Sunday 29 June 2008

Surat Buat Parsudi Suparlan

Surat Buat Parsudi Suparlan

KEANGKUHAN apa lagi yang bisa kau perlihatkan Prof Parsudi Suparlan? Hari ini, kau tak berdaya dan terbaring kaku. Bahkan untuk sekedar mengeluarkan seringai serta tatapan sinismu, kau tak sanggup melakukannya. Hari ini, tak ada sedikitpun tersembul jumawa di wajahmu. Bahkan sorot matamu yang tajam, juga tak tampak. Kau ditemukan sudah terbujur kaku di rumahmu, di Ciputat, tempat kau memulai hari.

Bukankah engkau adalah seorang profesor antropologi yang selalu mengagungkan manusia dan setia pada disiplin ilmiah hingga nyaris tidak percaya pada dunia setelah saat ini? Bukankah kau seorang antropolog yang meyakini bahwa rasio manusia bergerak sebebas udara dan sanggup menerabas segala struktur dan kategori? Apakah kau menerima kematian sebagai situasi ketika kau tak sanggup memilih dan memasrahkan dirimu untuk melakukan perjalanan jauh menggapai dunia baru? Apakah kau girang di sana, segirang Margareth Mead ketika menemukan suku primitif baru? Apakah engkau akan menjelajah dan menyusun fieldnote di dunia sana sebagai jejak dan serpih realitas yang hendak kau interpretasi dan tekuk dalam berbagai kategori? Apakah kau....? Ah,....Aku hanya bisa bertanya.

Hari ini aku terpekur menatap jenazahmu di Masjid Kampus UI. Aku tak pernah ikut kuliahmu. Namun idemu yang memancar di baris tulisanmu, telah lama menggema di hatiku. Aku ikut mengangkat peti matimu, kemudian salat gaib dan mendoakan keselamatanmu. Tak kuhiraukan tubuhku yang lelah karena mengangkat petimu. Aku langsung membacakan doa Tawassul sebagai doa Rasulullah yang kuyakini akan didengar Allah agar kau terselamatkan. Namun aku gamang. Apakah konsep keselamatan hanya bentuk tafsir kita atas dunia pasca-kematian? Aku ingat kau pernah menanyakan itu. Apakah benar ada sebuah pengadilan atas apa yang kita lakukan hari ini dan kau di sana tengah menanggung segala konsekuensinya? Dibesarkan dalam tradisi verifikasi dunia ilmiah, mungkin saja kau sedang terkekeh menyaksikan kami yang sibuk dengan segala ritual melepasmu di sini. Mungkin saja kau sedang tertawa melihat kami yang sibuk buat upacara di depan kampus Fisip dan hadir semua temanmu para profesor angkuh, hingga rektor, yang kesemuanya memujamu sebagai seorang putra terbaik UI? Mungkin saja, kau sedang bersama idolamu Clifford Geertz dan Victor Turner dan sibuk berdebat tentang makna ritual yang kami gelar di sini.

Ah, itu semua hanya asumsi semata. Kau seoranglah yang tahu dan merasakannya. Yang jelas, hari ini kau meninggal sendirian. Tadi pagi, pukul 08.40 WIB, tubuhmu ditemukan tergeletak di tepi ranjang dan kakimu ditekuk ke atas. Luka patah lenganmu mulai membusuk dan mengeluarkan bau tengik hingga orang-orang menutup hidung. Tak ada yang tahu sudah berapa lama engkau terbujur kaku di rumah itu. Apakah empat jam ataukah enam jam lebih. Andai saja beberapa orang polisi serta warga sekitar tidak mendobrak pintu rumahmu, mungkin kau akan membusuk sendirian dan kesunyian hingga tubuhmu ditemukan. Andai saja para polisi itu tak datang menjemputmu untuk membawakan materi di Hotel Arya Dutha, mungkin nasibmu akan lain. Mungkin kau belum tahu kalau para polisi –yang juga muridmu di PTIK-- itu datang ketika ponselmu tak kunjung diangkat. Rumahmu tertutup. AC dan televisi tetap menyala. Namun, tak ada suara dan jejakmu di situ. Mereka gelisah. Lelah menggedor rumahmu, mereka lalu mendobrak bersama beberapa warga sekitar. Dan di situlah engkau terbujur kaku di lantai dekat ranjang. Engkau sendirian dan pasrah pada nasib.

Tak ada isak tangis sedih yang melengking di tepi jenazahmu. Aneh, jenazahmu tak disemayamkan di rumah agar tetangga datang melayat. Kau langsung dibawa ke RS Fatmawati untuk divisum. Kata polisi, kau ditemukan tergeletak di lantai dan harus dicek apakah ada unsur kriminal di situ. Inilah ironi masyarakat kota yang tak peduli sesamanya. Ataukah ini sebab kau memang tak membaur dan sibuk di singgasana akademis sebagai profesor dan menarik jarak dengan sekelilingmu. Mungkin keangkuhan akademik ini yang membuatmu selalu sendiri dan dibalut sunyi.

Aku mendengar anakmu di Amerika Serikat, tak mengangkat teleponnya ketika hendak dikabari berita duka tentangmu. Bahkan keempat saudaramu tak sempat melihat wajahmu. Ketika mereka tiba di Masjid UI, seorang adikmu minta supaya peti jenazah dibuka agar wajahmu dilihatnya untuk terakhir kali. Ketika peti jenazah dibuka, bau busuk mulai tercium. Wajahmu belum tampak sebab masih tertutup kain. Ketika kain itu hendak dibuka, seorang saudaramu yang lain langsung protes dan minta supaya nanti dibuka saat bersemayam di Fisip. Ternyata setiba di Fisip, petimu diletakkan di tengah dan ada upacara. Petimu itu tak pernah lagi dibuka. Mungkinkah kau mendengar testimoni sedih dan terbata-bata dari sahabatmu Herman Lantang? Katanya, ia beberapa kali naik gunung bersamamu. Kau telah mengajarkannya tentang kemanusiaan. Pernah sekali kalian tersesat dan tak punya uang. Kau mengajarkan bagaimana bertahan hidup sebagaimana daya tahan yang ditunjukkan para gembel di jalan-jalan ibu kota. Kau mengajarkannya bagaimana menjadi manusia.

Aku tak hendak mengisahkan bagaimana sambutan yang penuh puja-puji lainnya, baik dari rektor Prof Gumilar maupun dari Fisip yang diwakili Maswadi Rauf. Aku hanya menyaksikan suasana sekeliling yang mulai ramai. Apa yang sedang kau rasakan? Apakah kau sedang sedih? Aku melihat tak ada anak cucu yang mengenggam tanganmu dan berbisik tak rela kau tinggalkan pergi. Tak ada sosok perempuan yang tercekat dan merasakan satu tiang yang menopang kehidupannya telah berpulang. Tak ada celoteh anak kecil dengan suara cadel yang bingung dan bertanya-tanya kenapa ayahnya diam saja meski dicubit. Tak ada sesunggukan serta tinju mengepal ke angkasa dan menantang nasib yang tragis. Aku heran karena tidak melihat rona sedih yang dipancarkan di wajah semua saudaramu. Mereka biasa saja ketika disalami banyak orang. Tak ada isak tangis sebagaimana biasa kusaksikan. Dan kau di dalam peti itu terbujur kaku sendirian, dalam balutan kesunyian.

Aku tak hendak berpanjang-panjang. Terlalu lelah seharian di kampus. Aku ingin tidur. Hari ini, aku ikut bersama dalam barisan para antropolog baik tua dan muda yang melepas kepergianmu. Aku memandang sekeliling dan tidak melihat banyak dosen antropologi yang melepasmu. Seingatku, hanya ada Dr Budihartono yang duduk di baris belakang. Sementara dosen lain yang juga kolegamu seakan menghilang di telan bumi. Tidak nampak Yasmin Shahab, Nico Kalangie, James Danandjaja, dan Amri Marzali. Bahkan dosen muda seperti Achmad Fedyani Saifuddin dan Iwan Tjitradjaja juga tidak hadir. Apakah mereka tak tahu? Tak mungkin. Malah, pada pukul 10.00 WIB, aku masuk kampus dan sempat berbincang dengan Iwan tentangmu. Setelah itu ia bergegas pulang dan tidak pernah mengatakan akan melihatmu untuk terakhir kali.
Mungkin inilah sosok Parsudi yang sesungguhnya. Kau selalu sendirian, bahkan di saat terakhir hidupmu. Sendirian menghadapi sang maut, dan sendirian ketika tak banyak yang melihatmu. Namun, aku yakin kau tidak sendiri di sana. Setidaknya kau sedang bersama Koentjaraningrat, Harsja Bachtiar, Clifford Geertz, Marvin Harris, Margareth Mead, ataupun Ruth Benedict. Para antropolog yang dengan caranya sendiri-sendiri telah mempersembahkan risalah ilmu antropologi sebagai bentuk apresiasi pada keunikan manusia. Mereka yang telah mengabarkan ilmu ini hingga titik yang terjauh.(*)
.
Kukusan, 22 November 2007
Pukul 19.38 (jelang salat Isya)
http://www.timurangin.blogspot.com/



Buat Saudara Yusran Darmawan,

Saya mau sedikit urun rembug mengenai kesan saya terhadap Prof. Parsudi Suparlan. Dan semoga tulisan saya bisa memberikan perimbangan pada para pembaca blogger ini yang ditulis oleh Saudara Yusran Darmawan dengan sangat puitisnya.

