Tuesday 23 November 2010

Batu Menangis dan Sore yang Ganjil

Batu Menangis dan Sore yang Ganjil

Cerpen Radhar Panca Dahana


Nana dan Nano

Barangkali seperti kata orang, kami kembar identik. Tapi, sejak puting susu pertama disodorkan ke mulut kami yang berteriak, satu relasi penting--bahkan eternal--segera kami sadari: persaingan. Kalau Nano dapat berbuat apa saja, aku pun dapat berbuat serupa, bahkan merusaknya dengan hasil yang sama sempurna. Jika dia dapat buang air kecil dan besar sambil berdiri, aku melakukannya dengan berlari.

Berdua, kami kepala batu. Lebih karang dari Pratapa, lelaki yang mengaku ayah kami, yang 15 tahun lebih mendidik kami seperti mengajar batu. Kami berkembang bersama Pratapa, tanpa perbedaan sama sekali. Nano mengangkat batu, aku mengangkat batu. Nano mengukir batu, aku mengukir batu. Pratapa adalah pengrajin batu, seperti ia merajini kepalanya sendiri. Kami tidak pernah menangis. Bagaimana batu bisa menangis? "Tangis dan air mata itu musuh batu. Karena air itu waktu. Karena airlah batu terkikis dan habis." Sekali itu saja, Pratapa memberi ajaran dengan kata-kata, yang kemudian menjadi moral tunggal bagi kami berdua.

Aku berkembang tidak seperkasa Nano. Tapi aku mengatasinya dengan kelincahan luar biasa. Karena itu kami mampu mengangkut batu sama banyaknya. Karena itu kami berdua berlari sama cepatnya, dengan celana pendek maupun rok panjang yang diberikan Pratapa pada kami. Kami bersaing keras. Itu membuatku tak suka apa pun yang bisa dan dimiliki Nano. Kebencian itu, entah kenapa, menebal setelah kami melewati usia empat belas. Tak ada penanda umur di keluarga gunung ini. Waktu adalah musuh abadi keluarga kami. Kecuali satu tetangga, yang mengamati pinggulku membesar dan dadaku membukit, kecil padat. "Sudah perawan. Berapa umurmu, Na?" kata Pradata, spesialis pemecah batu, tetanggaku itu.

Aku tidak tersinggung. Aku mengamati diri sendiri. Aku mendapati bercak merah di celana pendekku satu kali. Aku memerhatikan Nano. Kurasa ia tidak mengalami hal serupa. Ia pasti juga tidak memiliki perasaan serupa denganku, saat aku mengamatinya. Ia memiliki semua yang aku tidak: ototnya, jakunnya, pundaknya, perut bertelurnya, panjang penisnya, kakinya, suara beratnya.... Aku benci semua itu. Tepatnya jijik.

Ketika perasaan menjijikkan itu menjadi siksaan, satu peristiwa terjadi. Longsor dan banjir bandang yang menyerbu semua desa seputar gunung ini. Pratapa ditemukan mati. Murdipa, perempuan yang kukenal sebagai ibu, meringkuk di sebelahnya. Mati juga. Nano entah di mana. Berbelas tahun setelah itu, tak ada yang berhasil menjumpainya.

Aku tidak pernah ikut mencari. Tapi, aku memikirkannya selalu. Entah kenapa. Bukan semacam rindu. Aku karena rasa jijik yang dulu. Setelah semua tiada, aku pun merasa bukan apa-apa. Tanpa Nano. Dialah alasan dan sumber keberadaanku. Aku tidak mencarinya, dalam badan dalam kesadaran. Dalam perasaan? Entah. Yang jelas, aku terus berlari. Mencari Nano. Mencari diriku sendiri.

Kolonel Jon Dukusemak

Panggil saja aku, lelaki 40-an ini, "Jon”, dari Sir Marjon Dukusemak. Anakku dua, istriku--Drita--sarjana magister untuk manajemen. Kami keluarga bahagia, tepatnya: menjanjikan. Rumahku cukup bagus, tidak mewah. Sebuah jips sederhana, berusia hampir setengah umurku, mengantar kami sekeluarga menjalankan wajib hidup tiap harinya. Penghasilan istriku delapan juta sebulan, kotor. Aku sekitar tiga jutaan, bersih. Kami pekerja keras. Untukku, sangat keras.

Baru sepuluh bulan lalu, sebagai prajurit aku masuk jajaran perwira tinggi: kolonel, karena prestasiku memimpin misi pasukan perdamaian internasional di sebuah negara konflik di tengah Afrika. Baru sejak enam bulan lalu, aku tergolek di rumah sakit ini, dua kali lima jam tiap minggunya. Perawatan permanen yang harus kujalani seumur hidup. Satu bentuk pengobatan yang membuatku waktu hidupku yang tersisa lumpuh.

Kecelakaan berat terjadi saat aku memimpin satu latihan tempur, hampir delapan bulan lalu. Delapan tulang rusukku patah, setengah badan tak dapat bergerak selama dua minggu, delapan belas jahitan di ubun-ubun, kedua ginjal bocor, dan infus darah dua kali seminggu selama dua bulan. Tiga minggu dirawat rumah sakit, aku keluar dengan satu pekerjaan tambahan: hemodialisis atau cuci darah. Seperti isi got di kota ramai ini, darahku kotor dan membunuh. Ia harus dibersihkan, dengan mesin. Dua kali seminggu.

Dunia memang tidak selesai karena itu. Tapi waktu berhenti. Rutin pengobatan itu memang tidak membunuhku, malah membuat hidupku bertahan (satu hal yang kemudian kusesali). Tapi dunia sekeliling kini hanyalah tempat pemakaman untukku. Aku menjauh dari istri dan Drita seperti mengubur jutaan keluhan di palung mata dan gurat bibirnya. Tugasku pindah dari lapangan ke sebuah meja di markas besar, dan aku tak bisa lagi memegang pistol tanpa gemetar, bahkan hanya untuk mengangkat anak bungsuku.

Dunia memang tidak selesai. Namun, pertunjukan usai. Lampu-lampu menjadi gulita, panggung lengang, cerita hampa. Aku aktor yang bermain tanpa peran. Aktor zombi yang cuma terdiam, saat lawan mainku di sebelah, berteriak-teriak minta mati. Lalu ia mati, ketika jarum suntik masih menghujam dan berbagai selang mengurung tubuhnya. Temanku bicara, Pak Lakatepa, terjatuh di kamar mandi suatu pagi, saat ia menyanyikan lagu Darah Muda, dan ditemukan tewas hanya tiga menit setelahnya.
Banyak cara menyelesaikan dunia. Bagi sejawat di ruang dialisis, seperti pedagang India itu, menghabisi nyawanya dengan mengunyah satu porsi daging kambing di depan istrinya yang sangat cantik. Seorang pejabat pemerintah, yang baru saja kawin keempat kalinya, menyusuri pantai dekat rumah peristirahatannya sambil membawa sesisir pisang ambon. Buah paling berbahaya. Sore hari, ia ditemukan kaku disiram air pasang. Pisang sesisir belum habis dinikmatinya.

Dan aku tahu, sebagai aktor aku harus menyelesaikan drama menggelikan ini. Aku tidak akan bermanis-manis. Tidak membalas dendam semua larangan yang ada padaku. Tidak mau mautku datang seperti pencuri tengah hari. Tidak. Aku harus mati dengan keras. Laiknya seorang prajurit. Aku harus turun panggung dengan tegas, mendebat sutradara mengapa peranku jadi kosong belakangan ini.

Aku berhenti hemodialisis.

Aku berjalan. Berjalan. Seperti seorang aktor menjalani panggung.

Perempuan yang Tersenyum

Aku pelacur. Setidaknya di hati. Di luar itu, aku selalu gagal. Bukan karena Tuhan tidak mengizinkan atau aku tidak menginginkan. Tapi tak ada yang mau membayarku, atau menawariku tidur dengan imbalan berapa saja. Tubuhku langsing padat, kulitku kuning langsat, bola mataku hitam padam, tak berkerut di mata maupun dahi, kecuali sedikit lesung di pipi. Bibirku bergaris kuat, dan senyum tak pernah pergi darinya.

Senyum bukan tradisi di wajahku, bukan bawaan hatiku. Senyum adalah terapi terbaik untuk pikiran dan perasaanku. Sejak Marpola, suami yang memberiku tiga putra, kena PHK dari perusahaan sepatu asing, senyum menjadi obat bagi semua hal yang menghimpit, memuakkan, dan kerap memintaku membunuh diri atau membunuh siapa, apa pun. Ketiga anak kami hanya berselang rata-rata enam belas bulan. Yang terbesar baru lima tahun. Dan Marpola adalah suami sejati. Pergi pagi pulang petang hari. Tanpa buah tangan sama sekali, tapi meminta nasi dan lauk harus siap tersaji. Meminta televisi dan wayang kulit radio tetap menyala. Meminta kupijat tiap malamnya. Meminta servis lebih setiap menjelang paginya. Meminta sebagian modal dagang kainku menjelang berangkat kerjanya.

Aku dagang kain, di samping puluhan tugas rumah tiap harinya. Dengan sebuah pikap, mengantarku belanja dan mengirim pesanan kain. Saat ini segala terasa mencekik, karena tak ada harga yang tak naik. Cuma pembeli kain dan harapan yang turun drastis. Biaya TK si sulung pun naik. Air ledeng naik. Gas naik. Listrik naik. Telepon naik (sudah kuputus dua minggu lalu). Bahkan Marpola menaikiku makin sering, tiap menjelang subuh. Juga ada semacam perasaan atau gejolak dalam diriku yang belakangan naik dengan cukup radikal.

Seminggu lalu, Marpola meminta seluruh modalku untuk modal bisnis barunya. Ia pertaruhkan seluruh yang ia miliki (entah apa), kalau perlu perkawinan ini (entah kenapa) untuk membuatku percaya. Aku tak percaya. Tapi kuberikan modal itu padanya. Setelah itu ia tak pulang. Aku tahu, ia kalah judi--bisnis baru yang disebutnya itu. Ia tak cuma tinggalkan empat nyawa, tapi juga rentenir, Pak RT, biaya TK si sulung, utang kain, uang belanja, susu si bungsu, dan pikap berharga tak seberapa.

Dalam diriku, tertinggal satu, senyum. Bukan hanya sebagai obat, juga senjata. Untuk dijual. Bumbu dari tubuhku. Walau aku selalu gagal, namun aku tak berhenti tersenyum. Karena kata-kata sudah cukup lama aku tak punya. Aku tersenyum saat menyusui anakku dengan tetek kering, saat utang belanjaan, bila Pak RT menjawil pantatku, juga tersenyum saat kuputar kepala ayam tetangga untuk makan tengah malam anakku.

Menjelang magrib ini, aku pun tersenyum. Dadaku penuh dan kosong. Baru saja kuikat mulut, kaki, dan tangan ketiga anakku. Kubawa dengan pikap, dan kubuang mereka di sungai yang diderasi hujan gunung. Lalu, dengan menginjak pedal gas sedalamnya, aku pergi. Sekali lagi tersenyum, mendengar makian orang saat pikapku melewati begitu saja lampu merah.

Bersama rem yang sudah rusak, aku melaju keras. Tak terkendali....

Batu Menangis

Pada asalnya, aku hanya sebuah batu. Hidupku panjang, sebagaimana batu. Aku tak tahu siapa nenek moyangku. Sekumpulan ranting pohon, tulang belulang brontosaurus, atau entah apa. Kampungku seputar batuan gunung. Jatuh bertebar menyesaki kota ramai ini lewat satu ledakan berapi gunung yang kudiami. Tak banyak riwayat dalam biografiku. Seperti batu-batu yang lain aku lebih menjadi saksi, ribuan mungkin jutaan peristiwa di sekitarku. Aku tidak tumbuh, aku mengeras karena usia. Tak seperti makhluk lainnya, yang melapuk bahkan bisa mati dan lenyap karena waktu. Karenanya aku seperti oposisi waktu. Waktu itu lunak, lembut, mengisi, memengaruhi, dan membunuh. Aku tidak mengalami semuanya.

Seperti sepi, aku adalah kediaman yang panjang. Abadi? Tidak. Waktu pada akhirnya menguasai. Aku bisa melebur dan mengeras bersama batu yang lain. Waktu mengubah wujudku. Begitu pun manusia. Itu yang kualami di kota ramai ini. Manusia itu seperti waktu, tepatnya berambisi menjadi waktu atau dalam bahasa mereka, “mengalahkan waktu!” Manusialah yang membuatku berubah, dalam bentuk, fungsi, keberadaan, tapi tidak esensi. Aku tetap batu.

Aku tetap kediaman panjang. Saksi peristiwa yang setia. Semua tercerap dalam tubuhku dalam jiwaku. Mungkin aku adalah esensi dari semua. Manusia bisa menemukan masa lalu, peristiwa, sejarah, dirinya sendiri, bahkan rahasia semesta dalam diriku. Tapi lebih banyak lagi yang tak peduli dengan semua itu. Aku hanya menjadi bahan campuran semen, peninggi tembok, dasar aspal, hiasan, atau peluru katapel. Itulah nasibku yang mutakhir. Peluru katapel.

Tepatnya, di tangan seorang remaja, Rasol namanya. Ia hidup di pinggir jalan. Tak jelas mamak dan bapaknya. Bapak, menurut dia, adalah paku besi yang dipipih seperti pisau lewat lindasan ban kereta api. Ibu? Adalah botol solar yang ia ciumi selalu, terutama saat ia merasa tidak enak hati. Nama Rasol berasal dari kegemarannya. Kegemaran yang kemudian berganti, mengisi botol kecilnya dengan bensin, lem kayu atau spiritus.

Bersama Rasol sudah puluhan burung terluka dan mati karenaku. Rasol tidak suka dengan apa pun yang ada di ketinggian. Ia bilang, tidak membutuhkan ketinggian. Sebenarnya ia merasa, hidupnya permanen ada di kerendahan. Ketinggian adalah sesuatu yang ia rasakan selalu mengkhianati, menyakitkan. Karenanya, siapa pun yang ada di ketinggian akan menjadi sasaran kemarahannya. Burung terutama.

Dan itulah soalnya. Rasol sama sekali tidak memperhitungkanku. Ia memakai tubuhku jadi senjata kebencian. Bukan dia yang melukai dan membunuh, tapi aku. Di kota ramai, biografiku pun ramai. Termasuk jadi pembunuh. Aku memang tidak bisa, bahkan mungkin tak akan pernah mati. Tapi aku tak mau menciptakan kematian bagi yang lain. Aku bukan waktu. Aku bukan waktu.

Aku adalah oposisi waktu.

Dan Satu Ketika...

Sore itu, satu peristiwa terjadi lagi. Kali ini aku tak hanya saksi, tapi terlibat, bahkan penyebab utama. Semuanya aneh. Semua kebetulan. Tapi itulah kota ramai. Tempat di mana waktu terasa ganjil, tak seperti gunung. Tempat semua direncanakan, tapi koinsiden yang terjadi. Bermula dari Rasol yang entah karena hatinya kurang enak, bidikannya meleset. Aku terlempar kencang dari katapelnya, tak mengenai dada atau kepala burung seperti biasa, namun membentur tiang listrik beton.

Tubuhku jatuh memantul beberapa kali di aspal. Dan baru terhenti ketika sebuah sol sepatu yang kasar dan berat menginjakku. Aku menggelinjang dan terlontar. Pemakai sol sepatu itu jatuh dan memaki. Makian kasar. Tapi nasib bertindak lembut padanya. Karena aku, ia jatuh, dan terhindar dari tubrukan dengan pikap yang meluncur tak terkendali, setelah menerobos lampu merah.

Aku menggelinding sambil mendengar lelaki 40 tahunan dengan sol sepatu kasar itu terus memaki, bukan mensyukuri. Tampaknya ia menyesal maut tak jadi menjemput. Aneh! Sedang pikap itu justru mengambil korban lain: lelaki tegap yang baru saja mulai menyeberang jalan. Tubrukan keras sekali. Lelaki tegap itu terlontar cukup jauh. Tubuh, terutama dada dan kepalanya, hancur. Orang-orang pun datang berkerumun, coba menyelamatkan. Tapi orang banyak itu mendesah, menyesal dan merasa sia-sia. Kecuali satu rintihan perempuan di antara mereka, yang dalam melebihi tangisan. Mulutnya bersuara kering, seperti jeritan purba, "Nano...Nano...Nano...mengapa begini?"

Sementara dari dalam pikap yang terguling, satu wajah muncul. Wanita cantik, kering, bermata dalam, kerut tajam di dahi, dan bibir tersenyum abadi. Aku bergidik dan merasa aneh. Kejadian apa ini? Aku termangu sampai tiba-tiba gelap semua pandangku. Akhirnya aku jatuh ke dalam lubang got besar. Gorong-gorong. Kini tubuhku basah air jorok. Atau mungkin airma taku. Aku termangu. Banjir air di tubuhku. Seperti tenggelam aku dalam waktu. Pertanda buruk bagi batu. Dan air itu, terus menyeretku.

Menyeret semua, tak kecuali.***



Diambil dari di Media Indonesia 05/28/2006

No comments: