Thursday, 11 November 2010

CINTAKU DI MOSKOW

CINTAKU DI MOSKOW

Arif Rohman


Hari ini aku senang bukan main. Permohonan cutiku dikabulkan oleh perusahaan. Itu berarti keinginanku untuk berlibur ke Rusia akan terlaksana. Sudah beberapa tahun ini aku bekerja dan bekerja tanpa mengenal lelah. Sampai-sampai aku tak berlibur selama tiga tahun. Karena itulah aku memutuskan cuti selama sepuluh hari. Dan tidak main-main, aku berencana pergi ke Rusia. Apa karena tempatnya yang cocok untuk main sky atau memang aku sangat tertarik dengan Marxism, Lenin maupun Stalin, aku tak tahu. Yang aku tahu, aku akan segera meninggalkan Jakarta yang penuh polusi, macet dan pekerjaan yang menumpuk. Kalau diteruskan lagi bisa stress aku! Aku berencana seminggu di sana. Santai dan menikmati liburan. Maklum masih bujang, jadi yang dicari hanya pengalaman dan hiburan.


Moskow, Hari Pertama
Dari bandara, aku langsung diantar ke sebuah hotel berbintang lima yang terlihat mewah sekali. Tapi bagiku hal itu sudah bukan hal yang luar biasa. Sebagai ahli dalam bidang arsitektur jebolan institut di Jerman, gajiku lebih dari cukup untuk tidur setiap hari di hotel seperti ini.

Sesampai di kamar, kurebahkan tubuhku yang lumayan penat. Tapi ternyata mata tak bisa terpejam. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan-jalan di taman Gorky Park yang terletak di pusat kota. Moskow memang kota yang tertib dan rapi, mungkin karena penegakan hukum yang benar-benar menuntut kedisiplinan dari aparat penegak hukumnya sendiri.

Udara di Moskow memang dingin. Maklum saat itu musim salju. Ketika angin menerpa, kurapatkan syal yang ada di leherku dan mantel tebalku. Agak sepi memang, tapi bagiku itulah yang kuharapkan. Di sini aku bisa melakukan perenungan-perenungan terhadap apa yang telah kulakukan selama ini, terutama sejak aku lulus dari Jerman.

‘Hmm.. Cuacanya sepertinya cocok untuk main sky’, kataku kepada seorang receptionist yang rada sedikit cantik.

‘Iya sir.. Tapi tempat yang cocok untuk main sky adalah di daerah Gorky. Sekitar satu jam dari sini. Di pinggiran kota Moskow..’, jawab receptionist itu dengan senyum manis yang terlalu dipaksakan. Formalitas! Tapi kuakui pelayanan untuk turis di Moskow memang memuaskan. Ramah dan profesional kupikir.

‘Oh ya nona.. Terima kasih. Mungkin besok pagi saja aku berangkat’, kataku sambil melangkah menuju kamarku.

‘Maaf sir.. Tadi ada telepon dari Jakarta menanyakan anda’, katanya kemudian.

‘Terima kasih nona, tapi aku tak mau diganggu oleh siapapun selama liburanku OK?!’, kataku kepada wanita itu dengan sedikit agak kesal.

Wanita itu hanya manggut-manggut saja, tapi sepertinya dia tahu maksudku yang seperti kebanyakan turis-turis lainnya yang tak mau diganggu dengan urusan pekerjaan.

Di kamar aku segera mandi air hangat dan segera tidur . Besok aku akan main sky di Gorkiy. Semoga akan menyenangkan karena cuacanya sedang baik.


Gorkiy, Hari Kedua
Setelah satu jam naik bus, aku telah sampai di Gorkiy. Di situ ada sebuah tempat yang menyewakan peralatan sky.

‘Cuaca bagus ha?!’, kataku kepada lelaki brewokan yang punya tempat sewa.

‘Benar, bahkan sangat bagus. Sayang dalam beberapa waktu ini jarang yang datang untuk main ke sini..’, katanya sambil mengambilkan beberapa alat yang sudah dipajang sebelumnya.

‘Terima kasih..’, kataku kepada lelaki itu.

Banyak orang yang menanyakan kepadaku, kenapa aku suka sky. Mereka tak tahu bahwa ketika kita meluncur ke bawah, perasaan kita seperti terbang. Lepas bagai seekor burung. Merdeka tanpa kekangan dan belenggu.

Semua sudah siap. Aku akan segera meluncur. Tapi tiba-tiba mataku melihat seorang gadis dengan mantel merah sudah meluncur dengan asyiknya. Wajahnya memang tak kelihatan. Tapi rambutnya yang panjang riap-riapan terlihat sangat anggun sekali.

Seakan ada kekuatan yang menggerakkan, aku segera meluncur mengikutinya. Dan aku pun berhasil mengikutinya. Di bawah, dia berhenti dan memperlihatkan wajahnya.

‘Wow cantik sekali..’, desisku. Sesaat aku tertegun memandangi wajah yang cantik itu. Wajah khas Eropa. Hatiku langsung dag dig dug tak keruan.

‘Hi.. Main sky?’, katanya padaku. Senyum manis pun merekah dari bibirnya yang aduhai.

‘I.. Iya. Perkenalkan namaku Andre. Bolehkah saya tahu namamu?’, kataku membuka salam perkenalan.

‘Namaku Stephanie. Kamu boleh memanggilku Tiffanie..’, jawabnya.

‘Ups.. Nama yang indah. Kenapa main sendirian?’, tanyaku asal, mengingat tak ada topik yang terlintas di benakku.

‘Aku lagi pusing.. Biasanya kalau ada masalah, aku main sky sendirian. Ya sendirian..’, katanya sambil menampakkan mimik yang kurang bahagia.

‘Maaf membuatmu bersedih. Jika tak keberatan, aku akan menemanimu main sky’, kataku menawarkan diri walau sebenarnya aku tak yakin akan diluluskan.

‘OK. Teman kadang datang disaat yang dib utuhkan’, katanya dengan nada yang penuh keceriaan.

Sebuah awal yang baik. Taffanie orangnya ramah, cantik dan seksi. Baju merah yang dipakainya, demikian serasi dengan potongan tubuhnya yang indah. Sehabis main sky, kamu pun ngobrol berdua dengan asyiknya. Tiffanie berasal dari Krasnoyarks. Dia kemudia ikut orang tuanya ke Moskow. Sekarang dia sedih karena habis putus cinta dengan pacarnya. Tragis memang, gadis secantik dia diduakan oleh pemuda yang goblok menurutku. Tak tahu bahwa Tiffanie orangnya cantik. Bahkan dalam hidupku baru kali ini kutemukan. Face-nya yang ala Eropa dengan rambut keemasan dan hidung mancung serta bola mata yang biru indah membuat kecantikannya nyaris sempurna.

Waktu memang sulit ditebak, pertemuan yang secara kebetulan itu membuat kami cepat akrab. Karena waktu yang sudah mulai senja, kami memutuskan untuk kembali ke Moskow. Dan hatiku pun semakin berbunga-bunga manakala dia menawarkan diri menjadi guide berkeliling Moskow. Amboi, senang nian hati ambo!

Di hotel aku tak bisa memejamkan mata barang sedikitpun. Bayang-bayang Taffanie selalu menghantuiku. Kadang aku senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Tapi tak masalah, yang penting aku bahagia, titik.


Belomorsk, Hari Ketiga
Belomorsk adalah kota yang indah di utara Rusia. Di situ ada sebuah danau yang bernama Danau Oneya. Danau yang jernih dan masih alami itu memang agak sedikit tertutup salju. Namun ada juga angsa-angsa yang berenang dengan senangnya. Hatikupun merasa bahagia. Apa lagi ketika Tiffanie menggandeng tanganku mengelilingi pinggir danau. Hatiku berdetak keras. Baru kali ini aku digandeng seorang gadis cantik, sarjana soiologi lagi. Ahh.. Semoga jangan cepat berakhir..

Karena terlalu terburu-buru, Tiffanie pun terpeleset jatuh. Namun aku dengan sigap menangkap dan memeluk tubuhnya. Bau wangi menyeruak menusuk hidungku. Wangi yang tak akan terlupa dalam hidupku.

Entah setan apa, yang merasuki kami berdua. Bibir kami segera bertemu dan kecupan lembut Tiffanie pun mendarat di bibirku. Aku seperti terpagut ular. Aku segera menarik tubuhku.
‘Maaf.. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Kita baru saja berkenalan. Jadi.. Jadi..’, kataku terbata-bata.

‘It’s OK. Harusnya aku yang meminta maaf. Aku suka kamu. Kamu elegan..’, katanya dengan raut muka serius.

Aku tak menjawab, hanya sedikit mengangguk. Takut merusak suasana. Dan ketika sambil berjalan dia menggelitik pinggangku, aku pun jadi tertawa. Suasana pun kembali mencair. Kami pun makan di sebuah restoran di pinggir Danau Oneya. Suasana sungguh romantis sekali. Lagu-lagu lembut dari Queen seakan mengilhami kami untuk berpegangan tangan. Merangkul dan ciuman. Pelajaran bercinta yang sedang kujalani cepat kutangkap. Aku pun sudah terbiasa dengan pelukan dan ciuman dari Tiffanie. Pengalaman yang aneh dan baru pertama kali dalam hidupku..


Swerdlowsk, Hari Keempat
Di sebelah timur Rusia, ada sungai yang indah, yang terkenal dengan sebutan sungai Irtisyi. Sungainya sangat indah dan kadang terlihat pecah menjadi anak-anak sungai. Kedekatanku dengan Tiffanie bagaikan batang sungai dengan anak sungai tak terlepaskan, mungkin oleh kekuatan apapun juga.

‘Andre.. Aku suka kamu. Do you have a girl friend?’, katanya terus terang padaku. Orang bule memang kalau berbicara suka blak-blakan.

‘No, I don’t..’, kataku sambil mengawasi mimik dari Tiffanie. Dan kulihat dia senang sekali. Kami pun berpelukan kembali. Sepertinya pelukan bukan hal yang tabu lagi bagiku. Aku kadang tak mengerti, apakah adat ketimuranku sudah terkikis atau tidak, aku tak peduli. Yang penting hidup matiku hanya untuk Tiffanie seorang.

‘Cuaca semakin dingin. Ini ambillah topi kelinciku sebagai hadiah..’, katanya lirih.

Aku diam tak bergerak. Di Jawa, ada mitos bahwa pemberian yang berupa kain atau sejenisnya dari seorang kekasih, maka umur percintaan itu tak kan lama. Tapi peduli setan! Tiffanie sudah menjadi milikku. Dan ini Eropa bung!

‘Terima kasih, my dearr..’, kataku sambil memeluk tubuhnya. Ahh.. Belahan hidupku, kekasih jiwaku, Tiffanie..


Izywsk, Hari Kelima
Pada hari kelima aku bersama Tiffanie ke pegunungan Ural di daerah Izywsk. Banyak pepohonan yang dilapisi salju sangat indah sekali seperti lukisan. Seakan-akan memberikan petunjuk bahwa aku tak akan terpisahkan dengan Tiffanie.

Malam itu di Hotel Izywsk, udara sangat dingin. Kami pun ngobrol di kamar Tiffanie. Saking asyiknya ngobrol tak terasa waktu sudah semakin larut malam. Ketika dingin menyeruak, suasana sepi, hanya iringan musik klasik Pavarotti mengalun pelan. Kulihat Tiffanie duduk di tempat tidur dengan santai. Terlihat pahanya mulus indah. Lekuk tubuhnya membuatku bergelora. Seperti ada kekuatan misterius aku pun diam terpaku. Dia lalu menghampiriku sambil berbisik :

‘Aku mencintaimu Andre. Aku tak bisa hidup tanpamu..’, katanya mendesah. Aku pun berusaha mengikuti geraknya. Dan musik Pavarotti pun terus mengalun sampai pagi.


Moskow, Hari Keenam
Cuaca di Moskow masih saja dingin. Tapi hatiku tidak. Hatiku hangat menggelora. Dengan Tiffanie di sampingku, aku tak takut pada apa pun. Di hotel aku rebah di kasur membayangkan hari-hari yang kulewati selama liburan. Nyaris sempurna tak ada cacatnya. Liburan ini telah menumbuhkan semangat hidup yang baru.

Tiba-tiba telepon berdering. Si gadis receptionist pun menyampaikan pesan.

‘Mr. Andre, teman anda Miss Tiffanie memberi pesan bahwa anda ditunggu malam ini di hotel Kazani, sebelah timur Taman Gorky. Cuma itu saja..’, katanya dan kemudian menutup gagang telepon dengan pelan.

Aku pun segera bersiap-siap. Kupakai bajuku yang terindah dan termahal. Cuma seperempat jam saja denga taxi aku sudah sampai ke sana. Dalam perjalanan aku senyum-senyum sendiri kayak orang gila.
Kulangkahkan kakiku ke lobby dan bertanya pada receptionist.

‘Miss Tiffanie.. Mm.. Maksudku Stephanie..’, kataku pelan.