Pertama, almarhum semasa hidup memang mempunyai beberapa sifat atau karakter yang menonjol dan mungkin sedikit eksentrik, seperti kesan jumawa, tertawa meremehkan, dan kesan sombong dan galak pada waktu diskusi di kelas maupun pada saat proses pembimbingan. Bagi saya pribadi sifat yang ditampilkan beliau adalah sah-sah saja mengingat "individu is unique". Itu adalah bagian dari kebebasan seseorang untuk mengekspresikan tata kelakuan, prinsip serta nilai yang dianutnya dalam kehidupannya. Dan menurut saya, sikap yang beliau tampilkan didasari pada hal-hal sebagai berikut : (1) Budaya orang Indonesia yang "lazy" untuk membaca dan hanya mengandalkan "omong kosong" melalui ajang "debat kusir" yang akut dan tentu saja ini membuat orang jadi "dedel" dan "stubborn" minta ampun bahkan merasa dirinya paling pintar ini terjadi pada banyak mahasiswa dan mungkin juga bagi mereka yang menyebut dirinya sebagai dosen bahkan "guru besar" sekalipun. Sikap yang beliau tunjukkan menurut saya sangat efektif untuk menghancurkan konstruksi pemikiran yang tidak jelas, tidak keruan, berdasarkan perkiraan semata, dan dengan logika yang terbalik-balik. Beliau menyebut ini dengan istilah "otak pendek", "gobloknya minta ampun" dan bahkan "otak di pantat" yang tidak pernah digunakan untuk berpikir kritis, kreatif dan skeptis. Oleh karena itu tidak jarang orang yang dikasih tahu beliau sering "terbengong-bengong" kayak kerbau saja; (2) Sikap beliau yang keras, setelah saya perhatikan, sebenarnya adalah untuk menciptakan "academic atmosphere" yang mendukung dan mencetak kaum intelektual yang berkompeten. Betapa inginnya beliau orang Indonesia dihargai oleh negara lain dan tidak sekedar diberikan labelling "ape nation". Maka wajar kalau beliau memiliki "permintaan yang tinggi" agar mahasiswanya bisa menyamainya dan kalau bisa mengalahkannya. Sebagai contoh, bagaimana beliau mendorong mahasiswanya (Haswinar Arifin) salah satu "punggawa" di Yayasan Akatiga untuk meneruskan studinya di Kanada untuk Ph.D; (3) Sikap yang muncul (gaya expertnya) adalah bukti bahwa beliau adalah seorang profesor yang tidak peduli dengan status, symbol, "perkataan orang", yang seringkali itu hanya luaran saja yang sifatnya semu. Dalam konteks ini Prof. Parsudi telah menunjukkan jiwa kesederhanaan dan telah menjadi dirinya sendiri (banyak orang yang dalam sisa kehidupannya, mungkin termasuk saudara Yusran Darmawan, masih mencari-cari jati dirinya karena belum kenyang makan asam garam kehidupan). Ini terbukti ketika saya ada kelas dengan beliau di Salemba, saya melihat dengan kepala mata sendiri beliau naik kereta ekonomi yang berjubel, yang tiketnya mahal sekali yaitu 1.500 perak. Beliau turun ke Manggarai dan naik "ojeker" ke salemba. Menyitir ungkapan Khu Lung, Chin Yung ataupun pengarang cersil lokal Asmaraman S. Khoo Ping Hoo, beliau ini sudah masuk kategori manusia setengah dewa yang rantingpun bisa jadi pedang dan sudah tidak peduli dengan kemunafikan di dunia persilatan (semakin tinggi ilmu seorang pendekar, semakin aneh perilakunya). Hehehe....

Kedua, sifat anti kemapanan yang beliau usung. Beliau selalu mengingatkan bahwa ilmu pengetahun bersifat nisbi dan ilmu pengetahuan sejatinya akan kita temukan di lapangan (Saya jadi ingat cerita wayang dimana Bima dibuang ke samudera, mati, hidup lagi, mati hidup lagi, baru menemukan ilmu sejati). Beliau juga mengingatkan mengenai "tanggung jawab seorang ilmuwan" yang harus menekankan pada kejujuran, ide-ide orisinil, pantang menyerah dan tekun dalam kegiatan akademik terutama pada saat melakukan riset. Kritik beliau, "manusia" yang tidak pernah baca buku, paling banter hanya bisa jadi "pengumpul data yang hebat" tapi tidak peneliti yang hebat. Dan ini terbukti bahwa justru yang banyak meneliti mengenai indigenous people, urban poverty, villages di Indonesia kebanyakan adalah orang luar yang notabene sebenarnya kurang mengerti pemaknaan terhadap budaya dan tata kelakuan orang Indonesia, seperti riset yang dilakukan De Waal Malefijt yang salah kaprah (baca: The Javanese in Suriname, Arizona State University, 1995). Namun demikian, beliau lebih suka pada orang bodoh yang mau belajar, daripada orang yang merasa dirinya paling pintar (semoga Saudara Yusran Darmawan tidak masuk dalam kategori yang kedua yang telah saya sebut). Menurut saya, beliau juga seorang pejuang yang hebat. Itu terbukti bagaimana gigihnya beliau memperkenalkan ilmu-ilmu sosial dengan pendekatan qualitative yang dianggap beliau banyak diabaikan oleh para planner yang hanya menekankan pada aspek fisik dan teknik infrastruktur saja. Resistensi yang dialami beliau mungkin tidak pernah terpikir oleh orang-orang yang "tidak mau repot" yang penting ngajar dapet uang langsung pergi, dan bukanlah seorang pejuang pendidikan yang tulus.

Ketiga, barangkali yang terakhir, ada sebuah pepatah kuno yang berbunyi "Beruntunglah orang yang mati dengan keyakinannya" (semoga Saudara Yusran Darmawan pernah mendengar atau membaca pepatah ini, dan kalau belum, silakan pergi ke toko buku gramedia atau ke kwitang senen untuk mendapatkan buku pepatah dan peribahasa untuk SD/SMP/sederajat terbitan balai pustaka jakarta. Dan menurut saya keyakinan dan agama (baca: religious and belief) adalah urusan personal antara individu manusia dengan Tuhannya. Masalah masuk surga atau neraka itu hak prerogatif Tuhan. Dan sudara bukan Tuhan. Saudara juga manusia seperti saya ini yang belum tentu juga dijamin masuk surga. Ingat, seorang ahli ibadah tidak akan masuk surga kalau ada kesombongan walaupun sebesar biji atom. Saudara tentu tahu itu.. Dan menurut saya ini dunia akademis bung! Jadi jangan melihat tentang hal lain yang tidak penting untuk ilmu pengetahuan (saya pribadi khawatir Saudara Yusran Darmawan keterusan dan jadi tukang rumpi yang menurut saya "buang waktu sahaja"). Apalagi masalah hubungan beliau dengan keluarga dan anak-anaknya (wah ga penting banget), meskipun saya juga menyayangkan rekan sejawat beliau yang bisa dihitung dengan jari pada waktu pemakaman. Tapi marilah kita berpositif thinking saja. Bukankah begitu lebih baik Saudara Yusron Darmawan?

Itulah sekelumit tulisan saya. Dan memang saya sengaja meluangkan waktu untuk menulis ini sebagai sangkalan-sangkalan yang menurut saya kurang ilmiah terhadap beliau. Dan menurut saya akan lebih asyik dan fair kalau sesuatu itu ada thesis dan anti thesisnya yang dibungkus oleh keobyektifan seorang ilmuwan. Tapi yang pasti tulisan, perkataan, argument atau apapun yang negatif tentang beliau, saya pikir justru menaikkan namanya, sebagaimana Karl Marx dengan temuan komunisnya. Semoga nama Parsudi Suparlan akan selalu besar, sebagaimana besarnya jasa beliau terhadap pengembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia (sehingga Saudara Yusran Darmawan mengidolakan tulisan dan ide-ide beliau). Air mata ini tidak menitik karena kesedihan yang terlalu dalam dan mengunci bathin. Langkah ini gontai saat mendengar kabar tentang kepergian dalam kesendirian. Selamat jalan bapak.. Semoga arwahmu diterima di sisi Allah SWT dan diampunkan dosa-dosamu. Dan semoga ilmu yang kau sebarkan dengan tulus bisa menuntunmu ke tempat yang indah nun jauh di sana. Amien... Mohon maaf kalau ada pihak yang kurang berkenan, terutama pada Saudara Yusran Darmawan. Tabik!!

Depok, 28 Nopember 2007

Satu diantara sekian banyak muridmu yang berduka,

Si Sontoloyo.

No comments: