Tuesday 16 November 2010

KUCING

KUCING

Cerpen Putu Wijaya



Kami bertengkar lagi. Menurut saya, tetap tiga hari sekali. Tidak bisa diganggu-gugat. Sekali-sekali boleh empat hari sekali. Tapi jangan sampai satu minggu sekali. Meskipun ini bulan Puasa. Itu kan kebutuhan rohani.

Tapi dasar kepala batu. Satu minggu satu kali saja sudah kebanyakan. Katanya dua minggu sekali cukup. Orang lain ada yang sebulan sekali. Apalagi pada bulan suci. Kalau tidak setuju terserah.

Setuju? Bagaimana mungkin saya setuju. Mestinya dia harus bersyukur, sebab setelah puluhan tahun, saya masih tetap fit. Saya selalu hangat, segar dan bertubi-tubi seperti prajurit yang siap menyerahkan jiwa raga untuk membela negara. Tidak ada kata bosan. Semuanya seakan yang pertama kali. Itu kan karunia yang harus disyukuri.

Tapi kontrak tidak bisa hanya satu pihak. Saya jadi pusing tujuh keliling. Lalu saya ngelencer ke segala penjuru kota membunuh waktu. Menunggu saat berbuka, saya masuki toko-toko buku. Mencari-cari yang tak ada. Akhirnya saya beli juga sepuluh buku tua yang harganya jatuh. Bukan karena isinya sudah busuk, tapi karena kalah heboh oleh promosi buku-buku komoditas yang sebenarnya bermutu sampah.

Menggendong seabrek belanjaan yang mungkin tidak akan pernah saya baca itu, saya sebrangi Jakarta. Lalu-lintas sudah makin brengsek. Janji untuk menurunkan rasa nyaman bagi pejalan kaki, ternyata omong kosong semua. Motor berseliweran siap membunuh penjalan kaki yang meleng. Dan mobil-mobil seakan-akan begitu meremehkan harga manusia.

Tapi, saya masih bisa tepat sampai di depan rumah, ketika suara azan magrib terdengar. Cepat saya rogoh kunci dari saku dan buru-buru masuk rumah. Teh kental manis panas, pada bulan Puasa, lebih indah dari rubayat-rubayat Umar Khayyam. Puasa adalah bulan yang paling saya tunggu dalam setahun. Itulah saat saya merasakan nasi adalah nasi, pisang goreng benar-benar pisang goreng dan kehidupan, betapa pun rewelnya adalah sebuah puisi.

Celakanya, rumah kosong. Saya baru ingat, istri dan anak saya ada janji berbuka di rumah saudaranya. Tak apa. Hanya saya tidak melihat ada sesuatu di atas meja makan. Ada vas bunga dengan bunga mawar. Tapi saya tidak bisa menegak mawar. Saya memerlukan sesuatu yang hangat mengalir di tenggorokan setelah menahan nafsu selama 12 jam.

Harusnya saya tidak usah buru-buru pulang. Makan saja di warung sate kambing muda di Cirendeu. Sekarang kalau balik ke situ, tidak akan keburu. Dibayar dua kali lipat juga tukang taksi tidak akan mau jalan. Mereka juga mau menikmati buka.

Dengan kesal saya lemparkan buku-buku ke atas meja. Saya kenakan kembali sepatu. Siap untuk kabur. Biar saya makan enak sendirian di PIM. Mengganyang bebek goreng yang harganya selangit itu. Seratus ribu melayang juga tak apa asal tidak kecewa. Dan kalau perlu terus nonton bioskop.

Tapi ketika mau menutup pintu, saya dengar ada suara kuncing mengeong. Saya bukan penggemar kucing, tapi saya paham sedikit bahasa kucing. Itu bukang ngeong kucing yang sedang kasmaran. Itu kucing yang sedang keroncongan. Kucing memang selalu kelaparan. Tapi itu ngeong kucing yang ngebet makan sesuatu, tetapi tak berdaya.

Dengan hati-hati saya kembali masuk rumah. Saya temukan kucing tetangga mengeong di dapur. Dia meratap lembut di depan almari. Matanya sayu. Ketika saya muncul, dia terus saja mendayu-dayu sambil mencakar-cakar almari, seperti menunjukkan, di situ, di situ.

Saya ikuti petunjuknya, lalu membuka almari. Begitu daun almari terbuka, hidung saya diterjang bau ikan bakar reca-reca yang sedap sekali. Saya lihat juga ada termos dan gelas kosong dengan bubuk teh tarik sasetan di dalamnya. Tinggal diseduh saja.

Ngeong, kucing itu nyeletuk, seperti mengatakan. Nah ya kan?!

Bener, kata saya sambil membelai kucing itu dengan sayang. ”Kalau kamu tidak merintih-rintih kawan, aku tidak akan tahu, istriku sudah menyiapkan segala yang terbaik buat suaminya sebagaimana mestinya seorang istri yang bertanggung jawab. Terimakasih Cing. Untung ada kamu. Kalau tidak, aku tidak pernah tahu, aku sudah punya semua ini. Kau sudah menyelamatkan seratus ribu, mungkin dua ratus ribu lebih yang mau disikat kas bebek goreng penganut neo liberalisme itu!”

Kucing menggesek-gesekkan kepalanya manja ke tangan saya.

”Oke, aku tidak jadi marah, mari kita nikmati hidup ini!” kata saya sambil meletakkan kucing itu di lantai.
Saya buka sepatu. Kemudian menjerang teh tarik. Nikmatnya. Setelah marah-marah, tendangan rasa teh berlipat ganda. Apalagi istri saya tidak lupa menyediakan musuh yang serasi: singkong yang sudah dibalur bumbu sebelum digoreng.

Makanan tradisional dengan bahan baku langsung dari kebun, lebih sehat, lebih aman, lebih murah dan lebih nikmat dari makanan kalengan keluaran pabrik mana pun. Tidak memberi jedah lagi, saya siap mengganyang ikan bakar reca-reca, untuk menghargai karya istri itu.

Tapi begitu menoleh, saya terperanjat. Reca-reca itu sudah lenyap. Pintu almari yang belum sempat saya tutup, seperti kecewa. Mata saya jelalatan mencari kucing. Ternyata sambil mengeram-ngeram, durjana itu mengganyang ikan saya di bawah meja, di depan mata si pemiliknya.

Darah saya langsung mendidih.

”Bangsat!”

Kucing itu terkejut. Sambil melotot, dia caplok ikan itu untuk dibawa kabur. Tangan saya menyambar buku, lalu menembak, tepat mengenai badannya. Khewan itu terjungkal, lalu lari keluar. Ikan reca-reca saya terkapar berserakan di lantai. Tak penting lagi. Saya harus hajar maling itu. Saya sabet sapu dan memburu keluar.

Kucing itu ternyata masih duduk di depan pintu menjilat-jilat kakinya, seperti menunggu kesempatan masuk. Saya geram dan memukul. Kena. Lalu saya tendang dia ke halaman, waktu mau dihajar lagi, piaraan tetangga itu ngibrit lari menyebrang jalan menuju ke rumah tuannya. Marah saya masih meluap.
Saya masuk ke dalam rumah. Lalu reca-reca itu saya campakkan ke tong sampah. Saya tidak sudi makan bekas kucing. Tapi kemudian saya ambil lagi. Saya bungkus baik-baik. Saya buang jauh-jauh, dalam perjalanan ke restoran bebek goreng di PIM. Saya bunuh rasa kecewa dengan berfoya-foya Rp 200 ribu, memperbaiki sore hari yang rusak itu. Tetapi rasa dongkol itu tak berkurang.

Pagi-pagi ada kejutan lagi. Pak RT berkunjung ngajak ngomong serius.

”Saya kira pada bulan Ramadan ini, kita semua harus bisa menahan diri, Pak,” katanya.

”Maksud Pak Haji?”

”Saya mendapat komplin dari Pak Michael, tetangga Bapak, Bapak sudah menzalimi mereka.”

”Menzalimi bagaimana?”

”Beliau terpaksa membawa kucingnya ke dokter, karena Bapak pukul. Apa betul?”

”O, ya, kalau itu betul!”

”Maaf, Bapak mungkin tidak suka dengan kucing, tapi Pak Micahel itu lebih sayang pada kucing daripada
anak-anaknya sendiri.”

”O begitu?”

”Ya. Jadi saya kira, Bapak mengerti kenapa beliau sangat shock oleh kejadian ini. Untung tidak perlu operasi. Tapi sekarang kucingnya pincang, Pak.”

”Masih untung hanya pincang, kucing itu mestinya harus mati karena makan reca-reca saya yang disiapkan untuk buka.”

”Namanya juga kucing, Pak. Makanya jangan meletakkan makanan terbuka di meja.”

”Dia curi dari almari!”

”Apa kucing bisa membuka almari, Pak?”

”Ya kebetulan pintunya saya lupa tutup.”

”Ya kalau pintu lupa ditutup, itu bukan salah kucingnya, Pak.”

”Salah siapa? Salah saya?”

”Kucing itu binatang, Pak, tidak bisa disalahkan. Kita yang memiliki kesadaran yang bersalah.”

”Wah itu tidak adil! Kalau ada pencuri mencuri barang saya, meskipun saya lupa mengunci almari, pencuri itu harus dihukum, karena perbuatan mencuri itu melanggar hukum!”

”Memang begitu, Pak.”

”Terus Pak RT mau nyuruh saya ngapain? Minta maaf sama Pak Michael karena saya sudah memukul kucingnya? Tidak! Terima kasih. Kalau disuruh membayar perawatan kucing itu ke dokter, saya bayar, tapi kalau minta maaf, sorry, itu bukan gaya saya, bukan salah saya kan?!”

”Memang itu maksud beliau.”

”Apa?”

”Beliau menuntut Bapak mengganti ongkos berobat kucingnya.”

Pak RT merogoh saku dan mengeluarkan kuitansi. Saya terperangah. Minta ampun. Jumlah yang ada di dalam kuitansi itu membuat istri saya ikut terbakar.

”Kami bukannya tidak punya duit Pak RT,” kata istri saya yang memang cepat naik darah, ”tapi ini soal keadilan. Masa kami disuruh mengongkosi kucing ke dokter padahal binatang itu sudah mencuri reca-reca suami saya? Itu keterlaluan. Kalau perlu ke pengadilan, kita ramein di pengadilan sekarang supaya jelas! Kita ini masih negara hukum kan?!”

Pak RT termenung. Diam-diam saya mengucap syukur. Kucing bangsat itu sudah membuat saya dan istri saya kompak lagi.

”Baiklah,” kata Pak RT kemudian, ”demi menjaga ketenteraman kita bersama dan agar tidak merusakkan kekhusukan bulan Ramadan, saya carikan jalan tengahnya. Begini. Biarlah ongkos perawatan kucing itu, saya yang menanggung. Tapi izinkan saya untuk mengatakan kepada Pak Michael, semua itu dari Bapak. Jadi hubungan keluarga Pak Michael dan keluarga Bapak-Ibu di sini tetap terpelihara. Bagaimana kalau begitu?”

”Kenapa jadi begitu, Pak RT?”

”Ya sebagai RT saya merasa bertanggung jawab untuk mengusahakan perdamaian di antara warga.”
Saya dan istri saya bisik-bisik.

”Kalau sampai pak RT yang bayar, rasanya kami malu juga,” bisik saya.

”Memang. Habis Pak RT terlalu baik sih. Seperti nabi saja.”

”Jadi kami bayar saja?”

”Ya sudahlah, demi Pak RT, biar tidak berkepanjangan!”

Akhirnya ongkos kucing itu ke dokter kami bayar kontan. Pak RT memuji kekompakan kami. Saya pun sekali lagi bersyukur, kucing itu sudah berjasa menjaga keutuhan rumah tangga saya. Kalau tidak ada dia, sampai sekarang saya masih cakar-cakar dengan istri soal tiga kali sekali atau dua minggu sekali.

Kami terpaksa mengeluarkan Rp 200 ribu untuk biaya kucing itu. Jumlah itu cukup besar, tapi tak pernah saya sesali. Sebab sejak saat itu, kucing itu tidak pernah lagi berani masuk ke dalam rumah saya. Apalagi mencuri. Kalau lewat, dia terus saja berjalan lempeng, tak sudi atau tak berani menoleh,

Sekali pernah saya lupa menutupkan pintu. Padahal di meja makan sedang ada ayam goreng yang bau harumnya muntah sampai keluar rumah. Kucing itu pura-pura menjilat-jilat kakinya yang masih pincang. Kemudian dia berhenti dan memandang ke dalam. Tapi hanya memandang. Sama sekali tidak berani masuk. Kakinya yang pincang itu sudah membelajarkan dia untuk menghormati hak saya, sekali pun dia hanya binatang.

”Jadi kalau ada kucing lewat dekat rumah, tidak peduli kucing siapa. usir saja!” kata saya mengindoktrinasi anak saya yang baru berusia 5 tahun.

”Kenapa?”

”Karena kalau dibiarkan, dia akan jadi maling! Paling tidak berak seenaknya. Kamu tahu sendiri kan, kotoran kucing itu bau, sulit hilang!”

”Kalau nggak mau?”

”Hajar dengan batu!”

”Semua kucing?”

”Tidak semua kucing jahat. Tapi kita tidak ada waktu untuk menyeleksi mana yang jahat mana yang bjaksana. Pukul rata saja, semuanya maling.”

”Kenapa?”

”Seperti kata George Washington, hanya senjata yang bisa dipakai untuk menjaga perdamaian .”

”Kenapa?”

”Karena hanya kekerasan yang akan bisa mencegah kekerasan. Biar pintu terbuka, almari lupa ditutup, kucing itu tidak akan berani lagi masuk, karena dia terpaksa menghormati kita. Dia pasti tidak akan mau lagi mengeluarkan Rp 200 ribu untuk mengobati kakinya yang satu lagi, karena Bapak akan mematahkan kakinya yang satu lagi.”

Lalu saya tunjukkan bagaimana saya mengajari kucing itu dengan melempar buku. Rupanya buku-buku itu memang ditakdirkan aku beli untuk menghajar maling.

”Jangan mengajari anak kamu kejam!” protes istri saya.

”Lho, hidup ini sudah kejam. kok. Kalau kita tidak ikut kejam, kita akan selalu jadi sasaran. Sebenarnya ini bukan kekejaman, tetapi ketegasan saja. Supaya tidak ada peluang orang lain untuk kejam terhadap kita, kita harus tegas. Kita tunjukkan kita bisa kejam!”

”Itu kan teori kamu!”

”Boleh dites, tapi itu berarti kita harus masak reca-reca lagi!”

Istri saya melengos tak menanggapi. Tapi dia perempuan yang baik. Dia tidak sampai hati membiarkan dendam saya pada reca-reca berkelanjutan. Sehari setelah saya sambat, ikan reca-reca itu sudah menanti di atas meja menjelang waktu waktu buka.

Dengan tak sabar saya tunggu ceramah Pak Quraish Shihab di televisi yang dipandu oleh si cantik Inneke Koesherawati. Sekali ini rasanya lama sekali. Bau reca-reca itu sudah mencabik-cabik.

”Lihat kucing itu sudah bengong di situ!” kata istri saya menunjuk keluar jendela. ”Nggak bakalan ada kapoknya. Namanya juga binatang!”

Saya ngintip. Kucing itu memang lagi termenung di pagar rumah. Tapi itu jelas akting. Dia pasti sudah mengendus bau reca-reca yang sudah sempat membuat kakinya pincang.

”Tutup jendelanya, Pak!”

”Tidak usah. Ini saatnya untuk melihat apa rumah kita ini masih dia hormati?!”

Sebaliknya dari menutup jendela, daun jendela saya kuakkan lebar-lebar. Pintu dibuka. Saya pura-pura tak menyadari kehadiran kucing itu. Ikan reca-reca itu saya pajang di atas meja di teras, tanpa ditutupi. Saya ingin membuktikan, apakah kucing itu masih memiliki nyali.

”Aneh!” kata istri saya.

Saya tidak peduli. Saya ingin membuktikan kebenaran teori presiden pertama Amerika Serikat itu.

Begitu azan magrib terdengar, kucing itu makin gelisah. Ia tak putus-putusnya melongok ke arah meja di teras. Kelihatan nafsunya bergolak. Tapi pelajaran yang sudah diterimanya tak membiarkan dia bergerak lebih jauh dari pagar. Sebaliknya, meninggalkan pagar pun dia tidak mau. Reca-reca itu memang terlalu indah untuk ditinggalkan.

”Mau makan atau mau ngurus kucing makan?!” bentak istri saya kesal.

”Stttt! Lihat, aku sudah berhasil menghajar binatang itu bagaimana menghormati teritorial kita!”

”Ntar ikannya disambar lagi, baru nyesel!”

”Nggak bakalan!”

”Namanya juga kucing!”

”Tidak mungkin! Kakinya yang pincang itu, sudah membuat dia ngeper sendiri!”

Tapi tiba-tiba anak saya yang kecil muncul dari samping. Dia membawa batu mau melempar binatang itu, sesuai dengan yang saya ajarkan. Kucing itu cepat berbalik. Ternyata dia tidak takut. Kakinya yang cidera seperti mendadak sembuh. Dia membungkuk menanti serangan. Anak saya tak menyadari bahaya, terus mendekat dengan batu di tangan yang siap dilemparkan.

Dan kucing itu menerjang.

”Pak!” teriak istri saya.

Saya langsung nongol di jendela. Belum sempat berteriak, kucing itu sudah kaget melihat muka saya. Dia kontan membatalkan serangannya, lalu melompat ke jalan dan kabur. Tapi sebuah mobil yang meluncur cepat menerima lompatannya. Kucing itu tergilas.

Saya terpaku. Takjub melihat pemilik mobil itu, sudah membunuh piaraan kesayangannya. Untung saya belum sempat teriak. Cepat-cepat saya beri isyarat istri saya supaya membawa Dede masuk.

Malam hari kami lebih cepat menutup pintu dan mematikan lampu. Saya tahu Pak Michael pasti sedang uring-uringan. Saya menghindari pertengkaran. Masa bulan suci harus berkelahi karena soal kucing.

Esoknya, seperti yang sudah diduga, Pak RT muncul. Saya lebih dulu menegor.

”Bulan Ramadan tidak boleh mengumbar emosi kan Pak RT?”

Pak RT tersenyum seperti kena sindir.

”Betul, Pak. Tapi kalau terpaksa apa boleh buat.”

”Lho boleh?”

”Habis kalau nyolong melulu?!”

Saya tertegun.

”Siapa Pak RT?”

”Siapa lagi! Almarhum!”

”Almahum siapa?”

”Kucing yang Bapak bunuh itu.”

Saya tertegun. Pat RT tersenyum.

”Saya tidak membunuh kucing itu! Kan yang punya sendiri yang menggilasnya!”

”Ya untungnya begitu. Tapi sebenarnya dia sudah mati sejak Bapak mematahkan kakinya.”

Saya tidak menjawab.

”Sejak kakinya patah, kucing itu tidak berani lagi sembarangan masuk ke rumah. Bukan hanya rumah Bapak, juga rumah saya dan rumah-rumah yang lain. Dan sejak itu pula, tak ada yang pernah kehilangan ayam atau makanan lain dari meja secara misterius. Rupanya selama ini kucing itu biang keroknya.
Sekarang kita aman…”

”O ya?”

Pak RT senyum lagi.

”Ya.”

”Kalau begitu bagus dong.”

”Bagus.”

”Jadi kita aman sekarang. Tidak ada aman, tidak ada tai kucing?”

”Ya. Untuk sementara.”

”Sementara?”

”Untuk sementara.”

”Kenapa?”

”Sebab Pak Michael sudah membeli tiga ekor kucing lagi untuk mengganti kesayangan istrinya itu. Habis istrinya nangis terus kehilangan kucingnya.”

Saya terhenyak.

”Berarti kita harus melakukan pembunuhan lagi?”

Pak RT tertawa.

”Tidak usah. Cukup biasakan mengunci pintu dan almari dapur.”

”Dan mematahkan kakinya pada kesempatan pertama dia mencuri?!”

”Betul!”

”Sebab kalau dibiarkan atau dimaafkan, dia pasti akan mengulang dan lama-lama jadi penyakit!”

”Betul.”

Saya tertawa.

”Kalau begitu kita cs Pak RT.”

Saya mengulurkan tangan. Lalu kami berjabatan.

”O ya, saya lupa,” kata Pak RT sambil merogoh kantungnya, lalu mengulurkan selembar kuitansi. Darah saya tersirap.

”Apa ini?”

”Menurut Pak Michael yang membunuh kucingnya itu, Bapak. Bapak diminta dengan sangat mau mengganti pembelian ketiga kucing yang baru dibelinya itu.”

Pak RT lalu begitu saja meninggalkan saya. Seakan-akan tidak ada sama sekali keanehan dalam peristiwa itu. Saya bingung. Tiba-tiba saya jadi pembunuh yang harus dihukum. Mana jiwa nabi serta kebesaran Pak RT yang dulu kelihatan begitu tebal untuk menjaga kesejahteraan warga. Kenapa saya dianggap pantas menerima pemutarbalikkan yang kacau itu.

Manusia dan binatang sama saja, teriak saya dalam hati. Lalu saya kejar Pak RT ke rumahnya. Saya ulurkan kuitansi itu ke mukanya. Supaya ia menatap dengan baik, bukan jumlah yang tertera di sana yang membuat saya mabok, tetapi maknanya. Hakikatnya. Dan tanpa bicara sepatah kata pun, saya sobek kuitansi itu di depan matanya. Perlahan-lahan menjadi potongan-potongan kecil. ***


Jakarta 6 September 2009


Suara Merdeka, Minggu, 13 September 2009

No comments:

Post a Comment