Monday 30 June 2008

TATA RUANG, KEHIDUPAN SOSIAL, DAN MASALAH-MASALAH SOSIAL

TATA RUANG, KEHIDUPAN SOSIAL, DAN MASALAH-MASALAH SOSIAL*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA

Pendahuluan

Dalam studi-studi ilmu-ilmu sosial, tata ruang sebagai sebuah variabel sering diabaikan dalam pengkajian mengenai tindakan-tindakan sosial dan pola-pola kekuatan manusia. Begitu pula pengkajian hubungan antara kebudayaan dengan tata ruang dan dengan pola kelakuan serta tindakan sosial manusia jarang diperhatikan. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial kini, khususnya dalam Antropologi, kelakuan tidak lagi dilihat semata-mata sebagai hasil kebudayaannya, tetapi sebagai motif dan response terhadap lingkungan yang dihadapi (lingkungan sosial yang dapat berupa pola-pola interaksi, dan sebagainya; lingkungan alam; dan lingkungan fisik), yang perwujudannya dipengaruhi oleh kebudayaannya dan diselimuti oleh simbol-simbol yang bersumber pada kebudayaannya tersebut.

Ceramah ini berisikan uraian pengantar singkat mengenai kaitan hubungan antara kebudayaan, tata ruang, kehidupan sosial, dan masalah-masalah sosial. Besar harapan bahwa ceramah ini akan mendapat merangsang para peserta ceramah untuk turut memikirkan berbagai masalah tata ruang dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari yang ada dalam masyarakat-masyarakat Indonesia yang sedang dengan cepat mengalami perubahan karena pembangunan.

Kebudayaan dan Tata Ruang

Tidaklah dapat disangkal akan adanya pengaruh kebudayaan terhadap perwujudan adanya ruangan (space) dimana hubungan-hubungan antar individu dapat diwujudkan dengan tepat sesuai dengan motif dan lingkungan yang dihadapi oleh yang bersangkutan. Hall (1959) telah menunjukkan bagaimana pentingnya peranan pengetahuan tentang kewilayahan (territoriality) yang dipunyai oleh hewan juga terdapat pada manusia dalam wujud jarak (distance), yang bagi manusia sebenarnya merupakan medium komunikasi di antara sesamanya. Dalam tulisan tersebut lebih lanjut ditunjukkan oleh Hall bahwa kebudayaan merupakan landasan bagi terwujudnya pola-pola mengenai tata ruang yang ada pada arsitektur, tata ruang pada umumnya (landscaping), dan pada desain tata kota.

Dalam studinya lebih lanjut mengenai ruang sebagai suatu dimensi yang tersembunyi dalam kebudayaan manusia, Hall (1966) memperlihatkan bahwa manusia hidup dalam ruangan-ruangan dengan tipe-tipe dan ukuran-ukuran tertentu yang tepat sesuai dengan kebudayaan mereka masing-masing. Salah satu dari ruangan-ruangan, dimana manusia hidup dan memperlihatkan adanya tipe dan ukuran yang tertentu adalah rumah (berikut pekarangannya) tempat manusia tinggal. Di dalam rumah ada pembagian ruangan-ruangan yang tepat sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan. Pada orang Jawa, misalnya, ruangan-ruangan dalam rumah dibagi menurut pola sebagai berikut:

1. Bagian luar (bagian depan terdiri atas ruangan untuk bercengkerama dan menerima tamu; dan bagian belakang terdiri dari dapur, kamar mandi dan sumur dan bagian paling luar adalah kakus).

2. Bagian dalam (terdiri atas ruang tengah untuk makan dan kamar-kamar tidur).

Batas-batas antara ruangan-ruangan ini adalah jelas; dan bahkan menurut konsep yang ada dalam kebudayaan orang Jawa, masing-masing ruangan ini mempunyai penunggu-penunggu makhluk halus tertentu sesuai dengan fungsi masing-masing ruangan dan tidak bisa dicampur adukkan yang menunggu dapur, misalnya, dikenal sebagai kyai atau nyai Geseng yang memberi berkah pada dapur; sedangkan yang menunggu tempat-tempat MCK adalah gendruwo. Mengenai pola ideal rumah menurut kepercayaan Jawa, saya persilahkan mempelajarinya dari buku Kitab Bentaljemur Adammakno.

