangsa yang dominan di Indonesia yang telah secara sadar atau tidak sadar mengaktifkan kesukubangsaan mereka masing-masing dalam berbagai kebijaksanaan dan keputusan-keputusan sosial, ekonomi, dan politik untuk kepentingan-kepentingan mereka pada tingkat nasional maupun lokal. Sehingga seringkali ideologi sukubangsa dari si pejabat atau penguasa tersebut terwujud dalam berbagai kebijaksanaan sosial, ekonomi, dan politik yang dibuatnya, baik secara sadar maupun secara intiuitif yang primordial untuk memperoleh dukungan sosial, ekonomi, dan politik dari masyarakat sukubangsanya atau kelompok agamanya.

Dengan kata lain, sesungguhnya masyarakat Indonesia yang berdasarkan atas kebangsaan tetapi yang majemuk mempunyai sistem nasional yang askriptif dan primordial secara kesukubangsaan. Dalam perspektif ini tidak ada seorangpun yang yang dapat menjadi orang Indonesia tanpa harus menjadi anggota dari salah satu sukubangsa yang ada di Indonesia dan yang digolongkan sebagai pribumi. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa program asimilasi atau pembauran yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru menjadi gagal berantakan (Thung Yu Lan 1999a). Karena walaupun orang Cina telah berganti nama menjadi nama Jawa, Sunda, atau Batak, dsbnya., tetapi tetap saja orang-orang Cina ini digolongkan sebagai orang Cina dan bukan sebagai orang Indonesia yang pribumi. Begitu juga dalam kasus orang Cina yang telah berganti agama menjadi Islam, tetap saja digolongkan sebagai orang Cina, dan bahkan ke-Islamannya dicurigai oleh sebagian orang sebagai hanya sebuah strategi untuk dapat berbisnis secara lebih leluasa dan menguntungkan di bawah label orang Islam. Disamping kenyataan seperti tersebut diatas berkenaan dengan kegagalan program pembauran, konsep pembauran itu sendiri juga tidak jelas. Orang Cina mau dibaurkan atau diasimnilasisakan ke dalam masyarakat Indonesia atau masyarakat sukubangsa? Apakah yang namanya pembauran itu asal ganti nama atau ganti agama? Dalam kenyataannya, yang kontradiktif dengan program asimilasi atau pembauran yang disponsori oleh pemerintah Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri sampai dengan beberapa waktu yang lalu masih mendiskriminasi secara hukum orang-orang Cina yang warganegara Indonesia atau WNI, yaitu dengan cara diberi kode khusus di KTP berdasarkan identifikasi ke Cinaan tersebut. Ada dugaan bahwa berdasarkan kode tersebut pejabat pemerintah setempat dapat melakukan berbagai tindakan diskriminatif dan pemerasan. Begitu juga sampai dengan sekarang masih terdapat ketentuan hukum yang mewajibkan seorang anak Cina, yang orang tuanya adalah warga negara Indonesia, harus secara aktif memohon kewarganegaraan Indonesia kepada pemerintah. Atau kalau hal itu tidak dilakuknnya maka si anak Cina tersebut digolongkan sebagai warga negara asing atau tidak berkewarganegaraan.


Kesukubangsaan Sebagai Kekuatan Sosial

Tidak dapat disangkal bahwa kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial diantara sesama anggota sukubangsa, dan kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai solidaritas sosial yang mempunyai kekuatan sosial yang memaksakan diberlakukannya sesuatu kenbijaksanaan politik atau ekonomi, memenangkan sesuatu persaingan untuk memperebutkan sumber daya, atau untuk menghancurkan sesuatu kelompok sukubangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada saat kesukubangsaan tersebut terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.

Dari satu segi, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial mirip dengan keyakinan keagamaan. Karena keyakinan keagamaan pada waktu terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial juga tidak dapat ditawar atau diremehkan. Kedua-duanya mempunyai potensi merusak yang sama besarnya di dalam konflik antar-sukubangsa atau antar-keyakinan keagamaan. Tetapi dari segi lain, kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan tidaklah sama. Karena kesukubangsaan mempunyai efektivitas kekuatan sosial dalam batas-batas sesama anggota sukubangsa, sedangkan keyakinan keagamaan mempunyai jangkauan solidaritas sosial hanya dalam salah satu segmen masyarakat sukubangsa, dalam sesuatu masyarakat sukubangsa, atau di luar batas-batas sesuatu masyarakat sukubangsa. Karena itu, di satu sisi, keyakinan keagamaan dapat memperkuat atau memperlemah kekuatan sosial dari kesukubangsaan, sedangkan di sisi lain kesukubangsaan dapat tunduk dan berada di bawah bayang-bayang kekuatan keyakinan keagamaan.

Sebagai kekuatan sosial, kesukubangsaan beroperasi dalam batas-batas wilayah sukubangsa tempat anggota-anggota sukubangsa itu hidup. Sedangkan keyakinan keagamaan sebagai kekuatan sosial beroperasi dalam batas-batas wilayah para penganut agama yang bersangkutan, yaitu dalam sebagian dari wilayah kehidupan sukubangsa, atau keseluruhan wilayah kehidupan sukubangsa, atau dalam sebuah wilayah yang mencakup dua atau lebih wilayah kehidupan sukubangsa yang berbeda. Karena itu kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat saling memperkuat atau memperlemah jatidiri dan potensi kekuatan masing-masing, dalam hubungan antar-sukubangsa ataupun dalam hubungan antar keyakinan keagamaan.

Bruner (1974) pada waktu membahas teorinya mengenai 'hipotesa kebudayaan dominan' sebenarnya berbicara mengenai kesukubangsaan sebagai sebuah kekuatan sosial politik (lihat Suparlan 1999). Salah satu kekuatan kesukubangsaan yang dapat dilihat dan diamati sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dari sebuah masyarakat sukubangsa adalah kemampuannya untuk menentukan macam mata pencaharian yang dapat dikerjakan oleh pendatang dari sukubangsa lain. Bila pelanggaran dilakukan maka konflik antar sukubangsa dapat terwujud, seperti dalam kasus Kalimantan Barat dan Ambon (Suparlan 2000a, 2000b, 2001).

Di masa lampau hanya di kota-kota besar terdapat kehidupan masyarakat yang kesukubangsaannya beranekaragam. Tetapi pada masa sekarang hampir seluruh wilayah Indonesia secara sukubangsa adalah heterogen, dimana anggota-anggota sukubangsa dari berbagai sukubangsa dan daerah yang berbeda-beda telah secara berdampingan hidup dalam komuniti-komuniti dari kelompok-kelompok sukubangsa setempat. Sehingga hubungan antar-sukubangsa menjadi lebih intensif daripada di masa lampau, dan hal ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan berkenaan dengan pengakomodasian perbedaan-perbedaan budaya antara pendatang dengan penduduk setempat karena hampir semua pendatang yang hidup di komuniti-komuniti setempat mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan lebih agresif. Permasalahan hubungan antara pendatang dengan masyarakat setempat terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Tingkat agresifitas secara ekonomi dari para pendatang adalah masalah yang paling kritikal dalam persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang ada setempat. Karena, masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah serta pemilik atas sumber-sumber daya alam yang ada di dalam wilayah hak ulayat mereka sedangkan para pendatang dilihat sebagai tamu mereka.

Komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat yang mayoritas dan dominan menekankan penggunaaan prinsip "dimana bumi dipijak langit dijunjung" sebagai acuan yang harus dijadikan pedoman oleh para pendatang. Secara langsung atau tidak langsung komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat mendiskriminasi para pendatang dalam hak dan kewajiban berkenaan dengan upaya eksploitasi dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada setempat serta pendistribusiannya. Dalam keadaan dimana prinsip tersebut tidak lagi ditaati oleh para pendatang anggota masyarakat setempat dapat memberi peringatan atau melaporkannya kepada polisi setempat. Tetapi dalam keadaan dimana pelanggaran yang dilakukan oleh pendatang telah melampaui kelaziman hubungan 'tamu' dengan 'tuan rumah' nya, anggota-anggota komuniti dan masyarakat setempat mengaktifkan dan menggunakan kesukubangsaan untuk mengorganisasi diri mereka sebagai satuan-satuan perang, seperti yang telah terjadi di Kalimantan Barat, Ambon, dan Kalimantan Tengah.

Orang Cina yang telah datang ke Indonesia selama berabad-abad dan terus berdatangan hingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi sebagai tamu dalam prinsip "dimana bumi dipijak dan langit dijunjung" yang ditekankan oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat. Karena itu di masa lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin antara orang-orang Cina dengan perempuan pribumi setempat telah memungkinkann berubahnya status 'tamu' menjadi kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat. Perubahan status ini telah memungkinkan berubahnya status 'tamu' menjadi orang sendiri yang dalam batas-batas tertentu telah memungkinkan keturunan mereka itu juga mempunyai hak-hak atas tanah dari kelompok kerabat setempat.

Diantara orang-orang Cina yang hidup di Indonesia yang secara relatif terbebas dari posisinya sebagai tamu adalah komuniti orang Cina di Singkawang. Orang Cina yang sekarang hidup di Singkawang adalah keturunan dari nenek moyangnya yang telah datang ke tempat ini dan sekitarnya karena tertarik pada adanya emas di Monterado dan Mandor. Mereka telah datang dan menetap di Singkawang sebelum adanya orang Melayu atau Dayak yang menetap di daerah tersebut. Di masa lampau mereka ini merupakan komuniti-komuniti yang masing-masing berdiri sendiri berdasarkan atas kesukubangsaan dan asal daerah di Cina, yang menjalin hubungan diantara sesama komuniti tersebut, disamping menjalin hubungan baik dengan kesultanan Sambas dan dengan masyarakat Dayak yang ada di sekeliling Singkawang. Pada masa sekarang, mereka ini diperlakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai warga negara Indonesia keturunan asing, dan bersamaan dengan itu berbagai peraturan mengenai kewarganegaraan tersebut diberlakukan terhadap mereka, sama dengan yang dibelakukan terhadap orang-orang Cina di Indonesia. Kalau di masa lampau posisi mereka di Singkawang seperti pribumi, maka posisi mereka sekarang ini adalah seperti orang asing yang menjadi tamu di wilayah orang Melayu dan Dayak.


Pribumi dan Non-Pribumi Posisi Orang Cina

Konsep asli yang dibedakan dari non-asli dan pribumi lawan dari non-pribumi merupakan konsep-konsep penting dari kesukubangsaan yang ada dalam kehidupan masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia. Dengan mengacu pada konsep-konsep ini, berbagai bentuk keteraturan sosial diciptakan dan dimantapkan, dan di dalam keteraturan sosial tersebut tercakup hubungan antara mereka yang dominan dan yang minoritas. Dalam hubungan dominan-minoritas tersebut terdapat berbagai bentuk diskriminasi oleh yang dominan terhadap yang minoritas.

Di masa lampau, para pendatang di sebuah masyarakat sukubangsa pada umumnya cenderung hidup dan menetap di daerah perkotaan. Karena di daerah perkotaan itulah mereka dapat menyesuaikan kehidupan mereka secara lebih baik dengan cara hidup sebagai tenaga buruh atau pedagang, seperti yang dilakukan oleh orang Cina dan Arab dalam sejarah migrasi mereka di kepulauan Nusantara, yang tidak perlu harus berurusan dengan hak-hak ulayat atau adat berkenaan dengan pengolahan dan pemilikan atas tanah atau hutan yang menjadi hak prerogatif dari masyarakat sukubangsa setempat. Diantara orang Cina di Indonesia ada yang datang dan menetap di daerah pedesaan atau perkebunan milik orang-orang Belanda di jaman penjajahan Belanda, seperti yang terjadi di Depok, Tangerang, atau daerah lainnya. Sebagian besar dari mereka ini telah melebur atau terasimilasi menjadi orang setempat, karena meninggalkan ciri-ciri kesukubangsaan Cinanya (berganti menjadi beragama Islam, saling kawin dan beranak pinak dengan anggota masyarakat setempat, dan mengadopsi jatidiri sukubangsa setempat dan kebudayaannya). Sebagian lainnya masih tetap mempertahankan kesukubangsaan Cinanya, karena tetap mempertahankan keyakinan keagamaan Konghucu yang menekankan pentingnya hubungan ritual dengan leluhur, penggunaan kebudayaan dan terutama bahasa asalnya di Cina di dalam keluarga dan di dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan hidup dalam lingkungan komuniti mereka sendiri yang menjadi pendorong dan pen-stimuli dipertahankan dan dikembangkannya kebudayaan asal Cina mereka yang askriptif dan primordial. Mereka ini di Jakarta dikenal dengan nama Cina Benteng. Di daerah perkotaan di pulau Jawa mereka cenderung mengelompok dalam komuniti mereka sendiri. Wilayah komuniti ini dikenal dengan nama Pecinan, yang biasanya bukan hanya menjadi tempat tinggal tetapi juga menjadi tempat bisnis grosir dan berbagai kegiatan perdagangan eceran serta pelayanan jasa-jasa lainnya yang menjadi mata pencahariann spesialisasi mereka.

Di zaman pemerintahan Hindia Belanda orang Cina, bersama dengan orang Arab, secara hukum digolongkan sebagai Orang Timur Asing dengan implikasi bahwa hukum yang diberlakukan kepada mereka bukan hukum Belanda atau hukum adat dari Pribumi. Dampaknya adalah bahwa mereka itu tidak tergolong sebagai Belanda dan tidak tergolong pula sebagai pribumi. Mereka adalah Orang Asing dari Timur. Mereka mempunyai hak untuk mengajukan diri menjadi warganegara Belanda, sehingga hukum yang diberlakukan kepada mereka adalah sama dengan yang diberlakukan terhadap orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Sebagian dari mereka yang berhasil dalam bisnis, yang dapat membiayai sekolah anak-anak mereka di sekolah Belanda, menghasilkan generasi orang Cina yang berpendidikan Barat dan yang cenderung menjadi Kristen. Sebagian dari mereka inilah yang kemudian memanfaatkan kesempatan untuk menjadi warganegara Belanda.

Di Kalimantan Barat, terutama di kota Pontianak dan Singkawang serta di daerah-daerah sekitarnya terdapat komuniti-komuniti orang Cina. Mereka yang di daerah perkotaan terutama hidup dari berdagang dan berbagai kegiatan jasa dan buruh, sedangkan yang hidup di daerah pedesaan dari bertani, menangkap ikan, disamping menjadi pedagang dan buruh. Mereka mengelompok dalam komuniti-komuniti asal daerah mereka di Cina, mempertahankan kebudayaan dan bahasa asal mereka, disamping mengadaptasi diri dengan kebudayaan Melayu setempat. Mereka juga mempertahankan keyakinan keagamaan Konghucu dan pemujaan ritual kepada nenek moyang, walaupun di masa Orde Baru mereka itu menyembunyikan keyakinan keagamaan ini di bawah label agama Budha.

Orang-orang Cina di Indonesia menikmati masa-masa yang relatif tenang sampai dengan tahun 1960, yaitu sampai dengan ketika pemerintah Indonesia memutuskan untuk membedakan antara yang warga negara Indonesia dan warganegara asing, dan antara yang ingin tetap tinggal di Indonesia dan yang ingin kembali ke negeri leluhurnya RRC. Secara sosial tidak jelas adanya diskriminasi terhadap Cina sebagai golongan, walaupun secara individual hal itu bisa terjadi.

Pada waktu terjadinya peristiwa G 30S/PKI dimana orang-orang Cina dituduh terlibat didalam kup tersebut, karena keterlibatan organisasi Baperki dengan PKI, maka banyak orang Cina yang ditangkap oleh militer, sebagian lainnya dibunuh oleh massa, dan sebagian lainnya hilang atau melarikan diri ke luar Indonesia. Sebagian dari orang-orang Cina di Kalimantan Barat adalah pendukung presiden Sukarno, yang dituduh sebagtai G 30S/PKI. Mereka melakukan perlawanan terhadap upaya penangkapan atas diri mereka oleh militer, dan membentuk pasukan-pasukan perlawanan di daerah perbatasan Kalimantan Barat. Pada tahun 1968 perlawanan mereka dapat ditumpas oleh militer dengan menggunakan pasukan Dayak yang mengaktifkan tradisi 'mangkok merah yang telah dilarang di zaman penjajahan Belanda. Saya mencatat dari seorang informan orang Dayak mengenai digunakannya kembali kekuatan kamang tariu yang menggunakan mangkok merah untuk solidaritas sosial diantara orang Dayak untuk menghancurkan dan mengalahkan musuh (Suparlan 2000a).

Dalam zaman Orde Baru ini pemerintah memberlakukan berbagai peraturan sebagai cara untuk mengontrol orang-orang Cina di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah diskriminasi secara hukum terhadap orang Cina karena mereka itu dianggap asing dan kesetiaan mereka terhadap negara dan bangsa Indonesia diragukan oleh pemerintah. Secara sosial, tindakan-tindakan yang diskriminatif secara hukum itu diikuti oleh anggota-anggota masyarakat yang pribumi yang berkepentingan untuk menguasai atau mengambil alih kekuasaan orang-orang Cina dalam bidang bisnis dan perdagangan. Dampak dari tindakan-tindakan diskriminatif tersebut adalah pemalakan, pemerasan, dan bahkan pembakaran dan penghancuran rumah dan pertokoan mereka, tanpa orang-orang Cina ini dapat memperoleh perlindungan sewajarnya secara hukum dan keamanan. Sebagai golongan minoritas mereka ini menjadi kambing hitam atas berbagai kekacauan ekonomi nasional Indonesia, dan dalam kehidupan masyarakat-masyarakat pada tingkat lokal. Puncak dari kemarahan masyarakat Jakarta atas kebobrokan ekonomi Indonesia terhadap orang Cina, si kambing hitam, adalah pada tgl. 13-14 Mei 1998 (lihat Suparlan 2000b). Tidak dapat disangkal bahwa dalam peristiwa ini terlibat berbagai pihak sebagai provokator, tetapi bukti-bukti untuk itu tidak cukup untuk mengungkapkannya.

Kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, sebetulnya terdapat kontradiksi antara kebijaksanaan diskriminasi dan yang dilakukaan oleh presiden Suharto dan pajabat-pejabat sipil ABRI terhadap orang Cina (lihat: Nuranto 1999, Wibowo 1999). . Karena presiden Suharto dan penguasa Orde Baru telah menggunakan orang-orang Cina sebagai bankir dan pelaksana perusahaan-perusahaan mereka. Dalam posisi tersebut orang-orang Cina telah memperoleh berbagai keistimewaan dan fasilitas yang telah menyebabkan mereka ini secara mencolok menjadi konglomerat bersamaan dengan posisi informal yang mereka punyai dalam pemerintahan Orde Baru. Mereka itu adalah individu-individu dan bukannya kategori atau golongan. Tetapi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, yang mereka lihat bukanlah kemunculan individu-individu konglomerat Cina pada tingkat pusat atau nasional dan pada tingkat lokal atau pemerintahan di daerah-daerah dalam struktur Orde Baru, tetapi kemunculan orang Cina sebagai sebuah golongan askriptif menjadi konglomerat sebagai hasil kong kali kong dengan para pejabat Orde Baaru. Sehingga yang disimpulkan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya adalah bahwa orang-orang Cina sebagai kategori adalah konglomerat, dan bahwa kekayaan mereka yang berlimpah tersebut adalah hasil dari korupsi dan pemanipulasian kekuasaan para pejabat yang mereka dorong untuk dilakukan dan mereka nikmati, dan dengan cara memonopoli pengeksploitasian sumber-sumber daya alam dan ekonomi yang ada di wilayah Indonesia.

Kambing hitam memang ciri-ciri kategorikal, bukan ciri-ciri individual atau perorangan. Sehingga semua orang yang bercirikan Cina, dengan segala atribut ke- Cinaanya digolongkan sebagai kambing hitam yang konglomerat dan jahat. Karena itu mereka ini harus dihancurkan supaya kehidupan ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Secara sadar atau tidak sadar orang-orang Indonesia telah menggolongkan orang-orang Cina di Indonesia sebagai sebuah sukubangsa, yaitu sebuah golongan sosial yang askriptif berdasarkan prinsip pengakuan dan diakui secara sosial, berdasarkan atas sejumlah atribut yang menjadi ciri-cirinya, dalam kasus pengkambing hitaman terhadap mereka seperti tersebut diatas.

Sebagai sebuah sukubangsa, orang Cina dilihat sebagai mempunyai ciri-ciri fisik tubuh yang berbeda dari sukubangsa-sukubangsa pribumi, terkecuali di Minahasa atau di beberapa tempat di Kalimantan, dan di Sulawesi Tengah. Secara kebudayaan dan bahasa lisan dan tertulis, kebudayaan dan ungkapan-ungkapannya, nilai-nilai budaya, dan keyakinan keagamaan yang menjadi atribut bagi ciri-ciri ke Cinaan mereka juga berbeda dari sukubangsa-sukubangsa 'pribumi'. Dengan mudah mereka dilihat sebagai orang 'asing' dan diperlakukan sebagai 'asing' dalam kehidupan masyarakat sukubangsa setempat dengan mengacu pada diskriminasi secara hukum yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan kehidupan mereka yang terpusat pada perdagangan, industri, dan berbagai pelayanan jasa yang anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat kurang atau tidak menggelutinya, telah membuat mereka itu menjadi sebuah sukubangsa nampak berbeda dan dengan mudah diidentifikasi sebagai golongan sukubangsa yang berbeda.

Sebaliknya, orang Cina juga menciptakan batas-batas sukubangsa yang dilakukannya diantara mereka yang berasal dari golongan sukubangsa atau asal daerah yang berbeda di Cina, dan yang berbeda secara strata sosial karena perbedaan kemampuan ekonomi. Dan, menciptakan serta memantapkan batas-batas sukubangsa dengan masyarakat sukubangsa setempat dimana mereka itu hidup. Jarak sosial dan budaya dengan masyarakat sukubangsa setempat ini lebih dipertegas pada waktu keyakinan keagamaan mereka yang memperbolehkan memakan daging babi dipertentangkan dengan keyakinan Islam dari masyarakat sukubangsa setempat. Walaupun terjadi batas-batas sukubangsa antara orang Cina dengan orang dari sukubangsa setempat, terkecuali yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama, tetapi hubungan simbiotik secara indvidual dan kelompok antara orang Cina dengan anggota-anggota masyarakat setempat telah terjadi selama adanya orang Cina di masyarakat setempat. Yaitu hubungan simbiotik dalam kehidupan ekonomi atau pasar, sesuai dengan tesis Furnivall (1948). Hubungan simbiotik seperti ini sebenarnya rapuh karena tidak didukung oleh adanya hubungan-hubungan sosial dan budaya yang dimantapkan melalui pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat setempat.

Kerapuhan ini, diperkuat oleh pandangan kesukubangsaan dari pemerintah yang melihat orang Cina sebagai satuan sukubangsa pendatang atau orang asing walaupun mereka itu telah menjadi warganegara Indonesia. Pandangan kesukubangsaan ini diwujudkan dalam bentuk perundangan yang diskrimitif berkenaan dengan status mereka yang warganegara, yaitu seorang anak Cina dari orang tua yang warganegara Indonesia masih harus secara aktif memohon pemebrian kewarganegaran Indonesia kepada pemerintah. Sedangkan anak dari orang Arab atau sukubangsa lainnya tidak diharuskan melakukan hal itu.

Posisi orang Cina yang digolongkan sebagai asing dan didiskriminasi seperti tersebut diatas, pada masyarakat-masyarakat lokal sebenarnya tidak separah diskriminasi yang dilakukan secara hukum oleh pemerintah Karena, melalui hubungan simbiotik seperti tersebut diatas, kategori Cina dikenal dan disahkan keberadaannya di dalam dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal yang bersangkutan. Selama bergenerasi dikenal nama orang Cina atau Cine dalam kehidupan orang Jakarta, orang Cino dalam kehidupan orang Melayu Riau, orang Cine menurut orang Melayu Kalimantan Barat, wong Cino menurut kata orang Jawa. Bahkan pada orang Jawa sebutan piyantun Cinten (priyayi Cina), dalam bahasa Jawa halus atau bahasa penghormatan, juga diberlakukan bagi orang Cina yang berpenampilan sebagai terpelajar atau priyayi, seperti dokter dsb.

Apa yang menarik untuk diperhatikan adalah gejala kemunculan konsep Tionghoa yang sekarang diaktifkan untuk digunakan oleh orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh Cina, terutama di Jakarta. Mereka dengan tegas menolak disebut orang Cina, dan bersamaan dengan itu menuntut untuk dipanggil dengan sebutan orang Tionghoa atau Chinese (dari bahasa asing yang artinya juga orang Cina). Saya tanyakan mengapa mereka tidak mau disebut orang Cina, padahal dari dulunya mereka itu juga disebut orang Cina. Jawabannya adalah kata Cina adalah kata penghinaan, karena mereka itu sering disebut atau diteriaki "Cina, lu". Lalu mengapa mereka itu ingin disebut sebagai orang Tionghoa? Jawabannya adalah karena kata Tionghoa berarti orang dari Kerajaan tengah atau Pusat Kerajaan di Cina, atau dengan kata-kata lain mereka ini minta diperlakukan sebagai orang kerajaan atau penguasa dari Cina yang datang dan hidup di Indonesia. Jadi, mereka ini orang asing, bukan orang Cina yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat-masyarakat lokal. Ciri keasingan mereka itu juga ditegaskan kembali dalam pengidentifikasian diri sebagai orang Chinese. Sebutan yang biasanya ditujukan kepada orang Cina yang berasal dari luar Indonesia atau orang asing.

Sebagai catatan penutup patut dicatat bahwa oranmg-orang Cina di Indonesia, yang warga negara Indonesia, ingin diperlakukan sebagai orang Indonesia baik secara hukum maupun secara sosial dan budaya sama dengan perlakuan yang diterima oleh setiap orang Indonesia dari sukubangsa manapun, tanpa ada diskriminasi walaupun mereka ini keturunan asing yang bukan pribumi Indcnesia.

Tetapi di lain pihak, mereka ini tidak mau disederajatkan secara sosial dan budaya dengan sukubangsa-sukubangsa yang hidup di Indonesia. Mereka menuntut diperlakukan sebagai sebagai orang asing yang terhormat dan dalam jenjang yang lebih tinggi daripada orang-orang Indonesia lainnya, yaitu minta diperlakukan sebagai orang dari pusat kerajaan Cina. Ada baiknya tokoh-tokoh dan cendekiawan Cina memikirkan sungguh-sungguh tuntutan untuk disebut sebagai orang Tionghoa atau orang Chinese bila mereka tidak ingin diperlakukan sebagai orang asing dan tidak ingin didiskriminasi. Ada baiknya jika mereka belajar dari pengalaman orang-orang Cina di Amerika (Suparlan 2002), yaitu bagaimana mereka itu dari kategori orang Cina di Amerika yang didiskriminasi secara hukum dan sosial bisa menjadi orang Cina Amerika yang semula secara sosial didiskriminasi tetapi secara bertahap menjadi bagian dari masyarakat Amerika yang sama hak dan kewajibannya dengan setiap orang Amerika lainnya. Jadi bukan mengaktifkan dan menunjukkan diri sebagai orang Tionghoa atau Chinese yang orang asing, yang hanya akan mengasingkan dan mendiskriminasikan mereka secara hukum dan secara sosial sebagai orang asing.

Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang penekanannya pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang Cina sebagai orang asing walupun orang Cina tersebut berstatus sebagai WNI. Upaya-upaya secara sosial, ekonomi, dan politik dari orang Cina di Indonesia dalam menunjukkan bahwa mereka itu bagian dari masyarakat Indonesia dan yang menunjukkan bahwa mereka itu orang Indonesia adalah yang utama. Masalah ini menuntut dilakukannya kajian-kajian secara mendalam baik oleh para cendekiawan dan tokoh-tokoh Cina di Indonesia maupun oleh ilmuwan sosial yang mempunyai perhatian mengenai hal itu.

Secara hipotetis mengingat corak masyarakat Indonesia yang menekankan kesukubangsaan dan afiniti mungkin dua isyu dapat didiskusikan, yaitu: apakah orang Cina di Indonesia harus diperlakukan sebagai sebuah sukubangsa, atau orang Cina di Indonesia dilihat sebagai bagian dari sukubangsa-sukubangsa setempat dimana mereka itu telah dan sedang hidup di dalam masyarakatnya.

Daftar Kepustakaan

Bruner, Edward M., 1974, "The Expression of Ethnicity in Indonesia". Dalam Abner Cohen (ed), Urban Ethnicity. Hal. 251-288. London: Tavistock.

Furnivall, J.S., 1944, Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press.

Nuranto, N., 1999, "Kebijakan Terhadap Bisnis Etnis Cina Di Masa Orde Baru." Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal. 50-74 Jakarta: Gramedia.

Suparlan, Parsudi, 1979, "Ethnic Groups of Indonesia", The Indonesian Quarterly, Vol. 7, No.2, hal. 55-75.
_______ , 1995, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Tearsing Dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk. Jakarta: Yayasan OBOR.
_______ , 1999a, "Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa". Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal. 149-173. Jakarta: Gramedia.
_______ , 1999b, "Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan". Jurnal Antropologi Indonesia, Vol.23, No.58, hal.13-20.
_______ , 2000a, "Kerusuhan Sambas". Jurnal Polisi Indonesia, No.2, hal. 71-85.
_______ , 2000b, "Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia". Dalam, Michael Leigh (ed), Proceedings of the Sixth Bienneal Borneo Reserach
Conference. Hal. 97-128. Kucing, Sarawak: Institute of East Asian Studies, University of Malaysia.
_______ , 2001a, "Kerusuhan Ambon". Jurnal Polisi Indonesia. No.3, hal. 1-30.
_______ , 2001, Indonesia, Kesukubangsaan, dan Posisi Orang Cina. Makalah.
_______ , 2002, Orang Cina Amerika. Makalah untuk Seminar Orang
Cina di Amerika. Kajian Wilayah Amerika, U.I., 6 Juni 2002.

Taher, Tarmizi, 1997, Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.

Thung Ju Lan, 1999a, "Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia". Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal. 3-23. Jakarta: Gramedia.
_____ , 1999b, "Masalah Cina: Konflik Etnis yang Tak Kunjung Padam".
Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 23, No. 58, hal. 21-35.

Wibowo, I., 1999, "Pendahuluan". Dalam I.Wibowo (editor), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal.. ix-xxxi, Jakarta: Gramedia

Melayu dan Non-Melayu di Riau : Kemajemukan dan Identitas

Melayu dan Non-Melayu di Riau : Kemajemukan dan Identitas
Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D
Universitas Indonesia


Tulisan ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat Riau terjadi interaksi yang baik antara orang Melayu dengan non-Melayu. Corak hubungan sosial yang baik tersebut terjadi karena 1) dalam sejarah kebudayaan, orang Melayu yang diakui secara adat sebagai penduduk asli Riau sudah terbiasa berhubungan dan tukar-menukar kebudayaan dengan bangsa-bangsa asing; 2) adanya keanekaragaman dalam kehidupan sosial dan budaya di Riau yang juga terwujud dalam identitas sosial dan budaya orang Melayu; dan 3) kebudayaan Melayu mempunyai corak yang terbuka dan akomodatif bagi unsur-unsur kebudayaan dari luar, serta dapat hidup berdampingan dalam keanekaragaman identitas sosial dan budaya.

1. Pendahuluan

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Kemajemukan ini ditandai dengan adanya perbedaan golongan, sukubangsa, dan etnik masyarakatnya. Masing-masing golongan, sukubangsa, dan etnik mempunyai kebudayaan sendiri, tetapi secara bersama-sama hidup dalam satu wadah dan berada di bawah naungan sistem dan kebudayaan nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

Adanya perbedaan kebudayaan tersebut pada hakekatnya karena adanya perbedaan adaptasi lingkungan hidup dan perbedaan sejarah perkembangan kebudayaan masing-masing. Puncak-puncak kebudayaan tersebut merupakan konfigurasi dari masing-masing kebudayaan yang memperlihatkan adanya prinsip-prinsip kesamaan dan saling menyesuaikan satu dengan lainnya, sehingga menjadi landasan terciptanya kebudayaan nasional Indonesia.

Berbagai hubungan yang berlangsung antara warga masyarakat sukubangsa dan etnik yang berbeda telah menciptakan kebudayaan-kebudayaan umum-lokal di berbagai wilayah di Indonesia, baik skala kecil (pasar atau bagian kota) maupun skala besar (sebuah kota atau sebuah wilayah) (Suparlan, 1979: 53–75). Perspektif perubahan dan pelestarian kebudayaan umum-lokal dapat dilihat sebagai wadah yang mengakomodasi proses asimilasi (pembauran), akulturasi, dan lestarinya perbedaan identitas sukubangsa, etnik, serta identitas sosial budaya masyarakat yang berbeda, yang hidup bersama dalam wilayah kebudayaan umum-lokal tersebut.

2. Masyarakat Majemuk

Dalam perspektif kemajemukan, masyarakat Provinsi Riau dapat digolongkan sebagai sebuah masyarakat majemuk, karena terdiri atas sejumlah sukubangsa dan etnik yang hidup berdampingan. Setiap sukubangsa dan etnik saling berhubungan, berbaur, dan saling mempengaruhi dalam suasana kebudayaan umum-lokal, namun tetap mempertahankan identitas sosial-budayanya. Golongan sukubangsa dan etnik yang terdapat dalam masyarakat Provinsi Riau adalah Melayu, Cina, Arab, Hindustan, Minangkabau, Jawa, Batak, kelompok-kelompok masyarakat suku terasing (Orang Sakai, Orang Hutan, Orang Laut, Orang Talang Mamak, Orang Akit, Orang Bonai), dan pendatang lainnya yang berasal dari berbagai sukubangsa di Indonesia.

Walaupun masyarakat Provinsi Riau bercorak majemuk, tetapi masyarakat tersebut lebih dikenal sebagai masyarakat Melayu yang berkebudayaan Melayu, karena wilayah Provinsi Riau adalah tanah asal orang Melayu. Dari catatan sejarah diketahui bahwa orang Melayu adalah penduduk yang pertama kali menghuni wilayah ini (Suwardi, 1985). Di samping itu, jumlah penduduk terbanyak di Riau adalah orang Melayu. Sejarah penghunian mereka ditandai dari masa kegemilangan kerajaan-kerajaan Melayu yang tersebar di hampir seluruh Provinsi Riau maupun di luarnya (Sumatera Timur/Deli dan Semenanjung Malaya).

Masing-masing sukubangsa dan etnik yang ada di Provinsi Riau menggunakan kebudayaan mereka sebagai pedoman hidup dalam lingkup sukubangsa dan etnik masing-masing. Namun, di luar lingkup sukubangsa atau etnik, mereka menggunakan kebudayaan umum-lokal yang berlaku dalam pergaulan dan hubungan sosial. Adapun dalam suasana nasional seperti di kantor, di sekolah, dan pada upacara nasional, mereka menggunakan kebudayaan nasional sebagai pedoman bertindak.

Kebesaran kerajaan-kerajaan Melayu pada masa lampau telah meninggalkan tradisi dan simbol kebudayaan Melayu. Tradisi dan simbol tersebut menyelimuti berbagai suasana kehidupan masyarakat dan menghasilkan pengakuan dari berbagai sukubangsa dan etnik yang hidup di wilayah Provinsi Riau. Simbol-simbol signifikan yang berasal dari kebudayaan Melayu ini kemudian menjadi identitas masyarakat Provinsi Riau.

Adanya pengakuan mengenai penggunaan seperangkat simbol-simbol signifikan dari kebudayaan Melayu sebagai identitas orang Riau sebenarnya menunjukkan adanya pengakuan keagungan simbol-simbol tersebut. Di samping itu juga sebagai wujud kemajemukan masyarakat Riau yang dinaungi simbol-simbol kebudayaan Melayu Riau pada tingkat hubungan sosial antara sesama warga yang penuh dengan toleransi. Masyarakat menggunakan kearifan dan kebijaksanaan sebagai pedoman hidup dalam menghadapi dan mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada dalam kehidupan sosial sehari-hari.

3. Identitas Sosial-Budaya

Dalam masyarakat yang bercorak majemuk seperti di Provinsi Riau, identitas sosial dan budaya masing-masing sukubangsa dan etnik menjadi penting, karena berguna sebagai pedoman dalam interaksi. Dalam interaksi, para pelaku bertindak sesuai dengan harapan mereka untuk dinilai dan diperlakukan, dengan cara mewujudkan simbol yang dapat diraih dan diaktifkan. Simbol yang biasa diwujudkan dalam interaksi merupakan kombinasi dari seperangkat motif dan nilai-nilai abstrak yang pada dasarnya bersumber dari kebudayaan mereka.

Dengan demikian, referensi bagi perwujudan identitas sosial budaya dapat dilihat sebagai simbol yang signifikan bagi masing-masing sukubangsa atau etnik. Pentingnya referensi ini diakui oleh sukubangsa atau etnik lainnya yang hidup bersama dalam masyarakat tersebut. Menurut Barth (1969), gejala seperti ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa setiap sukubangsa atau etnik mempunyai seperangkat kebudayaan yang melekat pada identitas sukubangsa atau etnik tersebut, yang sewaktu-waktu saat diperlukan dapat diaktifkan sebagai simbol untuk identifikasi dan untuk menunjukkan adanya batas-batas sosial dengan sukubangsa atau etnik lainnya.

Simbol-simbol yang berasal dari kebudayaan Melayu yang berlaku di tempat-tempat umum dan digunakan untuk menjembatani berbagai sukubangsa dan etnik yang berbeda sehingga dapat saling berhubungan adalah bahasa Melayu dan etiket Melayu, terutama keramah-tamahan dan keterbukaan. Penggunaannya di tempat-tempat umum menyebabkan kebudayaan Melayu dari satu segi juga berfungsi sebagai kebudayaan umum-lokal. Hal ini karena kebudayaan Melayu mempunyai ciri-ciri utama yang coraknya terbuka dan fungsional dalam mengakomodasi perbedaan.

Ciri-ciri kebudayaan Melayu yang bersifat terbuka dan mempunyai kemampuan mengakomodasi perbedaan tersebut muncul sebagai hasil dari pengalaman sejarah kebudayaan Melayu yang selama berabad-abad telah berhubungan dengan kebudayaan asing. Oleh karena itu, kebudayaan Melayu mempunyai kemampuan mengambil alih unsur-unsur kebudayaan non-Melayu dan menjadikannya sebagai bagian dari kebudayaan Melayu. Tidak mengherankan bila ada unsur-unsur atau simbol-simbol yang dianggap sebagai simbol Melayu, namun setelah ditelusuri secara mendalam ternyata adalah simbol-simbol yang berasal dari kebudayaan non-Melayu.

