Monday, 30 June 2008

ETIKA DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI DAN SOSIOLOGI

ETIKA DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI DAN SOSIOLOGI*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

Masalah Etika dalam Antropologi dan Sosiologi

Perkembangan antropologi dan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, sebagian tergantung pada data yang diperoleh dari dan mengenai informan atau responden, dan sebagian lainnya dari metode ilmiah dan imajinasi ilmiah yang telah dikembangkannya. Data yang diperoleh digunakan untuk pengembangan teori-teori dan pendekatan-pendekatan serta metodologi; dan juga untuk dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan praktis bagi kebijaksanaan untuk merubah cara-cara hidup tertentu dari para informan atau responden agar sesuai dengan dan mendukung program-program pembangunan yang telah digariskan oleh pemerintah atau untuk kepentingan praktis lainnya yang dikelola oleh badan-badan atau yayasan-yayasan swasta domestik maupun luar negeri.

Berkenaan dengan itu muncul masalah yang khususnya dihadapi oleh para ahli antropologi Amerika, yaitu berkenaan dengan adanya konflik-konflik sebagai hasil kaitan hubungan antara: (1) nilai-nilai kemanusiaan dan pribadi, dengan (2) penelitian dan hasil penelitiannya; dan dengan (3) aplikasi (yang digunakan untuk kepentingan pemerintah sendiri dan pemerintah negara lain, untuk pemerintah jajahan, untuk badan-badan atau yayasan yang menjadi sponsor dan membiayai penelitian tersebut). Munculnya masalah tersebut didasari oleh pertanyaan berkenaan dengan: 'sampai seberapa jauhkan kita sebagai ahli antropologi yang mempunyai pengetahuan mengenai kehidupan para informan itu dapat melakukan intervensi yang merubah (dan merusak) cara-cara hidup yang menjadi tradisi mereka; dan seberapa jauhkan kita dapat mengungkapkan informan dan data yang diperoleh untuk kepentingan- kepentingan praktis?'. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai gencar pada akhir-akhir tahun enampuluhan, yang antara lain kesadaran tersebut disebabkan oleh keterlibatan sejumlah ahli antropologi dalam perang di Vietnam pada waktu itu. Padahal pada waktu berlangsungnya Perang Dunia II dan sebelumnya (di wilayah-wilayah jajahan dan protektorat Amerika) banyak ahli antropologi yang menggunakan pengetahuan antropologi mereka untuk kepentingan-kepentingan praktis bagi menunjang kebijaksanaan pemerintah Amerika, tetapi masalah etika tidak menjadi masalah.

Masalah etika yang dihadapi oleh para ahli antropologi Amerika, seperti tersebut diatas, nampaknya tidak menjadi masalah bagi para ahli sosiologi Amerika. Hal ini mungkin disebabkan oleh dua hal, yaitu: (1) sasaran kegiatan sosio- logi di Amerika adalah masyarakat Amerika itu sendiri, sehingga berbagai kode etik yang telah dikembangkan dan berlaku secara baku berkenaan dengan masalah hak azasi dan hakekat kemanusiaan secara sadar ataupun tidak sadar telah diadopsi sebagai kode etik dalam sosiologi di Amerika; dan (2) masalah etik ini telah dipecahkan seja awal oleh para tokoh pelopor sosiologi dan filsafat, sehingga masalah etika dalam aplikasi sosiologi tidak lagi menjadi masalah; John Dewey, misalnya mengatakan bahwa 'tujuan semua pengetahuan adalah untuk membantu memperbaiki dan meningkatkan taraf kehidupan dalam masyarakat bagi peningkatan harkat kemanusiaan. ... dan karena itu ... sosiologi ... harus mengabdikan dirinya pada usaha social engineering (dikutip dari tulisan Scott dan Shore, 1979:90). Sedangkan masalah etika yang dihadapi oleh para ahli sosiologi adalah berkenaan dengan obyektivitas dari hasil-hasil penemuannya.

Etika dan Penelitian: Antropologi Amerika

Dalam kongresnya pada tahun 1967 American Anthropologist Association (AAA) menerima usulan mengenai masalah-masalah penelitian antropologi dan etika, untuk dikembangkan dan diformulasikan sebagai pedoman etika bagi para ahli antropologi. Sebuah panitia yang ditunjuk pada tahun 1968, menyusun sebuah draft mengenai Kode Etika yang diterbitkan di Anthropology Newsletter, April 1969. Sebuah draft yang disusun pada tahun 1970 oleh sebuah panitia khusus yang dipilih diantara para ahli antropologi, menjadi pusat perdebatan diantara para hali antropologi dalam kongresnya pada tahun 1970, telah diterima oleh kongres dan dengan demikian menjadi pedoman kegiatan-kegiatan penelitian dan profesi para ahli antropologi.

Kata pembukaan dari Kode Etika tersebut berbunyi: 'para ahli antropologi harus menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan penelitian yang secara potensial dapat merusak atau menghancurkan warga masyarakat yang ditelitinya atau merusak dan menghancurkan komuniti ilmiah'. Kode Etika tersebut mencakup enam bidang tanggung jawab profesional ahli antropologi; yaitu: (1) terhadap mereka yang diteliti atau dikaji; (2) terhadap umum; (3) terhadap disiplin antropologi; (4) terhadap mahasiswanya; (5) terhadap sponsor yang memberikan dana penelitian; (6) terhadap pemerintahnya sendiri dan terhadap pemerintah dimana penelitian dilakukan.

Secara terperinci enam bidang profesional yang diatur oleh Kode Etika tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tanggung Jawab Terhadap Mereka Yang Diteliti atau Dikaji; adalah merupakan tanggung jawab yang paling besar dalam kegiatan penelitian antropologi. Dalam hal ini ahli antropologi harus berbuat apapun yang dapat dilakukan untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan fisik, sosial dan kejiwaan dari informan serta menghormati harga diri dan 'privasi'nya. Hak-hak, kepentingan-kepentingan sensitivitas dari mereka mereka itu harus dijunjung tinggi oleh para ahli antropologi. Secara lebih khusus juga dinyatakan dalam Kode Etika tersebut bahwa para ahli antropologi harus menjelaskan tujuan penelitiannya, dan kalau untuk kepentingan aplikasi harus juga dijelaskan implikasi dari penelitian yang dilakukan tersebut terhadap kehidupan mereka; dan para ahli antropologi juga harus menjelaskan kepada mereka bahwa informan akan anonim dalam laporan data. Begitu juga, secara individual informan tidak boleh dieksploitasi untuk kepentingan pribadi si ahli antropologi. Ahli antropologi harus memperhitungkan akibat-akibat yang dapat merugikan mereka yang diteliti pada waktu mereka mempublikasikan hasil peneltiannya, dan berusaha untuk menghindarkan akibat-akibat yang merugikan tersebut. Bila penelitian yang dilakukan itu adalah penelitian rahasia, maka ahli antropologi tidak seharusnya membuat hasil penelitiannya yang disampaikan kepada sponsor bila hasil penelitian tersebut tidak dapat dipublikasi untuk umum.
2. Tanggung Jawab Terhadap Umum; mencakup pernyataan mengenai kejujuran cara memperoleh data dan kebenaran atau obyektivitas data yang dilaporkan. Secara jujur ahli antropologi harus mengemukakan kepada umum mengenai hasil-hasil kajiannya, karena mereka mempunyai tanggung jawab profesional untuk menyumbangkan pikiran-pikirannya yang dapat menjadi landasan bagi pendapat umum dari keterbatasan-keterbatasan pengetahuan mereka mengenai keanekaragaman manusia dan kebudayaannya.
3. Tanggung Jawab Terhadap Disiplin Antropologi; mencakup pengertian tanggung jawab untuk menjaga reputasi mutu antropologi dan para ahli antropologi. Mereka juga harus menjaga hubungan baik dan menjaga reputasinya selama melakukan penelitian di lapangan, sehingga tidak menyulitkan para peneliti yang datang kemudian di tempat tersebut. Sebaiknya mereka itu tidak melakukan kegiatan- kegiatan penelitian rahasia, yang laporannya tidak dapat dipublikasikan.
4. Tanggung Jawab Terhadap Mahasiswa; mencakup pengertian bahwa para ahli antropologi sebagai pengajar harus jujur dan adil terhadap para mahasiswanya dalam memberikan nilai; dan karena itu nilai yang diberikan harus terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan. Mereka juga dibebani tanggung jawab untuk memajukan kemajuan akademik dan menyadarkan adanya etika dalam penelitian serta meningkatkan kesejahteraan hidup para mahasiswanya.
5. Tanggung Jawab Terhadap Sponsor; mencakup pengertian bahwa para ahli antropologi harus jujur terhadap kwalifikasi kesanggupan akademiknya, kesanggupan mengerjakan proyek yang diterimanya, dan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dalam kegiatan penelitian yang diterimanya. Mereka harus mengetahui secara jelas darimana sumber dana bagi proyek penelitian yang diterimanya; dan sebaiknya tidak mengikat diri dengan kegiatan-kegiatan penelitian yang bersifat rahasia. Dan karena itu juga mereka harus mempunyai hak untuk menentukan keputusan-keputusan yang menyangkut masalah etika sebagai hasil dari penemuan-penemuan penelitiannya dalam pengambilan keputusan untuk kebijaksanaan dari sponsor yang menyangkut kepentingan warga masyarakat yang diteliti.
6. Tanggung Jawab Terhadap Pemerintahnya Sendiri dan Terhadap Pemerintah Dimana Dia Melakukan Penelitian; mencakup pengertian bahwa dalam kegiatan-kegiatan penelitiannya ahli antropologi harus jujur dan terbuka mengenai penelitian apa yang sedang dilakukannya dan bagaimana melakukan pengumpulan datanya. Tidak seharusnya dia terlibat dalam kegiatan penelitian yang bersifat rahasia untuk kepentingan pemerintah negaranya sehingga merugikan pemerintah dimana dia melakukan penelitian, atau sebaliknya.
Kode Etika yang dibuat tersebut dimaksudkan sebagai pedoman bertindak secara profesional bagi para ahli antropologi. Walaupun demikian, Kode Etika tersebut mempunyai sanksi-sanksi, yang dapat dijatuhkan terhadap anggota (AAA) yang melanggarnya oleh (AAA) sebagai perkumpulan profesional dalam batas-batas yang sah menurut hukum yang berlaku.
Masalah Kode Etika dalam sosiologi, seperti yang dihadapi oleh antropologi di Amerika seperti diuraikan diatas, tidak pernah terjadi. Yang menjadi masalah justru adalah berkaitan dengan masalah obyektivitas dan kenetralan etika dalam penelitian. Pedoman untuk etika dalam penelitian adalah metode ilmiah. Metode ilmiah ini mengikuti prinsip- prinsi: (1) Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu dengan keraguan yang penuh dan skeptik; dan sikap ini juga berlaku untuk hasil-hasil penemuan penelitian dari yang telah dilakukannya sendiri, yang menjadi sasaran untuk dapat diubah dan untuk analisis lebih lanjut; (2) Obyektivitas, yang dalam hal ini, si ilmuwan harus menghapuskan dari dirinya sikap-sikap pribadinya, keinginan-keinginannya, keyakinan-keyakinannya, dan kecenderungan-kecenderungan untuk menolak atau menyukai data yang diperoleh; dan (3) Kenetralan secara Etika, yaitu si ilmuwan tidak boleh membuat penilaian menurut nilai-nilai budayanya mengenai hasil-hasil penemuannya; dia hanya dapat memberi penilaian mengenai data yang diperolehnya sebagai data yang benar atau data yang palsu; dan begitu juga kesimpulan-kesimpulannya tidak boleh dianggap sebagai kata akhir, mutlak, atau kebenaran universal; karena kesimpulan-kesimpulan hanya relatif untuk waktu dan tempat dimana penelitian dilakukan dan selalu akan berubah.

Etika Penelitian Antropologi dan Sosiologi di Indonesia dan Malaysia

Masalah etika penelitian bagi ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan bagi antropologi dan sosiologi khususnya, belum pernah secara tertulis dinyatakan kehadirannya dalam dunia ilmu-ilmu sosial khususnya di Indonesia. Walaupun demikian, secara individual para ahli ilmu-ilmu sosial masing-masing telah menjalankan etika tersebut dengan bidang profesi mereka masing-masing. Mungkin sudah waktunya kalau para ahli antropologi dan sosiologi di Indonesia dan Malaysia mulai memikirkan Kode Etika yang macam mana yang sebaiknya mereka formulasikan untuk dapat dijadikan sebagai pedoman kegiatan- kegiatan profesional mereka masing-masing.

Asosiasi Ahli Antropologi Indonesia (AAAI) telah membuat draft Kode Etika untuk para anggotanya (yang dibuat oleh Dr. E.K.M. Masinambouw). Ada baiknya juga kalau para ahli antropologi dan ahli sosiologi di Indonesia dan Malaysia turut membahas draft Kode Etika tersebut, sehingga bukan hanya berlaku sebagai pedoman kegiatan profesional para ahli antropologi Indonesia saja. Uraian panjang lebar mengenai Kode Etika dari American Anthropologist Association sebenarnya dimaksudkan untuk kita dapat melihat bahwa Kode Etika itu perlu untuk digunakan bagi peningkatan kegiatan profesional kita dalam turut membantu meningkatkan harkat kemanusiaan dan pembangunan negara dan bangsa, dan dalam meningkatkan mutu keilmuwan disiplin kita masing-masing. Peningkatan mutu keilmuwan disiplin ilmu kita masing-masing, berarti juga meningkatkan mutu ilmu-ilmu sosial pada umumnya di negara kita masing- masing, berarti juga meningkatkan kepercayaan umum dan pemerintah terhadap kesanggupan profesional kita untuk turut membantu memecahkan berbagai masalah sosial yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari baik dalam skala lokal, nasional, maupun regional antar bangsa.

Dengan demikian, perlunya Kode Etika bagi profesi kita masing-masing maupun secara bersama-sama itu tidak dapat ditawar lagi. Tanpa adanya Kode Etika, khususnya bagi penelitian, maka mutu keilmiahan dari data yang dikumpulkan dan dianalisis bisa menyimpang daripada yang diharapkan dari suatu penelitian ilmiah.

Kepustakaan

American Anthropologist Association
1970 AAA: Principles of Professional Responsibility.

Scott, Robert A. dan Arnold R. Shore
1979 Why Sociology Does Not Apply: A Study of Sociology in Public Policy, New York: Elsevier.

*) Malaysia, 9-11 Desember 1985

No comments:

Post a Comment