‘Lantai 3 di ruang pertemuan..’, katanya singkat.

‘Thanks..’, kataku sambil menuju lift yang ada di sebelah kiri.

Aku agak sedikit heran. Kenapa dia menunggu di ruang pertemuan? Tapi tak tahulah, yang terpenting sekarang aku ketemu Tiffanie.

Ketika aku masuk ruangan, aku sedikit heran. Banyak makanan dan orang-orang yang berdansa. Ketika seseorang yang membawakan acara mengatkan bahwa ini perkawinan Tiffanie, aku tak percaya. Sungguh aku tak percaya. Kukira mungkin ini sebuah lelucon. Tapi kemudian aku diam. Faktanya memang ini adalah pesta perkawinan. Dan Tiffanie memakai gaun putih dan bersanding dengan seorang pria Rusia.

Ketika Tiffanie menghampiriku, seribu pertanyaan siap kuluncurkan. Tapi melihat wajahnya aku tak tega. Mulutku kelu.

‘Andre kau datang. Ini adalah upacara perkawinanku dengan Menhem kekasihku..’, katanya dengan ceria.

‘Tapi Tiffanie kemarin malam.. Kemarin malam, kita.. Kita..’, kataku setengah berbisik.

‘Ahh.. Lupakanlah. Itu hal yang biasa di Rusia’, katanya santai.

‘Tapi kemarin kau bilang kau mencintaiku..’, kataku merasa dibohongi.

‘Kemarin aku hanya suntuk saja. Sekarang tidak. Dan mengenai hotel Izywsk, tak masalah. Aku melakukannya karena suka. Itu saja. Jangan diingat lagi.. Carilah pasangan untuk berdansa’, katanya padaku.

Kata-kata itu seperti sebuah sembilu yang menusuk hatiku. Aku frustasi. Kuambil beberapa gelas minuman. Dan aku tak ingat apa pun. Ketika aku sadar, aku sudah ada di kamarku. Ingin mati rasanya.


Moskow, Hari Terakhir
Dengan lesu kukepaki barang-barangku. Aku kaget ketika melihat sebuah surat tergeletak di atas meja. Huhh.. Dari Tiffanie! Aku tak membaca surat itu. Surat itu langsung kumasukkan dalam jaketku. Bagiku Taffanie adalah mimpi buruk. Nightmare yang meremukkan hatiku.

Dalam pesawat menuju Jakarta, kucoba pahami arti dari semua ini. Maklum aku berasal dari teknik arsitektur. Yang selalu kuhadapi hanya kertas, gambar, disain, material dan rumus-rumus. Hidupku selalu berhubungan dengan benda mati, bukan dengan manusia. Itu salahnya. Bahkan celakanya di kala berhubungan dengan manusia, aku gagal. Ya, gagal. Kami orang teknik terus terang jarang tersenyum. tampang kami selalu serius. Prestisius selalu diukur dengan daya cipta mati-matian, yang kadang mengesampingkan hubungan dengan manusia yang lain.

Setelah aku sadar akan semua ini, tanpa kusadari aku melayangkan senyum untuk pertama kali kepada seorang anak kecil di samping kiriku. Senyumanku tulus. Dan dia membalas senyuman itu! Entah kenapa hatiku menjadi bahagia.

Pada waktu akan mendarat, rasa ingin tahuku akan surat dari Tiffanie memaksa aku untuk mengambil surat itu dan membacanya,

Dear Andre,

Setelah menerima surat ini pergilah ke Zlatousi. Kutunggu kau di sana. Aku telah lari dari perkawinan paksaan orang tua ku. Jika kau tak datang, aku akan pergi. Aku takut kembali ke Moskow. Kutunggu sampai jam 10.00. Aku mencintaimu. Semoga kau datang.

Kekasihmu,

Tiffanie.

Aku tak percaya ini semua. Kupelototi jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 21.00. Kemana harus kucari Tiffanie? Rusia begitu luas! Ahh.. Kenapa ini? Satu pelajaran lagi yang kuperoleh dari Tiffanie, jangan pernah takut menghadapi kenyataan! Aku sadar akan hal itu. Jika saja kubuka surat itu pada waktu aku akan berangkat.. Dan ketika pesawat tiba di Jakarta, aku hanya bisa tertawa. Getir.


Demak, Agustus 2002

Arif Menulis Cerpen : Cleopatra dan Cinta Si Gadis Desa 4.




Hatiku selembar daun...

No comments:

Post a Comment