Melalui hubungan sosial yang terjadi di tempat-tempat umum, berbagai sukubangsa dan etnik yang terlibat di dalamnya terlibat dalam proses pengambilalihan unsur-unsur kebudayaan Melayu. Pengambilalihan unsur-unsur kebudayaan Melayu tersebut dapat berlangsung terus dan kegunaannya tidak hanya di tempat-tempat umum, tetapi juga dalam ruang lingkup sukubangsa atau etnik masing-masing, dalam hal ini dalam ruang lingkup kehidupan keluarga masing-masing. Gejala seperti ini sebenarnya merupakan pengakuan akan pemantapan simbol-simbol Melayu sebagai simbol berbagai sukubangsa dan etnik di Riau, dalam hal identitas mereka sebagai orang Riau. Simbol-simbol Melayu tersebut, secara sadar ataupun tidak, telah menjadi bagian dari kehidupan mereka yang sewaktu-waktu dapat diaktifkan sebagai identitas mereka sebagai orang Riau.

Sebaliknya, pengaruh kebudayaan-kebudayaan non-Melayu juga terjadi pada kebudayaan Melayu. Berbagai unsur kebudayaan non-Melayu telah menjadi bagian dari kebudayaan tersebut. Pengaruh kebudayaan-kebudayaan non-Melayu beraneka ragam, tergantung pada corak hubungan sosial yang ada dan pada fungsi unsur-unsur kebudayaan non-Melayu tersebut bagi orang Melayu. Oleh karena itu, terdapat variasi dalam hal besarnya pengaruh kebudayaan-kebudayaan non-Melayu terhadap kebudayaan Melayu, sesuai dengan lokalitas masyarakat dan strata sosialnya.

Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah tetap adanya batas-batas sukubangsa dan etnik, sehingga identitas sukubangsa dan etnik tetap ada walaupun terjadi penetrasi kebudayaan antara Melayu dengan non-Melayu dan sesama non-Melayu. Barth (1969) juga telah menunjukkan gejala tersebut. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa perbedaan etnik secara kategorial tidak tergantung pada ada tidaknya kontak secara fisik antarkelompok sukubangsa atau etnik. Dia juga menunjukkan bahwa perbedaan kebudayaan tetap ada, walaupun kontak antarsukubangsa atau antaretnik dalam kelompok-kelompok tersebut terjadi.

4. Keanekaragaman Identitas Sosial-Budaya

Masyarakat Riau mengakui variasi-variasi lokal kebudayaan Melayu menurut strata sosial, di samping mengakui simbol-simbol Melayu yang mendasar dan umum. Variasi-variasi kebudayaan ini juga penting bagi orang Me!ayu, karena berfungsi sebagai identitas mereka dalam interaksi.

Kebudayaan Melayu yang diterima oleh semua golongan tumbuh dari sejarah perkembangan kebudayaan Melayu sendiri, yang selalu terkait dengan tumbuh, kembang, dan runtuhnya kerajaan-kerajaan Melayu, Islam, perdagangan internasional, dan penggunaan bahasa Melayu. Oleh karena itu, simbol-simbol kebudayaan Melayu yang diakui sebagai referensi bagi identitas Melayu adalah bahasa Melayu, Islam, keramah-tamahan, dan keterbukaan. Hal ini juga didukung oleh sistem kekerabatan bilateral yang dapat menampung kerabat-kerabat jauh sebagai saudara atau famili, di samping sejumlah ciri-ciri negatif yang sifatnya stereotipik.

Bahasa Melayu adalah bahasa orang Melayu. Tidak ada seorang Melayu pun yang tidak mengakui bahasa Melayu sebagai bahasanya, begitu juga tidak ada seorang non-Melayu pun yang tidak mengakui bahwa bahasa Melayu adalah bahasa orang Melayu. Hal yang sama juga berlaku dalam hal anutan agama orang Melayu, yaitu Islam. Seorang Melayu yang tidak beragama Islam diragukan kemelayuannya. Bahkan orang suku terasing, seperti Orang Sakai, yang meninggalkan agama nenek moyangnya dan masuk Islam disebut masuk Melayu.

Pada dasarnya, Islam yang dianut oleh orang Melayu adalah Islam tarekat, yaitu aliran yang membenarkan tetap berlangsungnya tradisi-tradisi setempat yang bernaung di bawah keagungan Islam. Islam seperti itu biasanya digolongkan sebagai Islam tradisional. Islam modern yang menentang masuknya tradisi dalam kegiatan umat juga dianut oleh sebagian orang Melayu di Riau. Kalau dilihat secara mendalam, ajaran Islam yang dianut oleh orang Melayu bervariasi. Variasi ini mengikuti sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan Melayu yang tradisinya masih tetap berlaku dalam wilayah-wilayah bekas kekuasaan kerajaan-kerajaan yang bersangkutan.

Hal yang sama juga berlaku pada bahasa Melayu. Berbagai dialek bahasa Melayu juga mengikuti perbedaan lokalitas dari kelompok masyarakat Melayu di Riau. Masing-masing orang Melayu di Riau menyadari adanya variasi bahasa ini, bahkan mereka dapat mengetahui asal si pembicara dengan mendengarkan ucapan bahasa Melayunya. Sejalan dengan variasi bahasa Melayu, juga terdapat variasi dalam hal tradisi atau adat-istiadat yang berlaku dalam kebudayaannya. Hal ini mengakibatkan sebuah kelompok masyarakat Melayu biasanya mempunyai suatu tradisi serta bahasa Melayu yang mempunyai ciri khas yang membedakan dengan kelompok masyarakat Melayu lainnya. Variasi kebudayaan Melayu di Riau juga menghasilkan variasi identitas khusus orang Melayu yang penuh dengan keterbukaaan yang dilandasi oleh prinsip hidup bersama dalam perbedaan. Prinsip ini sama dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Variasi kebudayaan dan identitas sosial-budaya orang Melayu yang berperan penting sebagai referensi dalam interaksi adalah variasi berdasarkan lokalitas. Hal ini berkaitan dengan variasi lokal yang terwujud dalam sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan di masa lampau, yang sekarang terwujud sebagai kebudayaan-kebudayaan lokal Melayu. Variasi identitas sosial-budaya Melayu di Riau sebenarnya dapat dilihat dalam kelas-kelasnya, tergantung pada tingkat interaksi sosial mereka. Interaksi sosial teratas atau paling umum terjadi antara kebudayaan Melayu Riau Kepulauan dan kebudayaan Melayu Riau Daratan. Pada tingkat berikutnya interaksi sosial terjadi antarkabupaten, antarkecamatan, dan antarkampung.

Variasi identitas sosial-budaya Melayu Riau juga dapat dilihat dalam kaitannya dengan tradisi-tradisi yang berasal dari kerajaan-kerajaan Melayu Riau pada masa lampau, sesuai dengan kepentingan para pelaku interaksi, misalnya Penyengat dibedakan dari Lingga, dan sebagainya. Di samping itu, interaksi sosial mereka masih dapat dibedakan antara orang Melayu kota dengan kebudayaan kotanya dan orang Melayu di pedesaan dengan tradisi-tradisi yang berlaku.

5. Penutup

Hal yang ditunjukkan dalam makalah ini adalah kenyataan adanya kemajemukan dalam identitas sosial-budaya orang Riau dan orang Melayu Riau. Telaah didasarkan pada pengetahuan konseptual, karena data empiris masih jauh dari cukup. Oleh karena itu, penelitian untuk mengungkap data empiris menjadi suatu kegiatan yang penting.

Kemajemukan yang ditunjukkan juga memperlihatkan sifat keterbukaan yang menjadi ciri utama kebudayaan Melayu di Riau. Dengan keterbukaannya, kebudayaan Melayu dapat mengakomodasi perbedaan yang terdapat dalam unsurunsurnya dan secara bersama-sama hidup dalam kehidupan yang penuh dengan keterbukaan. Ciri-ciri ini sebenarnya dapat mengakomodasi perubahan-perubahan menuju perkembangan dan kemajuan kebudayaan Melayu di masa mendatang.

Daftar Pustaka

Akbar, A. 1985. Adat Melayu di Kabupaten Kampar. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Asmuni, M. R. 1985. Adat Melayu Riau di Kerajaan Gunung Sahilan (Kerajaan Kampar Kiri). Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Barth, F. 1969. “Introduction” dalam Ethnic Groups and Boundaries. Boston: Little Brown.

Effendy, T. 1985. Lambang-lambang dalam Seni Bangunan Tradisional Sebagai Refleksi Nilai Budaya Melayu. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Ghalib, W. 1985. Adat dalam Masyarakat Melayu Riau. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Kadir, M. D. 1985. Pertumbuhan dan Perkembangan Kesenian Melayu Riau. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Luthfi, A. 1985. Beberapa Catatan Tentang Corak dan Warna Adat Melayu. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Moerman, M. 1985. “Ethnic Identification” dalam A Complex Civilization. American Anthropologist, 67, (5).

Niat, R. A. dkk. 1985. Budaya Melayu Riau dalam Pertumbuhan dan Perkembangannya. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Nur, A. dkk. 1985. Budaya Melayu yang Tumbuh dan Berkembang di Kabupaten Bengkalis. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari 2 – Februari 1985.

Suparlan, P. 1979. “Ethnic Groups of Indonesia”. Indonesian Quarterly, 7 (2).

Suwardi. 1985. Konsep Melayu Menurut Sumber Sejarah. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Syamsu S. A, T. 1985. Pertumbuhan dan Perkembangan Kesenian Melayu Riau. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Tim Penyusun Indragiri Hilir. 1985. Kebudayaan Melayu Riau Sepintas Kilas. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

oooOooo

__________
Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Guru Besar di jurusan Antropologi FISIP Uni­ver­sitas Indonesia, lahir di Jakarta pada tanggal 3 April 1938. Menempuh pendidikan Sarjana Muda Antropologi di Universitas Indonesia (1958–1961); Sarjana An­tro­­po­logi di Universitas Indo­nesia (1961–1964); M.A. in Anthropology di Uni­versity of Illinois, Urbana Champaign, Illinois, USA (1970–1972); Ph.D. in Anthro­pology di University of Illinois, Urbana Champaign, Ilinois, USA (1972–1976).

Aktif menulis untuk berbagai jurnal dalam dan luar negeri, seperti Intisari, Maja­lah Universitas Tjenderawasih, Majalah Museum Nasional Jakarta, Indo­nesia, Journal of The Steward Anthropological Society, Ma­syarakat Indonesia, Berita An­tro­­pologi, dan Prisma.

Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain, Ilmu Sosial Dasar I dan II (1982), Metode Penelitian Kebudayaan (1983), Kamus Antropologi (1984, ber­sama Prof. Koentjaraningrat), dan lain-lain.

__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia, pada tanggal 17 – 21 Juli 1985. (Dengan penambahan hyperlink dari MelayuOnline.com)

Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural

Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural *

Parsudi Suparlan
Universitas Indonesia


Pendahuluan
Dalam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan tunjukkan bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah".
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: (1) Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan (3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.

Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing. Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media massa daripada yang sudah ada selama ini. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).
Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists now' dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002)..
Pemahaman Tentang Multikulturalisme
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji. Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran.(out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?
Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.
Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai 'Pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sehingga peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan sebagainya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya pembahasan mengenai "Akbar Tanjung dan Etika Politik" sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M (2002)


Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks. Apakah kita para ahli antropologi sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di Indonesia ini juga sudah siap untuk itu? Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut. Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi. Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang sesuai dengan itu.
Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural. Penelitian etnografi yang bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian seperti ini hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.
Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing. Sehingga secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.
Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat dijadikan landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka konsep-konsep dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.
Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme. Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut melakukan reformasi.

Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan
Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.
Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya.
Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.
Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan.
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002)
Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasin akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.

Daftar Kepustakaan
Alfian M., M. Alfian, 2002, "Akbar Tanjung dan Etika Politik". Harian Media Indonesia, 19 Maret 2002.
Bertens, K., 2991, Etika. Jakarta: Gramedia.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincolns (eds), 2000, Handbook of Qualitative Research. Second Edition. London: Sage.
Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell
Glazer, Nathan, 1997, We Are All Multiculturalists Now. Cambridge, Mass.:Harvard University Press.
Guba, Egon G.(ed.), The Paradigm Dialog. London: Sage.
Jary, David dan Julia Jary, 1991, "Multiculturalism". Hal.319. Dictionary of Sociology. New York: Harper.
Magnis-Suseno, 1987, Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Nieto, Sonia, 1992, Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education. New York: Longman.
Reed, Ishmed (ed.), Multi America: Essays on Culture Wars and Peace. Pinguin.
Rex, John, 1985, "The Concept of Multicultural Society". Occassional Paper in Ethnic Relations, No. 3. Centre for Research in Ethnic Relations (CRER).
Suparlan, Parsudi, 1999, "Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme". Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42.
_________ , 2001a, "Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan? makalah disampaikan dalam Seminar
"Menuju Indonesia Baru". Perhimpunan Indonesia Baru - Asosiasi Antropologi Indonesia. Yogyakarta, 16 Agustus 2001.
_________ , 2001b, "Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme". Harian Media Indonesia, 10 Desember 2001.
_________ , 2002a, "Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia". Jurnal Antropologi Indonesia, no. 6,
hal. 1-12.
_________ , 2002b, Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya Mengatasinya. Temu Tokoh. "Dengan Keberagaman Etnis Kita Perkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa". Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya - Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKNST) Pontianak. Singkawang, 12-14 Juni 2002.
Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press.


* Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002