Tuesday, 23 November 2010

Fenomena Anak Punk: Sisi Lain Mengenai Ruwetnya Permasalahan Anak Jalanan di Indonesia

Fenomena Anak Punk: Sisi Lain Mengenai Ruwetnya Permasalahan Anak Jalanan di Indonesia

Oleh: Arif Rohman


Dimuat di Warta Demografi, Universitas Indonesia, Tahun Ke-39, No. 3, 2009, pp. 52-55.

Cite:
Rohman, A. (2009). Fenomena Anak Punk: Sisi Lain Mengenai Ruwetnya Permasalahan Anak Jalanan di Indonesia. Warta Demografi Universitas Indonesia, 39 (3), 52-55.


A. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara di dunia dengan jumlah populasi anak jalanan yang lumayan besar. Data dari Kementerian Sosial RI menyebutkan bahwa pada tahun 2009 jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai 135.139 anak dan tersebar di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Bandung dan Yogyakarta (Kemensos RI, 2009). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menghapuskan anak jalanan, baik melalui penangkapan maupun penahanan, dan dalam beberapa kasus ekstrim adalah penyiksaan, namun keberadaan anak jalanan tetap tidak berkurang secara signifikan. Sebaliknya, ketika pemerintah cenderung menganggap fenomena anak jalanan sebagai perilaku menyimpang yang secara potensial mengarah pada kriminalitas, media dan lembaga non pemerintah justru menganggap mereka sebagai kelompok rawan sekaligus korban kekerasan secara pasif yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak lagi memiliki kepedulian dan solidaritas sosial. Perbedaan cara pandang ini semakin rumit tatkala fenomena anak punk muncul dipermukaan, yang sekaligus meruntuhkan anggapan bahwa anak jalanan identik dengan kemiskinan dan keterpaksaan. Tulisan ini mencoba membuka persoalan mengenai semakin maraknya anak punk dan eksistensi mereka di jalanan serta usulan mengenai pola pendekatan dan penanganan yang ideal yang perlu dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi kemanusiaan non pemerintah.

B. Sekilas Mengenai Anak Jalanan
Banyak definisi mengenai anak jalanan yang dipakai para akademisi maupun pemerhati anak guna menggambarkan karakteristik anak jalanan. Namun ironisnya, konsep-konsep tersebut disamping memperkaya pandangan pandangan mengenai anak jalanan, seringkali justru mangaburkan pengertian anak jalanan itu sendiri. Aptekar dan Heinonen (2003) mengungkapkan bahwa definisi umum yang sering dipakai terkait dengan istilah anak jalanan mengacu pada istilah yang digunakan oleh Unicef. Di sini, anak jalanan diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Pertama, children on the street yaitu anak beraktifitas di jalanan namun masih memiliki kontak secara rutin dengan keluarga mereka. Kedua, children of the street, dimana anak hidup, bekerja dan tidur di jalanan. Ketiga, children on and off the street, merujuk pada anak yang memiliki kontak rutin dengan keluarga namun seringkali hidup, bekerja dan tidur di jalanan. Namun demikian, pada tahun 1990 beberapa ilmuwan sosial mulai mengalihkan istilah anak jalanan menjadi pekerja anak untuk menolak labeling anak jalanan.
Salah satu penelitian menarik terkait dengan anak jalanan di Indonesia, dilakukan oleh Harriot Beazley. Mengambil lokasi di Yogyakarta, Beazley (2003) mengatakan bahwa ada kecenderungan anak mengartikan hidup di jalanan sebagai “karir”. Mereka menyadari betapa besarnya stigma negatif yang melekat pada mereka. Oleh karena itulah sebagai kelompok marjinal, mereka berupaya menegoisasikan identitas mereka dan mengembangkan strategi adaptasi terkait dengan aktifitasnya di jalanan. Hal ini terlihat dari kemampuan mereka dalam memaksimalkan hubungan potensi sistem kekerabatan di jalanan, dan menjalin hubungan yang apik dengan mantan anak jalanan, pedagang asongan, dan anak jalanan yang lebih besar. Kelompok-kelompok inilah yang menjadi ‘tali’ dan mensupport mereka untuk survive di jalanan. Pada titik inilah solidaritas sesama anak jalanan muncul dan semakin menguat. Dalam akhir tulisannya, Beazley mengisyaratkan betapa susahnya untuk melakukan rehabilitasi pada mereka yang telah lama turun dan hidup di jalanan. Mereka yang sudah kembali ke rumah biasanya turun kembali ke jalan karena tidak bisa menyesuaikan kehidupan dalam rumah karena banyaknya aturan, tindak kekerasan yang dilakukan orang tua kepada dirinya, keterbatasan ruang, dan kurangnya kebebasan untuk melakukan sesuatu yang mereka suka. Mereka juga rindu dengan teman-temannya di jalanan. Karena itulah dana untuk upaya rehabilitasi sosial pada anak jalanan, akan lebih tepat diperuntukkan bagi mereka yang masih baru di jalanan dan upaya preventif dengan melibatkan partisipasi masyarakat (berbasis komuniti).

C. Fenomena Anak Punk
Permasalahan anak jalanan di Indonesia boleh dikatakan sangat kompleks. Sejak boom pada tahun 1998 karena dipicu oleh krisis moneter, fenomena terkini yang sedang marak terkait dengan anak jalanan adalah anak-anak punk. Mereka diyakini memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dengan anak jalanan pada umumnya. Istilah punk sendiri memiliki arti yang beragam. O’Hara (1999) mengartikan punk sebagai berikut: (1) Suatu bentuk trend remaja dalam berpakaian dan bermusik; (2) Suatu keberanian dalam melakukan perubahan atau pemberontakan; dan (3) Suatu bentuk perlawanan yang luar biasa karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan sendiri. Anak-anak punk biasa ditandai dengan gaya berpakaian yang mereka kenakan seperti sepatu boots, potongan rambut Mohawk ala suku Indian (feathercut) dengan warna yang berwarna-warni, celana jeans ketat (skinny), rantai dan paku (spike), baju yang lusuh, badan bertatto, memakai tindikan (piercing) dan sering mabuk.
Berkaitan dengan punk, Marshall (2005) membagi punk ke dalam tiga kategori yaitu hardcore punk, street punk, dan glam punk. Jenis pertama, hardcore punk ditandai dengan gaya pemikiran dan bermusik yang mengarah pada rock hardcore dengan beat-beat music yang cepat. Jiwa pemberontakan mereka sangat ekstrim sehingga seringkali terjadi keributan diantara mereka sendiri. Jenis kedua, street punk sering disebut The Oi dan anggotanya dinamakan skinheads. Mereka biasanya tidur di pinggir jalan dan mengamen untuk membeli rokok. Sebagai akibatnya, mereka banyak bergaul dengan pengamen dan pengemis karena sama-sama hidup di jalanan. Mereka adalah aliran pekerja keras. Jenis ketiga, glam punk biasanya jarang nongkrong dengan komuniti mereka di pinggir jalan dan lebih memilih tempat-tempat yang elite seperti distro atau kafe. Umumnya mereka adalah para seniman dengan berbagai macam karya seni.
Di Indonesia, komuniti punk yang jumlahnya mayoritas dan mendapat perhatian yang lebih dari publik adalah anak punk yang ada di jalanan. Pada umumnya, anak-anak punk tersebut berpendapat bahwa apa yang menjadi gaya hidup mereka adalah suatu kewajaran hidup di daerah metropolis. Keberadaan komuniti ini di kota-kota besar, yang sering menghabiskan waktu di jalanan dengan mengamen di traffic light, gaya berpakaian dan aktifitas nongkrongnya, dirasakan mengganggu kenyamanan masyarakat karena kekhawatiran akan terjadinya tindak kriminalitas yang dilakukan oleh mereka.

D. Kenapa Anak Punk Menjadi Masalah?
Penelitian anak punk yang memotret secara lugas kehidupan mereka di Jakarta dilakukan oleh Wallac. Wallac (2008) mengungkapkan bahwa musik punk yang mendunia pada era 70-an di Barat juga berpengaruh di Indonesia dan mencapai puncaknya pada tahun 1990-an. Anak-anak yang tergabung dalam komuniti punk saling berbagi kesukaan mereka terhadap music dan gaya hidup. Ikatan kekeluargaan dalam kelompok ini sangat kuat dan jaringan mereka juga sangat luas. Bagi mereka uang dan pendidikan bukan halangan untuk kumpul bersama. Mereka mempunyai slogan khas Do It Yourself (DIY). Mereka sering mengasosiasikan dirinya sebagai orang kecil yang tertindas. Menariknya, anak-anak yang tergabung dalam kelompok punk pada umumnya adalah mereka yang masih dikategorikan sebagai keluarga yang mampu, bahkan banyak pula dari mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Namun demikian, pada umumnya mereka tidak melanjutkan pendidikannya (putus sekolah). Kehidupan mereka sangat memungkinkan dan rawan untuk terjerumus dalam seks bebas. Anak punk perempuan yang suka melakukan seks bebas biasa disebut dengan pecun underground. Banyak dari mereka yang bekerja sebagai tukang parkir, pengamen, dan ‘polisi cepek’.
Sejumlah pemerhati anak yakin bahwa anak-anak punk sebenarnya adalah anak-anak yang bermasalah. Masalah yang pertama berkaitan dengan dirinya sendiri. Mereka masih mencari jati dirinya dalam tahapan menuju kedewasaan. Kurangnya kesiapan diri membuat mereka mengalami kebingungan dalam mencari identitasnya. Masalah yang kedua berkaitan dengan hubungan dengan keluarga mereka yang pada umumnya kurang harmonis. Mereka kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan keluarga. Komunikasi tidak lancar karena kesibukan orang tuanya bekerja. Sebagai konsekuensinya mereka mencari perhatian di luaran. Terakhir, anak-anak punk adalah anak-anak yang sebenarnya memiliki kreatifitas tinggi. Karena kreatifitas itu tidak terwadahi dan mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah, tentu saja mereka sangat rawan untuk terjerumus dalam tindak kejahatan seperti vandalism, ketergantungan alkohol, penyalahgunaan narkoba, eksploitasi seksual, prostitusi, HIV/AIDS, perdagangan manusia maupun rawan percobaan bunuh diri. Hal ini belum termasuk dengan aparat keamanan dan ketertiban yang sering menangkap mereka dan memperlakukan mereka dengan buruk.

E. Pembantaian Anak Jalanan Bukan Suatu Solusi
Permasalahan anak jalanan dan anak punk memang kompleks. Akan tetapi kita tidak bisa melakukan pembunuhan maupun penyiksaan terhadap anak jalanan sebagaimana telah dilakukan di Brazil, Guatemala, dan Columbia. Dunia masih ingat peristiwa mencengangkan pada bulan Juli 1993 di Gereja Candelaria di Rio de Jeneiro, dimana beberapa polisi tanpa baju dinas menembaki 50 anak jalanan dimana 6 diantaranya meninggal seketika dan 2 anak dibawa ke sebuah pantai dan dieksekusi. Menariknya ketika acara tersebut ditayangkan di stasiun radio, hampir sebagian besar penduduk di sana menyetujui tindakan tersebut. Hal ini dikarenakan budaya masyarakat di sana yang menganggap anak dalam keluarga adalah malaikat kecil, akan tetapi jika anak tersebut berkeliaran menggelandang maka mereka tak ada bedanya dengan babi (Summerfield, 2008).
Masih dalam sebuah tulisannya ‘If Children’s Lives are Precious, which Children?’, Summerfield (2008) juga menyebutkan bahwa pada tahun 1991, sekitar 1.000 anak jalanan dibunuh di Brazil dan 150.000 anak jalanan mati sebelum mencapai umur setahun karena kemiskinan, sanitasi yang buruk, minimnya layanan kesehatan, serta 2 juta anak jalanan mengalami malnutrisi. Dalam akhir tulisannya dia memberikan pertanyaan yang cukup menggelitik: ‘Apakah dibenarkan membunuh anak-anak karena mereka tidak punya masa depan?’

F. Penutup
Tulisan ini telah mengupas sedikit persoalan mengenai anak-anak punk yang ada di jalanan. Meskipun karakteristik anak-anak punk tidak jauh berbeda dengan anak-anak jalanan pada umumnya, namun alasan utama mereka turun ke jalan justru bukan alasan ekonomi. Mereka memiliki masalah dalam pencarian jati diri dan minim kasih sayang serta perhatian dari orang tua mereka. Mereka juga tidak memiliki wadah untuk menyalurkan bakat dan kreatifitas mereka. Karena itulah penyebutan anak jalanan menjadi pekerja anak menjadi tidak bisa digeneralisir. Jika pemberdayaan dan penguatan ekonomi keluarga sangat penting untuk anak jalanan pada umumnya, maka pemberian konseling keluarga sangat tepat untuk anak-anak punk. Penanganan anak-anak punk secara persuasif harus segera dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun organisasi non pemerintah. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari anggapan bahwa jalanan adalah schools of crime (sekolah kejahatan), sehingga mau tidak mau, tugas kita semua untuk memenuhi dan melindungi hak-hak anak yang sudah tercantum dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA) dan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) yaitu anak harus hidup dalam asuhan keluarga secara layak dan dapat mengenyam bangku sekolah. Pembantaian dan pembunuhan terhadap anak-anak yang berada di jalanan bukanlah solusi, melainkan sebuah tindakan biadab yang harus kita kutuk bersama.
--------------------------------

No comments:

Post a Comment