Tata Ruang dan Kesatuan Sosial

Kalau kita melihat rumah sebagai suatu kesatuan tata ruang, kita melihat bahwa rumah bukanlah hanya semata-mata merupakan satuan ruang dengan batas-batas yang jelas dan nyata dapat dilihat dan diraba, tetapi juga merupakan suatu satuan sosial yang mempunyai batas-batas sosial yang jelas. Rumah adalah tempat keluarga melangsungkan kehidupannya, (memenuhi kebutuhan hidupnya) yaitu: mempersiapkan makanan dan minuman, melakukan hiburan dan bersendau gurau, pendidikan anak-anak dan sosialisasi, tempat belajar, tempat beristirahat, tempat berlindung, berkembang biak, melakukan kegiatan MCK, dan juga tempat mengadakan berbagai kegiatan sosial lainnya.

Bahkan juga, rumah dapat dilihat sebagai tempat terwujudnya berbagai situasi sosial dimana interaksi sosial dapat terwujud antara lain dengan adanya ruangan-ruangan yang berfungsi sesuai dengan berbagai kebutuhan manusia, yang fungsi tersebut sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan (Hall, 1977).

Tiga perspektif dalam melihat rumah telah diperlihatkan tersebut di atas, yaitu sebagai suatu tata ruang yang modelnya bersumber pada kebudayaan, sebagai tata ruang yang fungsinya berkaitan erat dengan corak dan pola kesatuan sosial yang hidup di dalamnya, dan sebagai tata ruang yang merupakan medium komunikasi dimana tata ruang tersebut menjadi situasi-situasi sosial dimana interaksi-interaksi dan kegiatan-kegiatan sosial dilakukan.

Ketiga perspektif dalam melihat rumah tersebut memperlihatkan bahwa konsep mengenai luas rumah, pembagian rumah dalam ruangan-ruangan, fungsi rumah dan ruangan-ruangan rumah, dan jumlah serta kategori individu yang boleh tinggal di dalamnya, tidaklah sama pada masyarakat-masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda. Bahkan dalam satu mayarakat yang dapat digolongkan sebagai mempunyai kebudayaan yang sama, misalnya masyarakat kota dengan kebudayaan kotanya, perbedaan-perbedaan ini tetap ada karena adanya perbedaan-perbedaan kebudayaan yang dipunyai oleh warga kota yang bersumber pada latar belakang asal kebudayaan (antara lain kebudayaan sukubangsa), tingkat ekonomi, lama tinggal di kota, profesi, dan lingkungan yang dihadapi di kota (termasuk antara lain kepadatan wilayah kota tempat mereka tinggal, pola kebudayaan dan pengelompokan pemukiman di sektor kota tempat mereka tinggal).

Model yang digunakan dalam contoh mengenai rumah tersebut di atas, dapat juga digunakan untuk mengkaji wujud tata ruang lainnya, seperti misalnya, tempat pemukiman, kampung, desa, kota, dan bahkan juga wilayah. Pengkajian tersebut di atas, belum lagi memperhitungkan macam-macam komponen/unsur- unsur yang ada dalam ruangan dan penataan unsur-unsur tersebut sehingga menciptakan suatu ruangan yang sesuai dengan fungsinya bagi situasi-situasi sosia dimana interaksi-interaksi sosial diwujudkan.

Tata Ruang dan Masalah-masalah Sosial

Masalah sosial dapat didefinisikan sebagai suatu gejala sosial yang dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan sebagai sesuatu yang tidak biasa, tidak benar, dan merugikan mereka. Masalah sosial dapat juga dilihat dengan kacamata pengukuran ilmiah sebagai suatu gejala yang merugikan para warga masyarakat walaupun para warga masyarakat tersebut tidak sadar akan hal itu. Biasanya setelah suatu hasil penemuan ilmiah berkenaan dengan gejala sosial yang merugikan warga masyarakat tersebut disebar luaskan di dalam masyarakat yang bersangkutan, barulah para warga masyarakat tersebut sadar akan adanya masalah sosial tersebut.

Kebudayaan selalu berada dalam proses berubah. Perubahan kebudayaan tersebut bersumber pada perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur yang ada dalam eko-sistem, dimana manusia, kebudayaan dan masyarakat merupakan sebagian lain eko-sistem tersebut. Perubahan kebudayaan yang dialami oleh suatu masyarakat biasanya berjalan secara lambat dan bertahap, sehingga perubahan tersebut tidak dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan pada umumnya, sehingga karena itu juga masalah sosial tidak terwujud dalam masyarakat seperti tersebut di atas.

Tetapi dalam keadaan yang khusus, yaitu misalnya, karena dilaksanakannya program pembangunan (yang terwujud dalam bentuk serangkaian usaha untuk menaikkan taraf hidup, baik secara kwalitatif maupun kwantitatif) dalam masyarakat yang bersangkutan, perubahan kebudayaan yang terwujud dapat berjalan dengan amat cepatnya. Dan sebagai hasilnya, juga, berbagai masalah sosial terwujud dan dirasakan oleh para warga masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi karenan hakekat pembangunan itu sendiri yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, berarti meningkatkan taraf konsumsi; dan meningkatkan taraf konsumsi harus dipenuhi oleh benda dan jasa. Pemenuhan konsumsi pada benda dan jasa secara kwantitas dan kwalitas hanya dapat dilakukan semaksimal mungkin kalau pengeksploitasian yang semaksimal mungkin juga dilakukan terhadap sumber daya yang ada dalam lingkungan alam, pisik dan terhadap manusia sendiri. Eksploitasi khususnya eksploitasi atas sumber daya alam, menyebabkan terjadinya perubahan dalam tata ruang, yang menyebabakan perubahan pada berbagai sektor kehidupan ekonomi, dan pada pola kehidupan sosial yang sudah ada sebelumnya. Karena tidak semua warga masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan, dan bahkan ada yang menjadi korbannya, berbagai masalah sosial terwujud dalam masyarakat (antara lain kejahatan dan pelacuran). Contoh seperti tersebut di atas telah saya perlihatkan dalam laporan pendahuluan studi saya mengenai perubahan lingkungan hidup sosial di Citeureup (1980).

Penutup

Sebagai penutup ingin sekali lagi saya menyatakan bahwa tujuan ceramah ini adalah agar dapat merangsang pemikiran rekan-rekan dari FIS-Unair akan adanya masalah konkrit yang kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan sosial kita. Masalah konkrit tersebut terwujud dari kaitan hubungan kebudayaan, tata ruang, dan kehidupan sosial.

Masalah yang terwujud dari kaitan hubungan antara ketiganya dapat menghasilkan berbagai masalah sosial yang secara konkrit kita hadapi sebagai warga masyarakat dari negara yang sedang berkembang, yang mengalami laju perubahan kebudayaan secara cepat.

Contoh pengkajian yang telah dikemukakan tersebut di atas bersifat umum dan berkenaan dengan prinsip-prinsipnya saja. Rekan-rekan FIS-Unair tentunya dapat menciptakan masalah-masalah penelitian secara opersional dapat diteliti kebenarannya berkenaan dengan berbagai masalah sosial yang terwujud dari hasil kaitan hubungan antara kebudayaan, tata ruang dan kehidupan sosial. Misalnya, masalah kepadatan penduduk, tata ruang dan kapasitas belajar anak pada golongan miskin di Surabaya: batas pisik, batas sosial dan ketegangan sosial; dan sebagainya.

Dengan demikian, masalah penelitian yang dikerjakan tidak saja akan memperkaya teori-teori yang telah ada dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi juga secara praktis dapat berguna bagi pemerintah dan para warga masyarakat dalam usaha menanggulangi berbagai masalah sosial untuk kita hadapi bersama. Di samping itu pendekatan yang memperhitungkan variabel tata ruang dapat menjembatani hubungan-hubungan ilmiah di antara ilmu-ilmu sosial dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya, seperti artikel perencanaan kota, dan sebagainya.


*) FISIP-Universitas Airlangga, Surabaya 20 Desember 1980

No comments:

Post a Comment