Thursday 11 November 2010

DIGEROGOTI NASIB

‘Cinta itu seperti aliran sungai di Kali Kracaan. Kadang dia deras, kadang mengalir lembut, kadang tenang. Meskipun musim kemarau tiba, dia tetap berusaha mengalirkan air dari pori-porinya.. Tapi ketika engkau meremehkan dia, dia akan menelanmu dengan air matanya..’ (Suatu waktu di tepi Kali Kracaan Demak).


DIGEROGOTI NASIB

Arif Rohman


‘Aku ingin jadi manusiaaa…!!’, begitu teriak Pat Kay dengan keras. Suara itu menggema diperbukitan Kun Lun San di Nanking. Dari nada yang terdengar terlihat bahwa orang itu sedang marah, kesal, sedih, putus asa yang menyatu. Tapi tetap saja tak ada yang mendengar. Mungkin semua orang sudah terlelap dengan mimpinya. Hanya suara jangkrik saja yang terdengar bersahutan, seakan turut bersimpati dengan kesedihan yang dialami oleh pemuda itu.

Sejenak pemuda itu termenung memandang air telaga yang kehijauan dikelilingi dedaunan yang rimbun. Sayup-sayup terdengar gemersik dedaunan yang ditiup oleh angina malam yang melintas tanpa permisi lebih dahulu.

‘Salahkah aku mencintai seorang gadis? Salahkah aku menyukai seorang wanita? Apakah status sosial harus membedakan dan menghancurkan kisah cinta antara Dewa dan anak manusia? Apakah langit begitu kejamnya hingga memberikan peraturan yang saklek dan tak dapat ditawar lagi?’, Pat Kay membatin dengan perasaan tak menentu.

Sekali lagi benak pemuda itu melayang entah kemana. Di telaga itulah pertama kali dia turun ke bumi. Di telaga Kun Lun San itulah cinta Pat kay bersemi. Betapa tidak? Beberapa waktu yang lalu dia tanpa sengaja melihat seorang Dewi telah mandi di telaga yang segar tersebut. Namun anehnya, sang Dewi berpakaian sederhana tak seperti kebanyakan gadis yang lain. Gemercik air telaga dan keelokan paras sang Dewi telah membuat hatinya bergelora, darahnya menjadi panas tak tertahankan. Namun walau Dewi itu terlihat sangat sederhana sekali, kecantikan dan liuk tubuhnya yang lemah gemulai mungkin tak tersaingi oleh Dewi-Dewi yang ada di kahyangan.

‘Siapa itu? Beraninya mengintip aku yang sedang mandi? Dasar laki-laki kurang ajar!’, teriak sang gadis sambil mukanya merah dan bersemu dadu, melihat ada yang melihatnya tatkala sedang mandi di telaga itu. Memang sebenarnya ia lah yang salah karena teriknya panas matahari sehabis bepergian ke Lo Yang ke tempat pamannya, tanpa meneliti di sekitarnya terlebih dahulu, dia lantas mandi begitu saja.
‘Maaf nona, aku tak sengaja. Aku tak bermaksud mengintip. Aku.. Aku..’, mulut Pat Kay tak dapat mengeluarkan suara, tenggorokannya seperti tercekik, mungkin karena kaget dan malu. Pemuda itu lalu meminta maaf sambil menyoja kea rah nona itu.

Tapi hati wanita memang susah ditebak, melihat sikap pemuda itu yang sopan dan tidak cengengesan, dia pun langsung memaafkannya, walau demikian air mata yang bercucuran pun tak pelak jatuh ke pipinya.

‘Jangan menangis nona, wajahmu jadi jelek sekali. Aku Ciu Pat Kay, jadi bingung melihat kamu menangis. Katakana pa yang harus kulakukan untuk menebus dosaku..’, demikian Pat Kay bertanya pada nona yang cantik tersebut. Dia berpikir bahwa gadis itu adalah seorang Dewi yang sedang menyamar menjadi manusia. Sebetulnya dia dapat saja lari terbang ke angkasa, namun hatinya yang paling dalam menolak dan ingin tetap berada di tempat tersebut.

‘Dengarlah.. Aku adalah seorang gadis. Segala kehormatanku telah kau lihat semuanya. Hanya kematian yang bisa menghapuskan aib yang kualami..’, kata gadis tersebut sambil menangis terisak-isak.

‘Jangan begitu nona. Kehidupan adalah suci, kau tak dapat melakukan itu. Biarlah kita cari jalan keluarnya..’, ucap Pat Kay membujuk.

‘Cara satu-satunya adalah.. Cara satu-satunya adalah kita harus menghadap ke orang tuaku bersama-sama’, kata gadis itu meragu.

‘Baiklah kalau itu satu-satunya cara, aku akan menurut. Tapi siapakah namamu? Dari tadi kita berbicara tapi kau tak pernah menyebutkan nama..’, Pat Kay pun berkata sambil tersenyum. Mungkin senyum bahagia.

‘Namaku Sui Lian, aku she Tio. Tapi aku adalah anak orang miskin Pat Kay Koko. Ayahku hanya penjual tahu dan ibuku telah lama meninggal dunia. Kita tidak sederajat Pat Kay Koko, apakah kamu tidak menyesal punya isteri miskin seperti aku..’, kata Sui Lian dengan wajah yang sangat murung.

‘Aa.. Apa.. Ti.. Tidak mengapa. Bagiku status kaya dan miskin tidak menjadi persoalan. A.. Aku.. Aku…’, jawab Pat Kay terbata-bata. Betapa tidak? Gadis yang dia kira adalah seorang Dewi kahyangan seperti halnya dirinya ternyata adalah seorang manusia! Bagaimana ini? Ini jelas menyalahi kehendak langit.

‘Ada apa Pat Kay Koko? Apakah kau menyesal? Katakan padaku Koko..’, Sui Lian pun berusaha mendesak apa yang sedang dipikirkan kekasihnya.

‘Bukan begitu Lian Moy.. Pernikahan adalah urusan besar . Katanya lahir sekali, menikah sekali dan matipun sekali. Karena itulah aku harus mengabarkan berita baik ini kepada orang tuaku. Apakah kau tak keberatan..?’, bisik Pat Kay kepada kekasihnya, walaupun ia sebenarnya bingung sekali terhadap permasalahan yang dihadapinya.

‘Kenapa aku harus marah Koko? Itu adalah justru yang harus kau lakukan. Jangan sampai nanti kamu kamu dicap putauw (durhaka) oleh orang tuamu sendiri’, kata Sui Lian dengan lembut penuh pengertian.
‘Bagaimana aku harus menyakiti perasaan gadis ini? Walaupun dia ternyata bukan seorang Dewi seperti yang aku perkirakan, namun kecantikannya, kelembutan hatinya, dan perangainya yang mempesona telah membuatku jatuh cinta. Jadi bagaimana aku bisa menyakitinya? Aduh bagaimana ini.. Sudah menjadi nasib bahwa Dewa tak bisa bersatu dengan manusia. Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan perbuatanku ini..?’, Pat Kay membatin.

Kalau begitu, begini saja Moymoy. Tunggulah aku di telaga Kun Lun san ini pada tanggal 15 bulan purnama mendatang. Aku pasti datang. Aku pasti datang Moymoy. Tunggulah aku..’. Dan ciuman lembut nan mesra pun mendarat di pipi Sui Lian.

Sui Lian pun memejamkan matanya seakan tak ingin ciuman itu berakhir, karena ciuman itu adalah kebahagiaan. Ketika matanya terbuka, Pat Kay kekasihnya sudah menghilang lenyap bagaikan angin yang menuruni lereng Kun Lun San.

