Tuesday, 23 November 2010

DISKRIMINASI TERHADAP MINORITAS MASIH MERUPAKAN MASALAH AKTUAL DI INDONESIA SEHINGGA PERLU DITANGGULANGI SEGERA

DISKRIMINASI TERHADAP MINORITAS MASIH MERUPAKAN MASALAH AKTUAL DI INDONESIA SEHINGGA
PERLU DITANGGULANGI SEGERA

Prof. Dr. James Danandjaja MA.

Universitas Indonesia





Pendahuluan

Diskriminasi terhadap kaum minoritas di Indonesia masih merupakan masalah aktual. Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh pemerintah- pemerintah sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya khususnya ORDE BARU yang bersifat diskriminatif terhadap kebudayaan minoritas, dalam arti adat istiadat, agama dari beberapa suku bangsa minoritas di tanah air. Mengapa hal demikian dapat terjadi terus, seakan-akan rakyat kita sudah tak patuh lagi dengan hukum yang berlaku di negara kita. Untuk menjawab ini, tidak mudah karena penyebabnya cukup rumit, sehingga harus ditinjau dari beberapa unsur kebudayaan, seperti politik dan ekonomi. Dan juga psikologi dan folklornya.
Diskriminasi terhadap Kaum Minoritas Masih Tetap Aktual Sehingga perlu
ditanggulangi Segera secara Tuntas

Sebelum sampai pada pembicaraan kita, ada baiknya ditinjau dahulu beberapa konsep yang mendasari topik kita, yakni: diskriminasi, minoritas, dan hubungan antara kelompok [intergroup relation].

Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116): Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat. Aktif atau aspek yang dapat terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif [negative prejudice] terhadap seorang individu atau suatu kelompok. Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya [merit].

Perlu kiranya dicatat di sini, bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi dianggap illegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan, atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang

berlandaskan pada prinsip diskriminasi. Demikianlah para tamtama/prajurit [private] di dalam jajaran ketentaraan secara sah [legitimated] didiskriminasikan [diperlakukan tak seimbang], berdasarkan kedudukannya yang masih rendah, walaupun ia telah memiliki kemampuan yang sama, atau bahkan melebihi para perwira atasan mereka. Namun beberapa komunitas khayalan [utopian communities] telah mencoba untuk menghapuskan perbedaan-perbedaan semacam itu, dalam kedudukan kepangkatan, seringkali berdasarkan keyakinan bahwa semua orang beragama adalah sama di mata Tuhan; dan di Amerika Serikat penyebaran nilai-nilai politik dan agama telah membawa perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat, telah menyebabkan terjadinya perlawanan terhadap segala macam diskriminasi yang bersifat agama, ras, bahkan kelas- kelas masyarakat. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap perlakuan diskriminasi terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.
Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 258-259), kelompok minoritas [minority
groups] adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau

sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice] atau diskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih tepat kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa [privileged] atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik. Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukankepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi.
Akhimya perlu juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok [lntergroup
relation] . Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 212) pada dasarnya istilah ini

berarti penelitian mengenai hubungan antar kelompok, seperti pada kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara suku-suku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehinga dapat dianggap sebagai masalah sosial [social problem].

Di dalam makalah ini saya akan memfokuskan diri pada diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada di Republik Indonesia. Kelompok minoritas tersebut dapat berupa suku bangsa (etnis), kelompok agama, dan kelompok gender [gender] seperti kaum perempuan dan kaum homo seksual (baik gay maupun lesbian). Pemfokusan ini berdasarkan kenyataan bahwa walaupun negara kita sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, serta telah mempunyai UUD 45 yang pada Bab X tentang “Warga Negara” pasal 27 ayat 1, yang menganggap semua WNI memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualian, dan ayat 2 mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun

sedihnya dalam riwayat hidupnya bangsa kita, telah diselewengkan oleh para pemimpin- pemimpin di kemudian hari, yang sudah mulai berlaku sejak jaman ORLA, dan terutama mencapai puncaknya pada jaman ORBA.

Sebagai contoh misalnya orang Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan orang Arab, India, pada masa Kolonial Belanda digolongkan sebagai golongan Timur Asing, kemudian pada-masa Kemerdekaan mereka semuanya apabila mau mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan serta pada negara R.I. dapat dianggap sebagai Warga Negara Indonesia. (lihat UUD 45, Bab X, pasal 26, ayat 1). Namun perlakuannya terhadap mereka ada perbedaan. Bagi keturunan Arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk suku bangsa mayoritas Indonesia, maka mereka dianggap "Pri" [Pribumi] atau bahkan “Asli”, sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain. Keturunan India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “Non Pri”. Dengan stikma "Non Pri" tersebut kedudukan mereka yang bukan “pribumi”, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan oleh pemerintah ORBA, telah dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi. Sehingga sebagai etnis mereka tidak boleh eksis. Untuk menunjang politik yang sangat beraroma rasis itu. Oleh Pemerintah Soeharto telah dikeluarkan beberapa Keputusan Presiden seperti: Pelarangaran Sekolah dan Penerbitan berbahasa Cina; keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Penggantian Nama; Instruksi Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Keturunan Cina. Keputusan Presiden No.240/1967 mengenai Kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan Asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Thung, 1999: 3-4). Lucunya dalam era reformati (plesetan dari istilah reformasi). Walaupun Pemerintah Presiden BJ. Habibie sudah memutuskan membatalkan semua peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.26 tahun 1998; namun anehnya pada tahun 1999, ia malah memberi bintang kehormatan Maha Putra pada dua tokoh Asimilasi dari pihak etnis Tionghoa seperti Junus Jahja dan K. Sindhunata SA. Penghargaan ini memberi kesan bahwa Habibie masih setuju dengan politik asimilasi dari ORBA.Isi Instruksi Presiden No.26 tahun 1998, yang dikeluarkan pada tanggal 16

September 1998, dan ditujukan kepada para Menteri, para pemimpin Lembaga Pemerintah Non Departemen, para pemimpin Kesekretarian Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, dan para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/Walikota Kota Madya, Kepala Daerah Tingkat II. Isinya antara lain, adalah: Pertama mengenai penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijaksanaan, perencanaan program, atau pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan; Kedua memberikan perlakuan dan layanan yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa perlakuan berbeda atas dasar suku bangsa, agama, ras maupun asal usul. Ketiga meninjau kembali, dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerjaan lain, sesuai dengan instruksi

Presiden ini; dan sebagainya. Alasan yang merupakan rasionalisasi bagi mereka yang mendukung politik pembauran asimilasi adalah bahwa jika orang Tionghoa semua sudah tukar nama, bahkan masuk agama Islam, maka tidak akan ada “masalah Cina” lagi sebagai contoh mereka tunjukan kejadian yang sudah terjadi di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, di kedua negara tersebut orang Tionghoa telah masuk agama Katolik (di Filipina) dan Budis (di Thailand). Sehingga logisnya orang Tionghoa di Indonesia harus masuk Islam, seperti yang telah dilakukan oleh Pak Junus Jahya (Lauw Chuan Tho) yang sejak tanggal 23 Juni 1979 secara resmi telah memeluk agama Islam. Menurut dia orang Indonesia Tionghoa harus masuk Islam, untuk mencegah terulangnya terjadi pembunuh massal [massacre] terhadap mereka di Indonesia, seperti pada permulaan Kemerdekaan R.I dan yang terakhir pada tgl. 13 -15 Mei 1998.

Salah seorang eksponen kalangan muda tentang politik asimilasi adalah Soe Hok Gie (adik kandung Dr. Arief Budiman), waktu saya tanya mengapa ia tidak tukar nama? Jawabnya adalah "Pak politik asimilasi ini sudah diselewengkan oleh para Jenderal, sehingga akan menyusahkan orang keturunan Tionghoa!".

Memang dalam kenyataan akibat dari politik asimilasi tersebut, orang keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih didiskriminasikan, Buktinya setelah tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih tetap dianggap "Cina". Penyebabnya adalah stereotip yang tetap melekat pada mereka, bahkan diperkuat dengan hukum, untuk didiskrirninasi, seperti diperas, jika hendak mengurus surat di kantor-kantor pemerintah. Mereka didiskriminasi jika mau masuk ke sekolah negeri. Di Universitas negeri mereka yang lulus UMPTN tidak diterima, setelah terlihat pada pas fotonya, karena raut mukanya berciri ras mongoloid Asia Timur. Demikian juga jika mereka mau masuk ke AKABRI. Setelah masa Reformasi perlakuan semacam itu masih terus berlaku sampai sekarang. Memang sifat- sifat stereotip pada orang Tionghoa, sukar sekali dihapuskan, terutama bagi pejabat- pejabat yang hendak memeras. Karena bagi mereka orang Tionghoa itu kaya, sehingga dapat dijadikan sumber keuangan mereka, yang sebagai pegawai negeri gaji bulanannya memang sangat tidak memadai, untuk dapat hidup sebagai layaknya manusia dari negara yang menjunjung tinggi HAM. Walaupun sejak pemerintahan Habibie, orang dari suku bangsa Tionghoa jika mau sekolah, berdagang, membuat paspor, KTP, masih ada yang diminta mempertunjukan Surat Bukti Kewarganegaran Indonesia (SBKI).

Sebagai contoh saya adalah orang keturunan Tionghoa yang sampai pada masa Reformasi adalah penganut politik pembauran yang asimilasi, tetapi sejak mengalami kejadian yang bersifat shock therapy, saya telah beralih ke politik pembauran yang bersifat integrasi yang sinergis.

Kejadiannya adalah pada hari Kamis 21 Januari 1999, jam 15.00, saya telah mendapat undangan dari Ibu Dirjen Kebudayaan, Depdikbud. Prof, Dr. Edi Sedyawati, untuk turut serta dalam sebuah talk show di studio TV RCTI. Temanya adalah hendak mendukung politik pembauran asimilasai dalam rangka memperingati 47 tahun pengesahan "Piagam Asimilasi", yang dicetuskan di Bandungan, Ambarawa, Jawa Tengah pada tanggal 15 Juni 1952 (Tempo, 1986: 351-353).
Kejadiannya adalah demikian, setelah didandani, dan berkumpul di ruang tunggu di
sebelah studio shooting, tiba-tiba masuk Pak Fadel Muhammad, tokoh GOLKAR, sambil

tangan kiri bertolak pinggang dan tangang kanan menunjuk-nunjuk ke langit, ia berkata dengan lantang: "Memang Cina-Cina itu rakus-rakus!!!" Mendengar itu jantung saya terkesiap, lalu saya tanya: "Cina yang mana Pak Fadel???" Jawabnya: "Yah Edy Tansil dan Liem Sioe Liong!" Rupanya Pak Fadel tidak tahu bahwa di ruang itu ada orang Cinanya (Ya saya ini). Segera Ibu Dirjen Kebudayaan mencoba menengahinya. Ujarnya: "Pak Fadel! Pak James Danandjaja adalah keturunan Cina!" katanya. Mendengar itu Pak Fadel menjadi salah tingkah. Untuk menghilangkan suasana yang tak mengenakkan itu, saya lalu bertanya pada Pak Fadel: "Pak Fadel suku bangsa apa?" Jawabannya dengan suara kurang mantap: "saya orang Arab!". Lanjut saya: “Tak mengapa Pak! Kita semua kan orang Indonesia”. Demikianlah pengalaman saya dalam hubungan antar kelompok [intergroup relation]. Bukan di antara minoritas (Tionghoa) dan mayoritas (Jawa), tetapi dengan sesama minoritas, yang kebetulan minoritas juga yakni Arab. Kejadian ini dapat menggambarkan dengan jelas bahwa Pak Fadel yang seharusnya juga tergolong minoritas, tidak merasa atau sedikitnya tidak mengakui bahwa orang Arab itu juga tergolong minoritas, karena sebagai etnis beragama Islam, ia merasa mayoritas, jadi tergolongnya "pribumi" sehingga dapat menekan orang Indonesia etnis Tionghoa yang memang kedudukan sosial politik adalah tergolong minoritas, yang "non pribumi" apa lagi menurut ia semua orang Tionghoa rakus-rakus seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim) dan Edi Tansil. Fadel Muhammad merasa kuat kedudukannya, karena etnisnya kebetulan tidak termasuk konglomerat yang bermasalah. la sebenarnya sangat terkabur, karena sebagai penggede GOLKAR, ia merasa tidak tersentuh oleh hukum. Buktinya memang demikian, karena kini walaupun ia sudah dinyatakan usahanya faillite [bangkrut] oleh Jaksa Agung, namun ia masih dapat diangkat menjadi gubernur provinsi Gorontalo. Bukan main! Aneh bin Ajaib keadaan di negara kita ini, karena ternyata hal ini masih dapat terjadi dalam jaman Reformasi ini.

Partisipasi saya dalam talk show saya di RCTI, yang tadinya berniat mendukung politik pembauran dari tipe asimilasi, akhirnya berbalik menjadi mendukung politik pembauran yang bertipe integrasi dari sinergi. Sejak talk show di RCTI tersebut, saya telah mendapat banyak telpon, salah satunya adalah dari mantan murid tari Balet saya dahulu, bernama Kamil Setyadi, yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dengan maksud agar saya bersedia membantu paguyuban mereka.

Dalam rangka reformasi ini saya bersama dengan beberapa pemuka Tionghoa dari segala agama diundang oleh "Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang dibawahi Bakin (Badan Koordinasi Inteligen Negara), untuk dimintai pendapat mengenai izin mempertunjukan Barongsai (Singa) dan Liong (naga) di muka umum pada tahun 1999 itu. Kami semua sangat setuju apabila izin tersebut dikeluarkan, namun karena keadaan keamanan dianggap belum mendukung, maka pelaksanaannya baru pada tahun depan saja. Namun ternyata masyarakat Indonesia, yang terdiri dari suku-suku bangsa lainnya merasa sudah tidak sabar, sehingga DR. Rahayu Supangga Direktur dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta telah mengajak para mahasiswanya untuk mengarak Lian-Iiong dan Barongsai keliling kota Solo, tanpa ada gangguan dari rakyat "Pribumi", yang diantisipasi masih ada yang anti Tionghoa. Sebaliknya usaha berani ini mendapat sambutan meriah dari segenap warga kota Solo dari segala suku bangsa.

Yang hadir dalam pertemuan itu antara lain adalah tokoh-tokoh asimilasi, seperti MayJen TNI (Pur) Soenarso dan BrigJen Pol (Pur) Sukisman, seorang Sinolog Mantan Rektor Universitas Dharma Persada, Tokoh Agama Budha Siti Hartati Murdaya, tokoh Muslim Tionghoa H. Junus Jahja, seorang pendukung politik asimilasi yang konsisten. Selain itu juga wakil-wakil dari instansi pemerintah, HANKAM dan lain-lain. Pada kesempatan itu BrigJen (Purn) Sukisman menyatakan ekskiusnya pada suku bangsa Tionghoa dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah, yang pada masa Reformasi ini dapat digolongkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena bersifat rasialis. Menurut beliau dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut, bukan karena anti Cina. melainkan karena merasa "eman [kasih sayang]" kepada saudara-saudara keturunan Cina, karena mereka dalam sejarah jika ada kekacauan sosial politik, selalu dijadikan kambing hitam dan dibunuh. Semoga dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut golongan keturunan Tionghoa sudah menyatu padu dengan suku-suku bangsa di mana mereka berdiam.

Mendengar pernyataan itu, komentar saya adalah: "Terima kasih banyak Pak Jenderal, namun akibat perasaan eman Bapak telah menyengsaraan orang Indonesia- Tionghoa, karena mereka sejak itu menjadi terpuruk. Mereka dalam prakteknya makin menjadi obyek pemerasan. Jikalau berusaha, harus mendapat "perlindungan" para oknum pejabat tinggi sipil maupun militer. Mereka selalu dijadikan kudatunggangan yang dapat disuruh berusaha sehingga dapat memberi sumbangan kepada para "pelindung"nya, namun jika terjadi kekacauan sosial politik mereka dapat dengan mudah dijadikan kambing hitam, untuk dihukum dicampak ke pulau Nusa Kambangan seperti nasibnya beberapa konglomerat suku bangsa Tionghoa. Dan para penunggangnya dapat terus survive dalam jaman Reformati ini.

Walaupun diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu, sejak masa reformasi ini telah mulai lenyap, tetapi tidak terjadi pada semua agama minoritas. Sejak masa reformasi ini agama minoritas yang telah memperoleh pengakuan sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia adalah agama Konghucu, sehingga salah satu hari rayanya yang dihubungkan dengan agama tersebut, yakni Imlek sejak tahun 2003, telah disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Hari Raya Nasional. Namun di lain pihak ada tuntutan dari agama Minoritas orang Jawa (Kejawen) yang belum terpenuhi aspirasinya beragama.

Dalam Koran KOMPAS , Kamis 10 April 2003 , Halaman 7, ada pernyataan bahwa umat agama tersebut merasa dilecehkan dan dianggap seolah bukan warga negara Indonesia. Untuk itu Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya bersama puluhan aktivis penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), Rabu 9 April 2003 telah mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka diterima Wakil ketua Komnas HAM Salahudin Wahid. Dalam pernyataan tertulis yang dibacakan wakil mereka Dewi Kanti, disebutkan bahwa para penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah piranti hukum, yang melecehkan hak sipil dan budaya, tetapi juga menghadapi pejabat negara yang menganggap para penghayat seolah bukan sebagai WNI. Sejak lahir para penghayat berhadapan dengan tindakan diskriminatif. Anak-anak pasangan penghayat tidak bisa mendapat surat kenal lahir atau akta kelahiran, dengan alasan pernikahan mereka dianggap tidak sah. Pada hal mereka telah melangsungkan pernikahan sesuai dengan adat dan kepercayaan masing-masing. Dinikahkan dengan penuh kasih, direstui

orang tua, handai taulan, keluarga dan saksi mereka. Para penghayat juga kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), karena tidak mau mengisi kolom agama yang resmi diakui negara. Contoh terakhir perlakuan buruk terjadi atas para penghayat Ajaran Karuhun Urang di Cigujur, Kuningan, Jawa Barat, yang merasa dihina dalam film berjudul Kafir.

Dewi menyesalkan munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang menganulir UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada Mukadinahnya disebutkan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Dalam SKB tersebut, "Dinyatakan tidak berlaku bagi masyarakat Penghayat Kepercayaan." Kelompok Penghayat mendesak Komnas HAM berjuang menghapus semua peraturan yang bersifat diskriminatif. Selain itu juga mendorong terciptanya sebuah UU Catatan Sipil yang menjamin Penghayat menjalankan perkawinan dan mendapatkan hak-hak sipil dan budaya sesuai dengan penghayatannya.

Menghadapi haI ini, Salahuddin Wahid yang saudara kandung Abdurrahman Wahid itu, mengatakan akan memperjuangkan kepentingan mereka: Mereka berhak mendapat hak sebagai WNI dengan status sama dengan yang lain. Dan lagi apa sih untungnya mendiskriminasikan mereka? Bisa dibayangkan getirnya kehidupan anak-anak mereka, yang dianggap anak di luar nikah. Selanjutnya Wahid berpendapat terminologi kafir tidak dikenal dalam hidup bernegara. Ini cuma terminologi beragama. Sentimen beragama seperti ini tidak sehat dalam hidup bernegara.

Setelah bertemu dengan beberapa anggota Komnas HAM yang lain, Wahid mengatakan, "Tampaknya sebagian besar anggota Komnas HAM, sepakat memperjuangkan nasib mereka, terutama yang langsung berkaitan dengan unsur HAM mereka. Tapi semua masih tergantung keputusan rapat pimpinan atau rapat pleno Komnas HAM. Mudah-mudahan harapan saya tidak meleset."

Tugas anggota Komnas HAM, masih banyak antara lain adalah mengungkapkan beberapa tragedi kekerasan yang dilakukan bangsa kita terhadap sesamanya. Yang terpenting dan yang masih merupakan misteri adalah Tragedi Kerusuhan 13-15 Mei 1998, di mana lebih dari 1000 orang menjadi korban penganiayaan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran hidup-hidup. Walaupun kelihatannya motifnya adalah rasialis karena banyak korban adalah orang Indonesia suku bangsa Tionghoa, tetapi korban kekejaman selain mereka, ada ratusan korban dari suku-suku bangsa lain, yang diprovokasi untuk menjarah di mal Yogya, yang terletak di Kali Malang Jakarta Timur, setelah mereka masuk untuk menjarah isinya, mereka ini kemudian oleh orang-orang yang bertubuh tegap dan potongan rambut cepak, bersepatu lars kemudian dikunci dari luar gedung, dan dibakarnya hidup-hidup. Kasihan orang terjebak kejahatan ini yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak kemudian dijadikan tumbal oleh entah siapa. Karena merasa malu sebagai penjarah, tidak ada keluarganya yang berani membelanya. Menurut ibu Ita F. Nadia, yang pada malam tanggal 13 Mei 1998, atas ajakan Romo Sandiawan seorang pendeta Katolik, telah mengadakan peninjauan di tempat terjadinya pembunuhan dan perkosaan tersebut. Menurut pengakuan ibu Ita pada seminar Peringatan 5 tahun Peristiswa Mei 1998 di restoran Nelayan, di Jalan Karang Bolong, Ancol Barat. Jakarta Utara, yang diadakan oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa. Berdasarkan pengamatan dengan mata kepalanya sendiri, ia telah melihat ada dua sosok mayat dari dua remaja perempuan Tionghoa, yang ditutupi dengan kertas plastik hitam. Waktu ia singkap tutup tersebut

terlihat dua mayat tak berbusana dilumuri darah, dengan putting-putting susu mereka dipotong dengan gunting. Jadi berlainan dengan keterangan para pejabat pemerintahan Habibie (termasuk menteri urusan wanita Tuti Alawiyah), yang mendatakan tidak ada permerkosaan, karena buktinya tidak ada wanita Tionghoa yang bersedia untuk menjadi saksi untuk ditayangkan di televisi. Sesungguhnya perkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Indonesia etnis tionghoa. ltu benar-benar ada, jadi bukan isapan jempoI saja. Hasil penelitian di tempat itu kemudian oleh Komisi NasionaI Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah diserahkan yang berwajib, dalam bentuk Dokumen Laporan No.3, tetapi dihilangkan entah oIeh siapa. Bersamaan dengan itu mereka juga ke PBB di New York untuk melaporkan masalah pelanggaran HAM yang dahsyat serta menggiriskan itu. Tetapi di dalam negeri selama 5 tahun ini, masih dianggap tidak ada oleh yang berkuasa. Menurut Salahudin Wahid , yang juga hadir dalam Seminar Peringatan itu, mengatakan bahwa Komnas HAM sedang berusaha meneliti untuk mengetahui dengan pasti apakah peristiwa tragedi tersebut memang betul-betul terjadi, siapa yang bertanggungjawab, siapa saja korbannya, dan apa yang harus dilakukan agar hal itu tidak terulang Iagi di masa depan. Selanjutnya menurut Wahid, memang masalah ini adalah masalah pelik, karena terkait juga dengan pergulatan politik di Indonesia. Dan Komnas HAM, harus hati- hati agar tidak terseret ke dalam kancah politik tersebut, namun menurutnya hal itu perlu diungkapkan, karena berdasarkan fakta-fakta. Yang mutlak harus diketahui, karena jika tidak, kebenaran tentang “kesalahan” masa lalu, maka kesalahan tersebut sangat mungkin terulang kembali. Tentunya bangsa ini seperti keledai yang terperosok dalam lubang yang sama (Salahudin Wahid dalam KOMPAS, Rabu 14 Mei 2003, HIm. 4). Masalah ini akan terpecahkan apabila mendapat dukungan dari DPR. Sebagai jawaban atas pertanyaan Salahudin Wahid apakah DPR dapat memberi tanggapan yang positif, karena beberapa tahun yang lalu DPR telah menyatakan pada Peristiwa Mei 1998 tidak ada pelanggaran HAM. Sebagai tanggapan pertanyaan tersebut Alvin Lie, anggota DPR dari fraksi Reformasi, mengatakan bahwa selama anggota DPR yang sekarang masih bercokol di sana, masalah ini akan tetap dipetieskan.

Peraturan-peraturan bersifat diskriminasi yang diwariskan mengenai suku bangsa Tionghoa dari ORDE BARU masih banyak, dan sukar untuk dapat dihapuskan, karena menurut Menteri Kehakiman dan HAM, kedudukan peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah-pemerintah masa Reformasi, kedudukannya, kalah dengan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Akibatnya dapat diremehkan oleh pejabat-pejabat golongan “Hitam” untuk tetap memeras orang-orang yang memerlukan jasa dari mereka. Semua ini dapat terus berlaku, karena sebagai suku bangsa yang minoritas, orang keturunan Tionghoa, belum mempunyai kedudukan sosial, politik, dan hukum yang mantap dalam struktur sosial masyarakat Indonesia (lihat Suparlan,1999). Oleh karenanya para pemimpin mereka harus berjuang terus untuk menghapus peraturan-peraturan yang diskriminatif itu, sehingga mereka tidak dijadikan kambing hitam, apabila terjadi pergolakan sosial, politik maupun ekonomi, seperti masa-masa lalu.

Sebenarnya kepedihan ini bukan saja dirasakan oleh suku bangsa Tionghoa saja tetapi juga oleh etnis-etnis yang lain, walaupun dalam gradasi yang lebih kurang berat. Mereka itu adalah sub suku bangsa Bali, seperti orang Trunyan, yang agama “asli” yang bukan bersifat Hindu Majapahit, selalu mendapat tekanan dari suku bangsa Bali Hindu, yang mayoritas itu. Demikian juga etnis Batak, juga dilecehi, karena anak-anak mereka
waktu hendak mendaftarkan kelahiran anaknya di kantor Catatan Sipil, tidak boleh
mencantum nama marganya.
Kesimpulan

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa diskriminasi terhadap kaum minoritas, khususnya suku bangsa Tionghoa masih aktual, dalam arti masih berlangsung terus. Penyebabnya memang sebagian oleh seniman diskriminasi ras, namun yang lebih tepat lagi adalah karena "fulus", yakni uang atau dana, yang perlu diperoleh oleh oknum-oknum pejabat, baik sipil rnaupun militer, selama gaji mereka sebagai pegawai negeri masih tetap tak memadai, dan kelompok yang dapat dijadikan obyek pemerasan, sudah tentu adalah orang Indonesia Tionghoa, yang berkat peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan Pemerintah RI, dibuat menjadi tidak mantap dalarn struktur masyarakat Indonesia sehingga dapat dilecehi tanpa mampu melawan.





Daftar Kepustakaan

Suparlan, Parsudi, 1999 “Masyarakat Majemuk dan Hubungan antar Suku Bangsa,” Masalah Cina (I. Wibowo ed.). Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, bekerja sama dengan Pusat Studi Cina. Hlm, 149- 173.

Tempo, 1986 Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986. Jakarta: Percetakan
PT Temprint.

Theodorson, George A, and Achilles G. Theodorson, 1979 A Modern Dictionary of
Sociology. New York, Hagerstown, San Francisco, London: Barnes & Noble Books.

Thung Ju Lan, 1999, “Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia,” Retrospeksi dan Rekonteskstualisasi Masalah Cina (I. Wibowo, ed.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, bekerjasama dengan Pusat Studi Cina. Hlm. 3-23.

United Nations Commission on Human Rights, 1949, The Main Types and Causes of Discrimination, Lake Success, N.Y : United Nations Commission on Human Rights, Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection ofMinorities.
Win, 2003 “Karena Merasa Dilecehkan, Penghayat Kepercayaan Mengadu ke Komnas
Ham,” Kompas, Kamis, 10 April 2003 Halaman 7



Depok, 19 Mei 2003

No comments:

Post a Comment