Tuesday 16 November 2010

Jembatan Merah

Jembatan Merah

Cerpen Danarto



Setiap tanggal 10 November kami berbondong datang dari berbagai kota untuk berziarah ke Taman Makam Pahlawan Surabaya di mana ''Bidadari November'' kami kuburkan. Kami, berikut keluarga kami, berdoa penuh khidmat di kuburan seorang perempuan, pahlawan kami, yang sesungguhnya tak kami kenal yang kedudukannya sangat misterius sampai kami beranak-pinak di berbagai kota besar dan kecil di seantero pulau Nusantara ini.

Dewi ini, siapa pun dan apa pun namanya, tanpa sengaja atau disengaja, telah menyelamatkan nyawa kami, tujuh pejuang, yang sebenarnya tak cukup berjuang, punya banyak alasan untuk menghindar dari pertempuran karena tak punya peluru cukup, yang sesungguhnya tak punya keberanian cukup.

Hati orang siapa bisa menduga, bahkan Tuhan pun tidak (nah, ada gejala murtad). Tapi Tuhan tak bisa ditanya. Kita hanya bertatap wajah dengan diam. Ruang lengang, waktu pun beku. Tak bisa kita memaksa kalender bicara karena ia sudah banyak berujar tentang hari-hari penuh berkah atau penuh pertempuran, setahun lamanya. Hanya kita yang tak bisa menebak padahal seribu bahan dugaan dalam diri perempuan yang duduk di depan kami ini. Alangkah bodohnya kami ketika seorang di antara kami memaksanya mengaku: Kamu mata-mata musuh. Perempuan itu cuma diam bagai beban di pundaknya membenamkannya.

Memang banyak musuh kami: Jepang, Belanda, para pengkhianat, mata-mata, dan para komprador. Tapi kenapa perempuan di depan kami ini cuma diam saja? Dia tak membela diri? Apa dia stres? Apa dia pemberani? Apa dia menantang kami untuk menggunakan kekerasan?

Hari itu kami terjebak di dalam gedung-gedung yang sudah hangus terbakar di sekitar Jembatan Merah. Kami bertujuh: Jubair, Manua, Roy, Topo, Fadli, Nowo, dan saya, Gowo. Dengan empat bedil, tiga pistol, sebelas peluru, dan perut kosong, kami tak bisa lari karena kami sudah terkepung hampir tiga hari.

Kenapa Belanda-Belanda itu tak mau menyerbu kami? Seandainya mereka merangsek masuk, pasti kami keok. Apa mereka mau menyiksa kami dengan mati kelaparan?

Jangan-jangan perempuan ini hantu, begitu akhirnya pikiran kami menabrak jalan buntu. Ketika kami tak bisa ke mana-mana, perempuan itu begitu saja teronggok di ruangan, duduk diam mematung. Perempuan yang elok. Perempuan yang tak pernah tersentuh debu pertempuran. Perempuan yang selalu tersimpan di dalam kamar yang wangi. Kelihatannya begitu.

Kami bertujuh duduk di lantai mengelilingi perempuan itu. Sekali-kali Roy atau Nowo menjenguk lewat jendela menyigi tentara Belanda yang bersiaga di bawah dengan persenjataan lengkap. Juga panser.

''Kalau kamu bukan mata-mata, apa kamu bidadari?" tanya Jubair yang membuat kami tertawa.

''Baiklah,'' kata Manua, ''Kamu pasti dewi yang diutus para dewa untuk menguji kami.'' Ah, omongan yang bertele-tele.

''Perempuan yang bikin lapar,'' kata Topo yang membuat kami tak bisa menahan tertawa.

Tentu saja ketawa kami cekikikan saja. Kalau ketawa kami keras pasti kedengaran Belanda-Belanda yang di bawah itu. Betul-betul biadab, mereka mau menghukum kami dengan kelaparan. Mereka sangka kami akan menyerah karena lapar, betul-betul Londo-Londo itu minta ditempeleng. Nanti dulu. Tapi perempuan ini siapa? Jangan-jangan sundelbolong. Ah, si sontoloyo Roy selalu omongannya soal hantu melulu. Sedikit-sedikit gendruwo. Sedikit-sedikit wewegombel.

Tampang Roy sih persis Londo Didong. Tubuh jangkung, hidung mancung, kulit kurang garam alias albion, cerdas, kritis, ilmiah, pemberani. Tapi, minta ampun Kanjeng Nabi, otak demitnya ngudubilah, gendruwo melulu yang berjubel uyel-uyel di benaknya.

Pernah, pada suatu malam dalam sebuah pertempuran di hutan Mojokerto, Roy lari terbirit-birit dari rerimbun semak hanya karena merasa dipeluk kuntilanak. Ia marah ketika kami semua terbahak-bahak yang mengakibatkan Belanda mengetahui posisi kami dan menghujani kami dengan rentetan tembakan beruntun. Alhamdulillah, tidak ada yang gugur dalam pertempuran itu.

Pernah pula Roy kami hukum karena dalam pertempuran malam selalu bikin ribut. Kami semua marah lalu memerintahkan Roy sendirian untuk menyerbu sebuah kubu pertahanan darurat Belanda di kawasan Sidoarjo. Sedikit pun ia tidak takut. Malah ia sombong mempertontonkan keberaniannya. Kubu pertahanan Belanda itu ia obrak-abrik yang membikin Londo-Londo itu kalang-kabut dikiranya diserbu besar-besaran. Roy kembali dengan rampasan dua pucuk bedil dan satu pistol.

Lucunya, Roy suka bertempur di malam Jumat di mana menurut pikiran klenik kami dan sudah menjadi keyakinan masyarakat Jawa, di malam itu segala macam hantu bergentayangan. Roy punya seribu alasan untuk keluar di malam Jumat meski kami malas-malasan. Ada saja alasannya. Katanya, bertempur di malam Jumat itu penuh berkah. Bahkan ia berani pergi sendirian tapi ujung-ujungnya ia kembali lari tunggang-langgang karena merasa dihadang banaspati.

Lalu kami mengambil kesimpulan, meski ketakutan tapi Roy sebenarnya kasmaran sama hantu sampai ingin bertemu dengan lelembut itu setiap saat. Ha ha, Roy sungguh menjadi hiburan kami sehingga kami semakin sayang kepadanya.

Nah, sampai dengan munculnya sang bidadari di ruang menemani kami saat ini, Roy merasa dikabulkan doanya. Ia berjalan mengelilinginya menatap dengan takjub si ayu. Tentu saja kami tak membiarkannya memonopoli Venus itu sendirian. Mungkin karena perempuan ini cantik dan menggiurkan sehingga kami tidak rela kalau cuma Roy yang mengaguminya.

Dalam keadaan ketakutan, kami memujanya. Di saat maut begitu mendekat dalam kepungan pasukan Belanda, kami rela jatuh cinta kepada Afrodit ini. Ya, apa boleh buat.

Pada malam kelima pengepungan itu, kami semua jatuh tertidur karena kelaparan. Nowo dan Jubair yang kami tugaskan berjaga, tak sanggup mengganjal pelupuk matanya. Ketika kokok jago subuh membangunkan kami, tergagap kami karena sang bidadari lenyap. Kami memarahi Nowo dan Jubair karena kelengahannya berarti maut bagi kami.

''Kamu berdua harus dijatuhi hukuman mati,'' kata Topo sambil menunjuk dada Nowo dan Jubair. ''Tapi baiklah, kami nggak mau kalah sama Lincoln, kami penuh belas kasih pada kamu berdua.''

''Bangsat!'' maki Nowo dan Jubair bersamaan.

Saya tertawa. Sadar, kami ini gerombolan anak-anak muda, sekitar 19 dan 23 tahun, yang bertempur karena tak ada jalan lain, juga rasa malu pada para orang tua yang gigih berjuang melawan penjajah.

''He, lihat,'' teriak Roy sambil melongok keluar jendela.

''Alhamdulillah,'' desah Fadli setelah ikut menjenguk ke bawah.

Lalu kami ikut melihat ke bawah. Pasukan Belanda yang mengepung kami telah pergi. Bagaimana mungkin, kami yang sudah sekarat kelaparan ini sebenarnya sangat mudah digebuk, kok malah ditinggal pergi.

Satu, dua, tiga hari kemudian, ketika menyamar ke kota, saya dan Fadli melihat kerumunan orang di Jembatan Merah. Makin lama makin banyak orang berdatangan di jembatan itu.

Beberapa orang tampak sibuk di bawah jembatan. Ingin melihat apa yang dilakukan orang-orang itu, saya dan Fadli ikut turun ke bawah jembatan.

''Masya Allah,'' teriak Fadli sambil menyibak orang-orang itu.

Saya terkesiap sesaat tak bisa bernapas ketika melihat perempuan yang tergeletak di tepi sungai itu. ''Bidadari kami'' tewas dengan dada kirinya bersimbah darah. Secepatnya saya dan Fadli membopongnya pergi. Kami harus berlari kilat membopong jenazah batari menyusuri gang demi gang, jangan sampai terlihat serdadu Belanda. Di ruang yang hangus, kami baringkan ''dewi kami''. Fadli berlari menghubungi teman-teman sedang saya terduduk menatap ''bidadari penyelamat'' yang telah jadi mayat yang dengan ikhlas mengorbankan nyawanya untuk keselamatan kami. Air mata saya deras berlelehan mencoba memahami cerita singkat yang menggores sejarah perjuangan kami, anak-anak muda yang tak tahu apa-apa.

Atas kesepakatan bersama, kami menguburkan ''Bidadari November'' kami di Taman Makam Pahlawan pada malam hari. Di sebuah pojok tanah yang sedikit tak kami harapkan terlihat, dengan cekatan kami menggali dan memasukkan jenazahnya dan menimbuninya kembali, sementara Roy meraung dengan memukuli tanah di sisi kuburnya sambil mengaduh-aduh. Sambil berdoa sekenanya kami semua menangis tersedu-sedu sampai subuh. (*)



Tangerang, 10 Oktober 2008

No comments:

Post a Comment