ooooooooooooooooo

Pemuda itu tersadar dari lamunannya. Di telaga nan jernih itu matanya menatap nanar. Kisah cintanya yang indah selalu terbayang di matanya. Dia masih ingat besok adalah tempo dimana dia akan bertemu dengan Sui Lian kekasihnya. Walaupun para Dewa geger, marah dan kahyangan telah gempar akibat perbuatannya, dia tetap tak peduli. Hidup bersama Sui Lian sang kekasih tercintanya adalah impian hidupnya. Dia tak ingin ada yang mengekang, membelenggu dan menjajah kemerdekaan jiwanya. Dia ingin seperti kuda putih yang lari bebas kemana dia suka. Maharaja Langit, Dewa Kwan Im, Dewa Erlang dan Dewa-Dewa kahyangan lainnya pun menggelar konferensi darurat membahas perihal Pat kay yang dianggap tidak lazim di kalangan Dewa. Namun Pat kay tetaplah Pat Kay. Sehebat apapun rintangan dan tantangan yang akan dihadapinya, ia tetap bersikukuh dengan keinginannya.

Sebentar lagi sang kekasihnya datang! Itulah yang dia harapkan saat ini. Senyum bahagia pun segera menghiasi wajahnya. Hatinya dag dig dug tak keruan. Tapi entah kenapa cuaca hari itu tak seperti biasanya. Angin bertiup kencang aneh. Langit menjadi gelap dan hawa dingin pun menyeruak. Tapi tetap saja Pat kay tersenyum, senum kasmaran. Ia jatuh cinta!

Iseng Pat Kay melangkah menuju tepian telaga, dipandanginya air telaga yang bening itu.

‘A.. Apa.. Wajahku.. Wajahku.. Kenapa jadi begini.. Kenapa ini.. Apa.. Apa… Yang terjadi..’, Pat Kay pun kaget setengah mati memandang wajahnya yang berubah. Parasnya yang tampan berubah menjadi jelek bukan main. Hidungnya yang mancung menjadi besar dan menjorok ke depan. Telinganya telah berubah menjadi besar dan panjang dan terakhir dia tak bisa berkata sepatahpun kata.

‘Grhoook.. Grhok.. Grhk..’, suara dan wajahnya telah berubah seperti seekor babi. Terakhir ketika dia melihat perutnya, hampir saja dia pingsan, Perutnya telah berubah gendut besar bukan main!
Air mata pun menetes dari pipi Pat Kay ke bumi. Ketakutan-ketakutan pun muncul. Takut akan kehilangan kekasihnya.

‘Aaaaaaaaaaaaa... Aaaaaaaaaaa.. Langit tidak adil! Kenapa Dewa tidak bisa jatuh cinta dengan anak manusiaaaaaaaaaaaaaa!!’, diapun berteriak dengan keras sekali. Dia mengamuk habis-habisan.Pohon-pohon tumbang dibuatnya. Setelah lelah diapun mendeprok ke tanah. Rasa kecewa, sedih, marah pun menjadi satu. Yang dapat dilakukannya sekarang ini adalah menangis. Ya, menangis. Air mata, oh air mata..

Karena gundah dan bingung, Pat Kay pun berlari menuruni lereng bukit itu sambil meraung sedih. Sedih karena dia yakin bahwa Sui Lian tidak akan dapat menerima keadaannya sekarang ini. Dia lari sangat kencang sekali yang dalam beberapa waktu saja sudah tidak kelihatan.
Tapi Pat Kay tak tahu bahwa sedari awal sudah ada sosok dengan mata indah yang mengawasinya. Dari bibir yang indah itu terucap kata-kata :

‘Pat Kay Koko.. Walau apapun yang terjadi denganmu, aku tetap mencintaimu Koko.. Mencintaimu.. Selalu.. Kenapa kau pergi Koko.. Kenapa kau meragukan cintaku? Kenapa kau membatasi dan menghina cintaku dengan ukuran fisikmu Koko.. Kenapa kau pergi Koko.. Koko.. Tahukah kau.. Cintaku abadi..’, demikian gadis itu berbisik dengan air mata bercucuran. Tapi Pat kay tak pernah kembali.





Demak, Agustus 2002

Arif Menulis Cerpen : Cleopatra dan Cinta Si Gadis Desa 3.




Hatiku selembar daun...

No comments:

Post a Comment